• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTRET LAKI-LAKI DALAM FILM QUICKIE EXPRESS

A. Laki-Laki Pekerja: Miskin dan Lusuh

Darmawan menilai pengkhianatan terbesar Quickie Express pada Warkop terletak pada porsi Jojo yang terlalu dominan. Dua orang temannya, Marley dan Piktor, hanya kebagian tempat di tengah-tengah cerita.1 Saya sendiri tidak mempersoalkan Quickie Express yang terlalu Jojo-sentris. Saya bermaksud mengatakan, dengan porsi Jojo yang demikian besar, implikasinya, dalam menganalisis juga akan lebih berat pada karakter Jojo. Karakter lain, baik itu Marley, Piktor, Mudakir, Jan Pieter, dan Mateo tetap dibicarakan, namun posisinya hanya sebagai sempalan.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Jojo menekuni beragam pekerjaan sebelum terjun dalam bisnis gigolo. Pekerjaan pertama, petugas kebersihan. Adegan dibuka dengan close-up shot seorang bapak sedang memberikan instruksi. Meski ia menggunakan ragam bahasa formal, namun tak menutupi dialek daerahnya (Madura). Dengan bingkai yang begitu dekat, ketegasan ekspresi bapak itu terekam jelas. Matanya setengah membelalak.

Kamera berpindah memperlihatkan seorang pemuda. Jojo. Namun, saat itu ia belum diberi nama. Ia hanya hadir sebagai “sampeyan”, sebagaimana si bapak mengalamatinya. Jojo ditampilkan juga dalam bingkai

close-up. Namun, itu tidak untuk mempertegas ekspresi, melainkan pada hilangnya ekspresi. Matanya menunduk, bibirnya terkatup.

Begitu bingkai melebar, hingga sebatas pinggang (MS), setting

ruangan itu menjadi lebih terang. Sebagai latar tempat Jojo berdiri, tampak deretan jeriken tertonggok di atas rak yang menempel ke dinding.

1Darmawan, Hikmat: “Quickie Express: mengkhianati WARKOP”. http://new.rumahfilm.org/resensi/layar -lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, diakses tanggal 25 Maret 2011

Sementara, tangkai sapu dan alat pengepel tampak menghiasi berbagai sudut.

Kalau dilihat dari posisi dan sudut pengambilan kamera, tidak ada perlakuan istimewa baik itu untuk Jojo dan si bapak. Keduanya direkam dari posisi yang boleh dibilang netral, setentang mata. Hal yang membedakan keduanya yakni bahasa tubuh. Si bapak lebih leluasa bergerak: sekali waktu ia berkacak pinggang. Di lain waktu, ia mengacungkan telunjuk. Selagi berbicara pun, ia dengan sangat ringan berpindah tempat. Mau itu bergerak mendekat, atau menjauhi Jojo.

Akan halnya Jojo, bahasa tubuhnya serba terbatas. Jika si bapak berkacak pinggang, Jojo menyusun tangannya rapi ke depan. Jojo lebih banyak diam, bahkan hingga anggota badannya tak bergeming. Meski di sana tidak terdapat pagar dalam artian fisik, namun ruang gerak Jojo itu seakan-akan tersekat. Ia berdiri, tanpa sekalipun berpindah posisi. Ia tak ubahnya seperti patung, beku.

Kalau ditinjau fisik, Jojo sebenarnya jauh lebih unggul. Posturnya tinggi besar. Namun toh yang berbicara kali ini bukan ukuran badan. Melainkan, pakaian yang menutupi tubuh itu. Pakaian, dalam hal ini, berkaitan dengan posisi: menentukan siapa yang menugasi dan siapa yang ditugasi. Si bapak mengenakan kemeja lengan pendek dilengkapi dasi yang menjulur di dada. Sementara, Jojo mengenakan terusan yang setali antara atasan dan bawahan. Pakaian yang akan mengingatkan pada pakaian pekerja konstruksi atau juga petugas pemadam kebakaran.

Singkat kata, mata boleh melihat pakaian ini sebagai berbeda baik dari corak maupun kelengkapannya. Namun, pikiran membacanya sebagai sebuah hierarki. Seperti halnya militer, seragam menjadi penentu siapa berada di bawah penugasan siapa. Tentu, yang tampak mencolok yakni kehadiran dasi. Dasi di sini berfungsi laiknya lambang bintang pada baju seorang perwira.

