• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

C. Laki-Laki Pekerja Seks: Kaya dan Berkuasa

C. Laki-Laki Pekerja Seks: Kaya dan Berkuasa

Di layar, dalam ukuran CU, terpampang tulisan: “Display Room”. Seperti ruangan lain di Quickie Express, ada keterangan lain di bawahnya:

“Un authorized personnel prohibited to enter”. Lalu, masuk ke gambar

berikut. Sebuah ruangan gelap dibingkai dalam ukuran MS. Sebuah tirai yang terbentang persis di depan ruangan itu, membuka dengan perlahan. Menyingkapkan ruangan lain di seberang yang terang-benderang. Dari arah kiri, masuk secara berurutan: Jojo, Marley, dan Piktor. Ketiganya memakai kostum jumpsuit yang tadi ketika mereka dilantik. Tepat di belakang mereka, terdapat garis-garis dalam ukuran centimeter.

Kamera ganti berpindah ke ruangan di mana Jojo, Marley dan Piktor berada. Kamera ada di belakang, menyorot refleksi ketiganya (MLS) yang terpantul di kaca depan. Kaca yang sama yang memisahkan ruangan itu dengan ruangan gelap yang tampak di awal. Kontras, ketika kamera berpindah ke depan, ke ruangan gelap, kaca itu tak memantulkan refleksi orang-orang yang duduk di sana. Penonton di Quickie Express itu diposisikan laiknya penonton di teater.

Di layar kini tampak Jojo, Marley, dan Piktor (MS). Kali ini mereka disorot dari depan. Ketiganya sedang berbincang tentang „tante-tante‟ yang akan memakai jasa mereka. Di tengah percakapan, terdengar suara Mudakir memerintah: “Aaaaah, coba buka seragam ente semua.” Kamera kemudian pindah ke ruangan sebelah. Dari jauh tampak ketiganya mengambil ancang-ancang hendak membuka ritsleting. Kamera masuk kembali, namun gambar yang diambil hanyalah bagian kaki (CU). Baju yang mereka kenakan sudah dipelorotkan sepenuhnya.

Dengan dada yang sepenuhnya telanjang, ketiganya dibingkai dalam

MS. Tubuh mereka jelas terpapar dalam jarak ini. Sementara itu, perbincangan mereka teruskan. Kali ini seputar “rudal dan torpedo”, istilah Piktor. „Benda‟ yang sama sekali luput dari layar. Jojo disebut-sebut memiliki ukuran paling besar. Sepanjang „pemeriksaan‟ itu ia sumringah. Senyumnya melebar. Dadanya pun membusung. Beda dengan Marley. „Punyanya‟ dinilai paling kecil. Alhasil, ia jadi bahan ejekan dan olokan kedua rekannya. Mukanya jelas kecut.

Gambar 3.12. Jojo, Piktor, dan Marley dipajang pada calon tante

Klien pertama. Ketika ini editing film dibuat berselang-seling. Antara Jojo, Marley dan Piktor yang menemui klien masing-masing. Gambar itu dipotong-potong secara paralel. Penyuntingan model ini membuat ketiganya tetap terhubung, meski berada di lokasi yang berbeda. Nasib, benang merah ini lah yang menyatukan ketiganya.

Di layar tampak Jojo, dalam posisi membelakangi kamera, memegang secarik kertas bertuliskan “Quickie Express”. Searah pandangnya, terdapat sebuah restoran yang dibingkai dalam ukuran LS. Jojo berjalan menuju restoran tersebut. Kamera memperhatikan dari jauh. Sesampainya di sebuah meja, ia bertanya: “Quickie Express?”. Kali ini, kamera bergerak pelan menyorot lawan bicara Jojo mulai dari ujung kaki hingga kepala (CU). Begitu kamera sampai di atas, sembari tersenyum ia berkata: “Yes.” Kamera

berbalik pada Jojo, menampilkannya dalam ukuran MCU. Ketika ia hendak duduk, kamera mengikuti dan tetap mempertahankan fokus di wajahnya.

