• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENCARIAN FAKTA

KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN

Setelah menimbang penafsiran historis mengenai peristiwa tahun 1999 dari berbagai sudut pandang, Laporan selanjutnya akan membahas kesaksian yang diperoleh dalam proses Pencarian Fakta terkait pertanyaan apakah kejahatan terhadap kemanusiaan telah terjadi di Timor Timur pada tahun 1999.

Bukti Mengenai Serangan “Meluas” terhadap Penduduk Sipil

Pelanggaran HAM dapat dianggap sebagai serangan “meluas” terhadap penduduk sipil dari segi waktu, sebaran geografis atau skala kejadian. Di antara sekian banyak kejadian lain yang dilaporkan selama tahun 1999, ke-14 kasus prioritas dengan sendirinya telah memenuhi syarat sebagai suatu pelanggaran HAM terhadap penduduk sipil yang “meluas”, karena terjadi secara tidak acak, dalam urut-urutan yang berdekatan, selama rentang waktu yang terbatas, dan di berbagai lokasi geografis

di Timor Timur. Selain itu, banyak kasus-kasus ini menyangkut berbagai bentuk pelanggaran HAM berat. Ke-14 kasus prioritas yang ditinjau oleh Komisi adalah sebagai berikut:

1. Penyerangan dan pembunuhan di kompleks gereja Liquiça tanggal 4-6 April 1999; (Kabupaten Liquiça)

2. Penyerangan dan pembunuhan penduduk sipil di Cailaco tanggal 12 dan 13 April 1999; (Kabupaten Bobonaro)

3. Penyerangan dan pembunuhan di kediaman Manuel Carrascalão, tanggal 17 April 1999; (Kabupaten Dili)

4. Penyerangan dan pembunuhan di kompleks Diosis Dili, tanggal 5 September 1999 dan kekerasan di kediaman Uskup Belo, tanggal 6 September 1999; (Kabupaten Dili)

5. Penyerangan dan pembunuhan di kompleks gereja Suai tanggal 6 September 1999; (Kabupaten Covalima)

6. Penyerangan dan pembunuhan di Polres Maliana, tanggal 8 September 1999; (Kabupaten Bobonaro)

7. Pembunuhan-pembunuhan di Passabe, Oecussi, tanggal 8-10 September 1999; (Kabupaten Oecussi)

8. Pemerkosaan dan pembunuhan [nama dihapus], di Ermera tanggal 13 September 1999; (Kabupaten Ermera)

9. Pembunuhan dan penghilangan paksa oleh pasukan Batalyon Infantri 745, 10-21 September 1999; (merentang di Kabupaten Lautém, Baucau, Manatuto dan Dili)

10. Pembunuhan rombongan Biarawati dan Frater di Lautém, 25 September 1999; (Kabupaten Lautém)

11. Penghilangan paksa dan pembunuhan Mau Hodu, September 1999; (merentang dari Kupang, NTT, Kabupaten Bobonaro dan di Timor Barat.) 12. Pemindahan paksa, April – September 1999

13. Kekerasan berbasis Jender pada tahun 1999

14. Pembakaran dan penghancuran harta milik masyarakat pada tahun 1999 Dari rekonstruksi ke-14 kasus prioritas dan informasi lain yang dikumpulkan dalam Pencarian Fakta, Komisi mengamati bahwa pelanggaran-pelanggaran dilakukan selama periode Januari sampai Oktober 1999. Analisis berbagai kasus menunjukkan bahwa waktu kejadian tampaknya terpola seputar beberapa faktor, termasuk periode kampanye Jajak Pendapat, perekrutan milisi, atau kehadiran/ ketidakhadiran pengamat internasional. Secara umum terdapat dua periode puncak pelanggaran HAM: 1) April-Mei, dan 2) September 1999. Konsentrasi kekerasan dalam rentang waktu ini bukan merupakan kebetulan, melainkan menunjukkan adanya hubungan antara kedua rentang waktu tersebut dengan konteks politik lebih luas dimana kekerasan terjadi, seperti pengukuhan milisi dalam serangkaian apel yang diselenggarakan antara April sampai Mei, serta penyelenggaraan Jajak Pendapat itu sendiri pada bulan September. Komisi telah menimbang beberapa faktor yang menurut para saksi menyertai puncak kekerasan ini dalam periode September, yaitu: • Peningkatan teror dan intimidasi penduduk sipil sebelum Jajak Pendapat

• Pengumuman hasil Jajak Pendapat dengan tuduhan kecurangan oleh staf UNAMET dan LSM Internasional di Dili.

