• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS PENCARIAN FAKTA

MENGAKIBATKAN PELANGGARAN HAM

Komisi menerima informasi dari berbagai pihak mengenai faktor-faktor yang oleh pihak-pihak tersebut dianggap telah memengaruhi kekerasan tahun 1999. Dalam bagian ini Komisi hanya secara singkat mempertimbangkan pandangan, penafsiran dan argumen yang menjadi tema umum kesaksian-kesaksian dalam proses Pencarian Fakta, yang mungkin dapat memengaruhi analisis berikutnya mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan dan tanggung jawab institusional. Pembahasan lebih rinci mengenai konteks konflik tahun 1999 lihat Bab 4.

Berbagai narasumber dalam Dengar Pendapat telah memaparkan penafsiran mereka mengenai penyebab dan hakikat kekerasan tahun 1999. Tema umum para narasumber tersebut menyatakan bahwa sejarah budaya dan politik Timor Timur sangat relevan dengan terjadinya konflik tahun 1999. Beberapa dari pembicara ini, termasuk mantan Presiden Indonesia, B.J. Habibie dan Kiki Sjahnakri, merasa tidak adanya proses dekolonisasi yang baik dan bertanggung jawab antara rakyat Timor Timur dan Portugal telah menghasilkan pertentangan politik tajam di antara penduduk.4 Mereka berpendapat bahwa pengelompokan politik yang pada awalnya

4 Jenderal Wiranto, Dengar Pendapat KKP III, Jakarta, 5 Mei 2007, h. 4; José Estevão Soares, Dengar Pendapat KKP IV,

Denpasar, 24 Juli 2007, h. 4, 12; Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 26 Maret 2007, h. 6; Eurico Guterres, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 28 Maret 2007, h. 6, 15, 16; Domingos Maria das Dores Soares, Dengar Pendapat KKP II, (Jakarta, 26 Maret 2007), h. 4, 9.

terbentuk akibat berbagai pandangan berbeda mengenai kemerdekaan dari Portugal telah menjiwai ideologi partai-partai politik yang terlibat dalam Perang Saudara di Timor Timur tahun 1975 kemudian menjadi sumber kekuatan dan konflik politik di Timor Timur sampai tahun 1999. Kiki Sjahnakri berpendapat bahwa selama periode kehadiran Indonesia di Timor Timur, pertentangan-pertentangan internal ini dapat ditekan. Ia menyatakan bahwa konflik yang terjadi selama periode ini (1975-1998) lebih bersifat vertikal, yakni, antara orang-orang atau kelompok-kelompok pro-kemerdekaan melawan pemerintah atau aparat negara.5 Akan tetapi Sjahnakri, dan lainnya, berpandangan bahwa tahun 1999, ketika persoalan kemerdekaan muncul kembali, perbedaan politik yang ada sebelumnya hidup kembali dan memainkan peran dalam konflik tahun 1999. Pandangan Sjahnakri menunjuk pada beberapa aspek horizontal konflik tahun 1999.

Semua pernyataan tersebut, tentunya, merupakan opini dan bukan pernyataan faktual, seperti halnya sebagian besar informasi kontekstual yang dipaparkan dalam forum ini. Pernyataan-pernyataan semacam ini memberi penafsiran mengenai sejarah Timor tanpa didukung oleh analisis yang terdokumentasi dengan baik serta mempertimbangkan nuansa secara cermat terkait kejadian-kejadian spesifik. Para narasumber, juga bukan merupakan ahli-ahli sejarah Timor yang diakui, dan pendapat mereka tidak didasarkan pada penelitian independen mereka sendiri. Komnas Perempuan dalam submisi juga membahas mengenai pertentangan dan kekerasan yang terjadi selama tahun 1974-1975, sebagai bagian dari submisinya mengenai tahun 1999.6 Namun dalam submisinya mereka menambahkan pembahasan singkat atau komentar mengenai peran militer dan dinas intelijen Indonesia dalam mendukung kelompok-kelompok bersenjata Timor yang datang kepada mereka untuk mendapatkan bantuan guna melawan Fretilin, yang telah membuat deklarasi kemerdekaan pada tahun 1975.7 Penafsiran historis dalam Submisi ini menyoroti preseden bagi tumpang tindih antara dimensi horizontal (yakni pertentangan politik internal) dan vertikal (yakni Negara Indonesia yang memainkan peran aktif dalam mendukung pertentangan internal ini) atas konflik di Timor Timur.

