• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cinta Orang Arif

Dalam dokumen Tasawuf DALAM LINTASAN SEJARAH (Halaman 153-157)

Orang yang kenal allah (al-arf) hanya cinta kepada allah Swt. semata. apabila mencintai selain allah, dia mencintainya demi dan karena allah Swt. Sebab, bisa terjadi seorang pecinta itu mencintai hamba orang yang dicintainya, mencintai kerabat, negara, pakaian, anak angkat, karya dan ciptaannya, serta setiap yang berasal darinya dan dikaitkan kepadanya.

Seluruh yang ada di alam semesta ini adalah ciptaan allah Swt. Seluruh makhluk adalah hamba allah. Jadi, mencintai seorang Rasul identik dengan mencintai-nya, sebab beliau adalah seorang utusan yang dicintai-nya dan sekaligus merupakan kekasih-nya. Lalu, mengapa harus mencintai para sahabat? karena mereka dicintai oleh Rasulullah Saw. dan mereka pun mencintai beliau. Mereka berkhidmat dan tekun mematuhi beliau.

Cinta atau suka terhadap makanan, karena dapat menguatkan tubuh yang dapat mengantarkan kepada orang yang dicintainya. Mencintai dunia, semata karena merupakan bekal menuju Sang kekasih.

ketika memandangi bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan-keindahan dengan penuh cinta, karena semua itu adalah ciptaan allah Swt. Semua itu (bunga-bunga, sungai-sungai, cahaya dan keindahan) merupakan tanda-tanda keindahan dan kemuliaan-nya, serta mengingatkan akan sifat-sifat-nya yang terpuji yang memang dicintai dan disayangi.

Jika mencintai orang yang berbuat baik kepada dirinya dan mencintai orang yang mengajarinya ilmu-ilmu agama, semata karena dia itu merupakan perantara antara dirinya dan yang dicintainya (allah), yakni dalam menyampaikan ilmu dan hikmah-nya kepada dirinya. Dia tahu bahwa allah-lah yang menakdirkan sang guru mengajari dan membimbingnya, menyuruhnya untuk menginfakkan sebagian hartanya. kalau tidak karena faktor-faktor yang mendorong sang guru untuk mengajari dan membimbingnya serta menyuruhnya untuk berinfak, tentu dia tidak melakukannya.

Orang yang paling banyak dan terbesar dalam berbuat baik terhadap diri kita adalah Rasulullah Saw.

Milik allah-lah segala keistimewaan, keutamaan dan anugerah dengan menciptakan dan mengutus beliau; sebagaimana difirmankan-nya:

“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, menyucikan mereka dan mengajarkan kepada mereka kitab dan hikmah.” (Q.s. al-Jumu’ah: 6).

karena itu pula allah swt. berfirman: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-nya.” (Q.s. al-Qashash: 56).

Coba anda renungkan Surat al-Fath dan firman allah Swt. berikut ini: “Dan kamu lihat manusia masuk agama allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima tobat.” (Q.s. an-nashr: 2-3).

“Jika kalian menyaksikan banyak hamba allah yang masuk ke dalam agama-nya,“ sabda Rasul Saw, “maka ucapkanlah puja-puji kepada allah, bukan memuji-mujiku!”. Itu adalah pengertian tasbih dengan memuji

Tuhannya. Jika perhatian kalbu anda terarah kepada diri dan usaha anda, segeralah anda meminta ampunan kepada-nya agar Dia memberi ampunan dan tobat. Hendaklah anda tahu, bahwa tidak ada sedikit pun campur tangan anda dalam semua urusan.