• Pernyataan yang dikeluarkan oleh Xanana Gusmão.19

• Eksodus pengamat internasional dari Timor Timur, termasuk staf UNAMET, polisi sipil PBB, wartawan asing dan pengamat Jajak Pendapat.

Konsentrasi pelanggaran HAM sepanjang periode penting ini tercermin dalam rentang waktu kejadian ke-14 kasus prioritas. Empat dari kasus dimaksud terjadi pada masa sebelum Jajak Pendapat antara April-Mei, dan sepuluh lainnya terjadi setelah penyelenggaraan Jajak Pendapat.

Pola pelanggaran yang luas juga dapat dilihat dari sebaran geografis jenis-jenis pelanggaran yang serupa. Seperti yang terlihat dalam 14 kasus prioritas dan kasus-kasus lainnya yang dianalisis oleh Komisi, insiden-insiden kekerasan ini dapat dibagi secara geografis yaitu; wilayah Timur (Lautém, Baucau, Viqueque, Manatuto), Wilayah Tengah (Dili, Aileu, Ainaro, Manufahi) dan Wilayah Barat (Liquiça, Ermera, Covalima, Bobonaro, Oecussi).

Penelitian dan Pencarian Fakta mengindikasikan bahwa wilayah-wilayah ini mengalami pelanggaran HAM berat, khususnya selama masa puncak setelah Jajak Pendapat tahun 1999. Akan tetapi, terdapat variasi lintas wilayah yang tercermin dalam penentuan 14 kasus tersebut.20

Analisis atas ke-14 kasus prioritas juga menunjukkan bahwa terdapat berbagai bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi:

1) Pembunuhan (pada setiap kasus prioritas)

2) Penghilangan Paksa (setidaknya dua kasus prioritas)

3) Deportasi dan/atau Pemindahan Paksa (setidaknya lima kasus prioritas) 4) Kekerasan Seksual (setidaknya dua kasus prioritas)

5) Penyiksaan dan Perlakuan tidak Manusiawi (setidaknya dua kasus prioritas) 6) Penahanan Ilegal (setidaknya tiga kasus prioritas)

7) Penindasan (kemungkinan dalam semua kasus prioritas)

8) Perbuatan tidak Manusiawi lainnya (kemungkinan dalam semua kasus prioritas) Lebih jauh lagi, lima dari kasus prioritas di atas juga mencakup penghancuran harta benda (termasuk pembakaran gedung publik dan rumah pribadi) sebagai salah satu bentuk kejahatan yang diuraikan.

Berdasarkan analisis ke-14 kasus prioritas faktor menunjukkan adanya bukti substansial bahwa serangan tersebut terjadi secara meluas dan ditujukan terhadap penduduk sipil. Faktor-faktor yang mendukung unsur “meluas” antara lain jumlah insiden, banyaknya korban, sebaran geografis yang luas, pengulangan dalam beberapa bulan, dan mencakup berbagai bentuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Faktor-faktor yang mengindikasikan terdapat banyak bukti bahwa serangan “diarahkan terhadap penduduk sipil” mencakup identitas para korban, keadaan ketika mereka diserang, dan lokasi dimana mereka diserang serta bentuk-bentuk kejahatan yang

19 Pernyataan Xanana Gusmão merupakan seruan untuk membela diri.

dilakukan (misalnya, kekerasan seksual, deportasi dan penindasan). Faktor-faktor ini juga didukung oleh bukti mengenai bagaimana warga sipil dijadikan sasaran secara sistematis dalam penyerangan dimaksud. Bukti mengenai tersebut akan dibahas berikut ini.

