• Tidak ada hasil yang ditemukan

Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Laki-Laki Sebagai Obyek Seks? Sebagaimana yang tampak dari deskripsi visual dalam Bab III, Sebagaimana yang tampak dari deskripsi visual dalam Bab III,

POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Laki-Laki Sebagai Obyek Seks? Sebagaimana yang tampak dari deskripsi visual dalam Bab III, Sebagaimana yang tampak dari deskripsi visual dalam Bab III,

masa-masa peralihan Jojo dari pekerja serabutan menjadi pekerja seks merupakan masa-masa yang paling sensual. Ini kalau ditinjau dari tingginya kadar buka-bukaan ketika periode ini berlangsung. Ekspos terhadap tubuh Jojo tidak hanya sebatas wilayah dada, atau selangkangan. Tapi sudah merambah ke bagian paha. Tentu, ekspos ini tak selalu sejalan dengan obyektivikasi. Sebagaimana ditegaskan sedari awal, narasi dan visualisasi haruslah klop kalau lah hendak menghadirkan sesuatu sebagai obyek tontonan.

Kembali, di masa ini diperlihatkan laki-laki menari. Namun, konteksnya sudah jauh berbeda dari yang pertama. Jika dulu Jojo menari untuk meriang-riangkan hati, tanpa mensyaratkan keberadaan penonton, kali ini ia menari khusus untuk dipertontonkan kepada orang lain. Kalau lah ditinjau semata-mata dari narasi, ini lah saatnya tubuh Jojo dipajankan kepada „penonton‟.

Tentu, logika narasi ini tak langsung diturut mentah-mentah. Aspek visualnya juga harus dipertimbangkan, khususnya yang berkaitan dengan retorika kamera.

Sebelumnya mari mengingsut-ingsut dari mise-en-scene terlebih

dahulu. Pertama, setting lokasi. Tempat latihan tari ini diberi judul “body

language room”. Kerahasiaan merupakan tema utama yang membingkai

ruangan ini maupun ruangan lain yang ada di Quickie Express. Ini ditandakan

dengan keterangan yang ditulis di depan pintu masuk, berbunyi: “un

authorized personel prohibited to enter”. Kalau lah diperhitungkan juga posisi

gedung Quickie Express yang disebut-sebut berada di bawah tanah, maka derajat kerahasiaan ruangan ini menjadi sangat tinggi. Dengan lokasi yang begitu tereksklusi, artinya posisi „penonton‟ sudah tidak dapat lagi disamakan dengan pengintip kamar mandi, namun sudah masuk ke level pengintai kawakan.

Berikutnya, lanjut ke masalah kostum. Di satu sisi, pakaian dapat digunakan untuk menutupi tubuh. Di sisi lain, pakaian juga dapat mengekspos keseksian tubuh. Dan, dalam hal ini lah pakaian dapat merekayasa tubuh sebagai obyek fetish bagi penontonnya. Selagi menjalani latihan tari, Jojo dan kedua rekannya mengenakan pakaian yang sangat mini. Pakaian itu terdiri dari kaus tanpa lengan plus celana pendek sepaha sebagai bawahan. Khusus Jojo, celana pendek itu agaknya kesempitan. Sebab, sesak sekali

kelihatannya. Mana „tonjolan‟ yang tadi sempat dipersoalkan, masih

nangkring di balik celananya.

Dengan aurat yang terekspos di sana-sini, Jojo dan rekan berpeluang menjadi obyek fetish yang menggairahkan. Belum lagi kalau memperhatikan gerakan yang mereka peragakan, begitu provokatif. Misal, ketika mereka mulai menggoyangkan daerah panggul dengan gerakan ritmis maju-mundur. Ini bisa saja diasosiasikan dengan gerakan ketika lelaki melakukan penetrasi dalam hubungan seksual. Namun, terlepas dari itu, kecabulan itu sudah mencuat. Begitu panggul itu dimajukan, dengan sendirinya alat genital mereka pun tersodorkan pada „khalayak‟.