Bertitik tolak dari hal inilah Umar bin khaththab r.a. ketika melihat surat khalid bin Walid kepada abu Bakar r.a. setelah penaklukan kota Mekkah, (yang

diantaranya berbunyi), “Dan khalid, Sang Pedang allah yang terhunus kepada orang-orang musyrik, kepada abu Bakar, amirul Mukminin.” Maka Umar r.a. berkata, “karena pertolongan allah kepada kaum Muslim, khalid memandang dirinya dan menyebutnya dengan Si Pedang allah yang terhunus kepada kaum musyrik.”

andaikata dia mencermati kebenaran sebagaimana mestinya, niscaya dia tahu bahwa kemenangan itu bukan karena pedangnya. namun allah memiliki rahasia tersendiri dengan kemauan (iradat) nya dengan memenangkan Islam.

karena itu, allah menolong Islam dengan satu getaran, yaitu getaran rasa takut yang diselinapkan ke dalam hati orang kafir sehingga dia terpukul mundur, sementara yang lain pun melihatnya, sehingga mereka mundur dan kekalahan pun tersebar luas. khalid bin Walid dan yang semisal, melihat kemenangan Islam karena keberanian dan ketajaman pedangnya.

Sedang Umar r.a. dan orang-orang yang jujur dengan kebenaran (as-shiddiqin) serta para auliya’ mencermati hakikat persoalan yang sebenarnya. Beliau juga tahu bahwa khalid bin Walid perlu mengucapkan istighfar dan bertasbih dengan memuji Tuhannya jika menyaksikan hal yang demikian itu, sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah Saw.

Jadi, motivasi cinta (mahabbah) itu hanya dua: Pertama, ihsan. kedua, puncak kemuliaan dan keindahan allah yang berwujud kesempurnaan kemahamurahan, hikmah, ketinggian, kemahakuasaan dan kemahasucian allah dari segala bentuk cacat dan kekurangan.

Tiada satu pun bentuk kebaikan dan perlakuan baik, kecuali bersumber dari-nya. Tidak ada kemuliaan, keindahan dan kesucian kecuali milik-nya. Seluruh kebaikan dan perilaku baik di alam semesta ini hanyalah satu di antara bentuk kemahamurahan-nya, yang diarahkan kepada hamba-hamba-nya dengan satu getaran, yang Dia ciptakan dalam kalbu seorang muhsin.

Seluruh keindahan, gambar yang bagus, bentuk-bentuk yang elok dan indah yang diindera oleh mata, pendengaran dan penciuman di alam jagat ini tidak lain merupakan salah satu pengaruh dari kekuasaan-nya, itu merupakan sebagian dari nilai-nilai keindahan Diri-nya.

Betapa indahnya semua itu bagi orang yang menyaksikannya dalam alam musyahadah, dan bukti-bukti yang pasti lagi memuaskan, bagaimana mungkin terbayang dia akan berpaling kepada selain allah Swt, atau mencintai selain allah Swt.?

Rasa lezat yang dialami oleh seorang yang ma’rifat kepada allah di dunia, dengan menelaah dan menyaksikan langsung keindahan hadirat ketuhanan (al-hadharat ar-rububiyah), jauh lebih lezat dari segala bentuk kelezatan lainnya yang terdapat di dunia. karena kelezatan itu sesuai dengan kadar selera (keinginan) dan kekuatan selera itu sesuai atau sepadan dengan yang diingini.

Sebagaimana makanan itu merupakan hal yang paling sesuai bagi tubuh, maka sesuatu yang paling sesuai bagi kalbu adalah ma’rifat. Sebab, ma’rifat merupakan santapan kalbu. Sedangkan yang paling memenuhi selera kalbu adalah ruh Rabbani, seperti

yang difirmankan oleh allah Swt, “katakanlah, ‘Ruh itu termasuk urusan T uhanku’.” (Q.s. al-Isra’: 85).

Dan allah Swt. berfirman, “Dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-ku.” (Q.s. al-Hijr: 29, Shad: 72).

Dalam ayat ini allah menisbatkan ruh kepada Diri-nya. Ruh semacam itu tidak dimiliki oleh binatang dan manusia yang penihalnya seperti binatang. Itu hanya khusus bagi para nabi dan wali. karena itulah, allah Swt. berfirman: “Dan demikianlah kami wahyukan kepadamu wahyu (al-Qur’an) dengan perintah kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah iman itu, tetapi kami menjadikan al-Qur’an itu cahaya, yang kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara hamba-hamba kami.” (Q.s. asy-Syura: 52).

