• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONTEKS HISTORIS, SOSIAL DAN POLITIK

5 MEI 1999 Awal mula

Dalam pembukaan Kesepakatan 5 Mei 1999 pemerintah Indonesia dan Portugal mempertimbangkan Resolusi Majelis Umum 1514 (XV), 1541 (XV) 2625 (XXV) dan resolusi-resolusi relevan serta keputusan-keputusan yang diadopsi oleh Dewan Keamanan dan Majelis Umum PBB mengenai Timor Timur. Selain itu dengan

pemikiran tentang upaya-upaya berkelanjutan dari Pemerintah Indonesia dan Portugal sejak Juli 1983, melalui Sekretaris Jenderal PBB untuk menemukan solusi yang adil, komprehensif dan dapat diterima secara internasional tentang Timor Timur; mempertimbangkan Kesepakatan 5 Agustus 1998 untuk melanjutkan perundingan di bawah kewenangan Sekretaris Jenderal PBB tentang status khusus dalam sebuah otonomi yang diperluas tanpa memengaruhi posisi-posisi mendasar kedua pemerintah tentang status akhir Timor Timur.

Sementara negosiasi mengenai Timor Timur antara pemerintah Indonesia dan Portugal dalam forum-forum PBB terus berlanjut, pendekatan lain juga diambil melalui dialog antara orang Timor Timur pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dalam forum All Inclusive East Timorese Dialogue (AIETD) dan dialog Dare I dan Dare II.53 Dialog-dialog ini hanya membahas persoalan ekonomi, kebudayaan, pendidikan dan rekonsiliasi. Ketika AIETD digelar untuk terakhir kalinya pada tahun 1998, pihak pro-kemerdekaan yang hadir meminta kepada utusan PBB agar dialog tersebut diarahkan juga pada persoalan politik, namun permintaan itu kemudian tidak terwujud, dan hanya dibicarakan secara informal. Akibatnya para delegasi dari kedua kelompok (pro-integrasi dan pro-kemerdekaan) tidak mencapai konsensus yang dapat membawa keuntungan secara kolektif bagi rakyat Timor Timur.

Perubahan-perubahan dan reformasi politik yang terjadi di Indonesia pada masa itu juga memberi kesempatan lebih luas bagi upaya penentuan nasib sendiri oleh rakyat Timor Timur. Pada bulan Juni 1998, kabinet Presiden B.J. Habibie mengusulkan tawaran opsi otonomi luas bagi Timor Timur, namun dengan ketentuan bahwa masyarakat internasional akan mendukung kedaulatan Indonesia. Tawaran untuk menjadi wilayah dengan otonomi khusus mengindikasikan kemungkinan bahwa wilayah tersebut dapat secara bebas mengatur dirinya, dengan pemerintah pusat mempertahankan otoritasnya dalam bidang-bidang seperti keuangan, kebijakan luar negeri dan pertahanan negara. Pemerintah Indonesia secara resmi menyampaikan usulan solusi ini kepada Sekretaris Jenderal PBB, pembahasan intensif antara PBB, Menteri Luar Negeri Indonesia dan Portugal dimulai. Pada tanggal 27 Januari 1999, Presiden B.J. Habibie mengumumkan bahwa pemerintahannya siap menghadapi kemungkinan Timor Timur lepas dari Republik Indonesia.54 Dua bulan kemudian, Maret 1999, diadakan perundingan tripartit antara Portugal, Indonesia dan PBB, dimana disepakati untuk menyelenggarakan Penentuan Pendapat di Timor Timur untuk menentukan apakah otonomi luas akan diterima atau ditolak.55

53 Dialog Dare I diselenggarakan pada September 1998, di Dare, Dili dan Dare II pada Juni 1999, di Jakarta. Untuk pertama

kalinya dalam pertemuan Dare II di Jakarta, menghadirkan kelompok pro-kemerdekaan yang selama ini berada di luar Timor Timur, seperti José Ramos-Horta, Mari Alkatiri, dan João Carrascalão. Sama seperti dalam dialog AEITD, dialog Dare II juga tidak membahas status politik Timor Timur.