Bukti Mengenai Sifat “Sistematis” Serangan terhadap Penduduk Sipil

Ada berbagai cara untuk menentukan apakah serangkaian pelanggaran HAM terjadi secara “sistematis,” ketimbang acak, terisolasi atau spontan. Salah satu petunjuk penting serangan sistematis adalah penargetan kelompok penduduk sipil tertentu berdasarkan lokasi geografis, afiliasi politik, kelompok etnis, agama atau tanda-tanda identitas lainnya. Dengan kata lain, para korbannya tidak hanya ditentukan secara acak, namun dipilih atas dasar persepsi karakteristik tertentu. Faktor-faktor penting lainnya untuk menganalisis sifat “sistematis” suatu serangan mencakup pola yang mendasari serangan dan bukti yang menunjukkan adanya organisasi oleh para pelaku. Jenis-jenis bukti yang menunjukkan adanya organisasi sistematis antara lain: rapat perencanaan, pengarahan, kepemimpinan yang memiliki disiplin, garis komando operasional yang mengeluarkan perintah, pelatihan, dukungan logistik atau keuangan, pemberian senjata atau peralatan, dan rencana operasi.

Faktor-faktor analitis lainnya untuk mengevaluasi bukti sifat “sistematis” suatu serangan berfokus pada pertanyaan: apakah pelanggaran HAM yang terjadi merupakan akibat dari suatu tindakan yang tampak sebagai bagian dari operasi keamanan strategis dan terkoordinasi? Sebagai contoh, apakah para pelaku

menggunakan penghadang jalan, daftar nama, operasi “sweeping”, penggeledahan, bentuk-bentuk operasi terencana dan bersasaran, atau metode-metode penahanan. Sebagaimana disebut di atas, tidak ada syarat untuk menunjukkan adanya suatu kebijakan pemerintah agar dapat menetapkan unsur sistematis.

Bagian berikutnya akan menyoroti informasi-informasi paling penting mengenai pelanggaran HAM “sistematis” yang diterima dalam proses Pencarian Fakta. Karena seluruh informasi mengenai perbuatan sistematis dalam ke-14 kasus prioritas berhubungan dengan institusi milisi pro-otonomi, pejabat pemerintah sipil, kepolisian atau militer, Komisi hanya akan mengevaluasi bukti terkait operasi sistematis mereka. Komisi juga akan mengevaluasi informasi tambahan mengenai pelanggaran terhadap kelompok-kelompok pro-otonomi dengan menggunakan standar yang sama sebagaimana akan diuraikan pada bagian Bab ini di bawah judul “Kejahatan Pro-Kemerdekaan dan Tanggung Jawab Institusional.”

1) Penargetan korban berdasarkan ciri-ciri khusus

Komisi menerima berbagai keterangan yang secara kuat menunjukkan bahwa

korban-korban telah secara sengaja dan sistematis dipilih untuk diserang berdasarkan persepsi identitas politik mereka.

Sebagai contoh, dalam kasus Mário Gonçalves, korban menyatakan bahwa ia menjadi sasaran kekerasan oleh milisi Kaer Metin Merah Putih (KMP) karena ia dikenal luas sebagai pendukung kemerdekaan. Keterlibatan Mário Gonçalves dalam Falintil dan gerakan klandestin sudah terjadi sejak tahun 1993. Ia bersaksi bahwa tahun 1999, Jhoni França, komandan KMP Lolotoe, berusaha memaksanya untuk mendukung

otonomi. Akibat adanya tekanan ini, ia melarikan diri ke hutan untuk tinggal bersama Falintil. Belakangan ia ditangkap oleh kelompok milisi tersebut. Menurut keterangannya, ketika ia ditangkap, Jhoni França dan Mouzinho (komandan milisi lainnya) secara terang-terangan menyatakan alasan mereka untuk menjadikannya sebagai sasaran serangan. Menurut Mário Gonçalves, kedua pemimpin milisi ini membawa senapan otomatis. Saksi menyatakan kepada Komisi bahwa di hadapan 37 anggota milisi lainnya yang mengunakan senjata rakitan, kedua pemimpin milisi itu mengatakan kepada Gonçalves bahwa ia adalah GPK21 dan karena afiliasi dengan pihak pro-kemerdekaan ia disiksa dan diancam akan dibunuh.22

