• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rekomendasi dan Pelajaran yang Didapat. Bagian ini membahas langkah-langkah yang menurut Komisi perlu diambil oleh pemerintah Indonesia

Bagian III merupakan bagian penutup Laporan Akhir yang mencakup:

Bab 9. Rekomendasi dan Pelajaran yang Didapat. Bagian ini membahas langkah-langkah yang menurut Komisi perlu diambil oleh pemerintah Indonesia

dan Timor-Leste guna memenuhi tujuan dari mandat Komisi. Isi rekomendasi diperoleh dari masalah-masalah nyata yang dihadapi kedua negara serta analisis Komisi mengenai pelajaran yang dapat diambil, dengan perhatian khusus pada kesalahan dan kelemahan yang menyebabkan pelanggaran HAM tahun 1999 dan tanggung jawab institusional.

Berdasarkan pelajaran yang didapat, Komisi akan merekomendasikan sejumlah langkah untuk mencegah peristiwa serupa terulang, serta langkah-langkah untuk memperkokoh rekonsiliasi dan persahabatan antara masyarakat kedua bangsa di masa depan. Komisi juga membuat rekomendasi mengenai mekanisme implementasi guna memastikan agar rekomendasi Komisi dapat dilaksanakan, dipantau serta dievaluasi secara sistematis dan berkala.

Walaupun laporan ini merupakan satu kesatuan, Ringkasan Eksekutif dan masing-masing bab telah disusun dalam cara agar pembaca yang hanya ingin memeriksa aspek-aspek khusus kerja Komisi, atau ingin melihat ulasan singkat dapat memahami kerja Komisi tanpa membaca keseluruhan laporan secara kronologis.

1.4 RUANG LINGKUP DAN BATASAN

Ruang lingkup Laporan Akhir ditentukan oleh mandat sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan, yakni: (1) Telaah Ulang terhadap empat kumpulan dokumen rujukan serta (2) Proses Pencarian Fakta untuk mendapatkan temuan tentang:

(1) Pelanggaran HAM berat dan tanggung jawab institusional, dan

(2) Hakikat, penyebab dan lingkup pelanggaran HAM berat di Timor Timur yang terjadi sebelum dan segera setelah Jajak Pendapat di Timor Timur tahun 1999. Mandat Komisi terbatas pada:

(1) Peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu antara 27 Januari 1999 sampai dengan 25 Oktober 1999 di Timor Timur.

(2) Dokumen yang dapat diakses oleh Komisi selama pelaksanaan mandat. (3) Ketentuan yang tertuang dalam Kerangka Acuan.

BAB 2

MANDAT

2.1 KERANGKA ACUAN1

Pada pertemuan di Jakarta tanggal 9 Maret 2005 Pemerintah RI, yang diwakili oleh Presiden Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, dan Pemerintah RDTL, yang diwakili oleh Presiden Kay Rala Xanana Gusmão dan Perdana Menteri Dr. Mari Alkatiri, menyepakati Kerangka Acuan (Terms of Reference) Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) RI-RDTL yang menjadi landasan kerja Komisi. Kerangka Acuan Komisi di antaranya mengatur tujuan, prinsip-prinsip, mandat dan periode pelaksanaan mandat Komisi.

Tujuan Komisi sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan butir 12 adalah untuk menetapkan kebenaran konklusif terkait dengan kejadian sebelum dan segera setelah Jajak Pendapat tahun 1999, dengan maksud untuk lebih meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan, serta menjamin tidak terulangnya kejadian serupa di masa mendatang.

Prinsip-prinsip yang melandasi kerja Komisi, sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan butir 13, adalah sebagai berikut:

a. Prinsip-prinsip relevan yang tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 27 Tahun 2004 mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi2 dan Regulasi UNTAET No. 2001/10 mengenai Pembentukan CAVR, sesuai dengan mandat KKP.

b. Dalam pelaksanaan mandatnya, Komisi akan memerhatikan kompleksitas situasi transisi tahun 1999, dengan tujuan untuk lebih memperkuat rekonsiliasi dan persahabatan antara kedua negara dan rakyatnya.