Jojo lanjut berbincang dengan orang yang dipanggilnya “tante” itu. Baik Jojo dan si tante dibingkai dalam ukuran MCU dengan latar yang diburamkan (shallow focus). Selama percakapan, Jojo memakai Bahasa Indonesia campur Inggris, yang dibalas si tante dengan Bahasa Inggris seluruhnya. Dari segi pelafalan (pronounciation), si tante jauh lebih bagus ketimbang Jojo. Mirip penutur asli. Patut dicatat bahwa dialog dalam Bahasa Inggris ini belum dipakai dalam adegan-adegan sebelumnya. Lebih lanjut, penggunaan bahasa di sini dapat dibilang menandakan kelas. Kelas bawah diidentikkan sebagai pengguna bahasa lokal, dan kelas menengah ke atas sebagai pengguna bahasa asing.

Berikut, adegan berpindah ke sebuah ruang tamu (LS). Sofa berukuran besar ditata dengan rapi mengelilingi sebuah meja persegi. Di latar, terdengar suara seseorang: “Spada. Fermisi”. Dari arah pintu, muncul si empunya suara. Piktor. Begitu masuk, ia menggesek-gesekkan sepatu ke karpet. Ia berujar: “Karfet Fersia. Isteri fejabat nih.” Jika klien Jojo di atas meneguhkan kelasnya melalui pilihan bahasa, klien Piktor melalui jenis karpet yang dipilihnya.

Untuk beberapa saat, Piktor lalu lalang di ruangan itu, dengan kamera yang tetap diam di tempatnya. Piktor mulai kebingungan, menoleh kanan-kiri mencari si empunya rumah. Saat ini, kamera menyorot dari jarak CU. Tiba-tiba, dari arah belakang yang masih diburamkan, terdengar bunyi pintu terbuka. Sesosok perempuan hadir dalam bentuk siluet. Piktor membalikkan badan. Kamera bergerak mendekat (zoom in) memperlihatkan Piktor yang terkesima. Mulutnya menganga, sembari berkomentar: “O...mantaf.”

Kamera dengan cepat berpindah mengikuti arah tatapan Piktor. Di pintu, berdiri tegak seorang perempuan berpakaian suster. Rambutnya

panjang bergelombang. Di mulutnya mengembang seulas senyum. Kamera berada di jarak MS. Perempuan itu berjalan mendekat dengan pelan, sama pelannya dengan musik yang mengalun lembut di belakang. Ia berhenti begitu ada di jarak CU. Lalu, adegan diganti.

Gambar 3.13. Klien pertama Jojo, Piktor dan Marley

Di sebuah kamar dengan cahaya yang temaram, di-shoot dari jarak LS. Marley berdiri tegak, menghadap pada seorang perempuan. Perempuan itu berbaring di kasur, membelakangi kamera. Seperti halnya Jojo, Marley membuka perjumpaan itu dengan bertanya: “Quickie Express?”. Kamera tetap berada dalam posisi ini sampai si perempuan memerintahkan Marley memakai baju seragam sekolahan. Kamera lanjut berpindah dari Marley (MCU) ke sebuah baju yang tersandar di kursi.

Marley bertanya, setengah tidak percaya. Perempuan itu tidak segera menjawab. Sementara kamera merayapi badannya, dimulai dari kaki hingga berhenti tepat di kepala. Ketika ini waktu seakan merangkak pelan. Dalam bingkai MCU, ia menjawab: “Iya, baju itu, sayang”. Kamera kembali ke Marley, masih dalam MCU. Ia tertawa. “Kerjakan. Tak setrap nanti,” tukas si perempuan. Di layar sekarang ganti muka si perempuan dalam ukuran MCU.

Pindah ke Jojo. Jojo yang sedang duduk membolak-balik menu, didatangi oleh pelayan. Pelayan itu menanya-nanyai Jojo seputar hubungannya dengan si tante. Jojo terlihat acuh, dan tak banyak berkomentar. Ketika moncong si pelayan mendekat, hendak bercerita lebih

banyak, Jojo langsung memotong. Ia melarikan diri ke kamar mandi. Selama dialog berlangsung kamera tetap diam, bertahan pada jarak CU. Bingkai melebar hingga MS tepat ketika Jojo memilih untuk kabur.

Di sebuah kamar yang luas dan megah, dibingkai dalam MLS, suster dan Piktor masuk. Begitu sampai di depan tempat tidur, si suster berhenti. Piktor mengedarkan pandangan, mengamati ruangan. Lalu, ia tegak berhadap-hadapan dengan suster, mulai melancarkan rayuan. Ketika ini, kamera merapat hingga CU. Jarak antara keduanya pun semakin menipis. Piktor memegang bahu suster, menatap matanya, lanjut menggoda. Saat ini, layar melebar sampai MLS. Tangan Piktor ditepis. Layar kembali ke ukuran

CU. Suster menoleh ke kiri layar, memanggil seseorang lain yang disebutnya nyonya. Dengan memanggil nyonya, si suster sekaligus menginformasikan bahwa statusnya di rumah itu hanya „bawahan‟. Kamera yang tadi ada di belakang Piktor, pindah menyorot dirinya.

