• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUFI TANPA THARIQAT, BISAKAH?

Dalam dokumen Tasawuf DALAM LINTASAN SEJARAH (Halaman 73-76)

Wassalamu’alaikum wr. wb.

abdul Hadi nahdliyin Senen — Jakarta Pusat

JAWAB

Maraknya gerakan spiritual dewasa ini telah menumbuhkan sejuta pohon kehidupan spiritual di ladang-ladang jiwa. Tidak banyak, pohon yang tumbuh dengan suburnya, yang disebut sebagai Syajarah Thayyibah (Pohon yang baik) sebagaimana dikutip oleh ayat suci al-Qur’an. Sebab, ada pohon spiritual yang justru menjadi racun bagi pemakan buahnya. ada pohon spiritual yang hanya mengganggu pertumbuhan pohon yang sebenarnya karena mengandung virus. ada pula pohon spiritual yang tampak rindang, dengan pohon yang besar tetapi tidak membuahkan apa-apa. Dan tentu saja, ada Syajarah Thayyibah (pohon yang baik) yang tumbuh dari Sirr Tauhid, lalu rantingnya menjulang ke langit-langit Ma’rifatullah, dan buah-buahnya adalah awal ruhani dan maqamat dalam jiwa. Pohon Sufi yang hakiki.

Begitu pula yang menimpa dunia Sufi. ada yang tumbuh di ladang yang subur, dengan benih tauhid yang haq, dan membuahkan hamba-hamba allah yang memiliki karakteristik Ilahiyah dalam kehambaannya. Tetapi ada pula yang tumbuh di ladang yang gersang, tidak dicurahi hujan anugerah Ilahiyah dan lebih menonjolkan analisa filosufis belaka, padahal sedikit saja ia memberikan menu dan polesan kepasrahan jiwanya melalui cara yang benar, segala menjadi subur kembali.

Jelasnya, ada keinginan besar-besaran memasuki dunia Sufi, lalu mereka mencari tempat-tempat atau

lembaga yang melakukan kajian Tasawuf. Bahkan banyak pula dioantara pakar yang mengkaji Tasawuf, lalu mengajarkan nilai-nilai Tasawuf kepada khalayak, dengan asumsi bahwa memang demikian cara menghayati Tasawuf, cukup membaca, mendiskusikan, membenarkan, lalu diamalkan begitu saja, tanpa memandang bagaimana seharusnya seluruh ajaran Tasawuf itu diimplementasikan dalam proses ruhani seseorang. Dan di sini, Tasawuf hanya dipandang sebagai nilai-nilai moral saja. Selebihnya, dipandang sebagai produk filsafat agama.

kenapa muncul pertanyaan seperti itu? Sebab orang mendalami Tasawuf dengan berbagai motivasi. ada orang yang belajar karena ingin tahu lebih dalam filsafat Islam, dan menjadikannya sebagai landasan moral, bukan landasan amal. ada yang mendalami Tasawuf, memang untuk mendukung pengalaman amaliyahnya selama ini, sehingga pengetahuan Tasawuf sebagai instrumen untuk membandingkan dengan pengalaman ruhaninya dalam amaliyah Tasawuf. ada pula yang mempelajarinya hanya sebagai obyek penelitian ilmiyah belaka. Masing-masing melahirkan kondisi psikhologis yang berbeda-beda.

Para Ulama Salaf yang sholeh, seperti abdul Wahhab asy-Sya’rany, Ibnu athaillah as-Sakandary, Hujjatul Islam al-Ghazaly memiliki kisah-kisah yang unik dan tentu saja benar. ketika mereka mendalami Tasawuf, mereka merasa bisa mengamalkan tanpa memasuki Thariqatnya. Sebagaimana dalam kiitab Lathaiful Minan al-kubra, karya asy-Sya’rany, ia menggambarkan betapa belasan tahun ia curahkan hidupnya dalam ibadah layaknya para Syfi. Tetapi, untuk mencapai Ma’rifatullah, terus terang ia mengakui telah gagal. Lalu ia sholat Istikhoroh memohon petunjuk kepada allah.

allah pun memberi petunjuk agar menemui seorang syeikh yang tidak begitu terkenal di sebuah pelosok. Selama tiga bulan ia berada di bawah bimbingan syeikh itu, dan apa komentarnya? “Tiga bulan bersama Syeikh, lebih berarti dari belasan tahun dari pendalamanku dan ibadahku,” katanya.