Ya, kehadiran dasi dapat dibilang mempertebal jarak antara Jojo dan atasannya.

Akan tetapi, berbicara soal jarak tidak dalam artian material saja sebenarnya. Sekalipun dasi di atas dihilangkan, tak serta merta posisi Jojo sejajar dengan atasannya. Begitupun, ketika jarak dalam artian personal space dipersingkat, tak langsung menimbulkan kedekatan. Misal, ketika si bapak mendekati Jojo, bahkan pada jarak mendekati nol, tidak ada keintiman yang tercipta. Malah, dibacanya sebagai bentuk tekanan, tindakan agresif. Terlebih karena editing film ini tidak pernah membiarkan pandangan mata keduanya bertemu. Yang satu menghujam ke tanah, yang lainnya menghunus ke depan.

Dilihat dari komposisi itu, Jojo terlihat seakan-akan kucing yang dibawakan lidi. Takut-takut. Akan tetapi, keliru jika mengira Jojo tak punya nyali. Ia tak pasrah walau ia berdiam diri. Di saat mukanya yang memelas itu terpampang besar-besar di layar, narasi offscreen muncul sebagai pembela. Katanya: “Hari pertama pekerjaan pertama gue. Seperti semua orang gue tahu harus mulai dari bawah.” Jelas, dengan suara itu ia membuktikan: ia tidak bisu. Walau suara itu tak diperdengarkan kepada si bapak, namun sampai jelas ke telinga penonton. Maka, jika biasanya film memungkinkan penonton mengintip kehidupan pribadi karakternya, film ini bertindak lebih jauh dengan menyingkapkan suara hati dan pikiran karakternya.

Pada shot berikut, si bapak berbalik arah, pergi. Jojo mengiringi lewat tatapannya. Kemudian, dengan perlahan kamera mendekat: dari bingkai MS

hingga MCU. Sementara Jojo memasang headset di kepala, terdengar narasi: “Kalau lu punya musik, lu ga bakal ngerasa kayak orang kalah”. Jojo pun menyetel musik dan menggoyang-goyangkan kepala. Bingkai layar kembali melebar (MS) begitu Jojo beraksi bak seorang gitaris kesiangan. Jojo yang

tadi terlihat layu, berubah menjadi segar bugar. Begitu berenergi. Apalagi, musik pengiring yang terdengar di latar pun tak kurang bersemangatnya.

Masih dalam alunan musik yang sama, adegan berpindah

memperlihatkan Jojo yang sedang mengepel lantai. Gambar pertama yang ditampilkan yakni pengepel lantai (CU). Lalu, kamera bergerak diagonal ke samping kanan atas mengikuti Jojo yang sedang bergerak mundur. Begitu Jojo sampai pada pinggir kanan layar, kamera berhenti, menampakkan Jojo dalam bingkai CU. Sementara di kiri bawah layar, tertera tulisan berwarna putih berukuran besar: Tora Sudiro. Jojo, si empunya nama, berhenti sejenak. Menoleh ke samping kanannya, pada kerumunan yang memadati pintu supermarket. Lalu, bergeser, meninggalkan layar, untuk memberi porsi yang lebih banyak pada latar.

Gambar 3.1. Jojo mengepel lantai toserba

Berikut, kamera menampilkan establishing shot supermarket. Semua gambar dibuat sama-sama fokus. Hingga kehadiran Jojo di situ tak lebih penting ketimbang barang-barang yang berjejalan di sana. Di bagian paling depan, terpisah dari rak yang berada di bagian belakang, terlihat barang-barang bertumpukan di lantai. Di puncaknya dipancangkan sebuah label bertuliskan: “Sale 70%”. Tulisan tersebut terlihat mencolok sebab ukurannya yang besar dan warna merahnya kontras dengan warna-warna lain di

supermarket itu. Tulisan ini diposisikan menghadap seluruhnya ke layar, ke arah „penonton‟. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa tulisan itu memang ditujukan agar dapat dibaca oleh „penonton‟.

Setelah di-shoot dari XLS, lalu Jojo di-shoot sendirian dari jarak yang lebih dekat. Adegan ini mirip dengan adegan sebelumnya. Kamera bergerak diagonal dari kiri bawah ke kanan atas. Akan tetapi, kali ini sembari berputar, mengitari Jojo. Hingga kamera mendapati Jojo dari sisi belakang (punggung). Dengan posisi tersebut, Jojo sejajar dengan posisi „penonton‟. Pandangan Jojo, begitupun pandangan „penonton‟ dibiarkan menyapu seluruh ruangan dengan bebas. Memang, obyek-obyek tertentu masih terlihat mencolok. Namun, ini bukan efek dari bahasa kamera, melainkan dipengaruhi oleh ukuran, warna, dan jarak obyek ke kamera.

