• Tidak ada hasil yang ditemukan

COMPLAIN MANAGEMENT SEBAGAI WUJUD AKUNTABILITAS DALAM PELAYANAN PUBLIK DI ERA

OTONOMI DAERAH

Arenawati, M.Si

Prodi Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Pakupatan-Serang, Banten

E-mail: arenawatip@yahoo.com

ABSTRAK

Pelayanan publik adalah serangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa atau pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Otonomi Daerah dengan azas desentralisasi yang dianutnya bertujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam tugasnya sebagai penyedia pelayanan penyelenggara pelayanan publik harus memperhatikan azas pelayanan, seperti transparansi, akuntabilitas, kondisional, partisipatif, tidak diskriminatif dan keseimbangan hak dan kewajiban. Namun pada kenyataannya penyelenggara pelayanan publik seringkali mengabaikan azas-azas tersebut. Banyak masyarakat yang harus kecewa atas pelayanan publik yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik, dalam hal ini adalah pemerintah daerah. Penyelenggara pelayanan publik di daerah telah memberi kesempatan masyarakat untuk memberi saran lewat kotak pos, atau telepon interaktif sekedar hanya untuk dikatakan bahwa mereka aspiratif. Sebagian besar penyelenggara pelayanan tidak memanfaatkan komplain yang disampaikan untuk dikelola sebagai masukan penting guna perbaikan organisasi. Mengelola komplain bagi penyelenggara pelayanan publik di daerah adalah sangat penting di era otonomi daerah , karena salah satu prinsip otonomi daerah adalah otonomi yang bertanggungjawab, dimana wujud pertanggungjawaban tersebut dilakukan dalam bentuk peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Agar komplain dapat memperbaiki kinerja organisasi, maka beberapa hal perlu dilakukan diantaranya : merubah pandangan dan budaya organisas terhadap komplain, melakukan tindakan melalui pendekatan mekanistis dan pendekatan organis, menerapkan manajemen komplain dari Wensminster Social Service Department.

Kata Kunci : Akuntabilitas, Complaint Management, Pelayanan Publik

I. PENDAHULUAN

Otonomi daerah dan Daerah Otonom lahir

sebagai konsekuensi dari adanya sistem

desentralisasi karena desentralisasi menuntut penyerahan sejumlah fungsi pemerintahan kepada daerah otonom. Otonomi itu sendiri bertujuan mencapai efektivitas dan efesiensi dalam pelayanan kepada masyarakat, karena prinsip pelayanan publik yang paling efesien seharusnya diselenggarakan oleh otoritas yang memiliki kontrol geografis paling minimal (Cheema dan Rondinelli dalam Ambar, 2009 : 358). Kebijakan otonomi daerah ditempuh dalam rangka mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan daerah dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara berpemerintahan yang baik (good governance). Undang-undang Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dan prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberi

kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjadikan prinsip Otonomi Nyata ,Luas dan Bertanggung Jawab dalam pelaksanaan otonomi daerah. Dalam penjelasan dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi seluas-luasnya adalah daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada

peningkatan kesejahteraan rakyat.kecuali

kewenangan absolute yang dimiliki oleh pemerintah pusat seperti politik luar negeri, Hankam, moneter, fiskal, yustisi dan agama. Konsekuensi prinsip otonomi nyata adalah adanya urusan wajib pemerintah daerah yang nyata ada dan dibutuhkan oleh masyarakat yang meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian,

[129] perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja.

