• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Seksi dan Saru

B. Laki-Laki Calon Pekerja Seks: Seksi dan Saru

Di layar tampak sebuah lift terbuka. Terlihat Jojo dan Mudakir ada di dalamnya. Mudakir keluar lebih dulu, lanjut berkata: “Selamat datang di Quickie Express Training Center”. Kamera menyorotnya dari jarak CU dengan latar yang diburamkan (shallow focus). Begitu tangannya menyibak, memberi aba-aba bagi Jojo untuk masuk, ukuran kamera kembali melebar hingga LS. Di foreground berjalan dua orang laki-laki. Boneka perempuan seukuran orang dewasa, terjepit di tangan salah seorang diantaranya. Boneka itu menghadap ke penonton.

Jojo berjalan sendirian. Ia disorot dari arah depan. Begitu ia masuk lebih dalam, semakin ramailah laki-laki muda yang berjalan hilir mudik. Mereka memakai seragam model jumpsuit sepaha. Di satu titik, Jojo berhenti. Kamera meninggalkannya, dan lanjut mengeksplorasi. Waktu kamera berbalik, menempatkan Jojo di sisi kiri layar, Jojo menoleh ke arah belakang. Ke sebuah papan nama bertuliskan Quickie Express. Jojo membalikkan muka dan bertanya: “Tempat apaan sihini?”

Nah, ketika ini, Quickie Express mulai memperkenalkan medan pemaknaan yang baru. Jika dikaitkan dengan soal penamaan, Quickie Express bermain-main dengan dua arti. Sebagai restoran, Quickie Express dapat mengidentikkan diri sebagai restoran cepat saji (quick, instant) dengan sistem pengantaran kilat ke alamat (express). Berikutnya, bila dimasukkan dalam konteks penjual jasa gigolo, maka nama Quickie Express menjadi bermakna seksual (quickie sex).

Perbedaan makna itu lebih lanjut diaplikasikan dalam struktur ruangan. Dinding-dinding Quickie Express difungsikan lebih dari sekadar pembatas. Bangunan Quickie Express bisa dibagi dengan kasar dalam dua kategori: wilayah permukaan (restoran) dan wilayah dalam/bawah (tempat pelatihan gigolo). Bila di restoran pengunjung ditawarkan mencicipi pizza, di tempat pelatihan pengunjung bisa mencecap si penjual pizzanya.

Kedua ruangan tersebut dibedakan diantaranya melalui penataan ruangan dan pencahayaan. Di restoran, tidak ditemui adanya penyekatan. Ruangan dibuat lepas begitu saja. Dari segi pencahayaan dibikin terang. Hingga antara pengunjung satu dengan pengunjung lain dimungkinkan untuk saling berinteraksi. Sebaliknya, di tempat pelatihan Quickie Express dijumpai banyak sekat-sekat. Antara ruangan satu dan ruangan lain terpisah dengan sempurna. Untuk pencahayaan dibuat lebih redup. Penanda-penanda yang bersifat seksual yang tidak diketemukan di restoran, seperti boneka seks seukuran perempuan dewasa- hadir secara mencolok di tempat ini.

Dalam keterangan pers dalam situs Kalyana Shira, disebutkan bisnis gigolo ini sengaja disembunyikan di bawah tanah untuk “menghindari serangan protes dari kelompok religius Jakarta”.3

Ini pula yang kemudian diulang-ulang ditulis dalam berbagai ulasan mengenai Quickie Express.4 Anehnya, di dalam narasi maupun visualisasi, “kelompok religius” ini sama sekali tak dimunculkan.