Mário Gonçalves lebih lanjut menerangkan bahwa setelah ia ditangkap ia dianiaya dan ditahan selama 45 hari bersama 12 orang lainnya yang sudah dikenal sebagai pendukung kemerdekaan di balai desa Lolotoe. Gonçalves menyatakan bahwa selama periode penahanan ini, baik polisi maupun tentara tidak melakukan apa-apa untuk mencegah, atau menghentikan tindakan milisi terhadap pendukung kemerdekaan. Saksi berpendapat bahwa milisi KMP terlihat bertindak tanpa hambatan apapun terhadap pendukung kemerdekaan di kecamatan Lolotoe. Sebagai rangkuman, adanya penargetan korban spesifik yang dapat dilihat tidak hanya dari pernyataan-pernyataan ancaman oleh milisi namun juga dari kesamaan identitas politik orang-orang yang ditahan.

Komisi menerima pernyataan dari mantan anggota milisi, yang mendukung pandangan bahwa beberapa korban dijadikan sasaran karena afiliasi politik mereka. Marcelo Soares, mantan anggota milisi Darah Merah Integrasi (DMI), menjelaskan bahwa korban-korban dijadikan sasaran oleh organisasinya di Ermera sesuai dengan afiliasi politik mereka. Setelah pengumuman hasil Jajak Pendapat ia lari ke Atambua pada tanggal 6 September. Akan tetapi pada tanggal 7 September 1999 ia diminta oleh Lucas Martins (salah satu komandan milisi DMI) untuk kembali ke Ermera. Saksi menjelaskan bahwa setelah ia, komandannya dan anggota milisi lainnya kembali ke Ermera, mereka membunuh orang-orang yang dicurigai sebagai pro-kemerdekaan.23 Selain membunuh, menurutnya, mereka juga menjarah persediaan beras dan kopi, dan traktor milik penduduk.

Kesaksian lain mengenai penargetan korban-korban spesifik diperoleh dari saksi dalam kasus prioritas lainnya di kabupaten Oecussi. Marcus Baquin selamat dari pembunuhan massal penduduk sipil dari Passabe. Ia menerangkan kronologi penyerangan yang dimulai pada tanggal 8 September 1999 ketika komandan milisi Sakunar, Gabriel Kolo bersama anggotanya, dan Anton Sabraka dari TNI, menyerang desanya dan dua desa lainnya di wilayah tersebut serta membakar semua harta milik penduduk. Akibat penyerangan tersebut, ia dan beberapa penduduk desanya lari ke hutan di sekitar desanya. Ketika kembali ke desanya ia diberitahu 18 orang telah meninggal dalam serangan tersebut.24 Marcus Baquin menerangkan kepada Komisi bahwa pada saat penyerangan dan pembakaran desanya, semua rumah dibakar namun yang dijadikan sasaran pembunuhan adalah orang-orang yang dianggap

21 Lihat Daftar Istilah untuk penjelasan mengenai GPK.

22 Mário Gonçalves, Dengar Pendapat KKP V, Dili, 27 September 2007, h. 7, 3 dan 6. 23 Marcelo Soares, Pernyataan, Belu, NTT, 26 Januari 200, h. 1-8.

pendukung kemerdekaan.25 Setelah serangan, ketika penduduk kembali ke desa, mereka dibawa oleh milisi untuk bergabung dengan sekelompok besar penduduk yang sedang dibawa menuju Timor Barat pada tanggal 9 September 1999. Semua orang yang mereka bawa ke Imbate didaftar di kantor desa.

Menurut Baquin, pada sore hari 74 laki-laki dipilih dari keluarga-keluarga yang dikumpulkan sebagai pengungsi di kantor desa Imbate. Mereka diikat berdua-dua. Kemudian orang-orang ini digiring oleh milisi yang dipimpin Gabriel Kolo, dan Anton Sabraka, menuju perbatasan Timor Timur. Ia menerangkan bahwa perjalanan ini terjadi secara teratur dan tertata sedemikian rupa sehingga para tahanan berjalan beriringan dan dijaga oleh anggota milisi di sekeliling (depan, kiri, kanan dan belakang). Ia menerangkan bahwa kelompok tersebut berangkat dari Kefamenanu (Timor Tengah Utara) pada malam hari tanggal 9 September 1999 dan dini hari tanggal 10 September 1999, tepat setelah melintasi perbatasan Timor Timur 65 orang dibunuh secara masal. Saksi menyatakan bahwa sebagian besar korban meninggal akibat ditebas parang oleh Gabriel Kolo bersama anggotanya, serta ditembak oleh Anton Sabraka. Dalam serangan itu sisi wajah dan telinga kanan Marcus Baquin terkena tebasan parang, ia terjatuh dan sudah dianggap mati. Baquin selamat dari serangan tersebut, namun bekas lukanya masih tampak pada wajahnya.26 Dalam kesaksian di atas, terlihat bagaimana para pelaku menunjukkan cara-cara mereka memilih sasaran secara sistematis sebagai berikut:

• Memilih dan memisahkan korban dari kelompok yang lebih besar untuk dibunuh, termasuk memisahkan laki-laki dari perempuan dan anak-anak. • Membatasi pergerakan korban-korban terpilih dengan cara yang berbeda dari

kelompok-kelompok lainnya (yakni mengikat para laki-laki berdua-dua). Unsur-unsur operasi “sistematis” lainnya dalam kesaksian Baquin antara lain: • Struktur komando yang dapat diidentifikasi (Gabriel Kolo dipanggil sebagai

“komandan”).

• Koordinasi dua serangan (pembakaran dan pembunuhan) pada dua tanggal berbeda oleh banyak anggota milisi bersama dengan seorang anggota TNI. Juga perlu ada koordinasi signifikan untuk membawa sekelompok besar penduduk sipil dari Oecussi ke Imbate, dan mengikat para warga laki-laki serta menggiringnya kembali ke Timor Timur. Formasi gaya militer yang dikontrol ketat dalam menggiring para tahanan kembali ke Timor Timur juga menunjukkan adanya organisasi dan koordinasi signifikan.

• Adanya pencatatan teratur para penduduk sipil yang dibawa ke Imbate sebelum mereka dipisahkan dan dikumpulkan untuk digiring, dan

• Pengaturan waktu serangan sehingga terjadi pada malam hari, ketika para tahanan telah melintas kembali ke Timor Timur.27

25 Marcus Baquin, Pernyataan, Dili, 23 September 2007, h. 1: “Ketika serangan tersebut terjadi, sebagian besar penduduk dari

Desa Bobometo melarikan diri dan bersembunyi di hutan sekitar Desa Bobometo. Alasan penyerangan ke Desa Bobometo menurut Marcus Baquin karena penduduk di desa tersebut memilih untuk merdeka. Menurut Marcus Baquin, penduduk di Desa Bobometo terdiri dari pendukung kemerdekaan dan pendukung otonomi. Akan tetapi ketika rumah-rumah dan harta benda penduduk dibakar para anggota Sakunar tidak memilah-milah pilihan politik penduduk.” Baquin mengkonfirmasi informasi ini dalam Dengar Pendapat, h. 7.

26 Ibid., h. 5.

2) Pembentukan institusi dan struktur operasional

Di antara kesaksian paling rinci yang diterima Komisi adalah keterangan mengenai sifat sistematis operasi kelompok-kelompok pro-otonomi. Jumlah kesaksian mengenai operasi sistematis milisi terlalu banyak untuk dapat dibahas satu-persatu pada laporan ini. Uraian laporan berikut menyoroti sejumlah topik utama yang merupakan bukti substansial untuk dipertimbangkan oleh Komisi.