1 Lihat Lampiran 1, Kerangka Acuan Komisi; Lampiran 2, Bagan Organisasi Komisi; Lampiran 12, Aturan Prosedur; Lampiran

13, Daftar Nama Personil.

2 Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR)M ini disahkan oleh DPR bersama Presiden pada tanggal

6 Oktober 2004. Namun, pada tanggal 7 Desember 2006 atas dasar judicial review Mahkamah Konstitusi RI memutuskan untuk membatalkan UU KKR. Mengenai pertimbangan yang mendasari keputusan tersebut, lihat Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006.

c. Berdasarkan pendekatan yang berorientasi ke depan serta rekonsiliatif, proses Komisi tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan akan menekankan tanggung jawab institusional.

d. Terus meningkatkan persahabatan dan kerja sama di antara pemerintah dan rakyat kedua negara, serta meningkatkan rekonsiliasi intra dan antar kedua masyarakat guna menyembuhkan luka-luka masa lalu.

e. Tidak apriori terhadap proses pengadilan yang sedang berlangsung mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di Timor-Leste tahun 1999, dan juga tidak merekomendasikan pembentukan badan pengadilan apapun.

Mandat Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia – Timor-Leste sebagaimana tercantum dalam Kerangka Acuan butir 14 tersebut adalah:

a. Mengungkapkan fakta kebenaran tentang hakikat, penyebab dan cakupan pelanggaran HAM yang dilaporkan, yang terjadi dalam periode menjelang dan segera setelah Jajak Pendapat di Timor Timur bulan Agustus 1999. Pengungkapan kebenaran tersebut dilakukan dengan:

i. Memeriksa semua bahan yang ada yang didokumentasikan oleh Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur tahun 1999 (KPP HAM) dan Pengadilan Ad-hoc Hak Asasi Manusia tentang Timor Timur; juga Panel Khusus untuk Kejahatan Berat (Special Panels for Serious Crimes,

SCU), dan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi Timor-Leste

(Comissão de Acolhimento, Verdade e Reconciliacão, CAVR).

ii. Memeriksa dan mewujudkan kebenaran mengenai pelanggaran HAM yang dilaporkan, termasuk pola-pola perilaku, yang didokumentasikan oleh lembaga-lembaga Indonesia terkait dan Panel Khusus untuk Kejahatan Berat (sebagaimana tercantum dalam surat-surat dakwaan) dengan pandangan untuk merekomendasikan langkah-langkah tindak lanjut dalam konteks pemajuan persahabatan dan rekonsiliasi antara rakyat kedua negara

b. Mengeluarkan laporan, yang akan dibuat terbuka untuk umum, dalam Bahasa Indonesia, Tetun dan Inggris, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Portugis, yang menjadi catatan sejarah bersama dari pelanggaran HAM yang dilaporkan, yang terjadi pada periode menjelang dan setelah Jajak Pendapat di Timor-Leste pada 30 Agustus 1999.

c. Merumuskan cara-cara maupun merekomendasikan langkah-langkah yang tepat untuk menyembuhkan luka lama, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia, antara lain:

i. Merekomendasikan amnesti bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM yang bekerja sama secara penuh dalam mengungkapkan kebenaran; ii. Merekomendasikan langkah-langkah rehabilitasi bagi mereka yang dituduh

iii. Merekomendasikan cara-cara untuk mempromosikan persahabatan antara rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai adat dan agama;

iv. Merekomendasikan kontak antar masyarakat yang inovatif dan kerja sama untuk mencapai perdamaian dan stabilitas.

Periode pelaksanaan mandat Komisi diatur dalam Kerangka Acuan butir 15 yang menyebutkan bahwa: “Komisi akan memulai pekerjaannya sesegera mungkin, namun selambat-lambatnya bulan Agustus 2005, untuk periode selama satu tahun, dengan kemungkinan perpanjangan maksimum selama satu tahun.”

Kemudian Komisi menerima persetujuan dari kedua pemerintah untuk memperpanjang periode pelaksanaan mandatnya.

