• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

A. Laki-Laki Pekerja: Seksualitas yang Absen

Menari menjadi salah satu momen di mana tubuh laki-laki dapat dieksplorasi (dan dierotisasi) dalam kadar berlebih. Neale sempat menyinggung tentang kemungkinan ini. Namun, yang menjadi catatan, pengkonsumsian itu terjadi setelah tubuh laki-laki diperempuankan terlebih dahulu.1 Kajian berbeda yang dilakukan Studlar dan Cohan, dalam tingkatan tertentu, mendukung asumsi tersebut.2 Penari laki-laki sering diolok-olok sebagai banci. Akan tetapi, tidak berarti mereka kehilangan seluruh kualitas maskulinnya. Bagi Studlar kehadiran penari laki-laki tersebut meredefinisikan maskulinitas ideal. Sebab, mereka mencampurkan antara otot yang besar dan

kekar dengan „kegemulaian‟ tubuh.3

Quickie Express memang bukan film musikal seperti yang disorot Cohan. Tidak pula secara spesifik menampilkan laki-laki sebagai penari seperti kajian Studlar. Namun, dalam film ini dapat dijumpai beberapa adegan yang memperlihatkan karakter laki-lakinya menari. Bahkan, Jojo, si tokoh utama dalam Quickie Express, sudah menari semenjak film baru dimulai, yakni bersamaan dengan munculnya opening title.

1 Neale, Steve. 1993. “Masculinity as spectacle” dalam Screening the Male: Exploring Masculinities in Hollywood Cinema. Eds. Steven Cohan & Ina Rae Hark. Routledge: London and New York, hal: 18

2 Studlar Gaylyn. “Valentino, ‘optic intoxication,’ and dance madness” dan Cohan, Steven. “Feminizing the song-and-dance man” dalam ibid., hal: 23 – 69

Pada Bab III sudah dikupaskan komponen sinematik dalam adegan Jojo mengepel sembari menari di tempat kerjanya. Di bagian pembuka, kamera merangkak di tubuh Jojo dengan arah diagonal mulai dari ujung kaki

hingga ke kepala. Saat ini sebenarnya „penonton‟ beroleh kesempatan untuk

meneliti tubuh Jojo dengan seksama. Tapi, peluang ini terbuang begitu saja. Ya, pakaian Jojo yang longgar dan tertutup menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Di samping itu, gerakan kamera juga kelewat cepat, kurang dari 7 detik. Tambah, bagian latar dan obyek yang sama-sama fokus membuat perhatian terbagi, alih-alih terpusat pada obyek (tubuh Jojo).

Gambar 4.1. Gerakan diagonal kamera menyorot Jojo menari

Menariknya, deep focus yang tadi digunakan beralih menjadi shallow focus ketika kamera sampai ke kepala. Di bagian belakang yang buram tampak segerombolan orang. Mereka semua ada di jarak XLS, sementara Jojo dibingkai sebatas dada (MCU). Orang-orang yang berjejer di belakang itu

dapat dikatakan „penonton di dalam layar‟. Benar, dengan jarak XLS tidak mungkin untuk melihat arah pandang kerumunan tersebut. Namun, pandangan itu tersampaikan lewat cara lain. Suara ketukan di pintu yang terdengar di latar dan penempatan kerumunan yang sejajar dengan Jojo menjadi kode bahwa mereka semua sedang memandang ke arah Jojo.

Kerumunan ini dapat dianggap sebagai tiruan dari penonton. Sebuah prototipe, katakanlah. Pemberian efek buram pada kerumunan ini menguatkan kesan masif dan anonim. Ini lah yang membuatnya semakin

menyerupai penonton. Lalu, pintu kaca yang menghalangi kerumunan itu dapat dianggap sebagai ganti dari layar. Yakni, layar yang memisahkan dengan tegas antara wilayah penonton dengan yang ditonton.

Dalam hal ini, posisi Jojo sebenarnya terjepit. Antara kerumunan orang di depan pintu yang menghadap pada dirinya dengan gerombolan orang-orang „di luar sana‟ yang ikut menonton. Tubuh Jojo dipersaksikan dari dua penjuru. Akan tetapi, Jojo mampu meloloskan diri dari perangkap ini. Posisi badannya yang menyamping dan semakin ke pinggir menjadikan Jojo lebih sebagai bingkai ketimbang tontonan. Oleh karenanya, pandangan „penonton dari luar‟ langsung tertumbuk pada „penonton di dalam‟.

