• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS TELAAH ULANG DOKUMEN

DOKUMEN INDONESIA

5.8 PANEL KHUSUS UNTUK KEJAHATAN BERAT (SPSC)

Panel Khusus untuk Kejahatan Berat merampungkan 55 persidangan antara tahun 2000 sampai 2005 ketika mandatnya diakhiri oleh Dewan Keamanan PBB.102 Telaah Ulang Dokumen telah memeriksa ke-55 kasus ini dan memilih beberapa penuntutan kejahatan terhadap kemanusiaan untuk dianalisis lebih saksama oleh karena paling relevan dengan mandat Komisi dalam menetapkan kebenaran konklusif mengenai pelanggaran HAM berat dan tanggung jawab institusional. Kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang disidangkan di hadapan Panel Khusus dikaji terkait pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: Apa saja tuduhan dan pembelaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dan pembela dalam kasus-kasus kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur tahun 1999? Apa saja tuduhan dan pembelaan yang diajukan oleh Penuntut Umum dan pembela terkait tanggung jawab institusional atas kejahatan-kejahatan tersebut? Pertimbangan apa saja yang dibuat oleh

Pengadilan terkait tuduhan-tuduhan tersebut? Apa saja bukti yang digunakan untuk mendukung pertimbangan tersebut? Apakah dasar pembuktian memang mendukung pertimbangan yang ada? Apa saja kekurangan dalam bukti berkenaan dengan

kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab institusional? Bagaimana kekurangan ini dapat dilengkapi?

Fokus pembahasan pada bagian ini adalah analisis atas dua persidangan kejahatan terhadap kemanusiaan yang paling penting dan substansial di hadapan SPSC: Kasus Lospalos dan Lolotoe (yang terakhir dalam tiga bagian karena dua putusan bersalah sebagai hasil tiga persidangan terpisah). Hanya dalam kasus-kasus inilah Penuntut berupaya menetapkan secara independen konteks umum dimana kejahatan-kejahatan spesifik yang dituduhkan diduga telah terjadi. Sedangkan dalam semua kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang lain Penuntut hanya mengajukan bukti berbagai laporan kekerasan di Timor Timur, seperti Laporan KPP HAM. Mereka sama sekali tidak mengajukan bukti dokumen maupun saksi untuk memberi

kesaksian mengenai konteks kekerasan lebih luas guna menetapkan unsur “chapeau” yang disyaratkan berkenaan “serangan meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil.” Untuk alasan ini, dasar pembuktian dalam kasus Lospalos dan Lolotoe adalah paling relevan bagi Komisi karena lebih relevan dengan tanggung jawab institusional dibandingkan sebagian besar persidangan lain, dimana bukti semacam ini tidak diajukan dan para Hakim hanya membuat pertimbangan sangat umum atas dasar berbagai laporan. Begitu kebiasaan ini mulai dilakukan, kemudian diulang kembali dalam kasus demi kasus. Putusan atas satu kasus kurang lebih hanya mengulangi kata demi kata temuan-temuan umum mengenai unsur chapeau dari kasus-kasus sebelumnya. Umumnya tidak ada rujukan bukti spesifik dari laporan-laporan tersebut. Karena itu, kasus-kasus dimaksud tidak begitu berguna bagi penyelidikan Komisi.

Alasan lain untuk memilih kedua kasus di atas karena keduanya merupakan persidangan yang jauh lebih panjang dengan jumlah kesaksian dan bukti paling banyak. Selain itu, Putusan Pengadilan (“Keputusan Akhir Tertulis”) dalam dua kasus

102 Bagian ini bersandar pada analisis di Bab 9 Laporan kepada KKP. Untuk pembahasan lebih lengkap mengenai sidang-sidang

Kejahatan Berat, lihat juga David Cohen, Indifference and Accountability: The United nations and the Politics of International Justice in East Timor (Honolulu, Hawaii: East-West Center 2006).

ini jauh lebih panjang dibandingkan putusan SPSC lainnya. Namun dalam hal ini bukan panjangnya putusan itu sendiri yang signifikan, melainkan upaya Pengadilan untuk merangkum dan menganalisis kasus Penuntut dan Pembela secara penuh, serta untuk mempertimbangkan keterangan semua saksi yang dijadikan landasan oleh Penuntut dan Pembela. Dengan bersandar pada analisis ini, Pengadilan membuat temuan faktual dan temuan hukum spesifik mengenai semua tuduhan utama dalam kasus Pembela dan Penuntut. Praktik ini agak tidak biasa pada Panel Khusus. Sebagai akibatnya, kedua kasus ini merupakan contoh terbaik untuk mengevaluasi bukti-bukti dan dalil-dalil yang digunakan Pengadilan mencapai kesimpulannya. Kasus Lolotoe

