Barangkali anda bertanya, “Bagaimana mungkin sikap ridha terhadap qadha’ allah bisa bertemu dengan sikap benci terhadap orang-orang kafir dan orang-orang yang suka berbuat maksiat, padahal dalam kaitan mengingkari kekafiran itu sebagai ibadat, dan allah Swt. juga berkehendak demikian terhadap
mereka?”
Sekelompok orang lemah berprasangka, bahwa meninggalkan amar ma’ruf merupakan salah satu sikap ridha terhadap qadha’. Sikap demikian mereka sebut dengan perilaku yang baik, ini benar-benar ketololan dan sikap bodoh yang sebenarnya. Malah justru anda harus ridha, dan sekaligus membenci semuanya.
Ridha dan benci merupakan dua hal yang bertolak belakang bila menimpa satu hal, dan satu arah. keduanya tidak bertolak belakang atau bertentangan jika, misalnya, musuh anda yang juga merupakan musuh dari musuh anda yang lain, terbunuh. anda ridha atas terbunuhnya, dari sisi bahwa dia adalah musuh anda. namun anda juga tidak suka, dari sisi bahwa dia itu adalah musuh dan musuh anda yang lain.
Demikian pula dengan perbuatan maksiat, ia memiliki dua segi:
Satu segi dikembalikan kepada allah, yakni dan sisi bahwa perbuatan maksiat itu terjadi atas qadha’ dan kehendak allah Swt. Dari segi ini maksiat itu diridhai. Segi kedua dikembalikan kepada pelaku maksiat tersebut, yakni dari sisi bahwa maksiat tersebut adalah sifat dirinya dan hasil perbuatannya. karena maksiat itu dibenci oleh allah, maka dari segi ini maksiat dibenci. allah Swt. telah menjadikan anda sebagai hamba dengan membenci siapa yang membenci-nya, ‘di antara orang-orang yang mendurhakai dan melanggar perintah-nya. Maka, anda sebagai orang yang dijadikan hamba oleh allah dengan hal tersebut, harus mematuhi perintah-nya.
Jika kekasih anda berkata kepada anda, “Sungguh,
aku hendak menguji rasa cintamu, dengan cara memukul dan menganiaya budakku, hingga dia memakiku. Orang yang membenci budakku, berarti mencintaiku, sebaliknya orang yang mencintai dan mengasihi budakku, dia adalah musuhku.”
Padahal anda sendiri tahu, bahwa yang memaksa budak itu memaki kekasih anda adalah kekasih anda sendiri, dan itu merupakan rekayasa darinya.
karena itu, maka sikap dan jawaban anda adalah, “Makian budakmu itu, sungguh aku sukai dan sisi bahwa hal itu adalah rekayasamu terhadap budakmu, dan tujuanmu untuk mengasingkan siapa yang kamu kehendaki. Sedangkan makian si budak dan sisi bahwa itu adalah sifatnya dan merupakan pertanda dan tindak permusuhannya, sungguh aku membenci dan tidak menyukainya, sebab aku mencintaimu. Tentu saja aku harus membenci orang yang menampakkan sikap permusuhan kepadamu.”
Ini adalah persoalan yang samar. Orang-orang lemah selalu tergelincir di situ, karenanya mereka berbicara tentang hal tersebut secara serampangan.
Selain itu, tidak layak anda berpraduga bahwa pengertian ridha terhadap qadha’ allah adalah orang yang meninggalkan doa kepada allah, bahkan membiarkan anak panah yang mengarah kepada anda sehingga mengenai diri anda, padahal anda mampu menahannya dengan perisai. Justru doa sebagai refleksi ibadat anda agar dan kalbu anda memancar dzikir yang murni, kekhusyu’an dan kehalusan kalbu demi kesiapannya menerima kelembutan-kelembutan dari cahaya-cahaya.
Di antara bentuk ridha terhadap qadha’ allah ialah, berhubungan dengan kekasihnya melalui berbagai sebab yang bisa sampai kepada sang kekasih. Ia juga meninggalkan sebab-sebab yang bertentangan dengan apa yang diinginkan kekasihnya itu, demi ridhanya.
keengganan orang haus meminum air dingin, karena beranggapan bahwa dirinya ridha dengan rasa haus, sebagai salah satu qadha’ allah Swt. Padahal, qadha’ dan kecintaan allah justru perilaku menghilangkan rasa haus dengan air tersebut.