Gambar 4.2. Jojo mengembalikan pandangan „penonton‟

Apalagi, kemudian Jojo menoleh. Fokus dengan cepat berpindah pada kerumunan. Gambar yang tadi samar, berubah menjadi terang. Momen ketika

Jojo menoleh ini merupakan komando bagi „penonton di luar‟ untuk

mengobyekkan „penonton yang di dalam‟. Pintu kaca yang tadi diposisikan sebagai layar, berubah kedudukan layaknya etalase toko.

Jelas, pada saat ini kontrol pandangan ada pada Jojo. Jojo berperan sebagai bearer of the look,4 istilah pinjaman dari Mulvey- yang menuntun

pandangan „penonton di luar‟ untuk menonton dari kacamatanya. Kalau lah

dipakaikan analogi dalam film, Jojo kasarnya laksana „kamera berjalan‟ yang

4 Mulvey, Laura. 1992. “Visual pleasure and narrative cinema” dalam Film Theory and Criticism: Introductory Readings. 4th Edition. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: Oxford, hal: 750 – 753

tak hanya menjadi perpanjangan mata bagi penonton, tapi juga mengerucutkan pandangan penonton sesuai bingkai yang dipakainya. Dan akan halnya kamera, segala yang masuk dalam lensanya bisa berubah menjadi obyek. Namun, tentu tidak untuk dapat dipakai untuk mengobyekkan dirinya. Oleh karena itu, untuk sementara dapat diasumsikan, Jojo memegang kendali terhadap tubuhnya.

Walaupun demikian, terlalu dini untuk melihat Jojo sebagai penguasa pandangan (seperti halnya tokoh Berlian dalam Pasir Berbisik)5. Perbedaan

yang utama, Berlian mampu mengembalikan pandangan „penonton‟ baik itu yang „di dalam layar‟ maupun „luar layar‟. Memang dalam adegan Pasir Berbisik, „penonton di dalam‟ (diwakili oleh Daya, anak Berlian) dan „penonton di luar‟ diposisikan sebaris. Maka, dalam sekali tatap, Berlian mampu menelanjangi keduanya. Berbeda dengan kasus di atas. Posisi kedua

„penonton‟ itu saling bertolak belakang.

Gambar 4.3. Menjelang opening title film Inem Pelayan Seksi

Selanjutnya, mari membandingkan adegan Quickie Express di atas

dengan adegan pembuka dalam film Inem Pelayan Seksi (Nya Abbas Akup, 1976). Kalau ditilik, Inem dan Jojo punya beberapa kesamaan. Diperhatikan dari segi penokohan, posisi Inem dan Jojo serupa. Mereka berdua merupakan pusat cerita, tokoh utama istilahnya. Belum lagi keduanya berasal dari kelas

5 Paramaditha, Intan. 2007. “Pasir Berbisik dan estetika-perempuan baru dalam sinema Indonesia” dalam Pola dan Silangan: Jender dalam Teks Indonesia. Ed. Lisabona Rahman. Yayasan Kalam: Jakarta

pekerja, kelas bawah katakanlah. Yang satu babu rumah tangga, yang lain tukang sapu toserba. Sementara itu, dari segi tema, menuntut kedua tokoh ini untuk tampil „lebih terbuka‟. Yang satu mengisahkan seorang pembantu yang (bukan) kebetulan seksi, dan yang lain menceritakan seorang pemuda yang terjun dalam jasa pelayanan seks.

Akan tetapi, cara tubuh Inem ditampilkan dengan Jojo sangat mencolok bedanya. Lebih jelasnya, mari mempreteli gambar yang ditampilkan sebelum opening title dimunculkan. Pada adegan awal ini, tubuh Inem sudah disorot secara gamblang. Pengeksposan tubuh ini dibantu oleh posisi badan, berikut pakaian yang dikenakan. Inem diperlihatkan hanya memakai penutup dada dan kain sepaha. Sementara, kamera pun ikut memprovokasi. Kamera mengelilingi tubuhnya, untuk lalu berhenti di jarak MCU. Dengan kata lain, gerakan kamera cenderung merapat.

Jadi, bila Quickie Express memunculkan kesan pertama Jojo yang jauh dari citra seksi, tidak demikian halnya dengan Inem. Keseksian Inem sudah mencuat sedari awal film diputar. Bila pakaian yang melekat di tubuh Jojo berfungsi untuk membalut dengan rapat, pakaian Inem yang ala kadarnya itu ditujukan untuk mengekspos tubuhnya lebih banyak. Jika kamera berusaha menggeser tubuh Jojo ke samping layar, tubuh Inem justru sebaliknya. Oleh kamera, tubuh itu justru diketengahkan.