Memang kalau didudukkan pada konteks pembuatan film ini, tahun 2000-an, atau diperlebar menjadi pasca-Reformasi, aksi-aksi penyerangan dengan mengatasnamakan agama kerap terjadi. Sasarannya beragam, mulai dari media massa (contoh kasus: Playboy), film (contoh kasus, Rintihan

3“Quickie Express film komedi dewasa yang menyegarkan akhirnya hadir bagi penonton dewasa” (Sumber: http://kalyanashira.com/news/40-news/61-quickie-express-film-komedi-dewasa-yang-menyegarkan-akhirnya-hadir-bagi-penonton-dewasa", diakses tanggal: 6 Februari 2011)

4

Misalnya seperti terdapat dalam situs http://17tahun.us/cerita-dewasa/resensi-film-quickie-express-kisah-sang-gigolo/, diakses 22 Maret 2011 dan http://perfilman.pnri.go.id/filmografi.php, 28 November 2008

Kuntilanak Perawan) atau bahkan kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh/untuk kaum LGBT (misal: Q! Film Festival). Pelakunya? Untuk menyebut salah satu: Front Pembela Islam (FPI). Ya, „Islam‟ telah menjelma menjadi semacam sensor tidak hanya bagi dunia perfilman, namun juga aspek sosial lainnya. Ini dengan catatan, sasaran serangan ini selalu diarahkan ke dimensi publik, jarang personal.

Bila tekanan dari apa yang disebut sebagai “kelompok religius Jakarta” tidak diketemukan secara nyata, hal yang jelas terlihat itu yakni usaha pengeksklusian hal-hal yang berbau seksual dari wilayah publik. Dengan

shoot-shoot yang panjang, lorong-lorong menuju tempat pelatihan itu menjadi semakin dalam, semakin jauh dari „permukaan‟. Jarak yang terpencil ini dikuatkan pula melalui cerita Mudakir bahwa tempat itu dulu berfungsi sebagai bungker alias lubang perlindungan. Penempatan bisnis seks di tempat yang begitu tersuruk ini menandai dipinggirkannya seks dari permukaan. Seks dilokalisasi sebatas dinding bilik atau kamar.

Kembali ke teks Quickie Express. Dengan teknik zoom in, kamera memperlihatkan pintu sebuah ruangan bertuliskan: “Pink Room”. Di bawah tulisan itu, dibubuhi keterangan: “Un authorized personnel prohibited to

enter”. Keterangan ini menegaskan pengeksklusian yang dimaksud di atas.

Selanjutnya disambung dengan shoot muka Jojo dalam bingkai BCU. Matanya membelalak, dan berkata setengah berteriak: “Gigolo?” Setelah itu, ukuran layar meluas, hingga MLS. Di layar tersaji sebuah ruangan yang terang benderang dengan dinding yang dicat merah jambu. Jojo dan Mudakir berdua saja di ruangan itu.

Perdebatan antara Jojo dan Mudakir berlangsung sengit. Selama ini, kamera menampilkan keduanya dalam bingkai CU. Baik Jojo dan Mudakir sama-sama berjawab kata. Tak ada yang lebih diam ketimbang yang lain. Keduanya sama-sama bersuara. Begitupun, Jojo mampu bergerak dengan

bebas, sekadar mondar-mandir di ruangan atau juga menggunakan bahasa tangan. Hal yang langka ditemukan dalam 2S antara Jojo dengan atasan-atasannya terdahulu. Ditambah, baru kali ini lah Jojo dialamati sesuai dengan namanya. Yang sudah-sudah, Jojo dipanggil dengan kata ganti entah itu

“sampeyan” atau juga “lu”.

Untuk meyakinkan Jojo, Mudakir menyarankan Jojo mengikuti tes yang disebut: “bimbingan karir interaktif”. Tes ini berupa kuis dilengkapi sejumlah pertanyaan dan beberapa pilihan jawaban. Meski pertanyaan tertulis di layar, ada pula suara narator. Suara seorang perempuan dengan aksen Inggris yang dibuat-buat. Ekspresi si narator semakin heboh ketika

menanggapi jawaban Jojo atas pertanyaan seputar seks. Contoh

komentarnya: “good...” dan “oh yeah!”. Cara komentar ini dilafalkan, berikut intonasinya akan mengingatkan pada komentar-komentar di film biru. Di penghujung tes, diberitahukan bahwa pekerjaan yang paling cocok untuk dilakoni Jojo yaitu: gigolo.