Narasumber yang lain, seperti David Dias Ximenes, memberi argumen bahwa akar konflik tahun 1999 harus dikategorikan memiliki sifat utama “vertikal” (yakni bahwa negara Indonesia merupakan aktor utama yang menyebabkan konflik).8 Ia mengkategorikan konflik ini sebagai konflik internasional ketika ia berbicara kepada Komisi:

“Masalah Tmor-Leste adalah konflk nternasonal, sehngga perlu juga dselesakan secara nternasonal, maka datang PBB untuk melakukannya.”9

5 Kiki Sjahnakri, Submisi kepada KKP, “Sebuah Retrospeksi-Kritis dan Analisis Kontekstual dan Beberapa Perspektif Penting,”

Jakarta, 24 Oktober 2007, h. 3.

6 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), “Menggelar Tikar Perdamaian,” (The Asia

Foundation, Jakarta: 2003), h. 7.

7 Ibid, h. 8, Tomás Gonçalves, Dengar Pendapat KKP V, Dili, 25 September 2007, h. 11;.

8 David Dias Ximenes, Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 23 Juli 2007, h. 19: “Itu bukan konflik horizontal, tetapi itu

adalah ada pihak ketiga yang melakukannya. Saya di sini berani menyatakan bahwa ABRI ikut bermain.”

9 Ibid., h. 3: “Masalah Timor-Leste adalah konflik internasional, sehingga perlu juga diselesaikan secara internasional, maka

Penafsiran seperti yang diberikan oleh Ximenes tentunya bukan merupakan hasil suatu penelitian historis, namun dapat dilihat sebagai terkait dengan sikap-sikap politik tertentu mengenai persoalan ini. Versi Komnas Perempuan tampaknya

berupaya untuk memberi penafsiran yang tidak terlalu sepihak, lebih berimbang dan multi-dimensi.

Narasumber lain dalam Dengar Pendapat memberi penafsiran mengenai konflik tahun 1999 yang mengandalkan konsep “budaya kekerasan”. Sebagai contoh, Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo memberi pandangan mengenai efek dari kehadiran berbagai bentuk kekerasan dalam jangka panjang di Timor Timur.10 Pandangan bahwa tindak kekerasan tertentu yang terjadi dalam sejarah telah begitu mengakar dalam budaya Timor juga diutarakan oleh Zacky Anwar Makarim, ketika ia menyatakan bahwa ia merasa pembakaran rumah telah menjadi cara yang umum dan terpola dalam berkonflik.11 Narasumber lain juga menyatakan pandangan serupa yang menyebut siklus balas dendam sebagai sesuatu ciri khas masyarakat Timor, dimana satu konflik ditanggapi dengan konflik berikutnya dan suatu siklus aksi-reaksi kekerasan terus berlangsung.12 Penafsiran mengenai pengalaman historis kekerasan semacam ini dapat memberi gambaran tentang mengapa bentuk-bentuk pelanggaran HAM tertentu menyertai perbedaan-perbedaan politik tahun 1999. Akan tetapi pandangan seperti ini dibantah oleh pihak-pihak lain yang memberi argumen tandingan bahwa kekerasan merupakan akibat langsung dari peristiwa-peristiwa politik tertentu (seperti Pemberontakan tahun 1959 dan periode tahun 1974-1975), ketimbang suatu ciri yang melekat dalam budaya Timor Timur.13 Dalam konteks dimana pernyataan-pernyataan tersebut diberikan, kebanyakan pernyataan ini berada dalam lingkup penafsiran yang tidak dikuatkan oleh bukti-bukti. Meskipun demikian, pernyataan-pernyataan tersebut tetap berguna untuk memberi gambaran tentang perbedaan pandangan mengenai konteks historis yang melatari kekerasan tahun 1999.

