• Tidak ada hasil yang ditemukan

NO. TAHUN JUMLAH PRODUKSI FILM Depbudpar Film Indonesia

3. Komedi Kemaluan dalam Layar Lebar Tanah Air

Kalau dilihat dari jenis film yang mendominasi tahun-tahun terakhir ini menurut Aartsen tak beranjak dari cinta-cintaan, hantu-hantuan, dan komedi dewasa. Film drama yang mendominasi berupa drama remaja, drama sosial (menyangkut masalah-masalah semacam ketergantungan pada obat-obatan dan kekerasan), serta film religi. Sementara, untuk film horor disebut Katinka

158 Ibid. 159

Sumber: http://filmindonesia.or.id, 13 Maret 2012 160

Ibid.

161 Kristanto, J.B.: “Maka lengkaplah penderitaan itu” (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 18 November 2011)

162

Kristanto menyebut 3 film bermutu tahun 2010: Alangkah Lucunya (Negeri Ini), Tanah Air Beta, dan Minggu Pagi di Victoria Park. Sedangkan, untuk film yang mengeksploitasi seks secara serampangan antara lain: The Sexy City, Mas Suka Masukin Aja, Anda Puas Saya Loyo, Akibat Pergaulan Bebas, Kain Kafan Perawan, dan Hantu Jamu Gendong. Perhatikan 4 film yang disebut adalah film komedi dewasa. (Sumber: Ibid.)

van Heeren telah memasuki „era baru‟. Salah satu bentuk „kebaruan‟ ini

diterjemahkan dengan menghilangnya peran kyai untuk memecahkan

permasalahan dunia hantu.163

Berbicara lebih lanjut tentang komedi kemaluan, benar-benar berkibar di tahun-tahun terakhir. Merujuk pada data yang disajikan Aartsen, terbaca bahwa semenjak 2003 hingga 2007 film komedi yang muncul tak lebih dari 5 judul per tahun. Lonjakan drastis terjadi pada tahun-tahun berikutnya. Pada 2008, jumlah film komedi tercatat 29 judul, dan tahun setelahnya terjadi

peningkatan meski itu hanya 1 judul.164 Ada apa gerangan? Salah satu

pemicu, saya duga, ada sangkutannya dengan kesuksesan Quickie Express

tahun 2007. Mengulang-ngulang formula dari film yang laku tampaknya

sudah menjadi „tabiat‟ dalam bisnis film tanah air.

Lewat kemunculan Quickie Express165 (Dimas Djayadiningrat, 2007),

film komedi Indonesia mulai beranjak dari „sekadar‟ film komedi ke film

komedi dewasa.166 Aartsen menyejajarkan film komedi jenis ini dengan

American Pie (Paul Weitz, 1999) meski tak sampai menayangkan adegan

buka-bukaan secara total.167 Apapun itu, Quickie Express sudah terlanjur

dinobatkan, salah satunya oleh Yan Wijaya, sebagai pioneer komedi dewasa

Indonesia.168 Walaupun sebelum Quickie Express, sudah muncul dua film

komedi kategori dewasa. Kedua film itu adalah: Mengejar Mas-Mas (Rudi

163

Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 28 164

Ibid., hal: 29 165

Label komedi dewasa film Quickie Express dicantumkan secara eksplisit dalam materi promo dan gambar bioskop. (Sumber: “Dimas Djayaningrat kembali ke film lewat Quickie Express”: www.antaranews.com, 22 Maret 2011). Begitupun dalam katalog film di situs http://filmindonesia.or.id (diakses tanggal 3 Mei 2011), Quickie Express disebut sebagai “film komedi (seks) dewasa”.

166

Film-film yang diklasifikasikan film komedi dewasa antara lain: Kawin Kontrak (Ody C. Harahap, 2008), Mas Suka Masukin Aja (Rully Manna, 2008), XL: Extra Large (Monty Tiwa, 2008), Pijat Atas Tekan Bawah (K.K. Dheeraj, 2009), dll. Peredaran film komedi dewasa bermunculan setelah 2007. Film-film komedi terdahulu seperti film pamungkas Warkop DKI Pencet Sana Pencet Sini (Arizal, 1994), Si Manis Jembatan Ancol (Atok Suharto, 1994) dan Montir-Montir Cantik (B.Z. Kadaryono, 1984) hanya diberi label film komedi. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 3 Mei 2011)

167

Aartsen, Josscy. Op.cit., hal: 34 168

Darmawan, Hikmat: Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, 25 Maret 2011).