54 CNN, “Indonesia hints at allowing East Timor independence”, 27 Januari 1999, http://www.cnn.com/WORLD/

asiapcf/9901/27/indonesia.02/index.html (diakses 10 April 2008): “Quoting President B.J. Habibie, Information Minister Yunus Yosfiah said the issue of East Timor leaving Indonesia could be put before the country’s People’s Consultive Assembly, or MPR, later this year if East Timor is not satisfied by an offer of greater autonomy. ‘“If the East Timor people decide to reject special autonomy, then (Habibie) would suggest the next MPR discuss the possibility for East Timor to be released from the republic,’ Yunus told reporters.” (h. 3).

55 Ini merupakan sesi kesepakatan awal sebelum acara resmi dengan penandatanganan Kesepakatan 5 Mei 1999 di New York.

Lihat, Ali Alatas, The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor (Jakarta: Aksara Kurnia, 2006), h.59-174 dan h.313-314.

Implementasi Penentuan Pendapat

Pada tanggal 5 Mei 1999, Indonesia, Portugal dan PBB mencapai kesepakatan mengenai Timor Timur di Markas Besar PBB di New York. Kesepakatan New York ini terdiri dari tiga pokok: Pertama, “Kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Portugal mengenai persoalan Timor Timur” (“Agreement between the governments

of Indonesia and Portugal regarding the East Timor question”). Kedua, “Kesepakatan

mengenai Penyelenggaraan Keamanan bagi Penentuan Pendapat Rakyat di Timor Timur” (“Agreement on Organizing the Security of the Popular Consultation in East

Timor”), dan Ketiga, “Kesepakatan mengenai Modalitas Penentuan Pendapat Rakyat

Timor Timur melalui Pemberian Suara Langsung” (“Agreement on Modalities for the

Popular Consultation of the People of East Timor Through Direct Ballot”).56

Sesuai dengan pelaksanaan Kesepakatan 5 Mei 1999, pada tanggal 11 Juni 1999 Dewan Keamanan PBB membentuk UNAMET melalui resolusi No. 1246/1999. Misi dan tujuan UNAMET adalah untuk menyelenggarakan dan melaksanakan Penentuan Pendapat yang akan memutuskan apakah rakyat Timor Timur menerima atau menolak tawaran konstitusional otonomi khusus bagi Timor Timur di dalam kerangka NKRI.

Pelaksanaan misi UNAMET mengikuti tahap-tahap operasional Penentuan Pendapat sebagaimana tercantum dalam Kesepakatan mengenai Modalitas Penentuan Pendapat Rakyat Timor Timur melalui Pemberian Suara Langsung. Tugas operasional

UNAMET terbagi dalam:57 a. Tahap Penyebarluasan Informasi

• PBB akan mempersiapkan dokumen mengenai Kesepakatan Dasar dan dokumen Otonomi.

• PBB akan menyebarluaskan dan menjelaskan isi Kesepakatan Dasar dan dokumen Otonomi secara tidak memihak dan faktual di dalam dan di luar Timor Timur.

• PBB akan menjelaskan kepada para pemilih proses pemilihan dan prosedur-prosedur serta implikasi dari ”menerima” atau ”menolak” opsi yang ditawarkan. b. Pendaftaran

• PBB akan menyelenggarakan pendaftaran di dalam maupun luar Timor Timur secara terus menerus selama waktu 20 hari.

• PBB juga melaksanakan penyebaran informasi mengenai kegiatan pendaftaran. c. Kampanye

• PBB akan mengusulkan suatu aturan perilaku yang dibahas dengan para pendukung dan penentang proposal otonomi.

• PBB akan menyediakan sarana untuk memberikan kesempatan sama bagi kedua pihak untuk menyebarkan pandangan mereka kepada publik.