Tema lain yang muncul dari kesaksian yang dikumpulkan dalam proses Pencarian Fakta adalah makna masa transisi demokratis Indonesia secara historis terhadap kekerasan yang terjadi di Timor Timur tahun 1999. Berbagai pernyataan menjelaskan bagaimana pada tahun 1998-1999, bangsa Indonesia mengalami suatu transisi politik dan demokratis karena tuntutan serta perubahan positif Reformasi. Perubahan-perubahan ini mencakup penguatan demokrasi dan profesionalisme institusional di seluruh Indonesia. Hal yang paling signifikan adalah bahwa situasi politik di Indonesia yang sedang memasuki masa transisi tahun 1998 telah berpengaruh pada institusi-institusi, sehingga organisasi-organisasi seperti aparat keamanan mengalami

10 Uskup Carlos Filipe Ximenes Belo, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 26 Maret 2007, h. 15: “Saya bulan Oktober datang

ke Dili menyampaikan satu kata yang membingunkan orang di situ bahwa kita orang Timor ini tidak membpunyai kultur damai, tapi kultur perang. Sejak lama itu tahun eh abad ke-16, ke-17 orang Timor selalu berperang. Kita berada dalam situasi baik itu kalau kita berperang, kalau tidak berperang itu tidak senang. Itu sudah ada di dalam daging atau darah kita. Maka itu bisa juga kontribusi untuk itu, ya.”

11 Zacky Anwar Makirim, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 28 Maret 2007, h. 19: “Kalau kita mempelajari kultur, Ibu,

sebagai orang Timor tahu bahwa soal bakar membakar itu adalah bahagian dari kehidupan masyarakat Timor Timur, ya. Jadi, dari tahun 1974 aja yang saya kenal sampai sekarang, itu soal bakar membakar kampung itu adalah semacam kultural, ya.”

12 Mateus Carvalho, Dengar Pendapat KKP I, Denpasar, 19 Februari 2007, 10; Asep Kuswani, Dengar Pendapat IV KKP,

(Denpasar, 23 Juli 2007), h. 7-9.

berbagai pergeseran kebijakan, struktur dan tindakan. Sebagai contoh, beberapa kesaksian menengarai bahwa pada tahun 1998-1999 aparat keamanan di Timor Timur (militer dan kepolisian) kemungkinan mengalami perubahan sikap terkait akuntabilitasnya sehingga cara-cara mereka beroperasi mengalami perubahan dan berada dalam suatu kondisi yang gamang.

Sebagai contoh Saksi AX menyatakan dalam pemaparannya dalam Dengar Pendapat Tertutup bahwa selama kurun waktu ini TNI mengalami dilema baru: sorotan dari lembaga-lembaga internasional dan LSM tentang HAM menjadi semakin kuat sebagai akibat Reformasi, sehingga menjadi semakin sulit bagi TNI-Polri untuk melakukan operasi terbuka di Timor Timur seperti sedia kala. Patut dicatat, pendapat ini mengungkapkan adanya suatu kesadaran bahwa operasi-operasi terdahulu dapat diduga telah melibatkan pelanggaran HAM. Ia juga memberi beberapa contoh kejadian-kejadian dimana polisi dan militer enggan bertindak sesuai dengan permintaan pemimpin pro-integrasi karena takut dimarahi oleh atasan mereka. Pernyataan-pernyataan tersebut tidak memperlihatkan dasar faktual bagi pandangan-pandangan semacam ini, namun memang mencerminkan suatu pendapat bahwa polisi dan militer telah menyadari metode-metode operasi terdahulu tidak lagi bisa diterima karena ada kepedulian mengenai hak asasi manusia. Kesaksian ini juga mengungkapkan opini bahwa komandan-komandan militer dan polisi di tingkat atas tidak lagi akan mendukung operasi-operasi semacam itu.

Pernyataan José Estevão Soares mendukung suatu penafsiran bahwa muncul tekanan yang diakibatkan oleh persepsi untuk terlihat bertanggung jawab sesuai dengan standar HAM. Ia berargumen bahwa terkadang tuntutan ini mungkin bertentangan dengan tuntutan-tuntutan internal dan politik yang saling berlawanan bagi militer dan polisi untuk bertindak tegas sesuai dengan kepentingan nasional. Sebagai contoh, ia merujuk pada pernyataan yang dibuat oleh Jenderal Wiranto di RTPANG yang menggambarkan adanya tekanan dari dua sisi ini kepada pasukan keamanan di Timor Timur. Ia menyatakan Jenderal Wiranto berkomentar bahwa pasukan keamanan “harus dihindari tindakan-tindakan emosional dan ekstrim yang bisa kounterproduktif dan dapat menghambat pencapaian tujuan akhir

perjuangan integrasi.” Walau belum diverifikasi, kesaksiannya mengenai pernyataan Jenderal Wiranto ini menunjukkan adanya kesadaran di tingkat komando teratas bahwa terdapat potensi yang sangat nyata di pihak pasukan keamanan lokal untuk melakukan “tindakan emosional dan ekstrim.”

