• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOCIAL MEDIA NETWORKING DAN OTONOMI DAERAH Anis Fuad

B. Kajian Literatur

1. ICT dan Electronic Government

Penggunaan ICT dalam birokrasi

pemerintahan menjadi keharusan diberbagai penjuru dunia. Menurut Killian (2008), penggunaan ICT secara umum dan e-gov secara khusus di desain untuk memfasilitasi komunikasi antara pemerintah dan warga masyarakat (citizens).

Berdasarkan beberapa hasil kajian yang telah dilakukan beberapa ahli, penggunaan ICT, khususnya e-gov mempunyai dampak yang positif terhadap bidang lain. Sudarto (2006) mencatat hasil penelitian ITU, setiap satu persen investasi dibidang TI akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi mencapai 3 persen. Penggunaan sumberdaya alam juga menjadi hemat, karena terjadi perubahan dari perkantoran berbasis kertas menjadi tanpa kertas (paperless). Dengan demikian penggunaan ICT

diharapkan mampu mempercepat upaya

memperbaiki birokrasi.

Hasil studi Kraemer dan King (2006) menyatakan bahwa pengunaan ICT adalah sebagai katalisator dan instrument penting dalam reformasi administrasi. Kraemer dan King (mengutip Fountain, 2002; Garson, 2004; Gasco, 2003; Reinermann, 1988; Weiner, 1969) menjelaskan hubungan penggunaan ICT dalam reformasi administrasi,

“We define administrative reform as efforts to

bring about dramatic change or transformation in government, such as a more responsive administrative structure, greater rationality and efficiency, or better service delivery to citizens. Toward these ends, governments historically have undertaken structural reforms, such as city-manager government; budget reforms, such as the executive; performance and program budgets; financial reforms, such as unified accounting; personnel reforms, such as merit-based employment and pay; and many others. Computing has been viewed as an instrument of such reforms and also as a reform instrument, per se. Such instruments are illustrated by urban information systems, integrated municipal information systems, computer-based models

for policymaking, geographic information systems, and, most recently, e-government. The rhetoric of these computing-based reform efforts has been that computing is a catalyst that can and should be used to bring about dramatic change and transformation in

government”

Fountain (2002) yang dikutip Kraemer dan

King (2006) mengatakan, “Technology is a catalyst

for social, economic and political change at the levels of the individual, group, organization and institution.” Di era e-gov saat ini, kita dapat menyimpulkan bahwa penggunaan ICT dalam pemerintahan dapat mendorong pelaksanaan birokrasi lebih efektif. Kualitas yang baik dalam pelayanan publik, dan kemudahan akses publik terhadap informasi dan pelayanan yang disediakan pemerintah.

Dalam konsep reformasi manajemen publik salah satu dari sembilan reformasi manajemen Bresser-Pereira (2004) adalah mengadopsi secara luas teknologi informasi khususnya teknologi internet untuk mengaudit, pembayaran pembelian hingga berbagai macam registrasi pelayanan. Lebih lanjut Bresser-Pereira (2004) mengatakan, “The new information technology was the central underlying change. It reduced the costs and increased the speed of communications, enabling financial markets to work internationally in real time, and an international civil society to mobilize people for political causes.”

Penggunaan ICT dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi dalam suatu negara merupakan keniscayaan dan merupakan fenomena global dari adanya globalisasi. Hal demikian tidak terkait sebuah Negara menganut ideologi tertentu, tapi ada banyak manfaat yang diperoleh dari teknologi.

Di Serbia, salah satu negara di Eropa timur juga melihat penggunaan ICT maupun pengetahuan sebagai faktor kunci dalam keberhasilan kinerja dan

produktifitas. Lilić dan Stojanović (2007)

mengatakan bahwa dalam lingkungan ekonomi berbasis pengetahuan, ide e-gov sebagai dampak dari syarat efektifitas dan efisensi.

Tiga elemen dasar yang dituju dalam pelaksanaan e-governement di Serbia adalah a) menjamin pemerintah yang terbuka dan transparan pada aktifitas lembaga-lembaga pemerintah; b) Menyediakan pelayanan on-line yang memudahkan warga negara (citizens) menggunakan internet untuk membayar pajak, akses untuk mendaftarkan berbagai layanan (access registries), mempermudah prosedur (make applications or undertake procedures), memilih wakil rakyat (elect their representatives), memberikan kritik dan saran (express their opinions) dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan, serta c) menghubungkan

[152] berbagai lembaga pemerintah dengan lembaga pemerintah lainnya.