56 Pada rapat ke-3998 Dewan Keamanan PBB, Kesepakatan New York tanggal 5 Mei 1999 diratifikasi dengan resolusi DK PBB

nomor 1236 (1999).

57 “Agreement Regarding the Modalities for the Popular Consultation of the East Timorese Through a Direct Ballot,” 5 Mei

1999, di Annex II, Ian Martin, Self Determination in East Timor: The United Nations, the Ballot and International Intervention (Boulder: International Peace Academy Occasional Paper Series, 2001) h. 144-147. Pokok-pokok kesepakatan telah dirangkum agar ringkas, dan bukan merupakan pengutipan langsung dari naskah kesepakatan.

d. Pemungutan Suara di Timor Timur maupun di luar Timor Timur

• PBB akan menyelenggarakan pemungutan suara di 200 tempat pemungutan suara (yang sama dengan pusat pendaftaran) di Timor Timur dan tempat pemungutan suara di luar Timor Timur.

e. Peninjau

• Indonesia dan Portugal berhak mengirimkan wakil-wakil mereka dengan jumlah yang sama untuk mengamati seluruh tahapan kegiatan proses Penentuan Pendapat baik di dalam maupun luar Timor Timur.

• Peninjau internasional akan dapat mengamati proses Penentuan Pendapat berdasarkan ketentuan-ketentuan yang akan disusun oleh PBB guna mengatur kehadiran mereka

f. Pendanaan

• Sekretaris Jenderal PBB akan meminta persetujuan Dewan Keamanan pelaksanaan operasi tersebut guna menjamin pendanaan anggaran yang diperlukan. Kontribusi sukarela akan disalurkan melalui sebuah Dana Perwalian yang ditetapkan untuk maksud ini.

Secara umum, perencanaan, persiapan dan pelaksanaan Penentuan Pendapat dilakukan dalam 117 hari sejak Kesepakatan 5 Mei sampai penyelenggaraan Penentuan Pendapat yang berlangsung pada tanggal 30 Agustus 1999.

Sejak awal, kontroversi mengenai keberpihakan UNAMET sudah sering muncul. Dalam proses persiapan dan pelaksanaan Penentuan Pendapat oleh UNAMET, terjadi beberapa kejadian dimana pendukung pro-otonomi merasakan adanya

indikasi UNAMET berpihak kepada kelompok pro-kemerdekaan. Persepsi mengenai keberpihakan PBB ini mungkin telah berdampak pada meningkatnya ketegangan antara pihak pro-otonomi dan pro-kemerdekaan.

Implikasi Keamanan

Kesepakatan 5 Mei 1999 menetapkan bahwa keamanan Penentuan Pendapat

menjadi tanggung jawab Indonesia. Kesepakatan tersebut menuntut adanya netralitas total TNI dan Polri sebagai syarat utama dalam menjalankan tanggung jawabnya guna menjamin suasana aman, bebas dari kekerasan atau bentuk tekanan lainnya, serta untuk menjamin ditegakkannya hukum dan ketertiban secara umum. Selain itu disyaratkan bahwa aparat kepolisian akan menjadi satu-satunya institusi yang bertanggung jawab atas keamanan.

Butir 2 Kesepakatan mengenai Modalitas Penentuan Pendapat Rakyat Timor Timur melalui Pemberian Suara Langsung juga menyatakan bahwa Komisi Perdamaian dan Stabilitas (KPS), yang dibentuk 21 April 1999, akan menjadi salah satu pihak yang bekerja sama erat dengan PBB. Tugas KPS adalah (1) untuk menentukan aturan main selama periode menjelang dan setelah Penentuan Pendapat agar diikuti oleh semua pihak; dan (2) untuk mengambil pernyataan yang diperlukan guna pelucutan senjata semua pihak. KPS adalah komisi yang dimaksudkan menjadi forum bagi pemimpin politik Timor Timur, aparat pemerintah dan wakil-wakil gereja untuk memainkan peran penting dalam proses perdamaian menjelang Penentuan Pendapat.