Pada Dengar Pendapat Terbuka, Jenderal Wiranto menyatakan bahwa pada

pertemuan di kediaman Uskup Belo ia mendorong kedua belah pihak (pro-otonomi dan pro-kemerdekaan) untuk melakukan rekonsiliasi. Unsur emosional ini, tentunya, bersumber dari ikatan yang telah terbentuk antara aparat keamanan ini dengan orang-orang yang terlibat dalam “perjuangan integrasi.”14 Walaupun pernyataan yang dikaitkan dengan Jenderal Wiranto tidak dapat diverifikasi, hal ini konsisten dengan dokumen-dokumen lain yang memberi gambaran tentang penilaian Jenderal Wiranto mengenai konsekuensi hubungan “emosional” antara pasukan keamanan Indonesia dengan kelompok-kelompok pro-integrasi dan tujuan-tujuan politiknya15 14 José Estevão Soares, Submisi pada Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 24 Juli 2007, h. 9.

15 “Surat Menhankam/Panglima TNI, Nomor: R/511/P-01/03/14/Set,” 6 September 1999, h. 2: “Adanya hubungan kedekatan

emosional antara aparat keamanan dengan masyarakat prointegrasi, merupakan faktor psikologis yang menghambat konsistensi dan ketegasan penegakan hukum, di samping sebagian aparat keamanan setempat adalah dari putra asli Timtim.”

Pembahasan pada Bab 4 mengenai konteks dimana pasukan Indonesia beroperasi di Timor Timur selama periode tersebut juga konsisten dengan penafsiran ini.

Saksi AX dalam pernyataan yang dikuatkan oleh saksi lain menyatakan bahwa dampak tekanan-tekanan baru ini pada aparat keamanan kemungkinan telah mendorong militer maupun pemimpin pro-otonomi ke dalam suatu dilema untuk memenuhi arahan-arahan yang diberikan kepada mereka melalui cara-cara tidak langsung. Argumen semacam ini menekankan bagaimana perubahan-perubahan politik di Indonesia telah berperan menentukan kekuatan dan kelemahan institusi-institusi dalam menanggapi konflik tahun 1999. Hal ini juga mencerminkan kemungkinan bahwa milisi pro-otonomi sesungguhnya telah menjadi instrumen bagi militer Indonesia dan pemimpin pro-otonomi untuk mencapai tujuan politik mereka. Jika memang benar, pernyataan-pernyataan yang dikaitkan kepada Jenderal Wiranto oleh José Estevão Soares akan mendukung pandangan bahwa militer memandang dirinya sebagai pihak yang berkomitmen untuk mencapai suatu tujuan politik, yakni untuk memenangkan “perjuangan integrasi.”

Narasumber lainnya meyakini bahwa pokok-pokok Kesepakatan 5 Mei mungkin telah memperbesar tekanan-tekanan saling bertentangan terhadap institusi-institusi Indonesia, termasuk pasukan keamanan dan pemerintah daerah. Sebagai contoh, sesuai Kesepakatan 5 Mei yang dimediasi oleh PBB antara Indonesia dan Portugal, Polri diberikan peran utama untuk mengamankian Jajak Pendapat. Mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, Ali Alatas, menjelaskan pandangannya mengenai sejarah negosiasi-negosiasi ini kepada Komisi. Menurut Ali Alatas, sejak awal Sekretaris Jenderal PBB sudah menolak memberikan kendali keamanan kepada Indonesia. PBB pada awalnya menginginkan pengiriman pasukan internasional untuk mendukung UNAMET dan fungsi keamanan dalam Jajak Pendapat. Akan tetapi Indonesia ingin mempertahankan kendali keamanan atas dasar kedaulatan nasional. Pada akhirnya dicapai sebuah kompromi yang memberi kendali keamanan kepada Indonesia, namun terdapat kualifikasi-kualifikasi tertentu. Karena PBB berpandangan bahwa ini merupakan persoalan ketertiban dan penegakan hukum, maka tanggung jawab diberikan kepada kepolisian, aparat militer diminta untuk mengambil posisi di belakang dan hanya mengintervensi bilamana bantuannya diperlukan.