Suster bergeser ke samping kanan. Meninggalkan Piktor sendirian di layar. Dengan perlahan kamera mendekat (zoom in). Menempatkan muka Piktor dalam CU. Dari arah kiri, setentang dengan arah pandang suster tadi, muncul seorang perempuan. Ia dibingkai dalam CU. Rambutnya awut-awutan. Gigi atasnya ompong. Riasan mukanya tebal. Setibanya di muka Piktor, ia menjilat bibir. Sembari matanya merem-melek. Dari bibirnya yang bergincu tebal, terdengar desahan: “Aaaaah...”.

Cerita kembali ke Marley. Kamera memanjat tubuh Marley dari pinggang hingga kepala. Ia sudah mengenakan baju seragam yang tadi disediakan. Kamera berpindah ke si tante (MCU). Ia memberi tugas baru lagi: membaca buku. Buku itu terletak di bawah kakinya. Seiring dengan arah telunjuknya, kamera bergerak ke bawah, turun melewati badannya. Ia menyepakkan sebuah buku. Marley pun menurut. Dalam bingkai MCU, ia mulai membaca. Buku itu terkembang di tangannya. Terdapat tulisan di

sampul: “6 Langkah Belajar Membaca”. Matanya bergantian memandang buku dan memandang ke depan, ke tempat si tante berada.

Dalam ukuran MCU, ekspresi si tante tampak semakin heboh. Ia bahkan sampai mengurai rambutnya yang tadi diikat. Kacamatanya juga dilepas. Editing dengan bergantian memperlihatkan ekspresi Marley yang heran campur takjub, dan ekspresi si tante yang semakin memanas. Sepanjang ini, layar tetap berada di bingkai MCU.

Adegan berpindah pada Piktor. Kamera ada di atas dalam jarak MLS. Si tante membungkuk, satu tangannya memegangi kaki Piktor. Piktor disorot dari kaki hingga sebatas leher. Kamera bergerak mengikuti tangan si tante yang mendaki tubuh Piktor yang setengah telanjang. Begitu ia sampai di atas, kamera berpindah posisi. Menyorot Piktor dari arah depan. Ekspresi mukanya terlihat takut. Ekspresi ini semakin jelas berkat zoom in.

Gambar 3.14. Kencan pertama Piktor

Ukuran layar kembali ke MLS. Piktor berkeliling ruangan mematikan lampu dan menutup gorden. Sementara si tante duduk di tempat tidur, bersiap. Desahannya masih terdengar. Ketika lampu sudah sepenuhnya mati, meninggalkan kegelapan yang pekat di layar, desahan itu menjadi semakin nyaring.

Layar bergeser, dalam ukuran CU ditampilkan gambar wajah laki-laki menghadap ke kanan, dengan tulisan “Gents” tepat di bawahnya. Masih

dalam CU, terlihat tangan di bawah kran yang sedang mengalir. Lalu, layar melebar hingga ukuran MS. Si empunya tangan, Jojo, sedang mencuci muka. Tiba-tiba dari arah kirinya, terdengar orang buang angin. Jojo melirik ke sumber suara, diikuti oleh gerakan kamera ke samping kiri. Bunyi itu semakin heboh. Kamera mendekati Jojo sampai jarak MCU, memperlihatkan muka Jojo yang mengernyit. Kini, ia menutup hidung.

Gambar 3.15. Kencan pertama Marley

Kembali ke Marley. Dalam bingkai MS, Marley disorot dari belakang. Si tante, yang berada di depan, meminta Marley membuka celana. Marley menurut. Kamera sekarang pindah posisi. Menyorot Marley dari kepala hingga pinggang. Namun, bagian pinggang itu tertutup sempurna oleh kepala si tante. Kamera kembali ke posisi semula. Bagian bokong Marley tampak separuhnya. Si tante, yang kini sudah memasang kaca mata berkata mengolok: “Kecil sekali”. Kamera berbalik pada Marley. Mukanya mememarah, marah. Serta merta ia melepas baju, dan „menerkam‟ si tante.