João França da Silva alias Jhoni França, José Cardoso Fereira alias Mouzinho, dan Sabino Gouveia Leite, didakwa bersama atas kejahatan terhadap kemanusiaan, termasuk pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan penindasan, yang dilakukan di kecamatan Lolotoe. Jhoni França adalah komandan milisi KMP di Lolotoe, José Fereira adalah wakil komandannya, dan Sabino Leite adalah kepala desa di Lolotoe. Setelah permulaan sidang Jhoni França dan Sabino Leite mengaku bersalah dan kasus mereka diputus. Putusan-putusan diberikan kepada masing-masing individu dalam setiap kasus setelah dilakukan persidangan dimana Jaksa mengetengahkan bukti untuk meyakinkan Pengadilan bahwa pengakuan bersalah tersebut memang didukung oleh pembuktian (sebagaimana disyaratkan oleh regulasi UNTAET 2000/30 Sec. 29a). Persidangan José Fereira terus berlanjut dan menghasilkan putusan bersalah. Dalam tahap tawar menawar tuntutan Jhoni França mengaku bersalah atas semua perbuatan penahanan dan penghilangan kemerdekaan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, serta atas penyiksaan terhadap Benedito da Costa, Adão Manuel, Mário Gonçalves, dan José Leite sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.103 Dalam mencapai temuan tersebut, Panel Khusus bersandar pada pengakuan terdakwa serta bukti kesaksian yang diajukan Penuntut Umum. Selain pengakuan terhadap hal-hal spesifik dalam dakwaan tersebut (alinea 20-48, 50-52, 53-59, 60-68) ia juga secara spesifik mengakui bahwa kejahatan yang dilakukannya adalah “bagian dari serangan yang luas dan sistematis terhadap penduduk sipil dengan pengetahuan/kesadaran penuh akan serangan-serangan tersebut” (putusan alinea 57). Karena pengakuan-pengakuan ini dibuat bertentangan dengan kepentinganya, serta dikuatkan

kesaksian dan tidak dibantah bukti lain, hal ini menjadi dasar kuat bagi temuan dan kesimpulan.104

Mengenai kejadian-kejadian di Lolotoe sebagaimana didakwakan, pengadilan membuat temuan-temuan berikut berkenaan masalah pelanggaran HAM berat dan tanggung jawab institusional:

• TNI di Lolotoe di bawah komando Letnan Bambang Indra “bekerja sama erat dengan dua kelompok milisi bersenjata utama,” yakni KMP dan DMP.

103 Putusan João França da Silva, Kasus No, 4a/2001, Putusan tanggal 5 Desember 2002.

104 Dalam mencapai temuannya pengadilan bersandar pada pengakuan Terdakwa, kesaksian Amelio Belo, Aúrea Cardoso, Rosa

de Jesus, Adão Manuel, Herminio da Graça, Mariana da Cunha, Korban A, Korban B, dan Korban C, serta laporan KPP HAM dan Sekjen PBB mengenai Timor Timur.

• TNI di Lolotoe di bawah komando Letnan Bambang Indra memberi milisi dukungan logistik dan kompensasi untuk partisipasi mereka dalam aksi-aksi terhadap pendukung kemerdekaan sipil.

• Antara April dan Oktober 1999 TNI dan milisi KPM di Lolotoe melaksanakan tindak kekerasan terhadap penduduk sipil yang dianggap pro-kemerdekaan atau terkait dengan pendukung pro-kemerdekaan. Serangan-serangan ini termasuk penangkapan dan penahanan ilegal, pembakaran, pembunuhan, penyiksaan dan penindasan. Selain itu, “banyak tindakan diarahkan khususnya terhadap perempuan yang suaminya dianggap Falintil... atau pendukung kemerdekaan.” • Serangan-serangan ini mencakup penyiksaan dan penangkapan serta penahanan

ilegal atas Benedito da Costa dan istri serta anak-anaknya oleh KMP. KMP tengah mencari anaknya, Mário, yang diyakini sebagai anggota Falintil. Mereka dibawa oleh KMP ke Koramil (Komando Rayon Militer) di Lolotoe dimana mereka ditahan secara ilegal selama hampir 3 bulan.