Sejak dicanangkannya Otonomi Daerah pada tanggal 1 Januari 2001 otonomi daerah belum berjalan dengan mulus dan lancar. Berbagai isu implementasi yang muncul seperti terkait dengan pelaksanaan pemerintahan daerah, perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, dana perimbangan serta tata cara pertanggungjawaban kepada daerah perlu untuk dianalisis serta diantisipasi agar implementasi otonomi daerah berjalan dengan baik, efesien dan efektif untuk memberikan pelayanan kepada publik (Widjaja, 2007 :24). Begitu pula dalam pelaksaan urusan wajib pemerintah, masih banyak masyarakat yang mengeluhkan kualitas pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara pelayanan. Terkait dengan pekerjaaan umum seperti kondisi jalan, terminal, jembatan yang rusak. Dalam bidang pendidikan masih banyak sekolah yang kondisinya rusak berat, daerah terpencil jumlah guru masih kurang, di bidang kesehatan pelayanan puskesmas dan RSUD masih dinilai lamban dalam melayani, kurangnya jumlah tenaga kesehatan, sikap sebagian perawat yang kurang ramah dan diskriminatif. Belum lagi yang terkait dengan pelayanan pemerintah yang bersifat administratif seperti dalam pelayanan pembuatan KTP, Akte Kelahiran, Sertfikat Tanah, Surat Ijin Mendirikan Bangunan, SIUP dan lain-lain. Pelayanan yang bersifat administrative tersebut bagi sebagian warga masyarakat dinilai lamban dan juga berbelit, terlalu banyak syarat dan prosedur yang panjang.

Konsekuensi terakhir dari otonomi daerah adalah prinsip otonomi yang bertanggung jawab. Dalam menjalankan pemerintahan daerah harus disertai dengan tanggung jawab kepada publik sehingga memenuhi harapan masyarakat di daerah, salah satu wujud pertanggungjawaban pemerintah daerah adalah peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat. Agar harapan ini terwujud maka fungsi pengawasan yang dilakukan oleh legislatif dan masyarakat harus dilakukan (Widjaja, 2007 : 24). DPRD dan masyarakat memiliki kesempatan untuk mengawasi jalannya pemerintahan di daerah, sehingga partisipasi aktif dari masyarakat dalam bentuk kritikan, masukan, saran atas pelayanan yang diberikan pemerintah merupakan masukan penting bagi perbaikan kinerja pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah.

II. PERMASALAHAN

Otonomi Daerah yang sejak awalnya bertujuan untuk lebih meningkatkan efesiensi dan efektifitas pelayanan kepada masyarakat, pada

kenyataannya tidak sepenuhnya tercapai.

Masyarakat masih merasakan pelayanan pemerintah yang tidak efesien, prosedur yang yang panjang dan berbelit, pelayanan yang lamban, diskriminatif, tidak transparan. Pengalaman yang tidak menyenangkan

terhadap pelayanan publik menyebabkan

ketidakpuasan yang dituangkan dalam bentuk komplain. Bagi birokrasi pemerintah komplain seringkali tidak ditanggapi dan dikelola dengan baik, seringkali pemerintah menganggap komplain yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pelayanan yang diterimanya dapat mengurangi wibawa pemerintah di mata masyarakat. Padahal bagaimana pemerintah menanggapi komplain adalah wujud akuntabilitas pemerintah terhadap pelayanan yang mereka berikan kepada masyarakat. Oleh karena itu permasalahan

yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah “

Bagaimanakah Complaint Management dapat

meningkatkan akuntabilitas pelayanan publik ?”.

III. PEMBAHASAN

Peranan pemerintah memang telah

mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat yang berkembang. Hal ini seiring dengan berubahnya paradigma dalam ilmu Administrasi publik, pada paradigma Old Public Administration menempatkan warga masyarakat sebagai clients, dimana posisi client lebih bersifat powerless, berada pada pihak yang harus nurut terhadap perlakuan pelayanan yang diberikan oleh provider (birokrat). Pada masa ini posisi warga negara sangat lemah karena sangat tergantung dengan pemerintah sebagai pemberi pelayanan. Paradigma kedua The New Public Management (NPM) adalah meletakkan mekanisme pasar sebagai pedoman dalam pelayanan publik. Pada dekade ini dikenal istilah “steer not row”. Disini peran

pemerintah adalah mengarahkan . NPM

menempatkan warga masyarakat sebagai customer, dimana konteks dan kualitas pelayanan sangat ditentukan oleh kemampuan ekonomi customer. Jika customer memiliki kemampuan ekonomi yang lebih baik maka ia akan mendapatkan pelayanan yang lebih baik pula.