Jadi, hal yang paling sesuai bagi ruh semacam ini adalah ma’rifat. karena yang paling relevan bagi segala hal adalah karakteristiknya.

karena itu, suara yang merdu tidak sepadan dengan penglihatan (mata), sebab bukan karakternya.

karakter ruh manusia (ruhul insani) adalah ma’rifat tentang hakikat. Setiap apa pun yang diketahui hakikatnya itu lebih mulia, mengetahui hakikat, tentu lebih lezat rasanya. Dan tidak ada yang lebih mulia daripada mengenal (hakikat) allah dan (kerajaan) alam semesta-nya.

Mengenal allah, mengenal sifat-sifat dan Dzat-nya, keajaiban-keajaiban kerajaan jagat raya-nya merupakan sesuatu terlezat bagi kalbu, karena kesenangan tersebut merupakan kesenangan paling

lezat. karena itu, diciptakan paling ujung setelah kesenangan lainnya.

Setiap kesenangan yang diciptakan kemudian, Iebih lezat rasanya daripada kesenangan yang diciptakan sebelumnya.

kesenangan yang diciptakan pertama kali adalah selera nafsu makan, kemudian, karenanya, diciptakan nafsu seks. Maka nafsu makan ditinggalkan dan dianggap remeh, untuk memenuhi kepentingan nafsu seks.

Selanjutnya diciptakan nafsu dan keinginan untuk berkuasa, untuk mendapatkan kehormatan atau jabatan, yang karenanya meremehkan nafsu seks dan nafsu makan. Lalu diciptakan keinginan atau nafsu ma’rifat (syahwatul ma’rifat) yang dapat mengatasi atau menguasai segala yang ada (alam semesta), sehingga meremehkan keinginan untuk dapat berkuasa dan mendapatkan kehormatan atau jabatan. Ini merupakan akhir yang sekaligus keinginan duniawi paling kuat.

anak kecil tidak mengakui adanya nafsu seks. Dia terheran-heran terhadap orang yang membebani dirinya dengan beban harus memenuhi biaya pernikahan demi nafsu seks tersebut.

Jika telah mencapai nafsu seks, seseorang terus menekuninya tanpa lagi mengingat kehormatan, kedudukan dan kekuasaan; dan dia tidak ambil pusing terhadap kekuatannya dalam memenuhi nafsu seks. Demikian pula dengan orang yang kecanduan nafsu untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan, dia mengabaikan kelezatan ma’rifat, karena belum diciptakannya kesenangan setelah kesenangan

berkuasa tersebut.

nafsu dan ambisi untuk memperoleh kehormatan dapat berakhir pada sakitnya kalbu, hingga tidak dapat menerima keinginan ma’rifat terhadap allah Swt, sebagaimana rasa tubuh orang yang sakit, merusak selera makannya hingga ia menemui ajalnya. kadang-kadang nalurinya berbalik, sehingga ia menginginkan makan tanah dan sesuatu yang berbahaya lainnya. ini adalah awal kematian.

Demikian halnya dengan penyakit kalbu, bisa saja berakhir pada batas-batas tertentu yang bisa mengabaikan, membenci dan tidak mengakui ma’rifat; serta tidak mcngakui orang-orang yang tekun menuju ma’rifat.

Sehingga yang diketahui dan dirasakannya sekadar kelezatan kekuasaan, makanan dan seksual. Dialah mayat yang tidak mau diobati. T entang orang yang semacam mi disebut dalam al-Qur’an:

“Sesungguhnya kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka, (sehingga mereka tidak) memahaminya, dan (kami letakkan pula) sumbatan di telinga mereka; dan kendatipun kamu menyeru mereka kepada petunjuk, niscaya mereka tidak akan mendapat petunjuk selama-lamanya.” (Q.s. al-kahfi: 57).

Tentang mereka juga dinyatakan: “(Berhala-berhala itu) benda mati tidak hidup, dan berhala-berhala itu tidak mengetahui bilakah penyembahpenyembahnya akan dibangkitkan.” (Q.s. an-nahl: 21).

Dalam dokumen Tasawuf DALAM LINTASAN SEJARAH (Halaman 153-157)