Soedjarwo, 2007) yang beredar tanggal 24 Mei dan Maaf Saya Menghamili Isteri Anda (Monty Tiwa169, 2007) yang rilis sebulan setelahnya.170

Terbit pertanyaan, sebenarnya hal apa yang bisa disebut „lebih

dewasa‟ dalam film-film komedi Indonesia terkini? Bagaimanakah kedewasaan

ini diterjemahkan? Dilihat dari kadar „buka-bukaan‟ baik paha maupun dada

film-film era 70 hingga 90-an tak kalah mencengangkan.

Darmawan membandingkan Quickie Express (Dimas Djayadiningrat,

2007) dengan Permainan Cinta (Willy Wilianto, 1983) dan Montir-Montir

Cantik (B.Z. Kadaryono, 1984) yang bisa dibilang sebagai komedi seks (dalam

artian menjadikan seks sebagai subyek). “Bedanya, komedi seks kita zaman

dulu malu-malu, Quickie Express lebih serba tahu dan jelas tak malu-malu.

[...] Yang dikomedikan oleh Quickie Express bukan hanya perilaku seks, tapi

juga preferensi seks,” tandasnya. 171

Persis, seks yang „malu-malu‟ ini dapat pula dijumpai dalam

Badut-Badut Kota (Ucik Supra, 1993). Memang, film ini bukan „film komedi dewasa‟,

dalam artian serupa Quickie Express. Namun, setidaknya ia ada

membahasakan perkara seks (bahkan dalam artian hubungan seksual). Terlebih, film ini dalam keterangan lulus sensor juga diperuntukkan untuk kalangan dewasa. Simak percakapan pagi-pagi antara tokoh Deddy (Dede Yusuf) dengan Pak Chairul (Sofyan Sarna) berikut:

Pak Chairul : “Tiap hari keramas ya, Bung?”

Deddy : “Yah, begitu lah Pak. Biar seger, Pak.”

Pak Chairul : “Nasib Bung. Saya tidak bisa cuci rambut di rumah.”

169

Setelah menyutradarai Maaf Saya Menghamili Isteri Anda, di tahun berikut Monty Tiwa menggarap film komedi dewasa lain berjudul XL: Extra Large. Film ini disebut Aartsen (2011: 34 – 35) sebagai salah satu film komedi dewasa pertama di Indonesia. Bila Maaf Saya Menghamili Isteri Anda tak masuk 10 besar film yang paling banyak ditonton, maka XL: Extra Large berada di urutan ke-4. Prestasi yang sama ditorehkan oleh Quickie Express di tahun 2007. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 9 Juli 2011).

170

Quickie Express dirilis tanggal 22 November 2007. Dibandingkan Mengejar Mas Mas dan Maaf Saya Menghamili Isteri Anda, Quickie Express lebih banyak ditonton. Film ini menempati urutan ke-4 dari deretan film terlaris tahun 2007. (Sumber: http://filmindonesia.or.id, 3 Mei 2011).

171 Darmawan, Hikmat: Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, 25 Maret 2011)

Deddy : “Pompanya macet, Pak?”

Pak Chairul : “Pompa sih ngocor terus Bung Deddy. Tapi

tampungannya ga ada. [...]”

: “[...]ajarin saya gimana caranya bisa cuci rambut di

rumah”

Deddy : “Loh, memangnya selama ini Pak Chairul cuci rambut

di mana?”

Pak Chairul : “Ya kalau bisa curi kesempatan sih di luar. Buat saya

kansusah didapat. Nasib...”

Deddy : “Tapi Pak Chairul habis cuci rambut?”

Pak Chairul : “Cuci dengan tangan, Bung. He...he...Nasib...nasib...”

Tentunya kedua tokoh tersebut tidak sedang berbicara tentang keramas atau cuci rambut dalam artian sebenarnya. Namun, kata ini dipilih untuk membincangkan kehidupan seksual dalam rumah tangga

masing-masing. Dengan demikian, apa yang disebut Darmawan sebagai “seks malu

-malu” bukan berarti ia berhenti dibicarakan. Hanya saja, ia kerap muncul

dalam bentuk kiasan dan analogi. Lalu, apa bedanya dengan film komedi dewasa kemudian?

Untuk itu, mari beralih pada film Quickie Express. Berikut adalah

percakapan Jojo (Tora Sudiro) dan Marley (Aming Sugandhi) yang

menceritakan pengalaman pertama mereka bertugas sebagai gigolo:

Marley : “Gila, Jo. Keren habis Jo. Gue ngerasa kayak laki-laki

dewasa banget, mat. Oow... Ah, romantis abis.”