Shoot berikut, Jojo berdiri tegak diambil dari sisi kiri. Ia dibingkai dari jarak CU. Ia melihat ke depan, ke arah lantai yang tadi dipelnya, lanjut tersenyum. Sementara latar yang tadinya diburamkan, dengan teknik racking focus, kembali terang. Di depan pintu terlihat kerumunan, salah seorang di antara mereka menoleh ke jam di tangan dan menunjukkan jarinya ke atas. Kamera pun merangkak, berhenti tepat di sebuah jam dinding yang menunjukkan pukul 09:45. Kamera kembali ke arah pintu, memperlihatkan tulisan: “Open 10.00 – 22.00” dan sticker “sale” yang berlatar merah. Bila

tulisan “open” dihadapkan pada kerumunan (membelakang „penonton‟),

tulisan “sale” malah dihadapkan ke arah „penonton‟. Cara penempatan ini sama dengan label diskon 70% pada adegan terdahulu.

Berikut diperlihatkan jemari Jojo sedang memutar kunci. Begitu kunci terbuka, kamera memanjati tubuhnya dari arah belakang. Sementara, tangannya terentang lebar, daun pintu pun membuka dengan perlahan. Begitu pintu itu terkuak, pengunjung yang berdesakan di depan, buru-buru masuk ke dalam. Diantaranya ada yang mencubit-cubit pipi Jojo dengan

gemas. Kejadian ini dapat dilihat dengan jelas sebab bingkai kamera yang tidak terlalu lebar, pas sedada Jojo. Tapi, untuk soal ekspresi tidak terlalu terang sebab posisi badan Jojo yang menyimpang dari kamera.

Gambar 3.2. Jojo dicubit oleh salah seorang pengunjung toserba

Bila pengunjung itu berlarian ke dalam, Jojo memilih memarkir dirinya di luar. Ia duduk sembari merokok di depan pintu. Kemudian, kamera berpindah ke dalam, menambatkan perhatian pada sebuah tanda: “awas lantai licin”. Dari arah depan, beberapa orang pengunjung terjatuh, ujung kaki mereka jatuh persis di depan tanda itu. Lalu, kamera dengan sigap

bergerak horizontal, memperlihatkan korban-korban yang terus

bergelimpangan.

Sementara itu, Jojo masih menikmati rokok di luar. Ia tak tahu menahu akan apa yang terjadi di dalam. Posisi duduknya membelakangi pintu. Adalah sebuah sanggul yang menjadi penyampai kabar. Sanggul itu menggelinding dari dalam, dan jatuh tepat di kaki Jojo. Jojo memungutnya, sejenak memperhatikan, dan memfungsikannya sebagai asbak! Di latar, terdengar suaranya berkata: “Orang kalah adalah orang yang berhenti untuk berusaha. Gue bukan.” Usai ini, layar dialihkan dengan efek circles, menandai akhir bagi pekerjaan pertama Jojo dan mengantarkan pada pekerjaan selanjutnya: pengukir tato.

Gambar yang kemudian muncul yakni close-up shot selembar kertas dengan tulisan: “pemerkosa mayat”. Bentuk tulisan yang meruncing di pinggir akan mengingatkan pada kastil-kastil kuno, taring drakula, atau besi-besi runcing. Ditambah, garis hitamnya yang tebal dan tegas ikut menambah nuansa kegelapan.

Tidak lama, kamera merubah tempat. Di layar, Jojo terlihat sedang duduk di kursi, sementara seorang lain, pria berambut gondrong, berdiri merapat. Teknik 2 shots ini, apabila menggunakan tubuh pria berambut gondrong sebagai perbandingan, dapat dibilang memakai bingkai MS. Dalam bingkai itu pula suasana ruangan yang dominan hitam terlihat. Nuansa gelap hadir tidak hanya melalui temaram cahaya, namun juga lewat pakaian semua orang yang terlihat berada di tempat itu. Tak terkecuali Jojo.