Tindakan keluar dari peraturan-peraturan syariat dan dari Sunnatullah juga bukan perilaku ridha terhadap qadha’ allah Swt. Justru pengertian dan sikap ridha adalah, tidak menentang terhadap allah Swt. baik secara lahir maupun batin. Ridha berarti pula mengerahkan seluruh tenaga untuk berhubungan segala hal yang dicintai allah Swt, dengan cara melaksanakan perintah dan meninggalkan seluruh larangan-nya.
kesembilan maqam ruhani yang telah kami sebutkan terdahulu bukanlah satu kategori yang berdiri sendiri-sendiri. Justru sebagian diantaranya menunjukkan esensi maqam lainnya, seperti prinsip atau maqam cinta (mahabbah) dan prinsip atau maqam ridha (rela terhadap ketetapan allah); keduanya merupakan maqam tertinggi. Di antara maqam tersebut saling berkait dengan maqam lainnya, seperti maqam tobat dan zuhud; maqam takut (khauf) dan sabar. Sebab, tobat itu merupakan tindakan kembali dari jalan yang menjauhkan (diri dari allah) menuju jalan yang mendekatkan diri kepada-nya.
Sedangkan zuhud merupakan tindakan meninggalkan ragam kesibukan yang menghalangi pendekatan diri kepada-nya; rasa takut (al-khauf) merupakan cambuk yang menggiring perilaku untuk meninggalkan kesibukan-kesibukan tersebut. Sabar
RIDHA TERHADAP
QADHA
adalah perjuangan ruhani melawan ragam nafsu yang menghalangi jalan pendekatan diri kepada-nya.
Jadi, masing-masing maqam tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, melalui ma’rifat dan mahabbah, yang berdiri sendiri. Hanya saja, ma’rifat dan mahabbah tidak dapat berwujud sempurna, kecuali dengan cara menafikan rasa cinta kepada selain allah dalam kalbu. Untuk kepentingan tersebut memerlukan al-khauf, sabar dan zuhud. Di antara hal yang besar manfaat dan fungsinya dalam hal ini adalah mengingat akan mati. Inilah pembahasan yang kami maksudkan.
Syariat memberikan imbalan pahala yang besar terhadap orang yang suka mengingat mati. Sebab dengan mengingat mati, akan menyulitkan dirinya dalam mencintai dunia, selain memutus hubungan hati dengan dunia itu sendiri.
allah Swt. berfirman: “katakanlah, ‘Sesungguhnya kematian yang kamu Iari dari padanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu.” (Q.s. al-Jumu’ah: 8).
Rasulullah Saw. bersabda: “Perbanyaklah mengingat penghancur kelezatan-kelezatan!” (al-Hadis).
Beliau juga bersabda, “Barangsiapa tidak menyukai pertemuan dengan allah, allah pun tidak suka bertemu dengannya.”
aisyah r.a. bertanya kepada Rasulullah Saw, “Wahai Rasulullah, adakah seseorang yang dikumpulkan bersama para syuhada’ (orang yang mati syahid)?” tanya aisyah r.a.
“Benar,” jawab Rasulullah, “yaitu, orang yang mengingat mati duapuluh kali dalam sehari semalam.”
Rasulullah Saw. melintasi sebuah majelis yang penuh dengan gelak tawa, lalu beliau bersabda, “Campurilah majelis kalian dengan pengaruh kelezatan-kelezatan!”
“apakah itu?” di antara mereka mengajukan pertanyaan.
“Maut,“ jawab beliau singkat.
Rasulullah Saw. bersabda, “andaikata binatang-binatang itu tahu akan kematian sebagaimana manusia (mengetahuinya), tentu kalian tidak akan makan daging yang gemuk darinya.”
Sabda beliau pula, “Cukup maut sebagai pemberi peringatan.”
Sabdanya: “aku tinggalkan dua pemberi peringatan di tengah-tengah kalian, yang diam dan dapat berbicara. yang diam adalah maut, sedangkan yang berbicara adalah al-Qur’an.” (al-Hadis).
ada seorang laki-laki yang disebut-sebut di sisi Rasulullah Saw, orang itu selalu dipuji dengan baik. Lalu Rasulullah Saw bertanya, “Bagaimana teman kalian itu menyebut mati?”
“kami hampir tidak pernah mendengar dia mengingat mati,” jawab mereka.
“(Jika demikian), maka sesungguhnya teman kalian itu bukanlah di situ,” jawab beliau.
Seorang sahabat dan kaum anshar bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah manusia yang paling cerdas dan mulia?” tanya seorang laki-laki dan (kaum) anshar.
“yang paling banyak mengingat mati di antara mereka, dan yang paling banyak (tekun) mempersiapkan diri menghadapi kematian. Mereka itulah orang-orang yang paling cerdas, mereka pergi dengan kelegaan dunia dan kemuliaan akhirat,” sabda beliau.