Jojo : “Gimana?

Marley : “Gitu lah mat. Wine. Dinner. Sex mood. A....gue

bilang sih ini bukan seks. Tapi making love.

Everything‟s gonna be alright, mat.Lu gimana?

Jojo : “Ya gitu, gue sama. Gue juga dapetnya cantik. Trus

gue dapetnya terpelajar, seksi. Trus ya, bukan nge-seks. Kayak kata lo, tapi making looove.

Perhatikan bagaimana keduanya dapat dengan lancar bertutur tentang

hubungan intim yang baru saja mereka jalani. Tidak ada kata „kiasan‟ yang

digunakan untuk mengimplikasikan hubungan seksual tersebut. Seks diucapkan begitu saja dengan vokalnya. Meski, tak bisa pula dikatakan seks sudah dianggap sebagai obrolan yang sama sekali biasa, sama seperti ketika berbicara tentang kesukaan atau pekerjaan misalnya. Perbincangan soal seks

masih menyisakan „ketertutupan‟. Misalnya diwakilkan dengan kata „gitu‟ atau

„macam-macam‟. Istilah yang lebih abstrak sebenarnya apabila dibandingkan

dengan „keramas‟ yang masih dapat dipahami keterkaitannya dengan

aktivitas seksual yang dimaksud.

Lalu, kecenderungan lain yakni menggunakan padanan kata dalam

bahasa asing (Inggris) semisal making love, biasa disingkat ml- ketimbang

padanan katanya dalam bahasa Indonesia. (Walau kosakata bercinta atau bersenggama masih ditemukan juga.) Tentu dibutuhkan penjelasan lebih dari

sekadar berargumen bahwa masyarakat kita suka berlagak British. Kosakata

ini, ml, sudah menjadi „kode umum‟ yang lazim dipakai di majalah-majalah

gaya hidup, ambil saja U Magazine sebagai contohnya. Barangkali, ada kesan

lebih sopan, biar tak terlalu blak-blakan. Tapi, asumsi ini lemah juga. Mei

2008, beredar sebuah film dengan judul ML: Mau Lagi garapan Thomas

Nawilis. Meski sudah disediakan kepanjangan dari ML sebagai Mau Lagi dan

bukan make love, tapi tetap menuai protes. Film ini ditarik untuk kemudian

dirilis ulang Oktober tahun yang sama dengan judul yang sama sekali

berbeda: Cintaku Selamanya.172

Berikut, apa yang dapat dikatakan sebagai „ciri khas‟ film komedi seks

yakni kecenderungan dalam menampilkan lelucon-lelucon „kasar‟ (baca:

„kurang ajar‟). Khusus Quickie Express, bahkan ikut memperdengarkan

kata-kata makian. Ini lah yang mungkin menjadikannya begitu „khas dewasa‟.

Ambil sebagai contoh dalam Quickie Express yang menampilkan adegan di

mana kemaluan Marley digigit ikan piranha. Ketika suster menanyakan kondisi Marley, kedua koleganya, Jojo dan Piktor memang tak langsung menunjuk pada alat vitalnya tersebut. Piktor dengan gaya bicaranya yang

melabrak habis huruf p menjadi f menjawab: “Fangkal faha naikan dikit.”

172

Suster yang mendengar itu pun memeriksa dan berkata (nyaris berteriak):

Bah, makin kecil saja penis kau!”

„Lelucon cabul‟ macam ini tentunya tak dapat diterima semua

kalangan. Meski film ini diperuntukkan untuk dewasa, tak semua orang dewasa dapat menikmatinya. Begitu kentalnya gurauan macam ini membuat Quickie Express di satu sisi dihujat dan di sisi lain dirayakan sebagai bagian

dari „era keterbukaan‟ (tepatnya, „buka-bukaan‟). Lagi-lagi didapati perbedaan

Quickie Express dengan film-film komedi pendahulunya. Jika seks dan erotisme yang terdapat dalam film-film Warkop dianggap sebagai bagian dari

„humor rendah‟ atau selera kalangan bawah, tidak demikian dengan Quickie

Express. Quickie Express didudukkan sebagai „humornya orang kota‟.