Butir 4 Kesepakatan mengenai Modalitas Penentuan Pendapat Rakyat Timor Timur melalui Pemberian Suara Langsung menetapkan bahwa hanya kepolisian yang akan bertanggung jawab untuk menegakkan hukum dan ketertiban. Sekretaris Jenderal PBB, setelah memperoleh mandat yang diperlukan, akan menyediakan sejumlah perwira polisi sipil guna membantu Polri dalam kapasitas sebagai penasihat. Perwira polisi sipil dalam Penentuan Pendapat juga memiliki tugas menjaga kertas suara dan kotak suara dari dan ke tempat pemungutan suara.

Berdasarkan Kesepakatan 5 Mei 1999, Komando dan Kendali (Kodal) pasukan keamanan, yang pada awalnya ada di tangan Panglima ABRI, akan dialihkan kepada Kapolda Timor Timur.58 Walaupun pada tanggal 1 April 1999 Polri sudah dipisahkan dari ABRI (yang kemudian berubah nama menjadi TNI), Polri masih tetap berada di bawah Departemen Pertahanan keamanan (Dephankam) bersama dengan TNI.59

Sebelum 1 April 1999 Polri masih menjadi bagian dari ABRI di bawah Panglima ABRI. Salah satu implikasi Kesepakatan 5 Mei 1999 dalam penugasan Polri sebagai penanggung jawab utama penegakan hukum dan ketertiban di Timor Timur tahun 1999 adalah bahwa hal ini pada dasarnya menjadi tugas besar pertama dimana Polri bertindak secara mandiri terpisah dari TNI.

Guna menjamin netralitas TNI/Polri pada tanggal 15 Juni 1999, Panglima TNI mengeluarkan perintah tertulis yang menekankan adanya pergeseran dalam kriteria keberhasilan satuan-satuan TNI/Polri yang dikerahkan di Timor Timur. Tujuannya berubah yang semula mencari dan menghancurkan sebanyak mungkin GPK di Timor Timur menjadi sikap netral serta untuk menjaga situasi keamanan dan

keselamatan.60 Tujuan yang dinyatakan dalam misi ini adalah untuk menjamin proses Penentuan Pendapat yang lancar, aman dan adil tanpa adanya tekanan dari pihak manapun.

Tim penilai PBB yang ditugaskan mengunjungi Timor Timur untuk mempersiapkan misi UNAMET memberi perhatian akan adanya kekhawatiran kemampuan Polri menjaga keamanan sebelum Penentuan Pendapat mengingat fakta bahwa sebelumnya TNI lah yang memainkan peran keamanan yang dominan.61 Tim penilai melaporkan bahwa walaupun Polri sudah memberi jaminan positif mengenai keamanan di

Timor Timur, tetap ada kesan bahwa Polri masih berada dalam kondisi kebingungan mengenai bagaimana menangani kelompok-kelompok bersenjata di Timor Timur.62

58 Walupun TNI mengumumkan penarikan mundur bertahap pasukan-pasukannya di Timor Timur, masih ada pertentangan

mengenai seberapa jauh hal ini dilaksanakan.

59 Keputusan Presiden RI No. 89/2000 yang melepaskan Polri dari Departemen Pertahanan Keamanan dan menempatkannya

langsung di bawah Presiden, diterbitkan tanggal 1 Juli 2000 pada masa kepresidenan Abdurrahman Wahid.

60 Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima TNI, No.K/362/P/VI/1999 (15 Juni 1999) h. 3. Bagian-bagian yang relevan

menyatakan dalam naskah asli sebagai berikut: “Disamping itu juga telah dilaksanakan perubahan kriteria keberhasilan tugas Satuan TNI dan Polri yang bertugas di Timtim dari menemukan dan menangkap sebanyak mungkin GPK Timtim menjadi bersikap netral serta menjaga situasi keamanan dan rasa aman masyarakat Timtim maupun Personel PBB, agar proses Jajak Pendapat dapat terlaksana secara aman, damai, jurdil dan tanpa tekanan/intimidasi dari pihak maupun.”