Sehabis dikesampingkan, dalam adegan berikutnya tubuh Jojo malah

„diciutkan‟ hingga setara dengan barang-barang dagangan. Setelah kejadian

Jojo membalikkan arah pandangan ke „penonton‟, kamera ganti menyorot

Jojo dari jarak XLS. Dari jarak itu, Jojo tampak mungil. Bahkan, porsi

tubuhnya bisa disamakan dengan poster merah bertuliskan “sale 70%” yang

bertebaran di berbagai sudut toserba.

Bingkai XLS tetap bertahan meski gerakan Jojo, yang apabila

menaruh tangkai pengepel di antara kedua kaki, dan mengarahkannya dengan gerakan maju-mundur ke selangkangan. Akan tetapi, gerakan tersebut gagal dimaknai dalam kerangka erotis. Sebab itu tadi, bingkai kamera yang kelewat berjarak.

Gambar 4.4. Bingkai XLS saat Jojo menari

Apa yang tampak di mata kemudian bukan lagi Jojo yang sedang beratraksi. Namun, tubuh Jojo sebagai bagian dari sebuah ruangan spasial (toserba). Ringkasnya, yang menonjol di penglihatan bukan lah gerakan Jojo, melainkan situasi/tempat di mana ia bekerja. Dan, satu lagi yang makin

„menetralkan‟ keadaan, tidak adanya pasang mata lain yang membantu

mengerotisasi tubuh Jojo yang sedang bergoyang itu. Jojo dibiarkan

berkelana sendirian, tanpa ada seorang pun yang mengacuhkan

kehadirannya.

Memang, dengan setting tempat dan aktivitas yang dilakoni Jojo saat itu, bisa dimaklumi bila tubuh Jojo tak tampil seksi. Akan tetapi, ini bukan soal yang primer. Lagi-lagi, kunci utamanya sebenarnya terletak pada kamera. Kembali dibandingkan dengan Inem. Dalam cuplikan adegan berikut, dengan sangat jelas dapat dilihat bahwa setting tempat (mau itu di pusat perbelanjaan, kamar mandi, atau di got sekalipun) bukan tak mungkin untuk mengeksplorasi seksualitas. Pintar-pintar kamera untuk menyiasatinya.

Perhatikan bagaimana seringnya teknik zoom in yang berulang-ulang dipergunakan ketika menyorot Inem, si tokoh babu, saat melakukan

pekerjaan-pekerjaan domestik. Entah itu mengepel, mencuci, atau menyetrika. Seperti Jojo, Inem pada awalnya juga dibingkai dari jarak XLS. Bedanya, apabila Jojo ditinggalkan berlapang-lapang di ruangan toserba yang besar itu, Inem justru sebaliknya. Ruang geraknya semakin lama semakin diperketat, sehingga seksualitasnya kian mencuat.

Gambar 4.5. Inem si babu seksi

Lalu, bentuk keengganan kamera dalam merekam tubuh Jojo terbaca

juga dalam shot berikutnya. Seperti di awal, kamera memanjat secara

diagonal dimulai dari kiri bawah hingga kanan atas. Dengan teknik ini sebenarnya tubuh Jojo terpapar dengan sempurna. Namun, bila sebelumnya

tubuh Jojo „diamankan‟ dengan ditaruh di pinggir, kali ini kamera berkeliling

hingga berhenti di sisi punggung. Dengan posisi membelakang itu lah, sekali lagi, tubuh Jojo terselamatkan. Ditambah, kehadiran opening title dengan ukuran font yang besar membuat konsentrasi „penonton‟ kian terpecah.

Setelahnya, kamera bergerak menjauh. Gerakan ini sekaligus melepaskan pandangan „penonton‟ dari tubuh Jojo. Posisi Jojo tersempil di bagian kiri bawah layar. Tulisan berisikan daftar susunan pemain terlihat mendominasi penglihatan. Sesudah tulisan itu lenyap, dengan segera perhatian direbut oleh poster berwarna merah mencolok bertuliskan “sale 70%”.