Jika Piktor dan Marley sudah sampai ke acara kencan, lain dengan Jojo. Ia masih di toilet, menutup hidung. Kamera turun perlahan, di bawah sebuah tisu menggelinding. Jojo memungut tisu tersebut, dan berencana memasukkannya lewat bawah pintu. Kamera bergerak ke bawah, terlihat sepasang kaki, mengangkang dengan sepatu wanita. Di atasnya tertonggok celana dalam putih bermerek Hings. Celana dalam laki-laki! Di luar, Jojo

meringis. Menyadari bahwa sepatu itu adalah sepatu yang sama dengan yang dipakai si tante. Jojo kembali ke mejanya, lalu angkat kaki.

Gambar 3.16. Kencan pertama Jojo

Kini, di layar yang terlihat hanya pepohonan. Kamera tilt down, berhenti di jalan raya. Dari arah belakang, tiga skuter jalan beriringan. Narasi Jojo kembali terdengar. “Rentetan tugas sudah di depan kami. Kami sudah menjadi laki-laki yang yang kuat, lebih tangguh, dan lebih menggairahkan. Kami adalah arjuna-arjuna modern, seksi, tak terhentikan.” Sesudah itu, dihadirkan potongan-potongan gambar. Kalender yang berganti dengan cepat. Jojo yang diikat di ranjang sementara dilecuti oleh seorang wanita. Pintu-pintu yang membuka disambut para gigolo muda yang menyapa dengan ceria. Lanjut diperlihatkan para tuan rumah yang mengundang para gigolo muda itu. Serpihan-serpihan gambar ini singkat-singkat, dan berlangsung cepat. Waktu berminggu-minggu dipadatkan dalam sepersekian detik.

Meski hadir cuma dalam bentuk kilasan, ada satu adegan yang menarik dipreteli lebih lanjut. Adegan itu yakni ketika Jojo diikat di tempat tidur. Matanya ditutup. Dadanya telanjang. Persis di depannya, duduk tegak seorang perempuan. Ia berkacak pinggang. Tangan satunya memegang tongkat. Tongkat itu dilecutkan berkali-kali pada Jojo. Ukuran layar yang semula MS, menciut menjadi MCU ketika beralih pada sosok si perempuan. Ia

berteriak: “Panggil aku manja.” Jojo yang dalam posisi tak berdaya hanya sanggup merengek: “Ampun tante. Ampun tante.”

Gambar 3.17. Jojo dilecut di tempat tidur

Memasuki menit-menit selanjutnya, boleh dibilang adalah masa-masa kejayaan Jojo, Piktor, dan Marley sebagai gigolo. Terutamanya dari faktor finansial. Sesuai dengan apa yang diakui Jojo: “Sekarang kita bertiga ga perlu lagi mikir duit. Om Mudakir bener, ini adalah pekerjaan terhebat yang bisa

gue dapetin”. Untuk menggambarkan materi mereka yang berlimpah, tidak ditunjukkan dengan aktivitas menghitung uang, atau memperlihatkan besaran nominal mereka di tabungan. Melainkan, lewat praktik konsumsi.

Berhubung Jojo, Piktor, dan Marley sudah menjelma menjadi OKB alias Orang Kaya Baru, gaya hidup mereka pun di-upgrade. Misal, dengan

nongkrong di kafe yang diklasifikasikan sebagai tempat berkumpulnya “kasta eksekutif muda”; pindah ke rumah dengan fasilitas kolam renang pribadi; mengendarai skuter berkeliling-keliling kota; menghabiskan 4 juta rupiah untuk sekadar membeli ikan lohan; memborong pakaian di pusat perbelanjaan, atau dengan memuseumkan pemutar musik konvensional dengan perangkat digital.

Kejayaan Jojo semakin berkibar ketika ada seorang wanita cantik, Lila, mendampingi. Berbeda dari pertemuan Jojo dengan Tante Mona yang

terjadwal, Jojo bersua dengan Lila tidak sengaja. Ceritanya, Jojo dan rekan-rekan berkelahi dengan teman-teman Lila. Lila terkena pukulan nyasar dan pingsan. Jojo membawa Lila pulang, merawat lukanya. Ketika Jojo mengusap kening Lila yang lebam, keduanya disatukan dalam bingkai 2S yang ketat (MCU). Namun, kesan intim belum terasa. Yang lebih mengemuka itu kelucuan. Saat Lila tertidur, Jojo mendekatkan wajahnya. Jika dalam film drama, momen ini akan berakhir dengan sebuah ciuman. Dalam film ini, Jojo malah mengatupkan bibir Lila yang terbuka. Namun, yang menjadi perhatian, dalam percakapan dengan Lila, untuk pertama kalinya Jojo menggunakan kata ganti “aku”, bukan “gue” seperti biasanya.