• Adão Manuel dijadikan sasaran sebagai pendukung kemerdekaan. Ia ditahan secara ilegal setelah diambil paksa oleh anggota KMP dari gereja di Lolotoe. Ia ditahan, disiksa dan diinterogasi oleh KMP di Koramil (Komando Rayon Militer). • Mário Gonçalves juga dijadikan sasaran dalam operasi KMP terhadap Desa Guda

karena pidato-pidatonya yang mendukung kemerdekaan. Sekitar 100 anggota KMP yang dipimpin Jhoni França memukul, menebas dengan parang, memotong telinganya dan memaksanya memakan telinganya sendiri. Ia kemudian ditahan bersama tahanan lain di Koramil (Komando Rayon Militer).

• José Leite adalah wakil sekretaris CNRT di Lolotoe. Ia dijadikan sasaran oleh KMP dan berulang kali dipukuli di bawah perintah Jhoni França di berbagai lokasi di Lolotoe, termasuk di depan kantor CNRT. Ia dibawa ke kantor Polisi “dimana mereka bertemu dengan petugas kepolisian Indonesia, Martin.” Ia terus diinterogasi dan dipukuli di Koramil (Komando Rayon Militer), dimana ia kemudian ditahan selama kurang lebih tiga bulan.

• Aurea Cardoso dijadikan sasaran bersama anak-anaknya karena ia dan suaminya adalah pendukung kemerdekaan. Ia diberi tahu oleh KMP “bahwa ia dan dua anaknya akan ditangkap milisi karena mereka tidak bisa menemukan suaminya...” Ia diinterogasi oleh Jhoni França perihal keberadaan suaminya dan ia mengancam Aurea dan anak-anaknya. Aurea dan anak-anaknya ditahan di Koramil (Komando Rayon Militer) sampai Juli 1999.

• Herminio de Graça dijadikan sasaran oleh KMP karena afiliasinya dengan CNRT. Ia ditahan oleh KMP dan dibawa ke rumah Jhoni França yang menanyainya mengenai Falintil. Keesokan harinya ia diinterogasi tentang Falintil oleh seorang sersan TNI. Ia kemudian ditahan di rumah Manuel da Costa, anggota TNI, sampai Juli 1999.

• Tanggal 20 Mei 1999, sekitar 50 KMP dan “beberapa TNI” pergi ke desa Guda. “Mereka berpidato kepada penduduk desa yang hadir mengatakan bahwa ada informasi penduduk desa itu mendukung Falintil dengan makanan dan bahwa sebagian perempuan di desa itu memiliki hubungan dengan anggota Falintil. Nama-nama Maria da Cunha dan Korban A, B, dan C dibacakan dari daftar. Mereka membawa Maria da Cunha ke Lolotoe dimana ia ditahan paksa selama enam malam sampai ia dibebaskan oleh Jhoni França.

• Bulan Mei 1999, Milisi KMP dan TNI pergi ke rumah Korban A, B, dan C. “Beberapa dari mereka mengenakan seragam TNI.” Mereka dibawa ke Lolotoe dimana mereka ditahan selama satu minggu oleh Jhoni França dan KMP yang lain. Mereka juga dipindah ke lokasi-lokasi lain dimana mereka dipaksa tinggal dan masak untuk Jhoni França dan yang lainnya.

Selain pengakuan atas dakwaan spesifik seperti tersebut di atas, terdakwa juga membuat pernyataan di pengadilan. Dalam pernyataannya, ia mengatakan bahwa ia dipaksa oleh komandan intelijen Indonesia, Sutrisno untuk bergabung dengan KMP karena ia takut akan dibunuh. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa,

“mls dan TNI mula menjalankan operas mencar pemuda pro-kemerdekaan”.

[“the militia and TNI started to carry out operations searching for pro independence youths.”]

Ia juga menyatakan bahwa ia menerima perintah dari TNI:

“Saya... dber tahu harus melakukan apa oleh TNI. Setelah saya menjad mls saya harus memuaskan hat TNI yang menyuruh saya member tahu para pemuda untuk bergabung dengan pro-otonom.”

[“I … was told what to do by the TNI. After I became a militia I had to satisfy the hearts of the TNI who ordered me to tell the youth to join the pro- autonomy.” ]

Ia mengulang-ulang secara panjang lebar tentang hal ini.