Pakaian Jojo terdiri dari headband merah dan kaus oblong berwarna gelap yang dilapis rompi hitam mengkilat. Sementara, di tangannya melingkar

wristband dengan warna senada. Kostum ini tak jauh berbeda dengan pria gondrong itu tadi. Rompi yang dikenakannya mirip dengan yang dipunya Jojo. Hanya, ia tak mengenakan dalaman. Badannya yang kekar berotot terekspos dengan jelas. Ia pun mengenakan wristband, hanya beda di motif dan ukuran. Pakaian ini, berbeda dengan pekerjaan Jojo di tempat sebelumnya, tak memberi petunjuk tentang hierarki. Tak melambangkan jabatan tertentu. Jikalau Jojo bertukar pakaian dengan kliennya, tak akan membawa perubahan berarti terhadap posisi keduanya. Pakaian di sini berfungsi untuk mempertegas identitas. Sebut saja, identitas kelompok/komunitas tato. Akan tetapi, memudarnya struktur hierarki ini tak membuat Jojo mendapat perlakuan lebih baik. Dalam pekerjaan ini, Jojo masih saja menerima hardik dan maki. Akan tetapi, ia masih (harus) berdiam diri. Dan kali ini, tanpa pembelaan apapun melalui narasi offscreen.

Lebih jelasnya, mari kembali pada shot sebelumnya, yakni ketika Jojo dan pria berambut gondrong di-shoot berdua. Ditinjau dari posisi, sudah timpang sebenarnya. Jojo duduk, sementara pria gondrong itu berdiri. Jarak keduanya rapat, tapi tak membuat hubungan itu terasa dekat. Sama halnya dengan kejadian Jojo dengan atasannya di toserba. Kedekatan jarak antara kedua orang ini menandakan agresivitas alih-alih keintiman.

Lanjut, adegan kali ini berganti. Pria gondrong itu tiduran dengan bagian punggung terbuka. Jojo duduk di samping kirinya. Sementara, di depan mereka terdapat kotak televisi. Di layar televisi, terlihat tubuh wanita dalam MS. Wanita itu hendak keluar dari kolam renang. Posisi kamera yang berada di atas mata, membuat bagian payudaranya terekspos jelas. Selama ini, baik Jojo dan pria gondrong itu diburamkan hingga perhatian terpusat seluruhnya pada tayangan yang disajikan di dalam televisi itu. Perlu dicatat bahwa cara kamera membingkai tubuh wanita dalam adegan ini belum pernah diterapkan dalam membingkai tubuh Jojo dalam adegan-adegan terdahulu.

Begitu si wanita keluar dari kolam renang, si pria gondrong menoleh ke arah Jojo. Seiring itu, kamera merubah letaknya. Ganti memperlihatkan Jojo dan si pria gondrong. Pria itu membentak: “Heh...! Mulai ga lu. Kalau ga, gue pakaiin bikini lu. Ngepet lu.” Seperti biasa, Jojo diam dikerasi demikian. Suara offscreen yang menemaninya ketika menjadi petugas kebersihan, tidak muncul sama sekali. Yang terdengar kali ini hanyalah tawa kecil wanita. Suara ini masih diperdengarkan ketika kamera berpindah ke meja di samping kiri Jojo. Tangan Jojo meraih kertas dari situ, dan mulai mengukirkannya di badan si pria gondrong.

Sejurus kemudian, pekerjaan itu selesai. Si pria gondrong mengecek hasil kerja Jojo. Ia mengarahkan punggungnya ke kaca, ke arah penonton. Dalam ukuran close-up, tampak sebuah tato hitam bertuliskan: “buah dada mama”. Hasil yang berbeda sama sekali dengan pesanan.

Kegeraman si pria gondrong tak diperlihatkan lewat ekspresi muka atau keras tingginya suara. Namun, akibat dari kemarahannya itu nyata. Kamera pindah ke luar, memperlihatkan sebuah kaca jendela bertuliskan keterangan “tattoo”. Dalam waktu kurang dari sedetik, kaca itu hancur berantakan, menyusul sesosok tubuh melayang dari dalam. Kamera mengikuti tempat jatuhnya tubuh itu, dan dalam ukuran MS, terlihatlah Jojo dalam balutan bikini coklat berumbai, meringis kesakitan. Selanjutnya, layar diam. Freeze. Lalu, wipe.