Pembentukan Milisi secara Sistematis

Pada akhir tahun 1998, Reformasi di Indonesia telah memungkinkan gerakan kemerdekaan Timor-Leste melakukan kegiatan secara lebih terbuka, baik di dalam maupun di luar Timor Timur. Sebagai contoh, Xanana Gusmão menjelaskan kepada Komisi bahwa ia dibebaskan dari penjara dan dipindahkan ke rumah tahanan di Salemba, Jakarta. Ia mengaitkan pembebasannya dari Cipinang dengan perubahan-perubahan politik positif yang menyertai Reformasi. Perubahan status tahanan tersebut memberinya kesempatan untuk berpartisipasi dalam proses penyelesaian persoalan Timor-Leste, termasuk berkomunikasi dengan Falintil, organisasi klandestin, Front Diplomatik dan wakil-wakil dari negara lain atau PBB. Saksi-saksi lain mengindikasikan bahwa pada saat yang sama ketika gerakan kemerdekaan mulai menarik manfaat sejak awal Reformasi, gerakan pro-otonomi menjadi semakin khawatir tentang status Timor Timur. Sebagai contoh, Tomás Gonçalves menjelaskan kepada Komisi bahwa ketika gerakan Reformasi di Indonesia menjatuhkan rezim Suharto Mei 1998, Tomás Gonçalves dengan beberapa tokoh integrasi mulai memikirkan status Timor Timur sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka mengkhawatirkan tidak adanya penyelesaian di PBB mengenai persoalan Timor Timur, dan khawatir bahwa perubahan ekonomi dan politik akibat Reformasi akan membawa perubahan lebih lanjut dalam status politik Timor Timur. Alhasil, bersama aparat pemerintah daerah Timor Timur, tokoh-tokoh integrasi mulai membahas dan merencanakan cara-cara bagaimana menghadapi perkembangan politik yang baru tersebut.28 Tokoh-tokoh pemimpin milisi lainnya, seperti Câncio Lopes de Carvalho dan Mateus Maía, menggambarkan keinginan mereka untuk membentuk milisi sebagai respon terhadap ancaman yang timbul dari para “Klandestin”, atau bentuk-bentuk serangan oleh pro-kemerdekaan lainnya.29 Sebagaimana terlihat dalam kesaksian yang didengar oleh Komisi, perencanaan oleh para pemimpin pro-otonomi ini dimulai pada tahun 1998 dan mencakup langkah-langkah untuk menggalang dana, senjata serta bentuk dukungan materiil dan moral lainnya guna membentuk milisi yang secara spesifik pro-otonomi.

Menurut Tomás Gonçalves, ABRI mengatakan bahwa mereka tidak dapat melakukan apa-apa untuk membantu kelompok-kelompok pro-otonomi tanpa perintah dari atas.30 Ia juga menyatakan bahwa pada bulan Oktober 1998, Mayor Jenderal

Prabowo Subianto datang ke Timor Timur, bersama Danrem Timor Timur (Kolonel

28 Tomás Gonçalves, Dengar Pendapat KKP V, Dili, 25 September 2007, h. 3.

29 Mateus Maía, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 30 Maret 2007, h. 5-7, 9; Câncio Lopes de Carvalho, Dengar Pendapat

KKP III, Jakarta, 5 Mei 2007, h. 8-9, 163.

Tono Suratman) dan Komandan SGI (Letnan Kolonel Yayat Sudradjat), mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh pro-integrasi.31 Disinyalir pada pertemuan ini mereka menyampaikan kepada para pemimpin pro-otonomi bahwa masalah status Timor Timur harus diselesaikan oleh orang Timor sendiri. Akan tetapi, setelah pertemuan bulan Oktober ini, Gonçalves menyatakan bahwa pertemuan-pertemuan rahasia lanjutan diadakan untuk merencanakan pembentukan milisi-milisi.32 Saksi AX menceritakan tentang salah satu pertemuan semacam itu. Ia menyatakan bahwa pada Desember 1998 di Koramil (Komando Rayon Militer) [lokasi dihapus] dilangsungkan sebuah pertemuan untuk membentuk [milisi dihapus] yang dipimpin oleh Dandim [lokasi dihapus], Letkol (Inf) [nama dihapus] dan Wakil Komandan Sektor [dihapus] Satgas Rajawali, Letkol (Inf) [dihapus].33

Kesaksian lainnya yang disampaikan kepada Komisi menceritakan mengenai beberapa pertemuan kelompok-kelompok pro-integrasi dengan pejabat sipil dan militer Indonesia. Tomás Gonçalves, Francisco Lopes de Carvalho dan José Estevão Soares dalam kesaksiannya merujuk dan saling menguatkan pernyataan masing-masing bahwa ada pertemuan-pertemuan di Dili, Jakarta dan Denpasar mengenai pembentukan milisi-milisi dimaksud. Menurut Gonçalves, pada bulan Februari 1999, ia bersama beberapa tokoh pro-integrasi, termasuk Francisco Lopes de Carvalho, Labut Melo, Equito Osório Soares, melangsungkan serangkaian pertemuan tingkat tinggi di Jakarta dengan berbagai pejabat. Walaupun ia cukup spesifik mengenai siapa saja yang hadir dalam pertemuan-pertemuan tersebut,