Berdasarkan pertimbangan diatas Lilić dan Stojanović, (2007) menyimpulkan bahwa e-gov adalah element kunci dalam reformasi birokrasi di Serbia. Mereka mengatakan,

The goal of e-government development is to secure an efficient path of the public administration to the 21 century and that citizens can conduct as many administrative procedures in the future through the Internet as possible. Such action would exclude unnecessary waiting and would save precious time. Within this context, e-government is the key part of public the administration reform strategy in

Serbia.”

Pengalaman empiris lain dibuktikan oleh Ibei dan forje (2009) ketika ICT di pergunakan dalam administrasi dan birokrasi di Kamerun. Mereka lebih percaya bahwa reformasi administrasi dan akuntabilitas pelayanan publik dapat berjalan di kamerun jika menerapkan penggunaan ICT dan

e-gov. Ibei dan Forje menyebutkan bahwa dalam “The AFRICAN Governance programme”, beberapa pilot project dibeberapa Negara Afrika sudah melakukan pengenalan e-administration dan beberapa negara malah sudah mengimplementasikan. Khusus dalam proyek Telemedicine dapat dikatakan sukses dalam implementasinya di Kamerun.

Artinya, kamerun sebagai bagian negara di benua Afrika yang dikenal sebagai kawasan terbelakang dan salah satu negara dunia ketiga saja dapat merasakan manfaat yang lebih dari penggunaan ICT dalam adminsitrasi dan birokrasi di negara tersebut. Di Indonesia, dimana penetrasi ICT sudah mengalami kemajuan, seharusnya dapat menggunakan ICT secara maksimal dalam penyelenggaraan administrasi dan birokrasi.

2. E-democracy, Social Media Networking dan Gov 2.0

Penggunaan ICT dalam pemerintahan memberikan dampak yang menggembirakan dalam proses demokratisasi dan pelayanan masyarakat.

E-gov mempermudah pola hubungan antara

administrasi, politik formal dan civil society lebih efektif (Gronlund: 2002). Ketika semua simpul saling berinteraksi, berdiskusi dalam ruang publik maya (virtual public sphare) dan berkolaborasi dalam membuat keputusan maka muncullah apa yang disebut Electronic Democracy (e-democracy). E-democracy atau Virtual Democracy (Norris & James; 1998), Digital Democracy (Hague; 1999), Democracy Online (Shane; 2004) merupakan konsep demokrasi yang berkembang saat ini dan menjadi bentuk demokrasi terpenting di masa depan. Proses demokrasi akan menjadi massif dan berjejaring kuat

di tiap stakeholder dengan bantuan ICT. E-gov dan demokrasi melebur menjadi satu potongan puzzle e-democracy. Dimana kampanye online, lobby, activism, berita politik, atau diskusi warga negara, politik dan tatapemerintahan (governance) hari ini menjadi online diseluruh dunia (Clift; 2003).

E-democracy merupakan jawaban dari teoritisasi Habermas mengenai masyarakat komunikatif, public discourse dan public sphare. Tegaknya demokrasi dengan terjaminnya ruang publik yang netral, terbuka dan kolaboratif menciptakan wacana rasional yang berpengaruh pada proses-proses pembuatan kebijakan yang legitimate dan rasional pula.

Salah satu perangkat dalam menciptakan e-democracy pada masa kini adalah kehadiran media jaringan social (social media networking) yang sangat massif melibatkan banyak pihak seperti Facebook, Twitter, Youtube, Flickr, Wikipedia, weblog, dan beberapa nama lainnya2.

Media jejaring sosial di atas merupakan perkembangan dari teknologi web 1.0 menjadi web 2.0. Web 1.0 merupakan generasi pertama dari website yang bercirikan consult, surf dan search.3 Website generasi pertama hanya berfungsi sekedar mencari atau browsing untuk mendapatkan informasi tertentu. Ciri lainnya adalah terletak pada penampilan web statis, kaku dan satu arah. Sedangkan web 2.0 mempunyai ciri penting yaitu share, collaborate dan exploit. Berbagi, kolaborasi dan mengekploitasi interaksi antar pengguna menjadi keunggulan web 2.0 yang bisa ditemukan di berbagai aplikasi internet seperti yang disebutkan di atas.