Dalam pandangan sebagian narasumber, pengaturan keamanan ini ternyata cukup signifikan karena institusi Polri di Indonesia baru saja mengalami perubahan struktural sangat besar (pemisahan operasional dari ABRI, sementara tetap mempertahankan kewenangan komando Panglima Tertinggi ABRI), yang oleh beberapa pengamat konflik ditengarai tidak memungkinkan kepolisian menjalankan fungsinya di Timor Timur secara memadai untuk menjaga keamanan. Menurut penafsiran ini, setelah bulan Mei 1999, Polri tiba-tiba didorong ke dalam posisi terdepan dalam penegakan hukum di Timor Timur, memutarbalikkan kebiasaan operasional yang sudah berjalan sekian lama dimana militer Indonesia sebelumnya memainkan peran utama sebagai aparat keamanan. Beberapa narasumber

memandang bahwa perubahan-perubahan ini telah menciptakan suatu kebingungan dan kegamangan dalam melaksanakan operasi. Sebagai contoh, Hulman Gultom pada Dengar Pendapat di Jakarta menjelaskan bahwa ketika itu kepolisian masih berkoordinasi dengan militer karena kepolisian berada di bawah kekuasaan tertinggi ABRI, dan tidak mungkin bagi mereka bertindak sendiri secara penuh. Kelemahan struktural akibat transisi demokratis dan kesepakatan yang diperantarai oleh PBB

dapat memberi cara penafsiran lain dalam memahami kegagalan pasukan keamanan untuk secara efektif mencegah kekerasan di Timor Timur.

Hal ini juga mencerminkan pandangan para pengamat bahwa sebelum Kesepakatan 5 Mei aparat militer Indonesia, bukan kepolisian, yang berfungsi sebagai institusi utama yang diberi tugas penegakan hukum dan ketertiban dalam situasi dimana keadaan perang maupun darurat militer tidak pernah diumumkan secara resmi. Para pengamat secara umum tampaknya sepakat bahwa hal ini memang benar, dan situasi ini juga dikonfirmasi oleh Kesepakatan 5 Mei.

Komisi juga menerima berbagai pernyataan yang berpandangan bahwa UNAMET telah gagal untuk meyakinkan semua pihak dalam konflik mengenai netralitas mereka. Kesepakatan 5 Mei mewajibkan PBB untuk bersikap netral dalam penyelenggaraan Jajak Pendapat. Tindakan-tindakan spesifik UNAMET yang dalam pernyataan-pernyataan tersebut dikatakan menunjukkan kurangnya netralitas antara lain mencakup cara-cara perekrutan staf lokal, pemilihan lokasi kantor pusat, pembagian materi kampanye yang dituduh menyesatkan dan kegagalan untuk menanggapi secara memadai berbagai laporan kecurangan selama Jajak Pendapat.16 Komisi dalam banyak kesempatan telah mengundang pihak-pihak yang pernah bekerja pada misi UNAMET di Timor Timur tahun 1999 untuk hadir dalam Dengar Pendapat guna mengklarifikasi persoalan ini dan memberi pandangan mereka mengenai peran masyarakat internasional di Timor Timur tahun 1999. Sebagaimana dicatat di atas, PBB telah menolak semua undangan ini. Komisi menyayangkan bahwa individu yang terlibat dalam Misi PBB tersebut tidak dapat memberi pandangan dan kesaksian mereka untuk menanggapi tuduhan-tuduhan di atas. Akibat keterbatasan proses Pencarian Fakta sebagaimana dicatat di atas, Komisi tidak dapat secara penuh melaksanakan suatu penyelidikan sistematis yang dapat menentukan sejauh mana kelemahan, atau bias, di dalam sistem PBB telah memengaruhi peran PBB dalam Jajak Pendapat tersebut. Pernyataan-pernyataan selama proses Pencarian Fakta mengandung berbagai tuduhan tentang kegiatan-kegiatan yang tampak mencerminkan ketidaknetralan dan mungkin telah berdampak pada kejadian-kejadian tahun 1999.17 Namun keterangan-keterangan lainnya tentang Jajak Pendapat telah menampik kesimpulan-kesimpulan tersebut.18

16 Zacky Anwar Makarim, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 28 Maret 2007, h. 19-20, 55, 58-60, 67-69; dan Submisi, h.

