• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berkarya dengan iman

Dalam dokumen publikasi e-sh (Halaman 62-66)

Judul: Berkarya dengan iman

Pernahkan kita merasa gagal beriman? Pernahkah kita kecewa karena iman kita tumpul dan tidak mampu melihat ke depan? Apalagi saat seseorang membutuhkan kita, sementara iman kita tidak mampu memberi jawaban!

Itu yang dialami oleh sembilan murid yang ditinggal Yesus ke atas gunung. Mereka tidak mampu menolong seorang anak yang sakit yang dibawa oleh ayahnya (15). Anak itu menderita ayan sehingga sering jatuh ke dalam api dan air. Nyawa si anak terancam setiap saat. Satu-satunya harapan bagi si ayah hanyalah Yesus. Maka, ketika Yesus turun gunung, si ayah segera membawa anaknya kepada Yesus. Lalu Yesus segera menghardik setan yang menguasai anak itu, sehingga seketika itu juga setan itu keluar dan sembuhlah anak itu. Apa yang gagal dilakukan oleh murid-murid, dengan mudah dan cepat dilakukan oleh Yesus karena Yesus berkuasa

menyembuhkan segala penyakit.

Bagaimana Yesus menyikapi kegagalan para murid? Yesus marah terhadap mereka karena mereka sudah diberikan kuasa untuk mengusir roh jahat dan menyembuhkan penyakit (Mat. 10:1, 8). Bila demikian, apa yang menjadi masalah? Mereka kurang beriman! Padahal jika mereka memiliki iman sebesar biji sesawi saja mereka dapat memindahkan gunung. Dengan iman, mereka dapat melakukan karya yang sama seperti Yesus lakukan. Bila mereka percaya, maka kuasa Yesus akan mengalir melalui mereka.

Iman adalah modal kita melakukan karya seperti yang Yesus telah lakukan saat Ia berada di dunia. Yesus meninggalkan kita dengan curahan kuasa Roh Kudus untuk melakukan karya Allah di antara sesama manusia. Tugas pelayanan itu Yesus percayakan kepada gereja. Sebagai gereja, banyak hal yang dapat kita lakukan untuk melayani sesama. Mulai dari mengajar,

menyembuhkan, mendoakan, menasihati, dll. Semua itu dapat kita lakukan sesuai dengan panggilan pelayanan kita masing-masing. Namun, kita harus melakukannya dengan iman yang bersandar penuh pada Roh Kudus. Tanpa iman kepada Kristus, pelayanan kita tidak bermakna dan tidak berkuasa.

Diskusi renungan ini di Facebook:

63 Selasa, 19 Februari 2013 Bacaan : Matius 17:22-27

(19-2-2013)

Matius 17:22-27

Membayar kewajiban

Judul: Membayar kewajiban

Menjelang hari-hari penderitaan Anak Manusia sampai pada kematian-Nya, Yesus tetap melaksanakan tanggungjawab-Nya. Ia menunjukkan kepatuhan pada peraturan yang berlaku, yaitu membayar bea bait Allah. Pajak ini dipungut setahun sekali terhadap lelaki berumur di atas dua puluh tahun untuk digunakan sebagai biaya pemeliharaan Bait Allah. Pada masa Musa, bea ini disebut uang pendamaian karena nyawa umat terhindar dari tulah (Kel. 30:12). Pada masa raja Yoas, pajak ini dikumpulkan untuk membangun kembali rumah Allah (2 Taw. 24:9). Di zaman Yesus, bea ini menjadi wajib bagi semua orang Yahudi yang sudah dewasa.

Bagi orang Yahudi, membayar bea Bait Allah adalah kebanggaan hidup sebagai anggota umat Allah (sosial), daripada membayar pajak bagi pemerintah Roma sebagai tanda bahwa mereka adalah rakyat jajahan. Meski Yesus membayar bea bait Allah setiap tahun, tetapi Ia menolak untuk mencampuradukkan masalah sosial dan politik dengan mengajukan pertanyaan tentang siapa yang berkewajiban membayar pajak kepada penguasa. Sebagai Anak Allah, pemilik dan penguasa Bait Allah, Yesus tidak perlu membayar pajak. Meski demikian, agar tidak menjadi batu sandungan Yesus tetap membayar pajak.

Kisah ini memperlihatkan teladan Yesus yang dapat memisahkan antara kepentingan sosial, politik, dan lainnya. Ia menempatkan diri pada kepentingan yang tidak saling berbenturan yang dapat menyebabkan batu sandungan. Yesus mengajar kita untuk hidup bijaksana dalam

mengambil keputusan dan menjalani keputusan yang diambil itu. Tanpa benturan kepentingan, kita dapat melakukan pekerjaan sesuai dengan tugas di tempat kerja. Maka di saat kita harus membayar pajak kepada pemerintah atau melakukan kewajiban yang diatur undang-undang, kita harus melakukan dengan benar. Untuk sumbangan bagi gereja, kiranya kita juga dapat rela hati memberi. Untuk orang yang membutuhkan, kita mengulurkan tangan. Kita dipanggil menjadi saksi Kristus di tengah-tengah pekerjaan kita. Teladani Yesus dengan penuh tanggung jawab.