Media Jejaring sosial berbasiskan web 2.0 merupakan gambaran konstruksi sosial saat ini yang diciptakan oleh kecanggihan teknologi. Oleh karena itu web 2.0 sesungguhnya mempunyai kekuatan yang sangat potensial untuk menciptakan e-democracy yang efektif. Pada perkembangan selanjutnya Web 2.0 menjadi sarana yang tepat untuk membantu pemerintahan dimanapun dalam menjalankan e-gov yang dapat melibatkan semua stakeholder lebih dekat, murah dan demokratis. Maka muncullah istilah Government 2.0 atau Gov 2.0.

Menurut Traunmüller dan Kepler (2009) Pada sisi warga masyarakat (citizen), aplikasi Gov 2.0 menjamin terselenggaranya aktivitas warga secara online meliputi partisipasi, petisi, kampanye, monitoring, penegakan hukum, permodelan perilaku warga Negara dalam berinteraksi dengan warga

2 Lihat http://en.wikipedia.org/wiki/list_of_social_networki ng_websites.htm/ 3 Lihat http://netsains.com/2007/07/setelah-web-20-kini-giliran-web-30/

[153] Negara lainnya serta pemberian saran dan penilaian terhadap pelayanan publik.

Sedangkan di sisi administratif, aplikasi Gov. 2.0 meliputi aktifitas online berupa feedback for improvements, kolaborasi lintas instansi, good practice exchange, pembuatan peraturan dan hukum serta manajemen pengetahuan 4

3. Evidence Based Policy dan E-Cognocracy Teknologi Web 2.0 sudah memudahkan pemerintah di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk mengembangkan e-gov menjadi lebih mudah dan murah. Memudahkan pemerintah untuk lebih dekat dengan masyarakatnya. Kebijakan publik dengan cara melibatkan masyarakat banyak dalam proses pembuatan keputusan dapat dilakukan melalui media situs jejaring sosial, dimana salah satunya adalah dengan memanfaatkan facebook dan twitter.

Kondisi inilah yang disebut Piles, dkk (2006) serta Jimenez (2006) sebagai e-cognocracy. E-cognoracy adalah sistem demokrasi terbaru yang berfokus pada penciptaan dan penyebaran pengetahuan di masyarakat yang terkait dengan bagaimana kompleksitas masalah dapat dipecahkan secara ilmiah sehingga pembuatan keputusan publik dapat dilakukan dengan baik. E-cognocracy menawarkan formulasi khusus untuk menciptakan partisipasi warga Negara (citizen) dalam proses pembuatan keputusan dengan pendekatan Multi-criteria Decision Making.

E-cognocracy menjadi konsep yang

menjembatani kebijakan publik berbasis fakta (evidence based policy). Fakta berupa kritik, saran serta masukan dari para stakeholder termasuk masyarakat menjadi bahan baku pemerintah dalam membuat kebijakan publik yang rasional. Media jejaring social seperti facebook dan twitter menjadi alat yang efektif untuk mengumpulkan fakta-fakta tersebut.

Dengan demikian e-cognocracy adalah sistem demokratisasi terbaru yang bekerja untuk menciptakan peradaban baru yang lebih terbuka, transparan, dan masyarakat yang bebas. Pada waktu yang sama, setiap warga negara saling terkait dan saling terhubung dalam kondisi yang penuh partisipasi, seimbang, saling peduli dan membutuhkan.

E-Cognocracy merupakan jawaban bagi keterbatasan demokrasi tradisional. E-Cognocracy tidak saja menyediakan ruang untuk keterlibatan

4 Traunmüller, Roland and Johannes Kepler. 2009. E-Governance – Some Challenges Ahead: Social Media Spurring Participation. University of Linz, Austria di unduh dari

http://www.slideshare.net/dgpazegovzpi/egovernanc e-some-challenges-ahead-social-media-spurring-participation pada tanggal 3 Juli 2010

masyarakat secara luas didalam pemerintahan tapi juga fokus pada proses dimana pengetahuan masyarakat berelasi dengan pemecahan masalah secara ilmiah. E-cognocracy sebagai katalisator proses belajar bersama untuk menciptakan kesadaran (kognisi) politik masyarakat dalam kehidupan bersama, dan internet adalah alat komunikasi pendukungnya.