61 Martin, Self Determination, h. 8

Hasil Penentuan Pendapat diumumkan pada tanggal 4 September 1999, dimajukan dari rencana awal tanggal 7 September 1999. Pada tanggal 4 September 1999, Sekretaris Jenderal PBB mengumumkan bahwa 78,5 persen dari 450.000 pemilih telah menolak tawaran otonomi luas,63 yang kemudian membuka pintu bagi kemerdekaan Timor Timur.

Setelah pengumuman hasil Penentuan Pendapat, walaupun sudah ada perintah dari Presiden Habibie kepada TNI dan Polri untuk menegakkan hukum dan ketertiban, namun kekerasan dengan intensitas yang mengkhawatirkan mulai terjadi.64

Meningkatnya kekhawatiran masyarakat internasional mengenai adanya kekerasan ini sebelumnya pernah diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan.65

Guna mengendalikan situasi yang semakin memburuk, Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Keputusan No. 107/1999 mengenai Keadaan Darurat Militer di provinsi Timor Timur pada tanggal 6 September 1999. Pemerintah Indonesia kemudian setuju untuk mengundang PBB ke Timor Timur dan hal ini ditandai dengan serah terima tanggung jawab keamanan atas Timor Timur dari Panglima Penguasa Darurat Militer Mayor Jenderal Kiki Sjahnakri kepada Mayor Jenderal Peter Cosgrove sebagai komandan pasukan INTERFET (International Force for East

Timor) PBB pada tanggal 27 September 1999.

4.6 RANGKUMAN

Dalam pembahasan di atas telah diangkat berbagai faktor historis, sosial dan politis yang relevan bagi perkembangan dan dinamika peristiwa yang terjadi di Timor Timur tahun 1999, dan yang disepakati oleh kedua negara. Sekali lagi perlu diingatkan bahwa bab ini tidak dimaksudkan untuk memberi kesimpulan akhir mengenai periode sejarah sebelum tahun 1999. Fokus mandat Komisi adalah untuk memahami peristiwa tahun 1999 dan implikasinya bagi tanggung jawab institusional, serta untuk merumuskan cara-cara dan rekomendasi yang tepat guna menyembuhkan luka masa lalu, merehabilitasi martabat manusia melalui peningkatan rekonsiliasi dan persahabatan. Pokok-pokok historis dan kontekstual yang ditemukan Komisi dapat dirangkum sebagai berikut:

63 Pada tanggal 4 September 1999 Presiden B.J. Habibie menginstruksikan Polri dan TNI untuk menegakkan hukum, keamanan

dan ketertiban di wilayah tersebut.“Pursuant to the results of the New York Agreement of 5th May 1999, the Indonesian government

has been entrusted with full authority to implement the content of the New York agreement, specifically in carrying the responsibility to foster and guarantee the necessary calm, general order and peace needed during and after the public consultation until the transfer of government takes place. Therefore I, as the Supreme Commander, instruct the Chief Commander of the Inodnesian Armed Forces and the Inodnesian State Police to uphold the law, security and order and take all necessary steps ....” (“Amanat Presiden Republik

Indonesia: Menyambut Hasil Penentuan Pendapat Rakyat Timor Timur” 4 September 1999)

64 Kurangnya langkah-langkah pengamanan yang memadai akan dibahas lebih rinci di Bab 5.

65 Sekretaris Jenderal menyatakan “Although in the accord it has been agreed that Indonesia would take over the security sector

to guarantee security in East Timor, and prohibit all illegal actions launched by the militias, however, in the field violence has continued to escalate, including intimidation and killings by militia groups against pro-independence civilians. I am very concerned and have learnt from the evaluation team in the field that tension is high.” “The Question of East Timor: Report of the Secretary General” (22 May 1999), h. 5. http://daccessdds.un.org/doc/UNDOC/GEN/N99/151/14/PDF/N9915114. pdf (diakses 10 April 2008).