Di samping soal gerakan itu, posisi tubuh Jojo dan rekan dipasang

menghadap ke arah „penonton‟. Dengan posisi ini, memungkinkan „penonton‟

untuk berhadap-hadapan langsung dengan ketiga calon gigolo muda ini. Dengan sendirinya, jalan untuk fetishisme pun terkuak lebar. Ini berbeda dari

adegan sebelumnya di mana pandangan „penonton‟ pada tubuh Jojo selalu

dimediasi, entah itu melalui mata Mudakir maupun melalui mata tante-tante girang di restoran. Belum lagi, posisi tubuh Jojo kadang menyamping atau menghadap ke belakang seperti halnya dalam adegan Jojo masuk Restoran Quickie Express.

Namun, agaknya jalur fetishisme ini masih terkendala oleh beberapa faktor: salah satunya itu soal keelokan barang yang ditampilkan. Kalau lah

diibaratkan dengan barang dagangan, Jojo dan rekan-rekan bukanlah barang dengan kualitas nomor satu. Mereka adalah barang hasil reject. Marley dan Piktor dicampakkan melalui narasi di awal kemunculan mereka. Keduanya

diperkenalkan sebagai calon gigolo yang dipakai untuk “memenuhi selera

tante-tante yang rada aneh”. Sementara Jojo, sebagaimana sudah

diceritakan, ia adalah pekerja serabutan yang tertolak dari tiga jenis pekerjaan berbeda.

Bila lanjut dinilai dari fisik, sulit membayangkan salah satu dari ketiganya akan masuk dalam kategori pria yang gambarnya dipajang di sampul Majalah Men‟s Health. Marley, terlalu kurus. Kontras sekali dengan

Jojo yang berbadan bongsor. Yang terbilang „proporsional‟ itu hanyalah Piktor.

Namun, tingginya yang pas-pas-an dibanding Jojo dan Marley menjauhkannya dari kriteria lelaki „ideal‟ seperti yang dikonstruksi media. Mungkin, atas dasar

ini pula Lee menuliskan Quickie Express sebagai film yang mengusung “weird

and unorthodox concepts of beauty”.18

Memang, bila dipatut dari segi fisik dan penampilan secara keseluruhan, baik itu Jojo, Marley dan Piktor terasing dari tampilan tokoh

laki-laki „kebanyakan‟. Ini bukan merujuk pada tampilan aktor secara personal, melainkan lebih pada tampilan karakter yang dimainkan. Jojo, Piktor dan Marley tidak di-setting sebagai tipe pria yang digilai wanita macam Rangga (Nicholas Saputra) dalam Ada Apa dengan Cinta (Rudy Soedjarwo, 2002) atau Fahri (Fedi Nuril) dalam Ayat-Ayat Cinta (Hanung Bramantyo, 2008). Kalau lah dicarikan padanannya dalam film Hollywood, mereka lebih mirip Deuce Bigalow (Rob Schneider) dalam Deuce Bigalow: Male Gigolo (Mike Mitchell, 1999) ketimbang Julian Kay (Richard Gere) dalam American Gigolo (Paul Schrader, 1980).

18

Karena Quickie Express berada di jalur komedi, dapat dimengerti jika karakter laki-laki yang bermain di dalamnya pun ditampilkan secara komikal. Namun, terlepas dari soal genre, kelucuan pemain di sini bisa berfungsi ganda. Pertama, tentu untuk mendorong syaraf tawa penonton. Dengan kata lain, humor yang ditujukan untuk humor itu sendiri. Kedua, ini yang paling penting, humor bisa melunakkan unsur seks yang digarap sebagai tema. Dengan kekocakan itu Quickie Express terhindar dari kesan homoseksual yang mungkin timbul dari menampilkan laki-laki yang menggelinjang dengan cabul. Tentu, ini tidak berarti unsur erotis akan hilang sama sekali.