E-cognocracy adalah kombinasi dari tiga ranah ilmiah yaitu demokrasi sebagai bagian kajian teori politik, teori pengambilan keputusan dan penggunaan ICT khususnya pemanfaatan media jejaring social sebagai alat komunikasi dan mengkolaborasikan antar stakeholder (collaboration governance). E-Cognocracy mempertemukan model demokrasi representatif – dimana aktornya adalah para politisi yang ada dalam partai politik – dengan model demokrasi langsung dimana setiap warga negara berpartisipasi langsung dalam proses politik.

Masyarakat maya (netizen) di Indonesia merupakan masyarakat kritis yang sesungguhnya mempunyai kekuatan besar dalam menciptakan arus demokratisasi di Indonesia. E-cognocracy sebagai demokrasi digital mempunyai peran penting dalam berjalannya praktek kebijakan publik dan pemerintahan yang baik (good governance). E-cognocracy dapat mensejajarkan masyarakat dalam posisi yang seimbang dengan aktor politik dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan.

Masyarakat kritis dan saling berbagi sangat diperlukan dalam e-cognocracy. Ada banyak asupan ide sekaligus kritik bagai proses kebijakan publik berkualitas. Ada kesamaan hak disana dan kedudukan yang egaliter diantar warga negara. Facebook bukan lagi milik politisi, artis, mahasiswa dan para eksekutif muda, tapi juga tukang ojek, tukang jamu hingga pembantu rumah tangga.

Mereka dapat mengakses facebook dan twitter lewat telepon genggamnya. Disitu pula potensi demokrasi digital tumbuh dan berkembang untuk memaksa kebijakan publik lebih representatif dan partisipatif. Pemerintah-lah kemudian menjadi jembatan penghubungan bagi semuanya dan situs jejaring sosial semacam facebook-lah sebagai alat penghubung dan pengumpul aspirasi yang paling murah dan efektif.

Contoh sederhana dari praktek e-cognocracy di Indonesia – walaupun tidak disadari hal itu sebagai e-cognocracy karena kemungkinan pemerintah tidak menggunakan metode multi-criteria decision making – adalah ketika begitu massifnya masyarakat Indonesia khususnya di dunia maya lewat facebook. twitter dan weblog, berpartisipasi penuh kesadaran dalam memberikan masukan pada kebijakan RPM konten Multimedia yang dikeluarkan Kementerian komunikasi dan Informasi pada waktu lalu.

Ketika RPM konten Multimedia

[154] masukan dari berbagai stakeholder yang akhirnya dapat mempengaruhi proses kebijakan publik tersebut. Ada debat dan diskusi yang membangun di situ. Akhirnya, berdasar kritik dan masukan berkualitas yang diciptakan oleh interaksi antar masyarakat dan stakeholder di dunia maya, Menkominfo saat itu akhirnya membatalkan RPM Konten Multimedia tersebut.

Dengan kata lain, melalui ICT dengan memanfaatkan situs jejaring social, siapapun dapat memberikan masukan, kritik dan saran terhadap suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan memanfaatkan situs jejaring sosial, masyarakat mempunyai kekuatan politik yang sangat besar, bukan sekedar potensi tapi juga tindakan nyata yang dapat merubah tatanan hidup suatu bangsa.

C. Pembahasan

Jika ditilik dari berbagai website e-gov di Indonesia, nyaris tidak ada kebijakan e-gov berbagai pemerintah daerah di Indonesia untuk memanfaatkan situs media jejaring sosial (Social Media Networking) sebagai official account untuk melayani masyarakat secara online. Hanya sedikit instansi pemerintahan yang menggunakan media jejaring social sebagai perangkat untuk mengumpulkan fakta sebagai bahan pertimbangan kebijakan maupun pelayanan publik.

Potensi Indonesia dalam bidang ICT dan penggunaan social media networking sangatlah besar. Menurut berbagai sumber5 per juli 2010, pengguna internet lewat PC sekitar 25 juta orang dan lewat ponsel sekitar 9 juta dari 165 juta pengguna ponsel di seluruh Indonesia. Melonjaknya penggunaan ponsel di Indonesia salah satu penyebabnya adalah karena terjadi booming pemanfaatan media pertemanan online (social media networking) seperti facebook dan twitter. Indonesia saat ini menduduki peringkat ketiga di dunia sebagai pengguna facebook yaitu sebanyak 36,533,680 account. Selain itu, pengguna Twitter di Indonesia diperkirakan sebanyak 5,6 juta account.6 Sayangnya dibidang pemerintahan hanya sedikit instansi pemerintahan di daerah menyadari potensi tersebut.

