• Tidak ada hasil yang ditemukan

DZIKIR ALLAH PADA DIRINYA

Dalam dokumen Tasawuf DALAM LINTASAN SEJARAH (Halaman 88-92)

KOMENTAR PARA ULAMA SALAF DAN KHALAF

10 . IMAM NAWAWI, RA

2. DZIKIR ALLAH PADA DIRINYA

(Al-Qashdul Mujarrad fi Ma’rifatil Ismil Mufrad 86-90)

Secara hakikat, tak ada yang bisa berdzikir “allah”, kecuali hanya “allah” dan tak ada yang mengenalnya selain Dia. Tak ada yang berhak ditunggalkan kecuali hanya baginya. Sedangkan Dzikirnya pada Dirinya Sendiri adalah

firmannya :

“Sungguh Dzikirnya allah adalah (dzikir) Terbesar”. Dzikirnya allah yang Maha agung nan Luhur pada Dirinya adalah Dzikir paling besar dan paling agung, paling sempurna, dibanding dzikirnya makhluk kepadanya.

Sedangkan Ma’rifatnya terhadap Dirinya adalah firmannya :

“Dan mereka tidak mampu mengukur allah sebagaimana mestinya.”

Maka allah Ta’ala-lah yang Maha Mengenal keparipurnaan Dzatnya dan keagungan Sifatnya.

Selain Dia, tidak mampu. Semua makhluknya saja tidak mampu mengenal dan meliputi sebagian yang lain. Bagaimana seseorang bisa mengenal salah satu sifat dari Sifat-sifatnya?

Sedangkan Tauhidnya pada Dirinya, adalah firmannya :

“allah menyaksikan sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Dia.”

Maka, Dialah yang Maha Mengetahui atas ketauhidannya secara hakiki dan paripurna. Sedangkan tauhidnya makhluk, hanya terjadi setelah Tauhidnya pada Dirinya Sendiri, lalu kemudian melimpahkan dari Cahaya Tauhidnya sedikit saja pada para Malaikatnya dan dari kalangan Ulama menurut kadar masing-masing.

apa yang sudah dibagikan kepada makhluk adalah bagian menurut ilmunya yang azali. Maka Wujudnya dikenal melalui Cahaya Tauhidnya, bukan dengan Dzat diri Tauhidnya. Setiap orang yang mengenalnya senantiasa tidak mampu mengenalnya, sedangkan ma’rifat itu ada di dalam tauhid. karena ma’rifat itu sifatnya langsung, dan itulah pangkal ma’rifat. Ma’rifat langsung itu seperti lampu di dalam matahari dan menyebarnya cahaya pada matahari itu. karenanya disebut sebagai tauhid paling sempurna adalah pengokohan tauhid dalam akal, dan potensi akal menjadi faktor argumentasi dan penetapan bukti dalam hati, yang lebih berhak mandiri dalam rasa yaqin, serta paling jelas menampakkan dalam argumen dan sifat yang berpadu dalam hati.

Tada ada yang yang didapatkan oleh seseorang dengan bukti dari bukti-bukti langsung dirinya, dan mewujudkan hakikat dengan benar serta kritik yang benar dibanding penemuan akalnya yang tanpa taklid maupun tanpa peraguan. Sehingga tidak ada lagi sangkaan dan keraguan.

Sebab bertaklid dalam tauhid itu akan jauh dari tambahnya rasa yaqin, tidak berguna dan tidak bermanfaat. Taklid itu sendiri merupakan bentuk mengekor jejak orang lain tanpa mengenal bukti, kenyataan dan dalil. Tak ada yang rela pada taklid kecuali orang yang pemahannya bodoh, keras wataknya, bebal pikirannya, bodoh dan hina, terjauhkan dan terhijab, terdampar dan terabaikan dalam kehancuran. Semoga allah Swt melindungi kita dan kalian dari tirai sifat seperti itu, dan menjadikan kita sebagai ahli pengetahuan, pemahaman dan hakikat serta ma’rifat bersama anugerahnya.