Untuk memperjelas, saya mencuplikkan sedikit tulisan Basral. Ia

membandingkan antara Quickie Express dengan novel-novel Motinggo

Boesye. Keduanya disejajarkan dengan alasan sama-sama menampilkan

parade „tante girang‟. Pendapatnya: “[...] berbeda dengan Busye yang berupaya menampilkan potret sosial dalam persoalan seksualitas, Dimas memilih pendekatan komedi yang luar biasa konyol, sehingga pada banyak

bagian terlihat vulgar dan sekaligus pandir.” 173

Pengamatan Basral lagi, ketika ia menyaksikan Quickie Express di

layar bioskop tidak semua penonton ikut tergelak. Ada yang cuma menggaruk-garuk kepala. Apanya yang lucu dari boneka seks yang

dipetantang-petenteng ke sana ke mari? Akan tetapi, bagi penonton “yang

terbiasa melihat seks sebagai aktivitas mekanik” Quickie Express merupakan

tontonan yang menghibur. Diceritakan Basral: “Ledakan tawa penonton

173

Basral, Akmal Nasery: Komedi kemaluan tanpa malu (Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com, 26 Juli 2011)

terdengar dari adegan ke adegan, bagai cermin yang memantulkan wajah terbaru generasi perkotaan.” 174 [penekanan dari penulis]

Lalu, beralih pada beberapa beberapa blog yang kebetulan meresensi

Quickie Express. Tak soal apakah mereka berkenan atau tidak, film ini tetap

didudukkan sebagai bagian dari diskursus „humor perkotaan‟. Isu lain yang

tak kalah menarik yakni mencuatnya persoalan moralitas, atau non-moralitas.

Bagi yang menyenangi film ini menyertakan pesan-pesan „non-moralistik‟

semisal: “jangan sok alim”175

atau “manusia-manusia picik dilarang

nonton”.176 Quickie Express dirayakan oleh mereka yang menamai diri

sebagai orang-orang „liberal‟dan tidak „munafik‟.177

Sementara, blogger lain yang keberatan dengan lelucon dalam Quickie

Express, dengan sukarela menempatkan diri sebagai golongan „konservatif‟

yang akan lebih suka menikmati „humor ndeso‟ ketimbang „humor kota‟

serupa Quickie Express. Ia dengan jeli menyorot bagaimana humor yang

sama yang dikemas secara berbeda akan dipandang berlainan pula. “[...]

adegan orang kejedot di satu film atau di panggung Srimulat bisa dianggap

slapstik tolol tapi di film lain atau di Extravaganza dianggap lucu,”

semprotnya.178

Lanjut, persoalan mengenai moralitas memang acap kali mengemuka dari bahasan soal film komedi dewasa. Soal ini juga mendapat perhatian dalam tinjauan Darmawan, seorang kritikus film, terhadap dua film komedi

dewasa terkini: Quickie Express yang muncul di tahun 2007 dan Kawin

174

Ibid. 175

Blogger bernama Ple-Qmenyarankan: “Tonton aja dengan hati senang dan ringan, nggak usah sok alim deh.” Mengomentari tulisan tersebut, ada yang memberi kesaksian: “Pas kapan gitu.. nonton Quickie untuk yang kedua kalinya.. kebetulan sebelahku ada sepasang manusia berlainan jenis.. kalo ada adegan yg agak ‘nyerempet’, mesti langsung komen “Astaghfirullah”.. tak berapa lama mereka langsung ngloyor keluar.. “ (Sumber: http://ple-q.com/myblog/quickie-express-ngakak-abis.html, 28 Maret 2011)

176 Mistervandy menulis: “Film ini sangat vulgar untuk ukuran film Indonesia. So, anak-anak dan manusia-manusia picik dilarang nonton!” (Sumber: http://mistervandysays.wordpress.com, 28 Maret 2011). 177Mistervandy, juga menulis: “jokes-jokes yang nakal bisa membuat meringis orang-orang yang memegang ketat norma-norma, namun membuat mereka yang liberal terbahak-bahak.” (Sumber: Ibid.)

178

Mumu: Tonjolan besar di balik celana Tora Sudiro (Sumber: http://mumualoha.blogspot.com, 25 Maret 2010)

Kontrak yang beredar setahun setelahnya. Bedanya, Darmawan tidak melibatkan diri dalam perdebatan apakai ia termasuk kelompok yang bermoral atau tidak. Soal moral yang dipersoalkannya ditelisiki di dalam konten film. Bukan, soal mental penontonnya.