5 Diolah dari berbagai sumber seperti situs http://www.depkominfo.go.id/berita/bipnewsroom/tr ansaksi-bisnis-ict-di-indonesia-rp-300-triliun-per-tahun/ , http://www.detikinet.com/read/2010/05/25/130546/1 363675/328/ menkominfo- soroti-maraknya-asing-di-telekomunikasi/ dan http://www.detikinet.com/read/2007/09/07/131313/8 26987/328/2010-pengguna-ponsel-indonesia-capai-separuh-populasi/ 6 Lihat http://virtual.co.id/blog/social- media/twitter-tembus-lima-juta-akun-di-indonesia-social-media-marketing-makin-rumit/

Hanya beberapa lembaga pemerintahan di daerah yang menggunakan social media networking dalam usaha pelayanan publik yang maksimal. Salah satu best practice pemanfaatan social media networking di Indonesia berasal dari Traffic Management Center (TMC) Ditlantas Polda Metro Jaya. Selain website, TMC Ditlantas Polda Metro Jaya menggunakan twitter dan facebook dalam melayani masyarakat di bidang lalu lintas7. Berdasarkan penelusuran penulis, account twitter dan facebook TMC Ditlantas Polda Metro Jaya sudah di manfaatkan masyarakat dengan baik. Banyak masyarakat saling berbagi informasi lalu lintas, hingga memberikan pertanyaan, kritik dan saran.

Bandingkan dengan Amerika Serikat yang mengunakan ICT di Birokrasi pemerintah dan pelayanan publik khususnya dengan menggunakan social media networking menjadi kebijakan khusus ditiap Negara federal.8 Ditiap situs e-gov pemerintah federal hingga pemerintah pusat Amerika Serikat, ada akun resmi (official account) di tiap situs social media networking.9 Setiap instansi wajib memiliki minimal akun resmi facebook, twitter, youtube dan myspace untuk dapat melayani dan berhubungan langsung dengan masyarakatnya

Berdasarkan fakta diatas, pertanyaan penting adalah mengapa e-gov di Indonesia khususnya pemanfaatan social media networking tidak dilakukan secara maksimal. Beberapa faktor dapat diuraikan sebagai berikut; pertama, jika kita menilik penetrasi penggunaan ICT di Indonesia, ada lompatan besar bahwa sesungguhnya masyarakat Indonesia sudah dapat menerima penggunaan teknologi sebagai bagian yang terpisahkan dalam kehidupan masyarakat (lihat Fuad, 2010). Contoh

7 Social media networking TMC Ditlantas Polda Metro Jaya dapat dikunjungi di

http://twitter.com/tmcpoldametro dan http://www.facebook.com/TMCPoldaMetro

8 Perdebatan tentang kebijakan pemanfaatan social media networking dapat dibaca pada situs http://www.iq.harvard.edu/blog/netgov/2009/07/the_ complexity_of_government_20.html , impact of social computing of public services at

http://ipts.jrc.ec.europa.eu/publications/pub.cfm?id= 2820 , http://memeburn.com/2010/06/could-social-networking-actually-be-a-threat-to-democracy, http://socialwizz.com/Is_social_media_bad_for_dem ocracy _Social_Wizz.htm, http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2010/04/18/ social-media-in-government-facing-a-tsunami-with-a-teacup, http://blogs.gartner.com/andrea_dimaio/2009/11/24/ government-2-0-and-the-expiry-date-of-social-networks

9 Sebagai contoh, lihat situs pemerintah federal California, http://www.ca.gov/

[155] terbaru, dengan adanya aplikasi jejaring sosial di Internet semacam, Friendster, Twitter dan Facebook sesungguhnya penggunaan internet dan akses terhadap teknologi ICT di Indonesia melompat tajam menjadi 600 persen atau 6 kali lipat dari sebelumnya.