Bisa dibilang, gerakan kamera itu tadi menentukan mana yang hendak diketengahkan (menjadi obyek) dan mana yang dipinggirkan. Di sini,

seksualitas Jojo nyaris terhapuskan. Meski Jojo membaur dengan benda-benda yang dipajang di toserba, namun tubuhnya didefinisikan secara berbeda. Tubuhnya tampak di layar, tapi tidak ditawarkan kepada khalayak. Tubuhnya baru sebatas tampil, tapi tidak „ditampilkan‟. Demikian pula pandangan „penonton‟ masih terbatas pada sekadar melihat, belum sampai pada yang menghasrati. Sebaliknya, pajangan-pajangan yang berderet di toserba, yang diwakilkan dengan poster “sale 70%” itu tadi malah didudukkan sebagai obyek hasrat. Poster-poster yang eye-catching itu dianggap jauh lebih seksi dan menggiurkan ketimbang tubuh Jojo.

Gambar 4.6. Jojo yang menari diambil dari arah belakang

Figur kunci dalam pembentukan poster “sale 70%” sebagai obyek hasrat itu adalah pandangan kerumunan yang tadi sempat disinggung di awal. Benar, di awal terkesan mereka melihat ke arah Jojo, bahkan dari jarak yang cukup jauh untuk dapat menjadikan Jojo sebagai obyek voyeur mereka. Akan tetapi, seperti yang digariskan di dalam narasi, tahunya Jojo sekadar dilihat, tapi tidak diinginkan. Sementara, bagi kerumunan itu, Jojo hanyalah perantara untuk sampai pada obyek hasrat mereka yang sesungguhnya: label-label diskon yang ditata mencolok di dalam toserba.

Ini terdeteksi mulai dari saat Jojo menoleh ke arah kerumunan. Gambar yang tadi diburamkan, berubah menjadi terang. Benar, dari jarak XLS sosok mereka sulit dikenali. Namun, lagi-lagi, poster “sale 70%

kaca, memberi makna atas kehadiran mereka. Terlebih, tulisan ini dipasang menghadap ke depan (ke layar). Dengan demikian, alih-alih ditujukan untuk dibaca kerumunan, tulisan ini sejatinya diperuntukkan untuk „penonton di luar‟.

Saat kamera mengambil gambar kerumunan itu dari jarak yang lebih dekat (MS), wajah mereka tampak jelas satu persatu. Di baris terdepan, didominasi kaum ibu-ibu. Sementara, kaum bapak-bapak berdiri tenang-tenang di paling belakang. Mereka tenggelam di antara para ibu-ibu yang heboh dan agresif. Di pintu kaca, setentang kepala, terpasang stiker merah

panjang yang bertuliskan: “Sale”. Tulisan ini, sama dengan tulisan

sebelumnya, pun dihadapkan ke layar, dan bukan pada kerumunan.

Gambar 4.7. Antara Jojo, kerumunan, dan barang obralan

Dengan demikian jelaslah, penempatan poster dan stiker “sale” di

depan pintu kaca merupakan strategi untuk membingkai kehadiran dan pandangan dari kerumunan tersebut. Sekaligus untuk menegaskan bahwa meski arah mata mereka tertuju kepada Jojo, namun hasrat mereka terpaku pada hal lain. Dalam konteks ini, arah pandangan tidak sejalan dengan obyek hasrat. Ini berbeda dari mode memandang a la voyeur yang melihat kepada obyek sekaligus menghasratinya. Pandangan di sini bersifat tidak langsung, di mana proses penikmatan terhadap obyek diperantarai oleh kehadiran yang lain.

Soal jarak, di sini tidak dianggap penting. Alih-alih dipertahankan, jarak itu malah berusaha ditebas. Adalah Jojo yang kemudian berinisiatif membuka pintu kaca, dan menyediakan akses bagi kerumunan itu untuk masuk ke dalam. Selepas Jojo menguakkan pintu, kerumunan itu langsung menyerbu. Jojo posisinya berdempet-dempetan dengan kerumunan itu. Namun, (tubuh) Jojo sekali lagi, diacuhkan. Seseorang di antara mereka, menyempatkan diri mencubiti pipi Jojo. Momen ini hanya berlangsung sebentar. Sesudah itu, ia langsung berbaur dengan yang lain.

Ya, dengan dibukanya pintu kaca tersebut, terbuka pula jalan untuk memuaskan hasrat. Akan tetapi, ini bukannya tanpa risiko. Ada „harga‟ yang

harus dibayar untuk itu. Ketika kerumunan itu masuk ke dalam toserba, terdengar suara sorak-sorai kegembiraan dari mulut mereka. Namun, suara keriangan itu berganti dengan jeritan. Perlahan kamera menyisir ruangan toserba itu dengan lensanya, satu-persatu kerumunan yang tadi memburu masuk, kini jatuh bergelimpangan.