Selain dengan mengedepankan unsur lawak, agaknya kamera sudah bekerja dengan baik dalam menyamarkan unsur seks yang muncul. Untuk itu, mari kembali ke adegan menari erotis tadi. Sepanjang adegan, dominan dipergunakan bingkai-bingkai LS. Terkesan kamera enggan mendekati tubuh laki-laki yang bergoyang itu. Selain itu, gerakan kamera pun memberi impresi yang sama. Di awal, kamera yang berada di sisi kiri layar, datang dengan perlahan. Gerakan jenis ini sebenarnya dapat mem-fetish-kan obyek karena jarak yang merapat. Namun, tiba-tiba kamera berhenti, hingga bingkai tetap

bertahan di ukuran LS. Sesudahnya, kamera malah bergerak menjauh.

Artinya, peluang fetish yang tadi sudah terbuka, dengan serta merta

tercampak.

Terang, retorika kamera demikian menunjukkan posisi menonton yang maskulin. Kamera memperlakukan laki-laki bukan sebagai obyek seksual yang pantas untuk dieksplorasi. Atau, bila bukan soal kepantasan, dugaan

lainnya, kamera emoh menempel karena tubuh laki-laki dianggap tidak

semenarik tubuh perempuan. Dan, jika bersandar pada asumsi Neale, bahwa

„penonton‟ dialamati sebagai yang berjenis kelamin laki-laki

(heteroseksual)19- maka memajang tubuh laki-laki dalam keadaan seronok

begitu hanya akan membuat „penonton‟ keki. Gila aja, mosok jeruk mau makan jeruk?

Jika ditelisik lebih teliti dengan memperhatikan posisi orang per orang, ada kecenderungan kamera secara spesifik bergerak menjauhi Jojo. Khususnya seperti yang ditunjukkan adegan di atas. Jojo, Marley, dan Piktor berdiri sejajar di belakang trainer. Ketika kamera mengambil gambar dari arah kiri, Jojo dipencilkan di kanan layar. Nah, saat kamera bergeser ke sisi kanan, jarak Jojo ke layar tidak bertambah dekat. Sebab, di saat yang bersamaan, kamera juga bergerak mundur.

Bila Jojo tampaknya membuat kamera alergi, tidak demikian halnya dengan si pelatih tari. Karena ia berdiri paling depan, tubuhnya pun lebih jelas dibingkai kamera. Apalagi, ia sering diposisikan di tengah-tengah layar. Ini menjadikannya sebagai obyek perhatian. Memang, sebagai instruktur, lumrah jika ia lah yang dipasang paling depan. Namun, terlepas dari soal teknis ini, posisi masing-masing karakter akan berpengaruh pada keterpandangan tubuh

mereka. Sementara si instruktur dapat dibayangkan sebagai „hidangan utama‟

untuk memuaskan pandangan „penonton‟, maka ketiga laki-laki itu hanya lah cemilan yang meski dimakan tapi tak mengenyangkan. Tubuh mereka disisihkan sebagai „background‟, demikian pula dengan seksualitas mereka.

19

Jika diperhatikan dari segi mise-en-scene, diantara ketiga calon gigolo itu, Jojo ditampilkan lebih mencolok. Ya, dengan ukuran badan yang jumbo, sulit untuk tidak memperhatikan kehadirannya. Walau, kadar keterpajanan tubuhnya bila dibandingkan dengan si pelatih tari, jauh berbeda. Pengobyekkan tubuh si pelatih berlangsung secara gamblang dan terang-terangan. Sedangkan tubuh Jojo diekspos secara halus, sembunyi-bunyi. Ibaratnya, tubuh Jojo itu seperti durian yang harus dikupas dulu sebelum dapat disantap. Beda dengan si pelatih yang tubuhnya sudah langsung

dikupaskan ke hadapan „penonton‟.