Dengan kata lain dengan beberapa intervensi dan strategi tertentu, sesungguhnya masyarakat sudah siap menerima perubahan budaya dalam bidang ICT. Namun pada pelaksanaan dilapangan belum ada upaya yang khusus dan serius oleh pemerintah daerah di Indonesia dalam penggunaan ICT untuk melayani masyarakat. Masih banyak SDM dalam birokrasi di daerah yang gagap teknologi. Ataupun ketika banyak aparat birokrasi di daerah sudah mulai mengenal teknologi, mereka bukan memanfaatkan teknologi untuk melayani masyarakat sebagai upaya efektifitas dan efisiensi malah menggunakan ICT hanya sebagai sarana hiburan belaka. Situs jejaring sosial semacam facebook bukan dimanfaatkan untuk mempermudah melayani masyarakat namun menjadi sumber penurunan produktivitas kerja.

Kedua, penggunaan e-gov oleh lembaga-lembaga pemerintah di daerah hanya sebatas menggugurkan kewajiban memenuhi anjuran pemerintah pusat via kemenkominfo. Malah, dalam kondisi tertentu e-gov dipandang sebagai proyek yang menggiurkan karena merupakan program high-cost dimana membutuhkan investasi dengan dana besar sehingga membuka kesempatan bagi banyak kalangan khususnya birokrasi pelaksana untuk menjadikan lahan korupsi.

Ketiga, secara statistik, implementasi e-gov di berbagai lembaga pemerintah dan daerah, 80 persen situs e-gov hanya sebagai situs penyedia informasi dan belum pada tahap interaksi apalagi transaksi pelayanan (lihat, Rokhman, 2008). Dengan kata lain penggunaan media social networking berbasis web 2.0 di berbagai situs e-gov di Indonesia tidak dimanfaatkan secara maksimal.

Permasalahan terbesar penyelenggaraan e-gov di Indonesia adalah pemahaman para pembuat kebijakan dalam hal ini pimpinan birokrasi yang berangggapan bahwa penyelenggaraan e-gov hanya sekedar memiliki website berisi informasi lembaganya. Website dibanyak instansi pemerintah daerah di Indonesia baru menerapkan web 1.0 yang kaku dan tidak interaktif. Jauh dari harapan dimana pelayanan online yang interaktif sesungguhnya mudah untuk dilakukan. Kajian lebih jauh mengenai hambatan-hambatan e-gov di Indonesia dapat dilihat beragam komentar yang secara keseluruhan menilai negatif implementasi e-gov di Indonesia pada link ini, http://virtual.co.id/blog/internet-marketing/e-goverment-yang-abai-komunikasi-online/

Selain itu bukti ketidakseriusan

penggunaan ICT dan e-gov dalam pelayanan publik di Indonesia adalah dengan melihat hasil riset

lembaga penelitian Brookings tahun 2009 tentang pelayanan publik menggunakan media internet yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 175 dari 198 negara yang dinilai. Peringkat Indonesia dapat dikatakan mengalami penurunan dan kemunduran. Tahun 2008, Indonesia berada di peringkat ke-170, dan tahun 2009 turun menjadi 5 level. Indonesia menjadi negara Asia Tenggara

terbawah dalam pelayanan pemerintah

menggunakan media internet. Sementara Singapura menjadi yang termaju dengan menempati ranking ke-4. Atau bandingkan dengan dua negara terbelakang di Asia yaitu Afghanistan yang menduduki peringkat 76 dan Timor Leste yang berada diatas posisi Indonesia, yaitu diperingkat 156. (lihat www.yadmi.or.id).

Keempat, pemahaman, kemauan dan kemampuan pemimpin dalam memanfaat ICT berbasiskan Social Media Networking sebagai visi besar dalam menjalankan roda organisasi publik yang efektif dan efisien. Menurut Kraemer dan King (2006) permasalahan utama penggunaan ICT adalah dari sisi pimpinan dalam mendistribusikan teknologi secara efesien, hal ini disebabkan ketidakpahaman pimpinan atas manfaat penggunaan teknologi pada sistem birokrasi. Kraemer dan King mengatakan,

“The main problem with the claim that

information technology is an instrument of administrative reform is the lack of evidence to back it up. Faced with this, proponents respond that the potential of IT to produce reform is thwarted because of

top management’s failures to distribute the

technology efficiently, to empower lower level staff, to re-engineer the organization along with computerization efforts, and to become hands-on knowledge executives themselves. Much of the benefit that IT could bring to organizations is lost due to poor management, but this does not explain

the failure of the reform hypothesis.”

Selain itu Noveck (2009:148) juga