Bisa dikatakan, mereka beroleh celaka karena memandang. Nasib

kerumunan ini serupa laron-laron yang tertarik cahaya lampu, tapi justru masuk perangkap karena terbang terlalu dekat. Akan tetapi, kasus ini perlu dibedakan dari perempuan-perempuan yang dihukum karena ulah tatapan mereka, seperti dalam kajian Williams.6 Sebab, dalam kasus Williams, perempuan yang sudah celaka, juga diposisikan bersalah. Perempuan dianggap lancang dalam memandang. Sementara, dalam kasus kerumunan itu, benar mereka terjerembab. Akan tetapi, dalam hal ini, Jojo atau obyek tatapan lah yang menjadi terhukum.

6 Williams mengkaji tatapan perempuan di dalam film horor. Karakter perempuan yang bermain di film yang dikajinya memiliki pandangan yang aktif. Namun, karena pandangan itu pula, ia membangunkan monster, yang lanjut menerkam dirinya. Pandangan perempuan ini kemudian dianggap telah menginstrusi wilayah pribadi monster. Singkat kata, diasumsikan perempuan bersalah (dan beroleh celaka) karena memandang. (Sumber: Williams, Linda. 1992. “When the woman looks” dalam Film Theory and Criticism. Eds. Gerald Mast, Marshall Cohen & Leo Braudy. Oxford University Press: New York and Oxford, hal: 565)

Memang, dalam film komedi, kesialan dalam menatap tidak secara spesifik mendefinisikan tatapan perempuan. Laki-laki juga sering diganjar

„hukuman‟ karena kelewat asyik jelalatan. Kenikmatan laki-laki dalam memandang acap kali diinterupsi. Film Warkop DKI, khususnya dalam judul Maju Kena, Mundur Kena (Arizal, 1983), mengilustrasikan hal ini. Dono, Kasino, dan Indro yang mengendarai sepeda, jatuh bangun dua kali karena terlalu fokus memperhatikan perempuan yang lalu lalang. Untuk kali ketiga berpas-pas-an dengan wanita, Kasino memerintahkan teman-temannya membuang muka. Hasilnya, mereka tetap celaka. Mereka menabrak kerbau yang sedang berteduh di bawah pohon.

Kalau disejajarkan, ketiga pandangan itu, baik kerumunan dalam Quickie Express, perempuan dalam film horor, dan laki-laki dalam film Warkop DKI, sama-sama aktif. Mereka diposisikan sebagai yang memandang. Katakanlah, sebagai subyek. Akan tetapi, pandangan ketiganya disusun dengan logika yang berbeda. Yang paling apes itu pandangan perempuan dalam film horor. Sudah diterjang oleh monster, dipersalahkan pula. Peribahasanya, sudah jatuh, malah tertimpa tangga. Beda dengan pandangan kerumunan dan laki-laki yang meski diganjar kecelakaan, namun dapat menyalahkan pihak lain atas kemalangan itu. Kiasannya, buruk muka, cermin dibelah.

Akan tetapi, walau bagaimanapun, ketiga pandangan itu tidak dapat diasumsikan niscaya berlaku pada setiap film dan pada setiap kesempatan. Meski, kalau lah ditimbang-timbang, agaknya perbandingan antara

perempuan memandang dengan dipandang itu jomplang adanya. Sehingga,

saking seringnya perempuan ditempatkan sebagai obyek, seolah-olah mereka terlahir untuk itu. Misal, seperti yang terdapat dalam adegan di film Warkop DKI di atas. Sebanyak itu obyek yang terdapat di jalanan, namun mata Dono, Kasino, maupun Indro tak dapat tidak, selalu saja tertambat pada tubuh

perempuan. Seakan-akan jalanan berubah menjadi catwalk ketika perempuan berjalan.

Perempuan sebagai obyek pandangan ini terbaca jelas dalam salah satu adegan Quickie Express. Lebih daripada itu, kehadiran perempuan di sini difungsikan sebagai pengalih perhatian dari tubuh laki-laki yang telanjang. Dalam adegan tersebut Jojo sudah beralih pekerjaan menjadi pengukir tato. Jojo melayani seorang klien bertubuh tinggi besar. Otot yang kekar dan dada yang bidang terang terlihat. Posturnya itu sama persis seperti pria-pria yang dipasang di majalah komunitas gay, Jaka.7 Bedanya, apabila laki-laki di majalah gay itu dipajang dengan pose yang sempurna, klien Jojo itu justru sebaliknya. Tubuhnya memang kelihatan, namun tidak dikenali sebagai obyek hasrat. Seksualitasnya nyaris absen.