Gambar 4.13. Antara instruktur tari, Jojo, dan boneka wanita

Nah, bertindak selaku „kulit‟ untuk membungkus tubuh Jojo itu tak lain adalah si pelatih itu sendiri. Coba perhatikan ketiga adegan tari dalam gambar 4.12 di atas. Tubuh Jojo tak pernah ditempatkan di tengah layar, melainkan selalu di pinggir. Tubuhnya selalu ditaruh di baris kedua, dengan si pelatih di baris pertama. Meski kamera berpindah posisi ke kanan, dan menempatkan tubuh si pelatih dan Jojo dalam satu garis diagonal, namun tubuh Jojo masih terpencil. Ini disebabkan jarak antara dirinya dengan kamera lebih jauh ketimbang si pelatih.

Selagi ada usaha yang nyata dari kamera untuk menghilang-hilangkan tubuh Jojo dari pandangan, tapi di sisi lain, ada juga usaha untuk membuat tubuhnya tetap terdeteksi. Misal, dalam gambar dua. Tubuh Jojo memang dipepetkan ke pinggir, hingga satu bagian lengan dan pahanya termakan.

Akan tetapi, dengan pakaian oranye norak begitu, Jojo tampil lebih ngejreng. Dibanding pelatih yang memakai singlet putih ditumpuk jumpsuit kuning pucat, derajat ketertampakan Jojo lebih tinggi.

Dari adegan menari yang dibahas tersebut, dapat ditarik satu asumsi

bahwa kamera cenderung „malu-malu kucing‟ ketika harus menampilkan

tubuh Jojo. Di satu sisi, ia harus tetap kelihatan. Namun, di sisi lain, tetap dijaga agar pengeksposan tubuhnya tidak terlalu frontal. Salah satu jalannya ya dengan membungkus tubuh Jojo dengan tubuh si pelatih.

Cara lain, yaitu dengan tetap mempertahankan hasrat kelaki-lakian penonton. Ini secara konstan dilakukan dengan menempatkan boneka perempuan ukuran dewasa persis di layar. Benar, si boneka perempuan ini berada di urutan paling belakang. Namun kalau diperhatikan lagi, ia kerap diposisikan dalam garis diagonal yang sama dengan Jojo dan si pelatih. Tentu, tidak dengan maksud menyedot perhatian „penonton‟ seluruhnya. Sebab, ia

cuma menyelip di pinggir layar. Namun yang jelas, kehadiran boneka itu akan

menjaga hasrat „penonton‟ tertuju pada „obyek seksual yang seharusnya‟.

Lanjut, penempatan boneka yang berdampingan dengan Jojo memberi kontras antara bagaimana tubuh laki-laki dan perempuan dipajankan. Tubuh perempuan dapat disetarakan dengan boneka yang cenderung diam dan pasif. Namun, itu tak menghalangi seksualitas perempuan untuk tampil. Sedangkan tubuh laki-laki, diwakili oleh Jojo, lebih agresif dan aktif. Kalau dari segi seksualitas bukannya nihil, tapi disamar-samarkan.

Seperti yang sempat disinggung di bagian terdahulu, salah satu alternatif untuk dapat mengeksplorasi tubuh laki-laki secara langsung dan terang-terangan yakni dengan menambahkan sisi feminin sekaligus merepresi sisi maskulinnya. Ini terlihat jelas dari adegan latihan menari ini. Karakter si pelatih yang diletakkan di barisan terdepan secara fisik bisa disebut laki,

namun dari segi pembawaan, ia gemulai. Dengan kata lain, ia termasuk dalam golongan apa yang biasa disebut sebagai wanita-pria, alias waria.

Dalam satu hal, mungkin ini dapat dibaca sebagai salah satu bentuk subversi. Sebab, laki-laki (Jojo, Piktor, dan Marley) diajari menjadi laki justru

oleh seseorang yang kurang menampakkan unsur „laki‟. Namun, dalam hal lain, ini malah dapat menyelamatkan kelaki-lakian itu sendiri. Karena, toh tubuh yang dipajankan habis-habisan di layar itu bukanlah „laki-laki‟. Hingga

„penonton‟ tak merasa ditelanjangi melihat adegan ini. „Penonton‟ batal

mengidentifikasi dirinya dengan si pelatih, karena tubuh „laki-laki sebenarnya‟

sudah diamankan di barisan kedua. Barisan di mana Jojo, Piktor, dan Marley berada.