Diriwayatkan dari abu Said al-khudry ra dari nabi Saw, beliau bersabda :

“Qalbu itu ada empat : Qalbu putih susu yang didalamnya ada lampu yang memancarkan cahaya, itulah qalbu orang beriman. Dan qalbu hitam terbalik, itulah qalbu orang kafir. Dan Qalbu yang tertutup yang terikat pada tutupnya, itulah qalbu orang munafiq. Dan Qalbu yang di dalamnya ada iman dan kemunafikan. Iman diibaratkan tumbuhan sayur yang dialiri air yang bagus. Sedangkan munafik di sini ibarat luka bernanah yang dirambahi kuman. Dari dua materi itu, manakah yang lebih menang, maka hukumnya diberlakukan. (Dalam suatu riwayat ”qalbu itu dibawa”.) (maksudnya menjadi mukmin atau munafik, pent).”

Sayyidina ali -Semoga allah memuliakan wajahnya- ra, Qalbu putih susu adalah karena proses pemutihannya yang dilakukan melalui zuhud di dunia dan menyingkirkan hawa nafsunya. Sedangkan cahaya lampu yang memancar adalah cahaya yaqin yang memandang dengan rasa yaqin.

Sebagian Sufi menegaskan Qalbu putih susu adalah pembersihan qalbu melalui tauhid dari segala keraguan, kebimbangan dan taqlid, dan pengasingan diri dari segala hal selain allah Swt.

adapun qalbu yang terbalik adalah qalbu yang menjadikan hawa nafsunya sebagai Tuhannya (dan allah membiarkan sesat menurut Ilmunya), lalu allah membalik langsung pengetahuan tauhidnya, melalui pandangan pemikiran gelap dan kemusyrikan. Inilah yang dikatakan sebagaian ‘arifin, “kegelapan paling gulita adalah kegelapan ilmu dan kebodohan terbodoh adalah kebodohan taqlid.”

Qalbu yang tertutup adalah qalbu yang tertirai melalui gelapnya kebodohan taqlid, jauh dari memandang matahari nubuwwah dan Tauhid.

allah Swt berfirman :

“Mereka berkata : “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganuti dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapatkan petunjuk dengan mengikuti jejak mereka. Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri melainkan orang-orang yang hidup meweah di negeri itu mengatakan, “Sesungguhnya kami dapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut-pengikut jejak mereka.” (Az-Zukhruf: 23-24)

“Dan bila ditanya pada mereka, “Ikutilah apa yang yang telah diturunkan Allah…” Mereka menjawab, “(Tidak), namun kami mengikuti apa yang telah kami dapatkan dari bapak-bapak kami.”

Qalbu yang berhampar dua muka adalah qalbu yang penuh keraguan, maju mundur antara hawa nafsu dan cermin pengetahuannya, dengan alibi rasa aman dan aktifitasnya.

Riya’ adalah syirik, dan syirik itu menghapus amal. Riya’ terbesar adalah orang yang memamerkan iman.

allah Swt. Berfirman :

“Diantara manusia ada orang yang cukup membuatmu kagum ucapannya dalam hal kehidupan dunia dan dipersaksikan kepada allah atas apa yang ada di hatinya, padahal ia adalah penantang paling

keras.” (al-Baqarah: 204)

“Dan mereka tidak melakukan sholat melainkan mereka itu pemalas.”

“Maka celakalah bagi orang yang sholat, yaitu orang-orang yang lalai sholatnya. yaitu mereka yang berbuat riya’ dan mencegah membayar zakat (menolong orang-orang miskin).” (al-Maa’un: 4-7)

Jika disimpulkan , di manapun posisi qalbu senantiasa berfungsi sebagai pengambil keputusan, bukan perusak.

Dikatakan, bahwa Qalbu dalam kekuatan cahaya dan tauhidnya serta pancaran sinarnya, ibarat cahaya lampu, dalam lampu, itu ada qalbu.

airnya adalah akal dalam qalbu. Sedangkan minyaknya merupakan tempat bagi pengetahuan qalbu yang merupakan ruhnya lampu atau pelita. Dengan ilmu yang banyak maka bertambahlah ruh al-yaqin, yang dikukuhkan dengan ruh dari yaqin itu sendiri.