2.2 PENAFSIRAN KOMISI MENGENAI KERANGKA ACUAN

Meskipun Kerangka Acuan telah memuat hal-hal pokok yang menjadi landasan kerjanya, Komisi yang secara resmi dibentuk pada tanggal 11 Agustus 2005 memandang perlu memberikan penafsiran lebih lanjut mengenai sejumlah unsur penting dalam Kerangka Acuan guna memperoleh pemahaman bersama di antara Komisioner dan mewujudkan landasan yang lebih operasional bagi Komisi untuk menjalankan tugasnya. Dalam bagian ini Komisi akan menjelaskan butir-butir tertentu yang memerlukan penafsiran dan penjabaran lebih lanjut.

Proses Komisi Tidak Mengarah pada Penuntutan Hukum

Kerangka Acuan Komisi menyatakan bahwa Komisi tidak akan mengarah pada penuntutan hukum dan akan menekankan tanggung jawab institusional. Kerangka Acuan juga menyatakan bahwa Komisi tidak apriori terhadap proses pengadilan yang sedang berlangsung mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan terjadi di Timor Timur tahun 1999, dan juga tidak merekomendasikan pembentukan badan pengadilan apapun. Dari kedua butir tersebut, berdasarkan pemahaman Komisi, hal utama yang harus digarisbawahi adalah sifat Komisi yang

non-yudisial. Komisi bukanlah lembaga hukum yang didirikan untuk melakukan proses penuntutan terhadap individu yang diduga melakukan pelanggaran HAM berat atau merekomendasikan peradilan bagi individu tersebut.

Komisi menegaskan independensinya dari semua proses hukum yang telah dan sedang berlangsung dengan menegaskan bahwa Komisi tidak “apriori” terhadap proses pengadilan mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM yang dilaporkan di Timor Timur tahun 1999. Pengertian apriori di sini adalah bahwa Komisi tidak memengaruhi proses pengadilan mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang dilaporkan di Timor Timur tahun 1999.

Kebenaran Konklusif 3

Sesuai Kerangka Acuan, salah satu tujuan Komisi adalah untuk menetapkan kebenaran konklusif. Komisi berpandangan bahwa istilah “kebenaran konklusif” bukan merupakan terminologi hukum. Dalam hal ini, kebenaran konklusif adalah hasil temuan yang merupakan kesimpulan dari proses telaah ulang dan analisis terhadap semua fakta mengenai kejadian, latar belakang dan keseluruhan konteks kekerasan tahun 1999, baik yang terdapat dalam dokumen yang dihasilkan oleh KPP HAM, Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta, Panel Khusus untuk Kejahatan Berat (SPSC) dan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR) di Timor-Leste, maupun yang ditemukan di lapangan melalui proses Pencarian Fakta yang dilaksanakan oleh Komisi. Pemahaman Komisi mengenai kebenaran konklusif ini adalah sesuai dengan mandat Komisi untuk “mengungkapkan fakta tentang hakikat, penyebab, dan cakupan pelanggaran HAM yang dilaporkan, yang terjadi dalam periode menjelang dan segera setelah Penentuan Pendapat di Timor Timur...”4

Amnesti

Kerangka Acuan butir 14(c) menyebutkan beberapa langkah yang dapat

direkomendasikan Komisi untuk “menyembuhkan luka lama, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia.” Butir 14(c)(i), menyebutkan bahwa Komisi antara lain dapat “merekomendasikan amnesti bagi mereka yang terlibat dalam pelanggaran HAM, yang bekerja sama secara penuh dalam mengungkapkan kebenaran.”

Terkait dengan klausul pemberian rekomendasi amnesti dalam kerangka acuan, Komisi memandang bahwa klausul tersebut merupakan satu contoh opsi (pilihan) yang dapat digunakan Komisi untuk memenuhi mandatnya, termasuk mendorong pemajuan rekonsiliasi dan persahabatan. Dengan kata lain, klausul amnesti dalam Kerangka Acuan Komisi bukan merupakan kewajiban atau keharusan yang bersifat mutlak.

Komisi berpandangan terdapat dua hal penting yang ditekankan oleh Kerangka Acuan butir tersebut di atas, yaitu: (1) Tujuan pemberian rekomendasi amnesti yang terkait dengan rekonsiliasi, yakni untuk menyembuhkan luka lama, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia; dan (2) Kriteria untuk pemberian rekomendasi amnesti, yakni bagi terduga pelaku yang bekerja sama secara penuh.