Dalam balutan bikini berwarna coklat tua itu, untuk pertama kalinya bagian dada dan perut Jojo terekspos. Bagian tubuh yang terpapar ini sama persis dengan perempuan berbikini pada adegan sebelumnya. Bedanya, tubuh Jojo tidak dikondisikan untuk dipelototi akan halnya tubuh si perempuan. Ini terbaca dari bingkai dan teknik kamera yang digunakan. Misalnya terlihat dalam adegan perempuan berbikini, walau sama-sama menyertakan wilayah dada hingga pinggang, namun bingkai yang digunakan lebih ketat.

Gambar 3.3. Perbandingan gambar adegan bikini Jojo dan seorang

perempuan

Berikut, di layar diperlihatkan close-up dari uang kertas pecahan 1000 yang sedang tergenggam di tangan. Sejenak, fokus kamera dipergantikan dengan bekas nasi bungkus yang tergeletak di kiri layar. Ketika kamera mendaki ke atas, dan mendapati wajah Jojo dalam bingkai MCU, terdengar ia

berkata: “7750 perak. Umur 27 tahun. Tinggi 175. Berat 67 kg. Bakar kalori dari pagi. Kenapa ya?”

Lanjut, ukuran layar melebar, hingga LS. Dari sini, jelas kemuraman tempat yang dihuni Jojo itu. Ruangan itu begitu redup. Satu-satunya penerangan berasal dari lampu meja yang tak seberapa benderang. Dari pencahayaan yang temaram masih tertangkap beberapa barang tergeletak. Ada furnitur di bagian kiri dan kanan. Tepat di tengahnya, terhampar sebuah kasur kapuk tanpa dipan, tanpa seprai. Beberapa potong pakaian bertebaran sekenanya. Jojo duduk di lantai, sendirian, memegangi perut.

Gambar 3.4. Jojo meraba bagian genitalnya

Ia melanjutkan curahan hatinya melalui narasi offscreen: “Kenapa hidup harus selalu disangkut-sangkutin sama angka. Kenapa gue ga bisa masuk ke mall dan beli apa aja yang gue pengen dengan tampang gue. Percaya atau ga, musik bahkan bisa menghilangkan rasa lapar.” Menutupi refleksinya, ia mencium walkman miliknya. Dan bangkit. Sementara itu, kamera tetap. Hingga yang terekam sekarang tidak lagi bagian kepala, melainkan wilayah selangkangan. Kamera tetap di posisi ini bahkan ketika Jojo menggaruk kelaminnya. Selepas ini, baru kamera merangkak ke atas dengan pelan.

Pada adegan tersebut, terlihat sebuah kontradiksi yang menarik. Pada ranah visual „penonton‟ disuguhkan sebuah potret muram dari kehidupan Jojo. Sebuah kemiskinan yang dibahasakan lewat minimnya perabotan yang digunakan, ketidakteraturan penyusunannya, maupun pencahayaan yang suram. Namun, di ranah tekstual (skrip) kemiskinan didefinisikan dengan cara yang berbeda. Bahwa kemiskinan tidak selalu berarti keadaan yang serba kurang, entah itu kurang makan atau juga kurang uang. Namun, dan ini yang paling sentral, bisa berarti tuntutan akan sesuatu yang lain. Dalam tataran konseptual dapat dibahasakan dengan dorongan/hasrat untuk memiliki. Dan, lebih tepatnya, untuk kasus ini yakni libido untuk mengkonsumsi (to consume more). Kata kunci untuk hal ini yakni lewat penggunaan kata “mall” dalam refleksi Jojo di atas.

Adegan berikut, Jojo nangkring di jendela kamarnya. Ia melihat ke luar. Malam telah memekatkan hari. Namun, jauh di sana, setentang dengan arah pandangannya, terdapat lampu neon yang benderang. Di beberapa tempat lain, lampu berwarna hijau berkedip. Jojo memperhatikan itu semua. Musik mengalun lembut, di dalam liriknya terdengar: “bermimpi....”.

Lalu, layar berganti, menjejerkan bangunan-bangunan seperti: Tugu Monas, Tugu Selamat Datang, dan gedung-gedung pencakar langit. Jakarta. Tepat di sebuah bangunan tua, kamera surut ke bawah secara perlahan, mendapati sedan klasik berwarna oranye tua sedang berjalan dalam ukuran

LS. Ketika kamera berpindah ke arah yang berlawanan, terlihat seorang lelaki di belakang kemudi. Pria itu Mudakir. Rambutnya dicat pirang. Kumis dan cambang tipis membingkai mulut dan dagunya dengan sempurna. Ia mengenakan kacamata gelap. Meski bola matanya tidak terlihat, namun, dari gelagatnya terbaca ia sedang mencari sesuatu. Benar saja, begitu ia keluar mobil, dan kamera menyorotnya dari jarak MCU, di layar muncul tulisan berwarna putih besar-besar: “Pemburu”.