Sebelum mulai berpraktek sebagai gigolo, Jojo terlebih dahulu dilatih menjadi apa yang disebut Mudakir sebagai “mesin seks tahan banting”. Di pusat kebugaran, Jojo dipertemukan dengan dua orang rekan senasib sepenanggungan: Piktor dan Marley. (Perhatikan bahwa kedua tokoh gigolo ini memakai nama impor.) Marley yang sedang bergelantungan, disorot dari samping. Kamera membingkainya dari jarak LS. Sesaat, gambar ini dibekukan. Begitu tulisan “Marley” muncul di bagian kiri layar, terdengar suara Jojo memberi keterangan: “Marley. Percaya bahwa Bob adalah seorang napi dan rasta artinya puji Tuhan.”

Kamera lalu beralih pada Piktor. Ia sedang tiduran dengan kepala tertumpu pada lengan. Ia dibingkai dalam ukuran MLS. Posisi kamera ada di depannya. Gambar ini lagi dibekukan. Tulisan “Piktor” muncul di kiri layar. Terdengar Jojo menerangkan: “Piktor. Paling cerdas dalam urusan seks.

Sarjana komunikasi. Cita-citanya sih jadi penyiar tapi selalu gagal gara-gara 1 kesalahan kecil”. Kelemahan itu, yakni tidak bisa melafal huruf p. “Kalau itu kan buat besarin faha. Kalau ini, fantat?,” tanya Piktor sembari memukul bagian bokong. Penokohan Piktor sebagai yang paling jago urusan seks ini agaknya sejalan pula dengan namanya. Sebutan Piktor dikenal sebagai singkatan dari Pikiran Kotor.

Gambar 3.8. Rekan baru Jojo: Marley dan Piktor

Dilihat dari perawakan keduanya, sangat berbeda satu sama lain. Marley paling ceking, tinggi sedikit dari Piktor. Kulitnya lebih gelap ketimbang 2 rekannya. Rambutnya panjang dan gimbal serta sering ditutup kupluk. Piktor, kulitnya terang. Rambut pendek bergelombang. Kumis tipis melengkung di atas bibir. Badannya sedang: tak sekurus Marley dan tak sesubur Jojo. Akan halnya Jojo, Piktor pun menghiasi tubuhnya dengan beberapa tato. Kedua rekan Jojo ini, dalam keterangan Mudakir diperlukan untuk memenuhi “selera tante-tante yang rada aneh”. Dalam artian ini, Piktor dan Marley didudukkan sebagai „pengecualian‟ dari gigolo-gigolo kebanyakan.

Jika Marley dan Piktor adalah „pengecualian‟, Jojo dianggap sebagai „norma‟, sosok laki-laki yang ideal. Tentu bila membayangkan Jojo sebagai sosok Tora Sudiro di luar layar (offscreen), penokohan ini tidak akan dianggap aneh. Akan tetapi, bila memperhatikan tampilan dan dandanan Tora di film ini, kategori ideal itu menjadi asing dibandingkan tokoh karakter utama di

film-film lain. Jojo digambarkan berambut gondrong, berponi, kumisan, dan bertubuh gempal. Ini sebabnya mengapa Lee menilai Quickie Express menghadirkan “weird and unorthodox concepts of beauty”.5

Lanjut, apa saja keahlian yang diajarkan pada calon gigolo tersebut? Setidaknya terdapat empat ruangan yang difungsikan dalam rangka membentuk Jojo, Piktor dan Marley sebagai pemuas hasrat wanita. Pertama,

body language room. Di dalamnya mereka diajari tarian tiang; layaknya

striptease yang menjadikan tonggak sebagai pusat atraksi. Lalu, sex education room di mana ketiganya belajar mengenal titik G-Spot pada wanita. Berikut, vocal training room. Tidak khusus untuk olah vokal tentu saja. Melainkan bagaimana teknik merayu yang jitu. Terakhir, table manner room. Tak persis berkaitan dengan bagaimana memperlancar permainan di tempat tidur, namun ditujukan sebagai bekal bagi para gigolo untuk membawakan diri di kalangan jet set.