Dalam mengevaluasi temuan-temuan ini tampaknya terdapat bukti di pengadilan yang mendukung temuan spesifik terkait dengan tuduhan tindak pidana di

Lolotoe. Bukti tersebut diperoleh dari pernyataan bersalah, pengakuan spesifik, dan pernyataan terdakwa. Bukti mendukung tuduhan penangkapan dan penahanan ilegal, khususnya yang ditujukan terhadap penduduk sipil yang diyakini sebagai pendukung pro-kemerdekaan. Bukti juga mendukung temuan mengenai pemukulan dan penyiksaan yang ditujukan terhadap pendukung pro-kemerdekaan. Selain kesimpulan-kesimpulan spesifik dimaksud terdapat bukti pula yang mendukung temuan bahwa tindak pidana yang terjadi bukan merupakan tindakan acak dan terpisah, melainkan pelanggaran hak asasi manusia berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Temuan-temuan menunjukkan banyak serangan terhadap penduduk sipil di Lolotoe. Selain itu, serangan tersebut mengikuti suatu pola: Kelompok KMP, di bawah komando Jhoni França atau José Cardoso, memperoleh informasi mengenai pendukung kemerdekaan dan keluarga mereka. Mereka menggunakan

daftar-daftar dan informasi ini dalam operasi yang dilakukan terhadap penduduk sipil tak bersenjata, termasuk perempuan dan anak-anak, atas dasar kecurigaan melakukan kegiatan pro-kemerdekaan. Operasi-operasi ini mengikuti pola yang serupa: desa-desa didatangi oleh kelompok KMP yang terorganisasi, orang-orang tertentu ditahan dan dibawa ke markas Koramil (Komando Rayon Militer) di Lolotoe untuk diinterogasi. Yang laki-laki dipukuli berulang kali. Anggota CNRT biasanya dipukuli di tempat-tempat umum. Beberapa korban disiksa. Semua tahanan disekap di markas Koramil (Komando Rayon Militer), atau dalam beberapa kasus, di lokasi lain yang terkait dengan TNI. Mereka semua dibebaskan pada waktu bersamaan bulan Juli 1999. Kesimpulan-kesimpulan tersebut didukung oleh pengakuan spesifik Jhoni França. Tidak ada bukti meringankan yang diajukan di pengadilan karena adanya pengakuan bersalah ini. Dalam hal tanggung jawab institusional, terdapat bukti kuat yang menunjukkan hubungan erat dan koordinasi kegiatan TNI dengan milisi pada tingkat operasional di Lolotoe. Penggunaan markas Koramil (Komando Rayon

Militer) sebagai fasilitas penahanan bagi orang-orang yang diambil paksa dari rumahnya oleh milisi, partisipasi bersama dalam interogasi, pemindahan orang-orang dari lokasi milisi ke lokasi TNI dan sebaliknya, serta kehadiran perwira dan anggota TNI selama operasi dan kegiatan-kegiatan lain jelas ditunjukkan oleh bukti serta keterangan saksi juga terdakwa sendiri. Selain itu, pernyataan bersalah oleh para terdakwa menunjukkan adanya kendali umum oleh TNI atas operasi-operasi dan keanggotaan kelompok milisi ini. Walaupun pernyataan demikian mungkin saja dilakukan untuk mengalihkan tanggung jawab Terdakwa, hal ini dikuatkan bukti lain, serta bukti yang diajukan dalam kasus-kasus Lolotoe lainnya, seperti yang akan terlihat berikut.

Sabino Leite pada awalnya mengajukan pernyataan tidak bersalah pada permulaan sidang. Setelah pengadilan berlangsung selama beberapa bulan dan setelah Penuntut Umum mengajukan banyak saksi, pada tanggal 11 November 2002, Sabino Leite mengubah pernyataannya menjadi bersalah atas tiga dakwaan; penahanan dan penghilangan kemerdekaan, penyiksaan, dan “tindakan tidak manusiawi lain.” Jaksa Penuntut Umum setuju untuk menarik kembali dakwaan penindasan. Dalam Putusannya, Pengadilan memeriksa bukti-bukti guna menentukan, sebagaimana disyaratkan oleh regulasi UNTAET 2001/25 29A.1, jika bukti sudah cukup untuk mendukung pernyataan bersalah.105 Dalam temuan resminya (Bagian F dari Putusan, hal. 21), Pengadilan sampai pada serangkaian kesimpulan mengenai fakta dalam kasus ini. Temuan pertama terkait dengan serangan meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil, seperti disyaratkan untuk mendukung temuan bersalah atas kejahatan terhadap kemanusiaan. Hal signifikan di sini adalah bahwa Pengadilan secara spesifik mengutip keterangan 13 saksi yang disebut namanya sebagai dasar bagi teman, selain laporan KPP HAM dan PBB. Akan tetapi disayangkan bahwa dalam temuan-temuan individual mengenai konteks, mereka tidak merujuk pada kesaksian mana yang mendukung pokok-pokok spesifik di atas. Namun setidaknya mereka telah menunjukkan bahwa dasar bukti untuk temuan mengenai konteks diambil dari kesaksian dan pernyataan saksi dalam kasus ini.