Untuk memenuhi kriteria “bekerja sama secara penuh” Komisi menetapkan bahwa seseorang harus:

• Bersedia hadir pada Dengar Pendapat Terbuka ataupun Tertutup.

• Secara jujur dan penuh menyampaikan mengenai apa yang didengar, diketahui, dan dirasakan sendiri tentang peristiwa pelanggaran HAM berat di Timor Timur menjelang dan segera setelah Jajak Pendapat di Timor Timur pada tahun 1999.

3 Dalam Laporan ini Komisi memutuskan untuk menggunakan istilah “Kebenaran Konklusif” sebagai terjemahan dari istilah

“Conclusive Truth,” walaupun dalam terjemahan naskah Kerangka Acuan istilah ini juga dirujuk sebagai “Kebenaran Akhir” maupun “Kebenaran Konklusif.”

• Secara jujur bersaksi mengenai keterlibatannya, baik langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja, dalam peristiwa-peristiwa tersebut.

• Mengungkapkan rasa penyesalan atas kekerasan yang terjadi secara umum dan yang berada dalam lingkup tanggung jawabnya. Ungkapan penyesalan dapat mencakup permintaan maaf.

• Mengambil pandangan ke masa depan untuk menarik pelajaran dari masa lalu dan membangun persahabatan berdasarkan semangat rekonsiliasi.

• Menyatakan komitmennya bahwa tindakan serupa tidak akan diulangi lagi. Lebih lanjut, Komisi berpandangan bahwa rekomendasi amnesti hanya dapat diberikan apabila syarat-syarat berikut terpenuhi: (1) Pihak terduga pelaku yang diundang dalam Dengar Pendapat memenuhi kriteria “bekerja sama secara penuh” yang telah ditetapkan oleh Komisi; dan (2) Pemberian rekomendasi amnesti tersebut mendukung tercapainya tujuan untuk menyembuhkan luka masa lalu, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia yang pada akhirnya akan berkontribusi pada terwujudnya rekonsiliasi; dan (3) Ketentuan amnesti dapat memenuhi syarat keadilan prosedural yaitu bersifat terbuka bagi semua pihak terkait.

Rehabilitasi

Kerangka Acuan juga menyebutkan bahwa Komisi dapat “merekomendasikan langkah-langkah rehabilitasi bagi mereka yang dituduh melanggar HAM, namun tuduhan tersebut salah”. Tujuan rehabilitasi dalam Kerangka Acuan tersebut adalah untuk memulihkan nama baik mereka yang salah dituduh melakukan pelanggaran HAM, untuk mengembalikan harkat dan martabat pihak-pihak yang dituduh dalam bentuk pembersihan nama, pengembalian jabatan sebelumnya (jika mereka terkena dampak negatif akibat tuduhan-tuduhan tersebut), dan status sosialnya di masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa rehabilitasi sebagaimana dimaksud dalam

Kerangka Acuan tidak hanya berarti rehabilitasi dalam konteks hukum, tetapi juga rehabilitasi dalam konteks sosial dan politik.

Butir tersebut mengandung dua hal penting, yakni: (1) Tujuan rekomendasi rehabilitasi yang terkait dengan rekonsiliasi, yakni sebagai upaya untuk

menyembuhkan luka lama, merehabilitasi dan memulihkan martabat manusia; dan (2) Syarat mendasar bagi rekomendasi rehabilitasi yakni bila Komisi dapat membuktikan bahwa tuduhan terhadap terduga pelaku adalah tidak benar. Komisi berpandangan bahwa Komisi dapat merekomendasikan rehabilitasi hanya apabila: (1) Syarat mendasar rekomendasi rehabilitasi terpenuhi, dan (2) Rekomendasi rehabilitasi dapat mendukung tercapainya tujuan yang terkait dengan rekonsiliasi. Dengan kata lain, klausul rekomendasi dalam Kerangka Acuan Komisi juga bukan merupakan kewajiban atau keharusan yang bersifat mutlak.