Soal tarian erotis, perlu dikupas lebih lanjut. Saya menahan-nahan diri untuk tidak menyebutkan betapa terganggunya saya menyaksikan adegan ini. Ingin mengelak-ngelakkan pandangan agar tidak melihat mereka bertiga berjumpalitan dengan pakaian yang sebegitu minim. Namun, persoalan

ketidaknyamanan ini saya kesampingkan untuk kemudian fokus

menggambarkan bagaimana kamera menyorot laki-laki ketika mereka bergoyang seksi.

Sebenarnya, ada beberapa adegan pelatihan tari. Adegan itu disusun dengan diselang-selingi dengan adegan lain, atau montage. Namun, pada saat ini kerangka waktu bukannya diam, melainkan ikut berjalan. Menandakan latihan yang terus berulang, bukannya latihan yang satu kali jadi.

5

Latihan pertama. Dalam jarak LS, trainer terlihat sedang memperagakan tarian. Ia ditempatkan persis di tengah layar, dibingkai elok oleh tubuh Jojo dan Marley yang membelakangi kamera. Hentakan musik seirama dengan gerakannya. Kadang, ia memagut tiang sembari menggoyang otot panggul, maju dan mundur. Di lain waktu, tiang itu dilepas sambil tetap menggerakkan panggul. Selagi ia masih menari, kamera mengarah pada tiga sekawan: Jojo, Piktor, dan Marley. Dalam bingkai MS, ketiganya terkesan

bengong campur ngeri.

Gambar 3.9. Latihan tari tiang

Ganti, sekarang giliran tiga sekawan itu yang menari. Layar kembali pada ukuran LS. Tapi, jauh berbeda dari yang diperagakan trainer, tarian mereka tidak beraturan. Gerakan mereka sama sekali tidak kompak. Walau, musik yang mengalun di latar masih tetap sama. Si trainer berdiri di belakang. Ia memegang raket nyamuk. Sesekali ia melayangkan raket itu ke pantat ketiganya, jika gerakan mereka kacau.

Latihan berikut berlainan dari yang pertama. Musik lantar digantikan hitungan. Trainer kembali maju duluan, memberi contoh. Ia di-shoot dalam bingkai MS. Gerakan kali ini lebih sederhana. Kedua tangan direntangkan sambil bergerak lincah ke kiri dan kanan. Lalu, kamera ganti menyorot Jojo, Piktor, dan Marley dalam jarak LS. Ekspresinya tidak berbeda jauh ketimbang yang tadi. Akan tetapi, Jojo tak lagi bergidik. Ia merentangkan satu tangan,

persis mendarat di depan muka Marley. Marley yang terhalang pandangannya, mencoba mengintip dengan menggeserkan kepala. Tapi gagal, sebab kepalanya kembali disorongkan Piktor.

Gambar 3.10. Jojo, Piktor, dan Marley berlatih tari

Selanjutnya, pelatihan tari ini disusun berselang-seling dengan adegan lain. Itu pun, tak selalu dimulai dengan trainer memberi contoh, dan diikuti Jojo, Piktor, dan Marley. Adegan itu terpotong-potong. Misal, dalam satu kesempatan, trainer memperagakan gerakan olah pernapasan. Ia dibingkai dengan MS. Tangannya bergerak maju mundur, disesuaikan dengan ritme keluar masuk udara di sistem pernapasan. Suara mendesis terdengar keluar dari mulutnya. Setelah disisipi adegan di ruangan table manner, baru latihan ini dilanjutkan. Tapi, bukan untuk mengikuti gerakan barusan.

Kamera berada pada jarak LS. Posisi trainer ada di depan. Di belakangnya, berdiri Jojo, Piktor, dan Marley. Dalam gerakan ini, tangan dibuka lebar-lebar. Pun, kaki dikangkangkan. Kamera datang mendekat, namun tetap pada bingkai LS. Begitu berada di tengah, kamera bergerak ke kanan, dan cut. Di layar muncul gambar lain lagi: sebuah pintu dengan tulisan

“table manner room”.