Atas dasar pengakuan terdakwa dan bukti keterangan saksi Putusan Pengadilan membuat temuan-temuan berikut tentang pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan:

• Tentang situasi di Lolotoe itu sendiri, Pengadilan menemukan bahwa TNI “di bawah Komando dan kendali Letnan Dua Bambang Indra bekerja sama erat dengan dua kelompok milisi utama, yakni Kaer Metin Merah Putih dan Dadurus Merah Putih. (alinea 91).

• TNI di Lolotoe di bawah komando Letnan Bambang Indra memberi dukungan logistik dan imbalan kepada milisi atas partisipasi mereka dalam aksi-aksi melawan warga sipil pendukung kemerdekaan. (alinea 93)

• TNI dan Polri membiarkan milisi “bertindak dengan impunitas“ [act with impunity]. (alinea 92)

• Antara April dan Oktober 1999, TNI dan milisi KMP di Lolotoe menjalankan tindakan kekerasan terhadap penduduk sipil yang dianggap pro-kemerdekaan atau

terkait dengan pendukung pro-kemerdekaan. Serangan-serangan ini mencakup antara lain penangkapan dan penahanan ilegal, pembakaran, pembunuhan, penyiksaan dan penindasan. Selain itu, “banyak tindakan ditujukan khususnya terhadap perempuan yang suaminya dianggap Falintil... atau pendukung kemerdekaan.” (alinea 94)

• Terdakwa Sabino Leite adalah Kepala Desa Guda di Kecamatan Lolotoe. Ia menyediakan informasi kepada KMP mengenai identitas penduduk sipil yang menjadi pendukung kemerdekaan atau memiliki hubungan dengan Falintil, supaya bisa dijadikan sasaran oleh milisi KMP. (alinea 95-96)

• Ketika Mário Gonçalves, seorang pendukung CNRT yang memberi pidato mendukung kemerdekaan di desa Guda, ditahan oleh milisi KMP, Sabino Leite memerintahkan anggota KMP untuk memukulinya di depan kantor CNRT. Sabino Leite menghasut anggota milisi untuk memotong telinga Mário. Sabino Leite dan anggota-anggota milisi kemudian memaksa korban untuk memakan telinganya sendiri di bawah ancaman mati. Ia kemudian dibawa ke Koramil (Komando Rayon Militer), dimana ia ditahan sekitar 3 bulan. (alinea 99) • Sabino Leite terlibat dalam penangkapan dan penahanan José Gouveia Leite,

wakil sekretaris CNRT di Guda. Setelah didorong oleh Sabino Leite (anak baptisnya) untuk datang ke Lolotoe, ia dipukuli oleh KMP di depan kantor CNRT. Ia kemudian dibawa oleh KMP ke Mapolres dan diinterogasi oleh petugas polisi Indonesia bernama Martin. Ia kemudian dibawa ke Koramil (Komando Rayon Militer), dimana ia dipukuli dan ditahan.

• Sabino Leite terlibat dalam interogasi Herminio da Graça dan memerintahkannya pergi ke Koramil (Komando Rayon Militer) dimana ia ditahan dan diinterogasi. (alinea 104)

• Sabino Leite memberi informasi kepada KMP mengenai Korban A, B dan C yang mengakibatkan mereka ditahan karena mendukung anggota Falintil dengan makanan. Mereka ditahan dalam operasi bersama yang dilakukan oleh KMP dan TNI, bersenjatakan senapan otomatis. Korban A, B dan C dibawa ke rumah Sabino Leite dimana mereka ditahan selama kurang lebih seminggu. Selama itu mereka dipaksa memasak untuk milisi dan keluarga Sabino Leite. Mereka dipindahkan beberapa kali sesudah itu, namun sekali lagi ditahan selama sebulan di rumah Sabino Leite dimana mereka sekali lagi dipaksa memasak. Selama mereka ditahan mereka dijaga dan hidup di bawah ancaman mati jika mereka tidak menurut. (alinea 105)

• Ketika Benedito da Costa dan yang lainnya ditahan di Koramil (Komando Rayon Militer) mereka dibebaskan bulan Juli 1999, Sabino Leite mengetik surat pembebasan mereka. (alinea 102)