Pertemuan selanjutnya berlangsung di klinik. Romantisme antara keduanya mulai dibangun. Terutamanya pada momen ketika mereka berpisah. Jojo dan Lila berjalan berlawanan arah. Dalam MS, Lila tersenyum. Jojo, yang ada di belakang Lila, ditampilkan tidak fokus. Ia berhenti sejenak, menoleh ke arah Lila. Lila balas menoleh. Tapi ketika itu Jojo sudah membalikkan badan. Sampai akhirnya Jojo berhenti dan berbalik arah mengejar Lila. Akan tetapi, Lila menghilang di tikungan. Jojo kembali, melangkah ke luar. Sementara, di ujung tikungan, Lila muncul. Menjemput Jojo yang telah menghilang di pintu. Sepanjang adegan kucing-kucingan ini, musik lembut mengalun, dan baru berhenti setelah Lila tak terlihat lagi di layar.

Sementara itu, karir Jojo, Piktor, dan Marley semakin menanjak. Hingga Om Mudakir memutuskan mereka dapat memasuki tahapan lebih lanjut: “level advance” diistilahkan. Mereka pun dipersiapkan kembali. Mulai dari pakaian hingga perawatan muka. Seragam jumpsuit mereka tanggalkan, berganti dengan pakaian tailor made. Ini ditekankan dalam rangkaian CU. Dalam narasi offscreen terdengar Mudakir menerangkan: “Mulai sekarang,

ente bakal melayani isteri pejabat, pengusaha besar, dan kaum sosialite. Sekarang ente bukan cuma gigolo tapi kapal keruk fulus.”

Gambar 3.18. Gigolo level advance

Digantikannya seragam model jumpsuit dengan pakaian-pakaian tailor made, menandakan lebih dari sekadar perubahan status Jojo dan kawan-kawan. Yang terpenting yakni efeknya pada tingkat keterpandangan tubuh mereka. Dalam seragam jumpsuit yang sempit dan ketat tersebut, tubuh ketiganya jelas tercetak. Sedangkan dengan pakaian tailor made tersebut, bentuk tubuh mereka tertutupi sepenuhnya. Yang ditonjolkan sudah bukan lagi kebagusan kulit dan otot si pemakai, namun material pakaian (sepatu kulit dan jaket kulit).

Hari pertama naik tingkat. Jojo datang menaiki eskalator. Kamera sudah menantinya di ujung dengan bingkai yang lebar (LS). Musik rock & roll

menghentak di latar. Di liriknya terdengar: “Akulah mesin cinta.” Begitu Jojo menginjakkan kaki di lantai, posisi kamera yang tadi ada di atas kepala Jojo, pindah ke kaki. Menyorot Jojo dari sudut low level. Berjas dan berpantalon ria, Jojo melangkah gontai masuk ke sebuah lorong. Dalam MLS, terlihat orang-orang saling bertegur sapa. Pengunjung laki-laki memakai jas dan dasi, dan kalau wanita memakai gaun. Dengan pakaian yang dikenakannya itu, Jojo terlihat menyatu dengan lingkungan tempatnya berada.

Seperti halnya Jojo, kamera ikut masuk lebih dalam menelusuri lorong itu. Hingga kemudian Jojo sampai pada sebuah ruangan. Kamera tinggal di

belakang, sementara Jojo masih berjalan. Di sekeliling tampak orang-orang berkumpul. Begitu tiba di satu titik, Jojo berhenti. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kamera tidak mengikuti arah pandang Jojo. Melainkan bergerak memutar dengan Jojo sebagai pusat. Kemudian, kamera menjauh. Memperlihatkan kerumunan dalam bingkai LS.

Layar sekarang mengecil hingga CU. Musik yang tadi berisik, berhenti. Digantikan dengan SFX bunyi korek api gas. Sebatang rokok terapit di antara jemari dengan kuku yang lentik. Terdengar Jojo menyapa: “Tante Mona”. Tante Mona terasa begitu spesial tidak hanya karena ia klien „advance‟ pertama Jojo, tapi juga karena ia satu-satunya klien yang diketahui nama jelasnya. Klien yang lain hanya dipanggil dengan sebutan generik: “tante”.