Diskusi renungan ini di Facebook:

64 Rabu, 20 Februari 2013

Bacaan : Matius 18:1-11

(20-2-2013)

Matius 18:1-11

Seperti anak kecil

Judul: Seperti anak kecil

Di dalam budaya Indonesia, dianggap seperti anak kecil adalah hal yang memalukan. Sebab anak kecil biasanya diasosiasikan dengan sifat yang dipersepsi negatif: cengeng, maunya yang mudah, manja, lemah, tidak independen, dan banyak lagi. Persepsi ini berlaku di semua bidang

kehidupan, mulai dari pekerjaan, keluarga, bahkan gereja dan pelayanan.

Berdasarkan konteks ini, mestinya kita heran dengan kata-kata Tuhan Yesus: "... sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga. Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga." (3-4). Apa maksudnya?

Bacaan hari ini mengaitkan arti kemuridan dengan sosok anak kecil. Para murid mesti menjadi seperti anak kecil dalam arti "merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini" (4). Yang digarisbawahi di sini bukanlah sifat manja ataupun cengeng khas anak kecil, tetapi posisinya yang rendah dan lemah. Tidak seperti raja-raja dunia yang berkuasa memungut pajak dan bea dari orang-orang di bawah kekuasaannya (Mat. 17:25), para murid dipanggil untuk bertindak seperti anak kecil yang tidak memiliki kuasa, sehingga hidup sebagai orang yang berserah dan hanya mengandalkan Allah. Para murid juga diperingatkan agar tidak menyesatkan ataupun menganggap rendah anak-anak kecil (5-11), baik secara harfiah maupun secara khusus sebagai simbol bagi sesama murid. Nasihat di ayat 8-9 memang mengulangi pengajaran Yesus

sebelumnya (Mat. 5:29-30), tetapi di sini nasihat tersebut ditempatkan di dalam konteks berbeda: agar kita tidak menjadi batu sandungan bagi saudara kita, kita mesti siap mengurbankan apa pun yang membuat diri kita tersesat.

Maka nas ini bertanya kepada kita: adakah kekuasaan atau apa pun selain Allah yang menjadi andalan hidup? Jangan sampai hal itu membuat kita tidak taat kepada Allah, bahkan membuat orang lain di sekitar kita tersesat. Jika itu terjadi, kita harus membuangnya. Mari kita minta kekuatan dari Allah supaya bisa menjadi anak kecil, seperti yang Dia inginkan.

Diskusi renungan ini di Facebook:

65 Kamis, 21 Februari 2013

Bacaan : Matius 18:12-20

(21-2-2013)

Matius 18:12-20

Jika ada yang hilang

Judul: Jika ada yang hilang

Era modern mendatangkan kelimpahan sumber daya yang belum pernah terjadi di dalam sejarah, entah itu benda maupun manusia. Maka dengan mudah untuk membeli barang baru, bahkan mengganti dengan orang baru, jika barang atau orang itu tidak bisa lagi dimiliki. Prinsip dunia ini jelas tak boleh kita mewarnai kehidupan berjemaat.

Nas yang kita baca hari ini memberikan dua hal: yang pertama, sebesar apa kasih Allah bagi mereka yang "sesat" dan "hilang", dan yang kedua, bagaimana mestinya persekutuan para murid, yaitu jemaat atau ekklesia, bersikap kepada mereka yang "berbuat dosa" (17). Kasih dan

kehendak Allah kepada mereka yang sesat dan hilang itu disampaikan melalui perumpamaan tentang seorang gembala (12-14).

Perumpamaan ini menunjukkan bahwa Allah berinisiatif mencari mereka, dan niscaya

bersukacita jika mereka yang hilang "ditemukan" kembali. Sikap Allah ini mesti mewujud dalam sikap hidup jemaat kepada saudara yang "berbuat dosa". Bukan untuk dimaklumi begitu saja, tetapi juga tidak segera menjatuhkan sanksi sosial atas dia. Hanya jika setelah ditegur secara empat mata, dengan dua atau tiga saksi, dan melalui seluruh jemaat, orang itu masih tidak mau mendengar, barulah dia dianggap sebagai "seorang yang tidak mengenal Allah atau seorang pemungut cukai." Namun di sini prinsip kasih makin nyata. Bagian ini diakhiri juga dengan jaminan dan janji bahwa Allah akan mengabulkan permintaan mereka. Tentu saja, kasih persaudaraan yang sejati akan mendorong orang Kristen berdoa supaya orang itu kembali bersekutu dengan mereka.

Gereja seringkali terjebak pada dua ekstrim: memaklumi saudara yang berbuat dosa (atas nama kasih dan pengampunan), atau sebaliknya bertindak menjaga "kesucian" jemaat dengan

mengucilkan orang yang dianggap berdosa. Kedua ekstrim ini tidak mencerminkan kasih Kristus sebagai kepala gereja dan mesti kita tinggalkan. Sebagai murid Kristus, kita dipanggil untuk meminta ampun kepada Allah yang maha kasih itu, dan menyatakan kasih-Nya melalui tindakan dan doa rekonsiliasi, yang dilandasi kuasa Allah.

Diskusi renungan ini di Facebook:

66 Jumat, 22 Februari 2013

Bacaan : Matius 18:21-35

(22-2-2013)

Matius 18:21-35

Dalam dokumen publikasi e-sh (Halaman 62-66)