• Sabino Leite mengakui bahwa selama penahanan mereka, Benedito da Costa, Amelio Belo, Adão Manuel, Mário Gonçalves, José Gouveia Leite, Aurea Cardoso dan kedua anaknya disekap di dalam ruangan kecil dengan fasilitas sanitasi yang tidak memadai. Para tahanan berada dalam kondisi yang sangat tidak higienis dan tidak diberi makanan dan air secara reguler. (alinea 161)

• Warga sipil Timor Timur, seperti yang disebut dalam alinea sebelumnya, menjadi subyek “kondisi tidak manusiawi yang dibuat karena pendapat mereka mengenai status politik masa depan Timor Timur...” Sabino Leite mengakui di hadapan Pengadilan bahwa “ia menyadari konteks dimana tindakannya mengekspos orang-orang pada kondisi yang tidak manusiawi dilakukan. Ia tahu bahwa ia berpartisipasi dalam sebuah serangan yang meluas dan sistematis terhadap penduduk sipil.” (alinea 162)

Sabino Leite membuat pernyataan kepada Pengadilan mengenai konteks bagaimana ia menjadi kepala desa pada tahun 1999. Pernyataan tersebut dibuat sebagai bagian dari pengakuan bersalahnya. Tentunya hal ini dimaksudkan untuk mengalihkan sebagian tanggung jawab darinya, namun bagaimanapun juga, cukup dapat memberi gambaran mengenai kerja sama antara penguasa sipil dan militer Indonesia dengan milisi pro-otonomi. Sabino Leite mencatat bahwa ia adalah PNS pada tingkat terendah. Oleh karena itu, katanya, ia berada di bawah kekuasaan TNI dan milisi, karena “ketika itu seluruh hak dan kekuasaan sipil diambil alih oleh TNI dan milisi di bawah kuasa mereka” (alinea 168). Ia membela keikutsertaannya dalam “rezim” tersebut dengan mengatakan bahwa ia dan keluarga akan berada dalam bahaya bila tidak “mematuhi perintah TNI dan milisi” (alinea 168). Ia menyatakan bahwa kekuasaannya hanya bersifat simbolis

“karena semua kewenangan ada d bawah TNI dan mls... jad saya menganggap TNI, SGI dan mls sepert Tuhan kedua. Saya bcara berdasarkan apa adanya, tap stuas yang saya alam d masa lalu sangat berbahaya dalam tndakan brutal [sc] TNI dan mls terhadap penduduk spl dan saya” (alinea 168).

Yang tampak cukup mencolok adalah caranya menggambarkan TNI dan milisi sebagai sepasang institusi yang bertindak sebagai satu kesatuan yang menjalankan kekuasaannya di Lolotoe. Hal ini konsisten dengan kesaksiannya dan keterangan saksi lain. Demikian pula dengan kesaksian João França da Silva, yang dalam kasus yang dilakukan secara bersama/penyerta di atas menggambarkan situasi serupa, walaupun ia adalah komandan KMP. Cara-cara milisi dan TNI menggunakan Koramil (Komando Rayon Militer) sebagai markas dan bagaimana mereka

menjalankan operasi dari markas tersebut menunjukkan kedekatan hubungan yang sama. Kesaksian kedua pelaku dan para korban adalah sama dan tidak terbantahkan dalam menggambarkan bagaimana KMP mengintegrasikan kegiatan mereka dengan kegiatan Koramil (Komando Rayon Militer). Para tahanan dipindahkan oleh KMP dari markas Koramil (Komando Rayon Militer) ke rumah-rumah mereka (atau rumah Sabino Leite) dan kembali lagi. Interogasi dan pemukulan dimulai di luar markas Koramil (Komando Rayon Militer) oleh KMP dan kemudian berlanjut ketika mereka membawa orang-orang kembali untuk ditahan di situ. Sebagaimana terlihat, pola ini adalah sama seperti yang ditemukan dalam kasus Lospalos.

Perlu ditekankan bahwa tidak ada bukti dalam kedua kasus Lolotoe yang menunjukkan adanya hubungan antara operasi TNI/Milisi/Pejabat Sipil dan

tingkatan lebih tinggi dalam komando militer. Fokus dari bukti yang diketengahkan adalah sepenuhnya pada tingkat lokal. Akan tetapi pada tingkatan tersebut bukti konsisten dan tidak dibantah baik oleh Pembela maupun Penuntut. Bukti dari