Rekonsiliasi

Kerangka Acuan butir 12 menyebutkan bahwa Komisi bertujuan untuk menetapkan kebenaran konklusif untuk “...lebih meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan dan menjamin tidak terulangnya kejadian serupa...”. Terkait dengan rekonsiliasi ini,

Kerangka Acuan butir 14(c)(iii) menyatakan bahwa salah satu mandat Komisi adalah untuk “merekomendasikan cara-cara untuk memajukan rekonsiliasi antar rakyat yang didasarkan pada nilai-nilai adat dan agama.”

Sebagai suatu proses, rekonsiliasi merupakan upaya untuk membentuk kembali kerangka masa kini dengan mempertemukan pengakuan terhadap masa lalu dengan visi atau pandangan bagi masa depan.5 Komisi menafsirkan rekonsiliasi antara rakyat Indonesia dan Timor-Leste sebagai proses yang mempertimbangkan nilai-nilai yang berlaku di kedua negara serta melibatkan tokoh-tokoh adat dan agama setempat. Kerangka Acuan butir 13(d) menyatakan bahwa salah satu prinsip kerja Komisi adalah “memperkokoh persahabatan dan kerja sama antara pemerintah dan rakyat kedua negara, dan meningkatkan rekonsiliasi intra dan antar masyarakat untuk menyembuhkan luka lama.” Kerangka Acuan butir 14(c) juga menegaskan perlunya langkah-langkah yang tepat untuk penyembuhan luka masa lalu, rehabilitasi masyarakat yang terkena dampak kekerasan dan pemulihan martabat manusia. Terhadap kedua butir tersebut Komisi berpandangan bahwa rekonsiliasi dan penyembuhan luka masa lalu merupakan proses yang saling melengkapi dan saling bergantung dan harus berjalan seiring. Tidak akan terjadi rekonsiliasi tanpa adanya upaya menyembuhkan luka masa lalu, dan sebaliknya tidak akan terjadi penyembuhan luka masa lalu apabila tidak ada rekonsiliasi.

Komisi memaknai bahwa penegasan pada Kerangka Acuan butir 13(d) dan 14(c) tersebut mencakup seluruh pihak yang terkena dampak peristiwa kekerasan yang terjadi di Timor Timur tahun 1999. Meskipun Kerangka Acuan tidak secara eksplisit memuat rujukan tentang reparasi, namun, karena Komisi bekerja dalam satu

kerangka umum keadilan restoratif, Komisi akan merekomendasikan langkah-langkah restoratif untuk mengatasi penderitaan korban, menyembuhkan luka masa lalu dan memulihkan martabat manusia sebagai bagian integral dari proses rekonsiliasi. Langkah-langkah restoratif tersebut tidak berada dalam konteks hukum namun merupakan unsur keadilan restoratif yang dianggap perlu diambil untuk memajukan rekonsiliasi dan persahabatan. Selaras dengan mandat Komisi untuk memperkokoh rekonsiliasi dan persahabatan, langkah-langkah reparasi tersebut bersifat publik dan kolektif, bukan individual.

Dalam merumuskan langkah-langkah rekonsiliasi antara rakyat Indonesia dan rakyat Timor-Leste terkait peristiwa tahun 1999 di Timor Timur, prinsip-prinsip berikut harus dipenuhi:

a. Prinsip non-diskriminasi.

b. Rekonsiliasi, walau dilaksanakan di antara masyarakat kedua negara, harus diperkuat dengan kebijakan pemerintah kedua negara, baik di tingkat nasional maupun bilateral. Kebijakan pemerintah tersebut dibutuhkan sebagai dasar bagi perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proses rekonsiliasi.

c. Rekonsiliasi harus mengambil pelajaran dari masa lalu berdasarkan prinsip penghormatan terhadap kemerdekaan, kedaulatan, sejarah masing-masing negara dan sejarah bersama kedua negara. Prinsip ini sekaligus juga merupakan bagian dari proses penyembuhan luka lama.