Faktanya, untuk menghindari agar Tasawuf bukan sebagai nilai-nilai belaka atau kebenaran belaka, maka dibutuhkan seorang Mursyid Thariqat yang mampu membimbing hatinya, perjalanan metafisisnya, menata batinnya dalam sebuah kerangka agung: berakhlak secara karimah di hadapan allah swt.

Banyak yang menolak mengamalkan Tasawuf melalui Mursyid, dan akhirnya Tasawuf hanya dijadikan timbangan moral saja, hanya karena merasa bertasawuf tidak perlu Mursyid. Banyak yang menolak berada di bawah bimbingan Mursyid karena alergi terhadap Tharekat, hanya karena melihat fenomena Tharikat yang eksklusif. akhirnya ia tidak mendapatkan dua-duanya, tidak lebih dari mengenal kebenaran Tasawuf filosufis belaka.

Mereka yang mendalami Tasawuf disertai amaliyah Shufiyah, bisa dikategorikan Sufi Hakiki. artinya, Hakikat air tauhid yang mengaliri hatinya telah menimbulkan Dzikrullah, dan Dzikrullah telah melahirkan ahli Dzikir. ahli Dzikir adalah Induk dari segala sumber Ilmu (filsafat). Untuk menjadi ahlu dzikir, betapa pun dalamnya pengetahuan seseorang, alimnya pemahaman seorang cendekiawan, akan mengalami kebuntuan-kebuntuan spiritual, manakala tidak terbimbing oleh Mursyid. Seorang Ulama’ pun dalam mengamalkan ajaran Tasawuf tetap harus berada dalam bimbingan Mursyid. Ia bisa tahu seluk beluyk ilmu Tasawuf, tetapi ia belum

tentu tahu masa depan hatinya sendiri, apalagi ketika harus hadir ke hadirat Ilahi.

Berbeda dengan Sufi tanpa Thariqat. Gerakan mereka cenderung mengabaikan amaliyah Thariqat. Sufisme sebagai sebagai acuan akhlak saja, dan bahkan hanya ditangkap sebagai kebenaran filsafat Islam. Disebut Sufi kering, karena mereka hanya menemukan kebenaran, tetapi tidak menemukan Haqqul yaqin, sebagaimana seruan al-Qur’an: “Sembahlah Tuhanmu, hingga datang kepadamu al-yaqin.”

Untuk mencapai keyakinan, haruslah dengan cara melaksanakan “Wa’bud Rabbaka” (sembahlah Tuhanmu). Proses penyembahan kepada Tuhan yang dilakukan oleh para pengamal Sufi, dilakukan melalui Dzikrullah yang relevan dengan ajaran Thariqat Sufi. Banyak orang mendapatkan kebenaran, tetapi untuk meraih keyakinan? Belum tentu. Sebab keyakinan adalah produk dari amaliyah jiwa dalam kontemplasi ruhaninya bersama allah.

karena itu Hujjatul Islam al-Ghazali menulis kitab tentang Tipudaya kaum Beragama, termasuk tipudaya terhadap orang-orang Sufi. ada delapan tipudaya yang bisa menimpa para Sufi, jika ia tidak hati-hati dalam perjalanan Ruhaninya. Begitu juga banyak orang langsung saja mengamalkan ajaran tasawuf tanpa Thariqat dan tanpa Mursyid, kemudian merasa sudah bertemu allah, bertemu sekian Malaikat, padahal itu hanyalah tipudaya belaka dibalik imajinasinya.

1. IMAM ABU HANIFAH RA.

Imam abu seorang imam mazhab dari empat mazhab terkenal, ternyata juga seorang Mursyid Thariqah Sufi. Diriwayatkan oleh seorang Faqih Hanafi al-Hashkafi, menegaskan, bahwa abu ali ad-Daqqaq ra, berkata, “aku mengambil Thariqah sufi ini dari abul Qasim an-nashr abadzy, dan abul Qasim mengambil dari asy-Syibly, dan asy-Syibly mengambil dari Sary as-Saqathy, beliau mengambil dari Ma’ruf al-karkhy, dan beliau mengambil dari Dawud ath-Tha’y, dan Dawud mengambil dari abu Hanifah Ra.

abu Hanifah dikenal sebagai Fuquha ulung, ternyata tetap memadukan antara syariah dan haqiqah. Dan abu Hanifah terkenal zuhud, wara’ dan ahlu dzikir yang begitu dalam, ahli kasyf, dan sangat dekat dengan allah Ta’ala, berkah Tasawuf yang diamalkannnya.

KOMENTAR PARA ULAMA

Dalam dokumen Tasawuf DALAM LINTASAN SEJARAH (Halaman 73-76)