King dan Stivers (1998) dalam buku “

Government is Us “, mendesak para administrator

melibatkan warga masyarakat, Mereka harus melihat rakyat sebagai warga masyarakat bukan sebagai pelanggan, sehingga dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali serta percaya pada keefektifan kolaborasi. Mereka harus membangun trust dan bersikap responsive terhadap kepentingan atau kebutuhan nasyarakat, bukan semata mencari efesiensi yang lebih tinggi sebagaimana dituntut dalam NPM. Keterlibatan masyarakat harus dilihat

sebagai “ investasi” yang signifikan (Keban, 2008 :

247)

Prinsip-prinsip yang disampaikan King dan Stiver memberikan pandangan baru terhadap administrasi pelayanan publik. Dimana paradigm

[130] tersebut disebut dengan paradigm New Public Service. Menurut Denhardt dan Denhardt (2007 : 42-43 ) administrasi publik harus :

1. Service citizen not customers, public servant do not morely respond to demands of “customers” but rather focus on building relationships of trust and collaboration with among citizens.

2. Seek the public interest, public administrator must contribute to building a collective, shared notion of the public interest. The goal is not to find quick solution driven by individual choise. Rather it is the creation of shared interest and shared responsibility. 3. Value citizenship over entrepreneurship, The

public interest is better advanced by public servants and citizens commited to making meaningful contributions to society than by entrepreuneurial managers acting as if public money were their own.

4. Think strategically, act democratically, Policies and programs meeting public needs can be mos effectively and responsibly achieved through collective efforts and collaborative processes

5. Recognize that accountability isn’t simple , Public servants should be attentive to more than the market; they should also attend to statutory and constitutional law, community values, political norms. Professional standards and citizens interest.

6. Serve rather than steer, It is increasingly important for public servants to use shared, value based leadership in helping citizens articulate and meet their shared interest rather than attemting to control or steer society in new directions.

7. Value people, not just productivity, Public organization and the networks in which they participate are more likely to be successful in the long run if they are operated through processes of collaboration and shared leadership based on respect for all people. Dari asas – asas dalam New Public Service di atas dapat dijelaskan satu persatu sebagai berikut Service citizen not customers, melayani warga negara bukan pelanggan, bahwa pelayan publik tidak hanya merespon keinginan dari pelanggan tetapi lebih fokus pada membangun hubungan , kepercayaan dan kolaborasi diantara warga negara. Seek the public interest, mengutamakan kepentingan publik. Administrator publik harus memikirkan untuk membangun sebuah kebersamaan, membagi gagasan akan kepentingan publik. Tujuannya tidak untuk mendapatkan solusi yang cepat yang diarahkan pada pilihan individual. Tetapi lebih kreasi untuk membagi kepentingan dan tanggung jawab.

Value citizenship over entrepreneurship, nilai kemasyarakatan warga negara diatas nilai-nilai kewirausahaan (bisnis). Kepentingan publik lebih baik diutamakan oleh para pelayan publik dan warga negara diikutsertakan dan berkontribusi pada masyarakat daripada kepentingan para pelaku usaha. Think strategically, act democratically, berfikir strategis berbuat demokratis. Kebijakan dan program-programs yang dibutuhkan masyarakat akan lebih efektif dan lebih dipertanggungjawabkan diselesaikan melalui semangat kebersamaan dan proses yang kolaboratif. Recognize that accountability is not simple , mengakui bahwa pertanggungjawaban itu tidak sederhana. Pelayan publik seharusnya lebih memikirkan untuk menaati hukum dan konstitusi, nilai-nilai kemanusiaan, norma-norma politik , standar profesi dan kepentingan warga negara.