Kencan Jojo dengan Tante Mona jauh berbeda dari yang sudah-sudah. Pertemuan di kasino, berlanjut di apartemen. Tidak langsung ke kasur, tapi diawali dengan acara minum sampanye sambil mengobrol. Waktu menjadi sangat lamban. Sama lambannya dengan dentingan piano yang mengalun pelan di latar, atau juga gerakan kamera yang begitu perlahan. Pencahayaan yang redup dan warna-warna yang lembut yang mendominasi ruangan tersebut, tambah menguatkan kesan tenang itu.

Gambar 3.19. Kencan Jojo dengan Tante Mona

Dalam bingkai LS, terlihat Jojo duduk di sofa. Kakinya mengangkang, kedua tangannya terbuka lebar. Tante Mona datang mendekat. Bingkai

kamera diperketat menjadi CU ketika Jojo memperhatikan Tante Mona lekat-lekat. Akan tetapi, kamera tak membiarkan Tante Mona menjadi fokus, ia berada di pinggir layar dan diburamkan. Ketika Tante Mona balas merayu Jojo, dan mulai menggerayangi tubuhnya, Jojo berada di pinggir layar, namun tetap dalam keadaan fokus.

Seusai acara minum bersama, Jojo bermain piano. Kamera yang tadinya menyorot jari-jari Jojo yang menari di atas tuts, lalu bergeser ke atas dengan perlahan. Membingkai Jojo dengan Tante Mona. Tante Mona mengelilingi Jojo sambil mengelus-elus badannya. Kamera ikut berpindah mengiringi. Dengan perlahan Tante Mona merunduk. Kamera tak ikut bergeser. Meninggalkan Jojo sendirian di layar dalam ukuran MCU.

Selang beberapa lama terdengar bunyi ritsleting dibuka. Jojo yang tadinya melihat ke bawah, kini menengadahkan muka. Mulutnya membulat. Matanya memejam. Kamera difokuskan pada dirinya seorang (shallow focus). Ekspresi ini bertahan beberapa saat. Sampai akhirnya Tante Mona berdiri, dan Jojo memepetkan Tante Mona ke pinggiran piano. Kali ini, suara desahan keluar dari mulut Tante Mona. Ketika dua insan itu asyik bergumul, kamera surut dengan perlahan hingga tertumbuk pada sebuah jam meja. Jarum jam itu bergerak dipercepat, memutar waktu sampai ke penghujung kencan.

Di layar, Jojo dan Tante Mona sedang berbaring dalam ukuran MLS. Tubuh mereka ditutupi selimut tebal berwarna merah hati. Tante Mona memainkan jemarinya di atas dada Jojo yang telanjang. Ia mencoba menahan Jojo lebih lama. Tapi, percuma. Jojo tetap bangkit dari tempat tidur. Di pinggiran dipan, Jojo duduk. Kamera menyorot punggungnya dalam MCU. Saat ia berdiri, kamera tetap pada tempatnya. Hingga bagian bokong sempat terekspos di layar. Ini tidak berlangsung lama. Kamera pindah ke atas, merekam Jojo hingga setentang pinggang (MS) sampai ia selesai berpakaian.

Seusai kencan dengan Tante Mona, Jojo jalan dengan Lila. Keduanya menyambangi klub malam bernama Whisky Agogo. Di sini, kamera banyak bermain di LS. Oleh karenanya, kerumunan dan suasana ramai dapat terekam dengan jelas. Di tempat ini, Jojo bertarung di lantai dansa dengan mantan kekasih Lila, Teddy. Keduanya menari di panggung mini yang letaknya lebih tinggi ketimbang lantai. Sementara, para penonton bersorak-sorak di bawah, melingkar mengerumuni panggung.

Disorot dalam LS, Jojo dan Teddy bersiap di atas panggung. Sebelum pertandingan dimulai, host memperkenalkan keduanya sebagai “si macho” dan “si ganteng”. Begitu musik menghentak diperdengarkan, Teddy mulai beraksi. Kamera mendekat, tapi masih tetap di jarak LS. Gerakan yang diperagakan Teddy begitu cepat dan energik. Dalam satu kesempatan, kamera berpindah menampilkan CU kakinya yang bergerak lincah. Kemudian lanjut bergeser ke atas, dan berhenti di jarak MS. Lanjut, giliran Jojo. Kamera