Gambar 3.5. Mudakir dan calon mangsanya

„Buruannya‟ baru nampak kemudian. Kamera menempatkan Mudakir dan pria muda itu di dalam satu bingkai dengan posisi saling berhadap-hadapan. Namun, bagian kepala Mudakir sengaja diburamkan untuk lebih memfokuskan perhatian kepada si pemuda. Pemuda itu tampak mengenakan kemeja hitam plus celemek, sedang melayani pelanggan. Wajahnya ditampilkan dalam ukuran MCU. Ketika giliran Mudakir yang disorot dalam

MCU, terdengar ia berkomentar: “Ih imut banget.” Namun, saat si pemuda membalikkan muka, terlihat tompel besar nongkrong di pipinya. Seketika, Mudakir mengelak, dan beranjak pergi.

Pada shoot berikut, tampak seorang pemuda lain. Ia menyandarkan tubuhnya di sebuah kios majalah. Pakaiannya terdiri dari kaus berkerah berwarna krem dan celana panjang berwarna coklat. Ia sedang asyik membaca majalah yang terentang di tangannya. Dari arah belakang, terlihat Mudakir sedang berjalan. Begitu sampai di dekat si pemuda itu, ia berhenti dan mulai mengamati. Tiba-tiba, dari arah belakang, muncul seorang pria lain. ia menghampiri pemuda itu. Mereka saling bertukar ciuman. Melihat itu, Mudakir ngacir. Selama adegan ini, ukuran layar tetap di MLS.

Di dalam narasi film tidak dieksplisitkan apa benar kerja sebagai pemburu tersebut. Apabila kata pemburu dilemparkan pada khalayak ramai, orang seperti Mudakir agaknya tidak masuk dalam bayangan. Pemburu secara umum dikenali, misal dengan senapan di pundak atau anjing peliharaan yang

menyalak mendahului jalannya. Sebagai pemburu, Mudakir kelewat rapi, bersih, dan satu lagi: melambai.

Namun, Mudakir punya satu karakteristik pemburu yang tak dapat diganggu-gugat, yakni agresif (aktif). Matanya adalah mata seorang pengintai yang selalu awas dan waspada. Pandangan Mudakir yang bagaikan seorang detektif ini diturutkan oleh kamera. Hingga mata kamera menjadi perpanjangan mata Mudakir. Kamera menangkap obyek buruan Mudakir dalam bingkai-bingkai yang ketat. Wilayah latar pun sengaja diburamkan untuk mengisolasi si buruan ke dalam struktur pandangan. Dibandingkan dengan adegan-adegan sebelumnya, baru kali ini „penonton‟ diajak mematut -matut tubuh laki-laki dengan cara demikian.

Selanjutnya, cerita kembali berpusat pada Jojo. Gambar yang lebih dulu tampak adalah sebuah ban dalam yang ditambal dengan motif bunga. Gambar ini diambil dari atas dan dalam ukuran CU. Lalu, kamera berpindah ke samping kiri. Mendaki tubuh Jojo dari kaki hingga kepala. Ia berjongkok sambil mengamati hasil kerjaannya. “Cakep nih,” celetuknya. Lalu, ukuran layar membesar, hingga LS. Mengekspos suasana tempat tambal ban itu dengan lebih jelas. Tempat itu berada di pinggir jalan raya, memakan sebagian besar trotoar. Bangunan itu sungguh sederhana, tanpa dinding, tanpa sekat. Hanya lembaran seng menjadi tempat bernaung.

Dari arah kiri, masuk seorang laki-laki. Ia mengenakan kemeja merah dan celana tiga perempat. Ia duduk di dekat Jojo. “Apa-apaan ni? Lu banci?

Bentuknya mesti kayak gini?,” semprotnya. Kedua tangannya mengembang, kakinya pun mengangkang. Ketika ini, kamera sudah berpindah tempat, menyorot si bos, demikian Jojo memangggilnya- dari samping kanan. Jojo yang duduk merapatkan kaki, memberi alasan: “Ini bukannya banci bos. Ini