Sedangkan sumbu lampu sebagai tempatnya iman, yang merupakan asal dan penegak iman yang melimpah darinya. Maka dengan kadar beningnya kaca lampu yang merupakan qalbu yang bersih, muncullah warna air yang merupakan akal penguat. Dan menurut kadar beningnya minyak, jernih dan meresapnya yang melebar - yaitu ilmu- maka memancarlah cahayanya cahaya yang merupakan tempatnya iman.Dengan kadar kekuatan sumbu dan melimpahnya intinya sumbu semakin menguatkan iman. Itulah seperti iman dalam potensi penguatnya melalui zuhud, rasa takut dan takut yangdisertai cinta (khasyyah).

Melalui pancaran cahaya api yang menerangi nafsu, adalah ibarat ilmu dalam materi ketaqwaan, wara’ dan ma’rifat, serta hilangnya hawa nafsu dan syahwat.

Maka, jadilah ilmu sebagai tempat bagi tauhid, sehingga orang yang bertauhid mandiri dalam tauhidnya menurut kadar tempatnya.

Tawakal sebagai aktifitas qalbu, tauhid adalah ucapan qalbu, dan majlis tertinggi, paling mulia adalah duduk disertai tafakkur di medan tauhid.

ketika qalbu menghampar luas bersama ilmu, ia akan zuhud di dunia, lantas hawa nafsu, ambisi, imajinasi dan angan-angan jadi sirna. Imannya semakin tambah dan tauhidnya jadi sempurna.

Dikatakan pula, Qalbu itu seperti istana, dan dada ibarat kursinya. Makanaka dada meluas dengan pengetahuan iman, melebar dengan cahaya yaqin, jadilah kursi, yang meluas ilmunya secara dzohir di alam nyata, dan secara batin di alam malakut di dalam dirinya dan lainnya. Maka jadilah pancaran aliran yang melimpah dalam kema’rifatannya, berjalan penuh dengan pelajaran, berakhaq dengan akhlaq paling luhur dalam Sifat-sifatnya. Sebagaimana riwayat (dalam hadits Qudsy) dari allah Swt yang berfirman :

“Hambaku senantiasa bertaqarrub kepadaku dengan ibadah-ibadah sunnah hingga aku mencintainya. Maka bila aku mencintainya, akulah Pendengarannya yang dijadikannya mendengar.”

Bila qalbu telah penuh dengan tauhid, maka qalbu jadi istana (arasy), dengan sendirinya bersih dari sifat-sifat manusiawi, yang dimuliakan dengan Sifat-sifat-sifatnya

yang Luhur di tempat yang Tinggi, sedangkan paling rendah adalah ma’rifatnya.

Pandangan matahatinya jadi sempurna dengan cahaya Ismu Dzat (allah), kedudukannya menjadi agung sebagaimana keagungan arasy bila dibanding makhluk-makhluknya. Ia berkahlaq dengan akhlaq allah Swt. asmaul Husna jadi sifat dan karakternya. Ia jadi lebur dalam hakikat fana’ dalam musyahadahnya kepada yang Didzikiri (allah swt), bahkan fana’ dari dzikirnya sendiri, lalu ia dikembalikan kepada makhluk dengan membawa rahmatnya.

Ia mengajak kepada makhluk menuju allah Ta’ala bersama allah Swt. Sebagaimana dalam hadits Qudsy :

“arasyku dan kursiku begitu juga Langit-langitku tidak ada yang memuatku. Dan hanya hati hambaku yang memuatku.”

Makna dari memuatku di situ adalah manifestasi tauhid dan iman, ilmu dan ma’rifat, yaqin, cinta dan keikhlasan, sebagai anugerah dan keistemewaan dari allah Swt. Bukan yang dimaksud “memuat” itu adalah sesuatu yang terhampar dalam khayalan, menempati (hulul), inderawi dan aturan hukum.

Dalam dokumen Tasawuf DALAM LINTASAN SEJARAH (Halaman 88-92)