Kawin Kontrak (Ody C. Harahap, 2008) dikritik habis-habisan oleh

Darmawan. Menurutnya, film ini merupakan “film amoral”. Ia melihat film ini

menawarkan sebuah kekosongan moral. Apa yang dilakukan film ini tak lebih

dari “sebuah pendangkalan”. Sumber keberatan Darmawan bahwa film ini terlihat menggampangkan persoalan mengenai kawin kontrak. Tak ada aspek sosial yang diperbincangkan. Kawin kontrak dihadirkan sebagai solusi untuk

menyalurkan hasrat seksual dengan „cara aman‟. Kemudian, lembaga

pernikahan pun direduksi menjadi sekadar lembaga persenggamaan.179

Sementara itu, Quickie Express (Dimas Djayadiningrat, 2007) dinilai

Darmawan memiliki kecenderungan untuk bersikap “antiwacana dan antisosial”. Ini lah yang menjadi „moral‟ dalam film ini. Quickie Express

disebut hendak “menggambarkan individu yang ingin mencari tempat yang

tepat, bukan dalam dan untuk masyarakat, tapi untuk mendapat kesenangan

dan kenyamanan hidup pribadi,” tambahnya.180

Persis, kesenangan (terutama yang badaniah), agaknya dapat menjadi kata kunci dalam membicarakan film komedi dewasa Indonesia. Entah bermoral atau tidak, itu dapat dikesampingkan. Jika diperhatikan sepintas lalu topik-topik yang dihadirkan dalam film-film komedi dewasa tersebut diantaranya berkisar pada keinginan anak muda (khususnya laki-laki) untuk memulai petualangan seksual. Seks dalam artian yang direduksi menjadi

sekadar berhubungan badan. Misal tampak dalam film Cintaku Selamanya

179Darmawan, Hikmat: “Kawin Kontrak: Komedi Amoral” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/kawin-kontrak-komedi-amoral/, 9 Juli 2011)

180 Darmawan, Hikmat: Quickie Express: Mengkhianati WARKOP” (Sumber: http://new.rumahfilm.org/resensi/layar-lebar/quickie-express-mengkhianati-"warkop"/, 25 Maret 2011)

(Thomas Nawilis, 2008), Kawin Kontrak dan sekuelnya Kawin Kontrak Lagi

(Ody C. Harahap, 2008), Mupeng (Awi Suryadi, 2008) serta XL: Extra Large

(Monty Tiwa, 2008).181

Gambar 2.3. Poster film-film komedi dewasa Indonesia: Quickie

Express (Dimas Djayadiningrat, 2007), Namaku Dick

(Teddy Soeriaatmadja, 2008), XXL: Double Extra Large

(Ivander Tedjasukmana, 2009), dan Susah Jaga

Keperawanan di Jakarta atau Urbany Sexy (Joko

Nugroho, 2010)182

Oleh karenanya, tak mengherankan pula apabila mitos-mitos seputar organ seksual menjadi barang wajib diikutsertakan. Sebut saja film-film

seperti XL: Extra Large (Monty Tiwa, 2008) berikut lanjutannya XXL: Double

Extra Large (Ivander Tedjasukmana, 2009), Namaku Dick (Teddy

Soeriaatmadja, 2008), Mas Suka Masukin Aja (Rully Manna, 2008) yang

khusus mengangkat persoalan organ vital laki-laki (baca: penis). Kecuali Namaku Dick, 3 film lainnya membahas perkara ukuran. Jika dalam XL: Extra Large dan XXL: Double Extra Large ada tokoh Mak Siat yang ahli

memperbesar ukuran, beda halnya dengan Mas Suka Masukin Aja yang

menghadirkan tokoh Mak Irit, ahli dalam memperbesar atau mengecilkan

„sesuatu‟.183

Hal lain yang menarik, rata-rata film komedi dewasa ini mengambil setting di Jakarta. Anda Puas Saya Loyo (K.K. Dheeraj, 2008) dan Susah Jaga

181

Sumber: http://filmindonesia.or.id, 28 Juli 2011 182

Ibid. 183

Keperawanan di Jakarta (Joko Nugroho, 2010) adalah diantaranya. Khusus

untuk Susah Jaga Keperawanan di Jakarta mengisahkan tentang tiga gadis

kampung yang hijrah ke Jakarta dan terjun dalam bisnis pelacuran. Bila tokoh

laki-laki dalam Kawin Kontrak (Ody C. Harahap) sudah „gatal‟ melepas

keperjakaan mereka, berbanding terbalik dengan film satu ini. Gadis-gadis ini dikisahkan berjuang keras mempertahankan keperawanan mereka, dengan

berbagai cara.184