5-16.; Edmundo da Conceição Silva, Paparan pada Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 27 Maret 2007, h. 10, 11.; Leoneto Martins, Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 23 Juli 2007, 9; F.X. Lopes da Cruz, Dengar Pendapat KKP I, Denpasar, 20 Februari 2007, dan Submisi, h. 12.; Martinho Fernandes, Paparan pada Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 26 Maret 2007, h. 12-13; Saksi AX, Dengar Pendapat Tertutup KKP, Denpasar, Juni 2007, h. 3; Ali Alatas, Dengar Pendapat KKP I, Denpasar, 19 Februari 2007, h. 12-14.; Domingos Maria das Dores Soares, Dengar Pendapat KKP II, Jakarta, 26 Maret 2007, h. 14.; Gatot Subyaktoro, Dengar Pendapat KKP III, Jakarta, 4 Mei 2007, h. 7-8.; Dr. Yan Rizal, Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 23 Juli 2007, h. 3-5, 12, 14.

17 Dr. Yan Rizal, Dengar Pendapat KKP IV, Denpasar, 23 Juli 2007, h. 3-5.

18 Ali Alatas. The Pebble in the Shoe: The Diplomatic Struggle for East Timor, (Jakarta, Aksara Karunia, 2006), h. 210. “In

referring to these protests, the Electoral Commission, in their report to the Secretary-General concluded that the allegations of irregularities that could be proven had not had any effect on the outcome of the ballot.

In its overall determination of the results, the [UN Electoral] Commission stated that ‘the popular consultation had been procedurally fair and in accordance with the New York Agreements and consequently provided an accurate reflection of the will of the people of East Timor.’”

Sebagai rangkuman, Komisi telah mendengarkan berbagai pandangan mengenai faktor-faktor historis dan kontekstual konflik di Timor Timur tahun 1999. Komisi mengakui nilai masing-masing argumen tersebut sebagai cerminan berbagai pandangan mengenai bagaimana konteks ini telah memengaruhi kejadian-kejadian tahun 1999. Dengan kata lain, pernyataan-pernyataan tersebut menggambarkan keyakinan dan penafsiran para narasumber yang terlibat dalam berbagai cara di Timor Timur tahun 1999. Bukti ini dapat membantu Komisi dalam menafsirkan motivasi dan sudut pandang berbagai aktor dan pihak dalam konflik, namun bukan merupakan bukti yang dapat memberi dasar bagi temuan mengenai fakta-fakta substantif. Hal ini muncul sebagai akibat dari sifat proses Pencarian Fakta seperti diuraikan di atas, dimana para individu didorong untuk mengungkapkan secara bebas pandangan dan penafsiran mereka, juga dimana tidak ada mekanisme untuk secara sistematis memahami dan menguji bukti yang mendasari pandangan tersebut. Akan tetapi, secara umum pandangan-pandangan ini dapat digunakan dalam memahami bagaimana para pemeran kunci dalam kejadian-kejadian tahun 1999 memahami konteks institusional dan politis dimana mereka bertindak dan berbagai macam dimensi konflik yang saling bertentangan. Karena banyak individu-individu tersebut menduduki jabatan penting pada berbagai institusi yang terlibat konflik, informasi kontekstual ini dapat digunakan sebagai titik rujukan ketika mempertimbangkan berbagai informasi faktual mengenai konteks pelanggaran HAM dan tanggung jawab institusional. Unsur-unsur kontekstual konflik tersebut juga dapat menjadi dasar untuk membantu Komisi mempertimbangkan rekomendasi reformasi kelembagaan yang dapat membantu mencegah terulangnya kembali pelanggaran HAM dimaksud.

6.4 ANALISIS TENTANG PELANGGARAN HAM DALAM BENTUK