Namun, perlu ditambahkan pula, bahwa „laki-laki‟ yang sudah

mengambil bentuk sebagai banci ini, seksualitasnya tak dapat disamakan dengan tubuh perempuan. Bila posisi si pelatih diganti dengan perempuan, suasana erotis yang akan didapat. Sementara, si pelatih, meski mimik muka dan gayanya sudah sangat serius, tapi yang menonton gagal melihatnya sebagai obyek seksual. Ia diperlakukan layaknya „alien‟, jika bukan obyek tertawaan. Dengan demikian, meski lewat karakter banci ekpos terhadap

tubuh „laki-laki‟ dapat terjadi secara blak-blakan, namun tubuh itu telah kehilangan unsur seksualnya.

Persoalannya tidak hanya terletak pada apakah tubuh banci tersebut menjanjikan untuk dijadikan obyek fetish. Dengan kata lain, fisik bukan yang utama. Mau banci itu diperankan oleh Dono atau Nicholas Saputra, tubuh yang satu tidak akan tampil lebih erotis kalau dari segi mise-en-scene dan sinematografi tidak mendukung. Ambil saja film Mama Minta Pulsa (Nuri Dahlia, 2012) sebagai contoh. Gary Iskak yang melekat dengan citra maskulin di off screen, memerankan peran bencong bernama Danang. Kalau dibanding dengan otot pria dalam iklan L-Men, otot Gary tidak kalah besar. Namun,

perbedaan yang jelas, ketika Gary berjalan sebagai Danang, alih-alih dilirik wanita, ia malah dijadikan bahan guyonan.

Memang, dalam Quickie Express tidak ditemukan olok-olokan verbal tentang kebancian si pelatih. Tapi, itu tidak berarti tubuhnya akan tampil lebih sensual. Bila pengerotisasian tubuh wanita diperantarai oleh pandangan karakter di dalam layar, pada tubuh si banci yang terjadi justru sebaliknya. Pandangan karakter lain terhadap tubuhnya ditandai dengan rasa geli, takut, dan barangkali juga, jijik.

Untuk lebih jelasnya, perhatikan gambar 3.9 halaman 118. Dalam gambar tersebut nyata terlihat bagaimana pengkonsumsian terhadap tubuh si pelatih berlangsung. Pada awalnya, diperlihatkan si pelatih dalam bingkai LS sedang berjoget ria. Posisinya tepat di tengah layar, hingga perhatian

„penonton‟ akan terarah pada tubuhnya. Meski ia mengadap ke depan, namun

tak sekalipun matanya menatap langsung ke kamera. Artinya, ia diposisikan tidak sadar akan keberadaan kamera. Dengan demikian, „penonton‟ diberi

ruang kenyamanan untuk dapat menikmati tubuhnya diam-diam.

Pandangan „penonton‟ di sini disatukan dengan pandangan Jojo dan

Marley yang berdiri membelakang kamera. Badan keduanya membingkai dengan tepat tubuh si pelatih. Bila si pelatih terekam dari kepala sampai kaki, Jojo dan Marley hanya terlihat separuh badan. Tapi, proporsi tubuh keduanya jauh lebih besar ketimbang si pelatih. Kemudian kamera berbalik arah, mengalihkan fokus pada Jojo, Piktor, dan Marley. Terlihat ekspresi bingung ketiganya, antara ngeri campur geli.

Adapun pandangan ketiga lelaki itu mendefinisikan pandangan

„penonton‟ terhadap tubuh si pelatih. Meski tampil dengan gaya super cabul,

namun si pelatih tidak dipandang sebagai „obyek seksual yang mungkin‟.

Kalaupun ada kenikmatan yang dihadirkan di sini, itu bukanlah kenikmatan serupa memandang pada tubuh perempuan. Yang terjadi justru kebalikan.