Selanjutnya, diperlihatkan aktivitas di ruangan table manner room. Itu pun tak langsung dituntaskan. Adegan tari yang lain juga disisipkan diantaranya. Masih dalam bingkai LS, seperti sebelumnya, trainer mengambil

posisi di depan. Ketiga anak didiknya ada di belakang. Kali ini, gerakan dibantu oleh sebuah kursi. Satu kaki bertumpu pada kursi tersebut, sementara kaki yang lain menginjak lantai. Bagian pinggul digoyang-goyangkan dengan cepat dan teratur. Maju – mundur, maju – mundur, begitu seterusnya.

Gambar 3.11. Jojo, Piktor, dan Marley mencontoh gerakan trainer

Lalu, latihan dengan tiang yang ditampakkan di awal latihan, kembali ditayangkan. Masih dalam komposisi dan bingkai yang sama, trainer di tengah layar diapit Jojo dan Marley yang berdiri di pinggir. Gerakan yang ditunjukkan sama persis dengan yang sebelumnya. Kemudian, gambar diganti dengan gerakan olah pernapasan, yang juga sudah pernah ditampilkan. Selepas ini, kembali ke ruangan table manner, untuk meloncat lagi ke adegan tarian berikut.

Dalam jarak CU, terlihat tiga tangan memegang tiang. Lalu, layar melebar hingga LS. Kelihatan Jojo, Piktor, dan Marley bersiap-siap di belakang tiang. Trainer, seperti biasa, juga siap siaga di belakang. Kali ini, gerakan mereka bergerak berbarengan. Lebih kompak dari yang sudah-sudah. Ketika mereka berpindah ke depan tiang, tubuh bagian belakang digesekkan-gesekkan pada tiang itu. Kamera bergerak mendekat dengan pelan, hingga jarak MLS.

Lalu, layar ganti memperlihatkan latihan yang lain lagi. Trainer ada di depan, persis di tengah. Ia diapit oleh Jojo dan Marley. Kedua tangannya dikembangkempiskan dengan teratur. Dengan perlahan kamera menjauh. Memasukkan Piktor yang tadi tak tampak di layar. Kamera baru berhenti ketika mencapai jarak LS.

Setelah dijeda dengan pelatihan di pusat kebugaran, pelatihan tadi dilanjutkan. Gerakan yang ditampilkan sudah berbeda. Fokusnya ada pada area panggul dan pantat. Posisi trainer masih di depan, dan Jojo, Piktor, Marley di belakang. Ketiganya terlihat berusaha mencontek betul gerakan

trainer. Selama ini, kamera sempat bergeser. Memperluas ukuran layar dari

MS hingga LS.

Pelatihan selesai. Di sebuah ruangan, dalam bingkai LS, Jojo, Piktor, dan Marley berjalan mendekati kamera. Ketiganya tidak lagi bercelana super pendek dan kaus oblong. Melainkan, sebuah jumpsuit ketat berwarna oranye tua yang panjangnya hanya sebatas paha. Begitu mereka sampai pada jarak

MS, mereka berbalik. Di punggung kostum mereka tertulis: “Order your own

pizza boy!”. Trainer, yang tegak di belakang, memperhatikan dan

mengacungkan jempol.

Diperhatikan secara keseluruhan, satu hal yang mencolok dari periode ini yakni soal pakaian Jojo yang bertambah minim. Terutamanya ketika Jojo dan kedua rekannya: Piktor dan Marley ikut pelatihan gigolo di Quickie Express. Celana pendek ketat sepaha dipadupadankan dengan baju tanpa lengan yang sepas badan. Alhasil, bentuk badan ketiga lelaki itu pun terekspos dengan jelas. Sementara itu, tonjolan di celana Jojo yang tadi sempat dipersoalkan, menjadi lebih kentara. Namun, tidak pernah dihadirkan dalam bingkai CU serupa di awal. Ekspos tubuh mereka tambah menjadi berkat gerakan-gerakan provokatif yang mereka peragakan saat latihan tari. Alhasil, nuansa sensual dan erotis menjadi berlimpah. Walau, yang jadi

catatan juga, karena ini film komedi, erotisme yang dipertontonkan dicampur dengan nuansa yang komikal dan lucu.