1) Proses dekolonisasi dan perpecahan politik

Tidak adanya proses dekolonisasi yang efektif sejak masa kekuasaan Portugal sampai kemerdekaan telah mengakibatkan munculnya perpecahan politik di Timor Timur. Interpretasi yang berbeda-beda mengenai strategi terbaik untuk mencapai penyelenggaraan pemerintahan sendiri mengakibatkan banyaknya partai politik dalam negeri (termasuk Fretilin, UDT dan Apodeti) tidak mampu menyelesaikan perbedaan di antara mereka melalui cara-cara damai. Sehingga terjadi konflik bersenjata antara partai-partai politik Timor Portugis. Sementara itu, militer

Indonesia telah memulai kontak dengan pihak-pihak pro-Indonesia di dalam wilayah Timor Portugis.

Hakikat proses integrasi Timor Timur ke dalam Indonesia telah menjadi sumber kontroversi. Kedua pihak yang terlibat konflik memiliki interpretasi berbeda mengenai proses ini yang sangat sulit untuk dipertemukan. Penentuan akhir status hukum kehadiran Indonesia di Timor Timur berada di luar cakupan mandat Komisi. Pada tanggal 17 Juli 1976 Presiden RI mengesahkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1976 yang secara resmi menjadikan Timor Timur sebagai provinsi Indonesia. Integrasi ini tidak diakui oleh PBB berdasarkan Resolusi Majelis Umum No. 31/53, Desember 1976. Masalah Timor Timur tetap ada dalam agenda dekolonisasi PBB hingga setelah pelaksanaan Penentuan Pendapat bulan Agustus 1999. Baik konflik internal tahun 1975 maupun periode kehadiran Indonesia yang dipertentangkan memiliki kaitan dengan perbedaan politik internal dan eksternal serta proses dekolonisasi yang tidak tuntas.

Dampak dari perbedaan-perbedaan politis tersebut dalam periode sebagaimana dimandatkan kepada Komisi adalah berkembangnya sebuah situasi konflik yang rumit dan berkepanjangan di Timor Timur. Konflik vertikal muncul karena adanya perjuangan kemerdekaan yang terorganisasi yang melibatkan aksi militer oleh Falintil melawan pasukan keamanan Indonesia, yang memandang gerakan kemerdekaan sebagai ancaman terhadap persatuan nasional, serta sebagai suatu gerakan “pengacau keamanan.” Selain itu terdapat beberapa aspek konflik horizontal yang tersisa antara kelompok-kelompok dengan aspirasi politik berbeda di dalam Timor Timur.

Baik konflik horizontal maupun vertikal tidak mendapatkan tempat dalam sistem politik Indonesia pada saat itu untuk menyelesaikan persoalan politik tersebut secara damai, tanpa melibatkan kekerasan atau senjata. Bahkan struktur sistem pemerintahan, yang memungkinkan kontrol militer yang kuat atas pemerintahan sipil, dan yang memberi keistimewaan bagi pemimpin-pemimpin pro-otonomi didasarkan pada loyalitas kepada integrasi, telah memperparah baik konflik horizontal maupun vertikal ini.

2) Sistem Penyelenggaraan Pemerintahan di Timor Timur (1975-1999)

Struktur dan organisasi pemerintahan Indonesia di Timor Timur tahun 1999 telah turut menciptakan kondisi-kondisi yang menimbulkan berbagai tindak kekerasan di Timor Timur tahun 1999, khususnya akibat pengaruh militer dan sifat otoriter dari pemerintah. Struktur sentralistis pemerintahan Indonesia selama masa Orde Baru telah menjadi mekanisme efektif mendukung aparat keamanan dalam upayanya untuk melaksanakan kebijakan keamanan pemerintah Indonesia. Struktur ini pada

saat bersamaan menjadi kelemahan ketika struktur pemerintah otoriter dan terpusat harus diganti menjadi struktur yang demokratis dan transparan setelah jatuhnya rezim Soeharto.