Serve rather than steer, lebih pada melayani daripada mengarahkan. Sangatlah penting untuk meningkatkan pelayan publik dengan turut menggunakan nilai berbasis kepemimpinan dengan membantu warga negara mengutarakan pendapat dan menemukan keinginannya daripada mengawasi atau mengendalikan masyarakat dengan arahan yang baru. Value people, not just productivity, menerapkan nilai-nilai kemanusian, tidak sekedar produktivitas. Organisasi publik dan jaringan kerjanya akanlebih berhasil jika merekan dalam oprasionalnya melalui proses kolaborasi dan

membagi kepemimpinan didasarkan pada

menghormati semua orang.

Paradigma ini menyebabkan perubahan pandangan terhadap warga negara sebagai pengguna pelayanan publik. Dengan prinsip service citizen not customer menempatkan warga negara tidak lagi sebagai pelanggan yang mendapatkan pelayanan

berdasarkaan kemampuan ekonomi yang

dimilikinya. Dalam New Public Service pengguna pelayanan publik adalah warga negara yang memiliki posisi sebagai owner atau pemilik pelayanan tersebut.

Pergeseran pandangan ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan dalam perumusan berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik, misalnya mengenai jenis pelayanan yang

mereka butuhkan, cara terbaik untuk

menyelenggarakan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan (Dwiyanto,2005 : 194).

Pelayanan Publik

Dalam UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang pelayanan Publik , Pelayanan Publik didefinisikan sebagai berikut : Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-ndangan bagi setiap warga negara dan

[131] pendudukatas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

Dalam hal ini yang dimaksud penyelenggara pelayanan publik adalah instansi pemerintah yang meliputi :

1. Satuan kerja/satuan organisasi

Kementrian 2. Departemen

3. Lembaga pemerintah Non Departemen 4. Kesekretariatan Lembaga Tertinggi dan

Tinggi Negara, misalnya : secretariat dewan (Setwan), secretariat negara (Setneg) dan sebagainya.

5. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) 6. Badan Hukum Milik Negara (BHMN) 7. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) 8. Instansi Pemerintah lainnya, baik Pusat

maupun Daerah termasuk dinas-dinas dan badan.

Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, aparatur pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat

dalam rangka menciptakan kesejahteraan

masyarakat. Masyarakat berhak untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik dari pemerintah karena masyarakat telah memberikan dananya dalam bentuk pembayaran pajak, retribusi dan berbagai pungutan lainnya.

Menurut Lewis (2005: 9) ruang lingkup pelayanan publik dapat dilihat dari pernyataan Public Service refers to agencies and activities tending toward the public side of the continuum. In actuality there is no clear division between public and private. Public service includes quasy governmental agencies and the many non profit organization devoted to community services and to the public interest”. Pelayanan publik mengacu pada agen dan serangkaian aktivitas yang diarahkan pada sisi publik. Sesungguhnya tidaklah jelas pembagian antara publik (umum) dan private. Pelayanan publik meliputi agen semi pemerintah dan banyak

organisasi non profit yang mencurahkan

perhatiannya pada pelayanan masyarakat dan kepentingan umum. Posisi pelayanan publik digambarkan sebagai berikut :

Gambar diatas menunjukkan bahwa pelayanan publik bersifat semi pemerintah dan swasta.

Pelayanan umum dapat juga dilakukan oleh pihak swasta, seperti rumah sakit atau pasar.

Dalam memberikan pelayanan publik, instansi penyedia pelayanan publik menurut Mahmudi ( 2005 : 234 ) harus memperhatikan asas pelayanan publik, yaitu :

1) Transparansi, pemberian pelayanan publik harus bersifat terbuka, mudah dan dapat diakses oleh semua pihak yang membutuhkan dan disediakan secara memadai serta mudah dimengerti.