Memang, kalau memperhatikan komposisi adegan-adegan berikut,

pandangan „penonton‟ akan tertumpu sepenuhnya pada tubuh si perempuan.

Sementara, Jojo dan si klien dapat duduk tenang-tenang menikmati tubuh perempuan yang sama, tanpa perlu khawatir terusik. Sebab, semua pandangan sudah diarahkan pada obyek yang mereka lihat. Mereka mengkamuflase kehadiran mereka dengan jalan menambahkan kontras.

Prinsipnya sama dengan anjuran, untuk „menyembunyikan diri‟ di tengah -tengah pesta, duduklah bersama orang yang berpakaian heboh dan bersuara paling nyaring.

Bagaimanakah seksualitas klien Jojo itu dapat tersamarkan? Pertama, kalau diamati dari posisi badan. Laki-laki tersebut berdiri menyamping dengan punggung agak ditekuk. Dalam posisi ini, wilayah dada terlindungi dengan baik. Memang, kemudian ia berdiri tegak menghadap ke layar sehingga

7 Dalam Boellstroff, Tom. “Zines and zones of desire: Mass-mediated love, national romance, and sexual citizenship in gay Indonesia”. The Journal of Asian Studies Vol. 63: 2, May 2004, hal: 380

wilayah dada terpapar. Akan tetapi, sorotan terhadap tubuh laki-laki itu hanya sebentar. Cocoknya disebut lirikan, ketimbang tatapan.

Begitu dada laki-laki itu terlihat, segera gambar di layar diganti. Kamera memutuskan untuk tidak mengeksplorasi tubuhnya dengan lebih teliti. Nah, gambar si pengganti ditempatkan dengan posisi tubuh sedikit menyamping ke kiri, paralel dengan tubuh laki-laki barusan. Bagian „sekwilda‟

yang tadi baru sekadar tampak, kali ini malah ditonjolkan. Namun anatomi tubuhnya sudah jauh berbeda. Sebab, yang dipertontonkan ini adalah tubuh wanita.

Gambar 4.8. Antara klien Jojo dan gadis berpakaian renang

Berikutnya, giliran kamera yang berbicara. Perhatikan komposisi sinematografi yang dipakai. Di sini, Jojo dan kliennya diposisikan sebagai penonton. Bahkan dalam artian harafiah. Posisi mereka membelakang ke layar. Sementara, kamera ada di jarak CU. Punggung si klien yang telanjang mengintip di sudut kanan. Sedangkan Jojo, ujung kepalanya menyembul sedikit di pojok kiri layar. Adapun gambar keduanya diburamkan.

Persis di depan mereka, ditaruh sebuah televisi yang sedang menayangkan gadis-gadis berbusana renang. Kamera televisi itu juga menggunakan bingkai CU. Akan tetapi, bingkai ini tidak mengarah pada wajah seperti pada Jojo dan si klien. Lensa lebih ditujukan untuk merekam area seputaran dada. Kondisi gambar sepenuhnya fokus.

Ketika ini „penonton‟ menonton orang yang sedang menonton pula.

Sebut saja, tontonan ganda. Akan tetapi, posisi kedua „obyek‟ ini jauh berbeda. Walau klien Jojo bertelanjang dada seluruhnya, sementara tubuh perempuan di televisi masih beralas kain, namun yang jadi obyek perhatian justru yang terakhir. Memang, Jojo dan si klien hanya diselipkan di layar, namun mereka tidak terpinggirkan. Mereka mendominasi bukan dalam artian fisik, akan tetapi diwakilkan oleh tubuh perempuan yang mereka saksikan. Tubuh yang sudah diolah sedemikian rupa untuk menjadi tontonan yang nikmat bagi mereka. Dengan kata lain, tubuh perempuan di sini berfungsi sebagai penanda hasrat Jojo dan si klien. Jadi, walau perempuan menempati proporsi yang lebih luas di layar, namun mereka bisa dikatakan absen sebagai pribadi.

Dalam konteks tersebut, adegan ini dapat dibayangkan sebagai rekonstruksi dari male gaze. Adegan ini memperlihatkan bagaimana tubuh perempuan dierotisasi untuk dikonsumsi penonton. Dari jarak CU yang rapat,