Selanjutnya, berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang

Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara RI, Angkatan Bersenjata (termasuk Polri) memiliki kekuasaan menjalankan fungsi keamanan dengan

wewenang luas mengatur dan menggunakan sumber daya “nasional.” Salah satu implikasi kewenangan ini adalah bahwa pemerintah sipil juga dapat memainkan peran pembinaan berbagai organisasi non-militer dalam fungsi pertahanan

keamanan. Peran pemerintah sipil dalam keamanan mencakup membina/membantu kelompok-kelompok seperti Pengamanan Swakarsa, atau Pamswakarsa. Dalam

konteks tahun 1999, hal ini berakibat pada keterlibatan pemerintah sipil mendukung kelompok-kelompok milisi bersenjata melalui mekanisme organisasi Pamswakarsa. Institusi militer maupun polisi di Timor Timur secara historis juga memiliki kaitan dengan kelompok-kelompok seperti Ratih dan Wanra di bawah Sishankamrata. Keberadaan berbagai kelompok sipil bersenjata dan tidak bersenjata di Timor Timur tahun 1999, termasuk milisi, melalui hubungan dekat dengan berbagai institusi pemerintah, dapat dilihat sebagai limpahan pengaturan masa lalu.

Sampai tahun 1999, aparat penegak hukum sipil (Polri) juga masih berada di bawah kebijakan pertahanan keamanan militer dan negara. Pada bulan April 1999 Polri mengalami proses reformasi yang memberikannya kemandirian lebih besar dari aparat militer. Akan tetapi Polri masih berada di bawah kekuasaan tertinggi Departemen Pertahanan Keamanan. Restrukturisasi lembaga Polri kemungkinan telah berakibat pada kurangnya kepercayaan diri lembaga tersebut karena sebelumnya Polri menjadi bagian dari struktur ABRI.

Dengan demikian, dalam semua aspek pemerintahan di Timor Timur dari tahun 1975 sampai 1999, pertahanan keamanan menjadi tujuan utama. Setiap institusi pemerintah didominasi oleh fungsi utama militer dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut berdasarkan cara pandang Negara Indonesia terhadap konflik dimaksud. Operasi militer melawan gerakan kemerdekaan Timor Timur berjalan di luar kerangka konstitusional dan hukum pengerahan militer pada masa damai. Operasi-operasi militer tersebut berlangsung dalam konteks yang dikenal dengan istilah “Daerah Operasi Militer” (DOM). Berbagai faktor tersebut tutut membuat operasi militer di Timor Timur berbeda dengan di bagian-bagian lain di Indonesia.

Sebaliknya, perjuangan kemerdekaan yang terkoordinasi juga telah memengaruhi semua aspek pemerintahan di Timor Timur. Gerakan Klandestin, yang mampu menginfiltrasi semua organ pemerintah di Timor Timur serta kenyataan bahwa adanya beberapa tokoh yang bekerja untuk kedua kubu politik yang saling

berlawanan, kadang-kadang dapat memengaruhi administrasi serta alokasi sumber daya guna membantu perjuangan kemerdekaan. Perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan bersandar pada doktrin perang gerilya, yang juga mensyaratkan adanya dukungan sumber daya dan logistik dari warga sipil. Dengan kata lain, baik Sishankamrata ABRI maupun strategi perang gerilya gerakan kemerdekaan bergantung pada penggunaan sumber daya warga sipil. Situasi ini menempatkan

warga sipil dalam posisi rentan, sehingga mereka dapat menjadi subyek yang

diperebutkan oleh kedua belah pihak dalam konflik, dan menjadi sasaran manipulasi oleh penguasa politik.

3) Transisi Politik tahun 1999

Kondisi transisi politik di Indonesia (Reformasi) memiliki implikasi praktis terhadap