Persahabatan

Komisi mempertimbangkan butir-butir Kerangka Acuan berikut dalam mendefinisikan persahabatan: (1) Pembukaan Kerangka Acuan butir 7 yang

menyatakan bahwa “Kedua pemerintah bertekad untuk menyelesaikan permasalahan residual masa lalu dan memperdalam serta memperluas hubungan bilateral baik pada tataran pemerintah maupun hubungan antar perorangan...”, (2) Kerangka Acuan butir 12 yang menegaskan bahwa penetapan kebenaran konklusif terkait dengan peristiwa kekerasan tahun 1999, pada akhirnya dimaksudkan untuk “lebih meningkatkan rekonsiliasi dan persahabatan, serta menjamin tidak terulangnya kejadian serupa”; (3) Kerangka Acuan butir 13(d) yang menyatakan bahwa salah satu prinsip kerja Komisi adalah “memperkokoh persahabatan dan kerja sama antara pemerintah dan rakyat kedua negara...”. Berdasarkan ketentuan-ketenuan tersebut di atas Komisi memahami sepenuhnya bahwa peningkatan persahabatan antara kedua bangsa dan negara merupakan salah satu tujuan utama pembentukan Komisi. Komisi lebih lanjut memahami bahwa persahabatan dalam hal ini adalah hubungan inovatif antara dua bangsa dan rakyatnya berdasarkan rasa saling menghormati, ketulusan dan kerja sama, yang akan membawa pada suatu pendekatan yang rekonsiliatif dan berpandangan ke depan untuk meningkatkan perdamaian dan kesejahteraan bagi kedua bangsa.

Pelajaran yang Dapat Diambil

Kerangka Acuan butir 10 menyatakan bahwa “...Indonesia dan Timor-Leste telah memilih untuk mengungkapkan kebenaran dan meningkatkan persahabatan sebagai suatu pendekatan baru dan unik daripada proses penuntutan”. Selanjutnya pada butir 11 Kerangka Acuan dipertegas bahwa melalui KKP yang baru dan unik tersebut, kedua negara dengan sejarah bersama, bersepakat dengan “keberanian dan visi untuk memandang masa lalu sebagai pelajaran dan merangkul masa depan dengan optimisme.”

Pelajaran yang dapat diambil adalah kesimpulan-kesimpulan yang didapat dengan mengidentifikasi dan memahami kesalahan-kesalahan atau kelemahan-kelemahan spesifik dalam sistem atau proses yang telah memungkinkan terjadinya berbagai tindakan kekerasan di Timor Timur pada tahun 1999. Mengambil pelajaran dari masa lalu merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kesalahan masa lalu, dan untuk menciptakan perubahan agar peristiwa serupa tidak terjadi di masa mendatang, baik di Indonesia maupun di Timor-Leste. Pelajaran-pelajaran ini menyentuh banyak bidang, antara lain sistem penyelenggaraan pemerintahan dan hukum, serta struktur-struktur sosial, ekonomi dan budaya.

Kompleksitas Masa Transisi 1999

Pembukaan Kerangka Acuan butir 5 menekankan bahwa sangat penting untuk memahami proses reformasi politik di Indonesia yang memuncak pada tahun 1998 yang memiliki implikasi bagi peristiwa pada tahun 1999, karena negara Indonesia sedang mengalami perubahan politik yang kompleks dan radikal dengan jatuhnya rezim Soeharto dan dimulainya era Reformasi. Selanjutnya butir 13(b) menegaskan bahwa “dalam melaksanakan mandatnya, Komisi akan mempertimbangkan

kompleksitas situasi transisi tahun 1999, dengan tujuan untuk lebih memperkuat rekonsiliasi dan persahabatan antara dua negara dan rakyatnya.”

Komisi menegaskan bahwa kondisi Indonesia pada tahun 1999 yang masih berada pada tahapan transisi yang kritis dalam mengatasi dampak krisis moneter dan politik. Kondisi transisi pemerintah Indonesia ketika itu memiliki keterkaitan erat dengan kebijakan pelaksanaan Penentuan Pendapat di Timor Timur. Sifat transisional dari kebijakan Indonesia juga sangat terkait dengan ekses-ekses politik dan keamanan yang terjadi dalam proses pelaksanaan Penentuan Pendapat tersebut. Komisi membahas mengenai kompleksitas masa transisi di berbagai bagian laporan ini, dengan perhatian khusus topik ini pada Bab 4.

BAB 3