2) Akuntabilitas, pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

3) Kondisional, Pemberian pelayanan public harus sesuai dengan kondisi dan kemampuan pemberi dan penerima pelayanan dengan tetap berpegang pada prinsip efisiensi dan efektivitas.

4) Partisipatif, mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan memperhatikan aspirasi, kebutuhan dan harapan masyarakat.

5) Tidak diskriminatif (kesamaan hak), Pemberian pelayanan publik tidak boleh bersifat diskriminatif dalam arti tidak membedakan suku, ras, agma, golongan, gender, status social dan ekonomi.

6) Keseimbangan Hak dan Kewajiban, pemberi dan penerima pelayanan harus memenuhi hak dan kewajiban masing-masing pihak.

Azas-azas pelayanan publik seharusnya dilaksanakan oleh setiap instansi pemberi pelayanan, sebagai wujud tanggung jawab pemerintah pada masyarakat akan pelayanan yang diberikannya.

Kepuasan Pelayanan

Kepuasan pelanggan akan berkaitan dengan harapannya atas pelayanan tersebut. Kepuasan

Pelanggan menurut Kotler (1997) adalah : … a person’s feeling of pleasure or disappointment resulting from comparing a product’s received performance (or outcome) in relation to the person,s expectation “. Kepuasan pelanggan adalah tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan antara kinerja yang ia rasakan/alami terhadap harapannya ( dalam Arief, 2007 : 167) . Menurut Levesque dan M Dougall (1996) “ Satisfaction is an overall customer attitude towards a service provider” sedangkan

Zineldin (2000) mendefinisikannya “an emotional reaction to the differen between what customer anticipate and what they receive” ( dalam

Hansemark, 2004 :41). Dari definisi diatas diungkapkan bahwa kepuasan seperangkat sikap-sikap yang mengarah pada seorang penyedia layanan dan juga dapat dikatakan sebagai reaksi emosi yang berbeda antara apa yang pelanggan harapkan dan apa yang mereka terima. Sama dengan difinisi yang lain bahwa kepuasan itu akan berhubungan antara harapan dengan kenyataan yang diterima atau dirasakan oleh pelanggan. Dari

[132] beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa secara umum pengertian kepuasan pelanggan dilihat dari kesesuaian antara harapan (expectation) pelanggan dengan persepsi, pelayanan yang diterima (kenyataan yang dialami).

Moenir ( 2008: 197) menyatakan bahwa kepuasan adalah , sebagai sasaran utama manajemen pelayanan. Dimana didalamnya terdapat dua komponen besar yaitu komponen layanan dan komponen produk. Jadi kepuasan akan pelayanan dapat dilihat dari :

a. Layanan, agar layanan dapat memuaskan kepada orang atau sekelompok orang yang dilayani, maka dengan ini si petugas harus memiliki 4 syarat pokok, ialah : (a)tingkah laku yang sopan,(b)cara penyampaian sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan, (c) waktu menyampaikan yang tepat (d) keramahtamahan.

b. Produk, produk yang dimaksud dalam hubungannya dengan sasaran manajemen pelayanan yaitu kepuasan berbentuk (a) barang, (b) jasa dan (c) surat-surat berharga. Berkaitan dengan jasa bahwa produk jasa ini akan dapat memuaskan pihak yang bersangkutan apabila hasil karya, penyelenggaraan, penyajian atau pelaksanaannya memenuhi spesifikasi, keterangan, janji atau kesanggupan tertulis dari pihak pembuat, penyelenggara atau pelaksana seperti yang biasanya disediakan (brosur, leaflet, owner’s guide book dan sebagainya).