keterangannya jauh lebih umum dan kabur mengenai apa saja yang dibahas, dan oleh siapa, berkenaan dengan dukungan terhadap organisasi pro-otonomi. Pertemuan lain di Jakarta yang diceritakan Gonçalves kepada Komisi dilangsungkan dengan Menteri Transmigrasi, A.M. Hendropriyono. Menurut Tomás Gonçalves, pada saat itu Hendropriyono menyatakan bahwa dana dari Departemen Transmigrasi di Timor Timur dapat digunakan untuk apa saja. Hendropriyono bahkan dikatakan menawarkan seorang Jenderal untuk memimpin di Timor Timur.34

Setelah pertemuan-pertemuan untuk menggalang dukungan bagi pembentukan milisi-milisi pro-otonomi di Jakarta, Gonçalves dan rekan-rekannya kembali ke Timor Timur. Ia menyatakan sekembalinya ke Dili pada bulan Maret 1999, ia juga bertemu dengan Panglima KODAM IX/Udayana, Mayor Jenderal Adam Damiri, dan Kepala Stafnya, Brigadir Jenderal Mahidin Simbolon, di Denpasar. Inti pembicaraan

31 Ibid., h. 3.

32 José Estevão Soares, Dengar Pendapat KKP IV, (Denpasar, 24 Juli 2007), h. 5: “Jadi, yang terjadi setelah itu pihak TNI

dan ABRI kehadiran di sana hanya secara simbolis menurut saya, secara simbolis kehadiran di sana. Dan, saya pernah saya ingat waktu suatu ketika Prabowo, Pak Prabowo bicara dengan kami di Hotel Dili. Dia katakan seperti ini, ”kalian tidak ada lagi dukungan. Dari pihak Jenderal, saya dan barisan saya satu di depan satu di belakang mungkin masih mendukung kalian, selebihnya sudah tidak ada yang mendukung kalian.” Jadi, saya sudah merasa bahwa Indonesia bukannya mau mempertahankan Timor Timur tapi justru membiarkan supaya Timor Timur dilepaskan begitu saja.”

33 Saksi AX, Dengar Pendapat Tertutup, 2007, h. 9.

34 Tomás Gonçalves, Dengar Pendapat KKP V, Dili, 25 September 2007, h. 4: “Pada saat makan malam inilah dibicarakan

mengenai siapa saja yang memilih untuk dapat berintegrasi dengan Indonesia akan dibantu senjata dan dana. Pada saat makan malam ini hadir juga adik Pak Presiden Habibie. Setelah itu kami mengadakan pertemuan dengan Menteri Transmigrasi yaitu Pak Hendro. Pada saat itu beliau mengatakan bahwa dana-dana dari Departemen Transmigrasi yang ada di Timor-Leste bisa digunakan untuk membentuk milisi atau digunakan untuk apa saja, dan beliau juga menawarkan apakah kelompok ini perlu salah seorang Jenderal untuk memimpin di Timor-Leste.“

mereka adalah untuk segera membentuk sebuah satuan bersenjata dimana TNI akan memberi bantuan finansial dan dukungan lainnya.35

Menurut kesaksian Francisco Lopes de Carvalho, Mayor Jenderal Zacky Anwar Makarim dan beberapa perwira militer bertemu dengan para pendiri BRTT. Dalam pertemuan tersebut Carvalho menyampaikan pernyataan sebagai berikut:

“Terakhr tu rapat d rumahnya Domngos blang, ‘n fifty-fifty.’ Itu kata Pak Zacky, ‘fifty-fifty ndak boleh kalah. Pokoknya kalau kalah, saya serahkan kepada kalan. In saya mnta kalau sumpah tu jangan hanya sumpah saja.’”36

Tentang kesaksiannya dan kesaksian Tomás Gonçalves, walaupun mereka

menyatakan secara pribadi terlibat dalam pertemuan tersebut, isi pembahasan tidak