( Moenir, 2008: 199-200)

Penanganan Keluhan dan Manajemen Keluhan

Komplain dari pengguna pelayanan terjadi apabila pengguna pelayanan tidak puas atas pelayanan yang diberikan, yaitu jika pelayanan yang ditemui atau diterima oleh pengguna tidak sesuai

dengan harapannya. Seperti pernyataan berikut : “

Complaint satisfaction refers to degree to which the complainant perceives the company’s handling performance or meeting a exceeding his on her expectations “ (Gilly and Gelib, 1982 dalam

Hamburg, 2005 :95). Menurut Barlow dan Moller

(1996) “ A complaint can be considered as any form of expression of dissatisfaction by customer, either with without good reason “. Sebuah komplain dapat dianggap sebagai ekspresi dari ketidakpuasan pelanggan, tanpa disertai alasan yang baik. Seseorang bila keluhannya tidak ditanggapi dengan baik maka akan melakukan komplain.

Sedangkan penanganan komplain ( complaint handling ) diartikan oleh Vos (2008 : 9) sebagai

berikut : “ complaint handling is stand for operational activities direcly aimed at helping

customers resolve their complaint. Complaint handling is a customer oriented business process, consisting in front office .“ Aktivitas dari penanganan keluhan adalah pada tingkat operasional untuk membantu menyelesaikan keluhannya. Penanganan keluhan biasanya ditemui pada pelanggan yang berorientasi proses bisnis, dan depan kantor. Jadi penganan keluhan hanya diartikan pada proses bagaimana complain ditanggapi, diselesaikan pada level operasional yang berhadapan dengan pelanggan langsung.

Selain penanganan keluhan kita juga menemui istilah manajemen keluhan (complaint management). Wogmana(2001), Ossel (2003), Strauss and Seidel (2005) mengartikan manajemen keluhan sebagai berikut :

“ Complaint management refers to overall process.The objective of complaint management is therefore not only focused on customer rentetion by solving customer dissatisfaction, but also on ensuring a long term improvement of the services to customer and in this way building a customer oriented organization”( dalam Vos, 2008: 10).

Manajemen komplain mengarah pada

kesemua proses. Yang menjadi obyek dari manajemen komplain tidak hanya terfokus pada

daya tahan pelanggan yang disebabkan

ketidakpuasan penyelesaian komplain/keluhan, tetapi juga bagian dari serangkaian panjang pengembangan pelayanan pada pelanggan dan jalan membentuk organisasi yang berorientasi pelanggan. Jadi manajemen komplain tidak hanya di frontdesk yang membantu pelanggan menangani keluhannya, tetapi sampai pada proses bagaimana konflik tersebut di dikelola bagi pengembangan organisasi ke arah yang lebih baik.

Johnson (2001) juga menyatakan hal yang

sama “… that the complaint management not only result in customer satisfaction but also lead to operational improvement and improve financial performance “. Bahwa komplain manajemen tidak hanya berpengaruh pada kepuasan pelanggan tetapi juga mengarahkan pada pengembangan operasional dan peningkatan kinerja keuangan ( dalam Hansemark, 2004 :41). Penanganan Keluhan dan Manajemen Keluhan digambarkan sebagai berikut :

[133] Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa customer atau pelanggan memiliki fungsi kontrol. Bila harapannya tidak terpenuhi maka ia akan melaporkan keluhannya pada orang-orang yang diberi tanggung jawab menangani komplain. Komplain kemudian ditangani dan direspon dan dikembalikan pada pelanggan, kemudian pelanggan menerima atau tidak menerima alasan atau jawaban atas komplain yang diajukan. Dalam gambar juga terlihat bahwa skope manajemen komplain lebih luas, tetapi manajemen komplain tidak berhadapan langsung dengan pelanggan. Manajemen lebih pada bagaimana mengelola agar komplain menjadi potensial dan berguna untuk memperbaiki keadaan yang lebih baik.

Pernyataan diatas sejalan dengan pernyataan

Carney (1996 : 20) sebagai berikut : “ The information from these complaint has been used to plan future service provision and inform policy making. As result major areas of complaint have been addressed and high percentage of solution to customer dissatisfaction the department service identified “.

Jadi informasi yang diperoleh dari keluhan yang disampaikan pelanggan digunakan untuk