• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISU KETERBUKAAN DI PROVINSI BANTEN Tak terasa, telah sepuluh tahun lebih perjalanan

BANTEN MENUJU ERA KETERBUKAAN INFORMASI: Best Practice Pembentukan Komisi Informasi Provinsi

ISU KETERBUKAAN DI PROVINSI BANTEN Tak terasa, telah sepuluh tahun lebih perjalanan

Provinsi Banten sejak dibentuk melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2000 pada tanggal 17 Oktober tahun 2000. Cukup banyak kemajuan yang telah dicapai sepanjang 9 tahun perjalanan Provinsi Banten tersebut, kendati tidak berarti tidak terdapat kekurangan dan kelemahan sama sekali didalamnya.

Berbagai prestasi telah dicapai yang

mengindikasikan sinyal-sinyal positif terhadap keberlangsungan pembangunan ke arah yang lebih baik di masa mendatang, seperti: pendapatan daerah yang terus bertumbuh, IPM yang terus bergerak

naik, IPD yang terus meningkat, angka

pengangguran yang dapat ditekan, serta IPM-G dan IDG yang juga terus meningkat. Termasuk juga kapasitas resillience perekonomian daerah yang masih dapat bertahan di tengah terpaan krisis yang cukup dahsyat. Pencapaian kuantitatif ini merupakan keberhasilan yang patut diapresiasi sebagai wujud pengakuan kita terhadap kesungguhan ikhtiar pemerintah beserta segenap jajaran birokrasi pemerintah Provinsi Banten dalam mewujudkan komitmen pengabdiannya bagi kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat Banten.

Seluruh kemajuan tersebut tak diragukan merupakan hasil karya dari kerjasama pemerintah, sektor swasta, dan masyarakatnya, karena tanpa ketiganya maka pembangunan tidak akan berjalan dan mencapai tujuannya. Namun demikian, beberapa kelemahan nampaknya patut didiskusikan secara terbuka guna meningkatkan efektivitas pemerintahan dan pembangunan. Sejumlah data sepanjang dasawarsa terakhir masih menunjukkan lemahnya kinerja dan percepatan pembangunan di provinsi Banten dalam mencapai target pembangunan yang telah ditetapkan.

Dibandingkan dengan provinsi yang seusia dengannya, kemajuan yang dicapai oleh Banten hari

ini terasa sangat lambat. IPM misalnya, adalah bukti sinyalemen ini. Banten yang tahun 2002 berada pada peringkat 11 nasional justru kini terpuruk di peringkat 23 dengan IPM. Sementara Bangka Belitung yang awalnya pada peringkat 20 kini berhasil duduk bertengger di peringkat 10 (2009). Diantara 7 provinsi baru, Banten hanya berhasil meningkatkan IPM-nya sebesar 3,96 poin selama periode 2002-2010; jauh dibawah Bangka Belitung yang mencapai 7,15; Gorontalo yang mencapai 5,69 poin, Papua Barat yang mencapai 5,58 poin, Sulawesi Barat yang mencapai 5,18 poin, serta Kepulauan Riau yang mencapai 4,54 poin. Banten hanya sedikit lebih baik dari Provinsi Maluku Utara berhasil menaikkan IPM-nya sebesar 3,03 poin.

Dalam hal pengentasan kemiskinan, diantara 7 provinsi baru tersebut Banten juga menunjukkan gejala yang sangat tidak memuaskan. Gorontalo tercatat sebagai Provinsi yang paling berhasil menurunkan angka kemiskinannya, dengan besaran 8,94% dari 32,13% pada tahun 2002 menjadi 23,19% pada tahun 2010, disusul Sulawesi Barat yang berhasil menurunkan 7,22%; Papua Barat sebesar 6,64% ; Bangka Belitung (5,11%), Maluku Utara (4,61%), dan Kepulauan Riau (2,95%). Banten sendiri hanya berhasil menurunkan angka kemiskinan sebesar 2,06% dalam kurun waktu 2002-2010, dari 9,22% menjadi 7,16%.

Pengentasan adalah prestasi terburuk provinsi Banten. Dalam periode 2002-2010 Banten justru

„kewalahan‟ mengatasi melonjaknya angka

pengangguran. Dengan trend negatif sebesar -3,36 berarti terjadi kecenderungan peningkatan angka pengangguran setiap tahunnya, dari 10,32% pada tahun 2002 menjadi 13,68% pada tahun 2010. Berbeda dengan gorontalo yang dalam kurun yang waktu sama secara fantastis mampu menekan angka penganggurannya hingga 7,28%. Demikian juga Bangka Belitung yang turun sebesar 8,86%. Perbandingan yang kurang lebih sama juga terjadi pada indikator Laju Pertumbuhan Ekonomi (LPE) Banten yang rata-rata berada di bawah 6%, jauh tertinggal dibandingkan Gorontalo yang konsisten rata-rata di atas 7%, tahun 2010 bahkan mencapai 7,63% sementara Banten hanya mencapai 5,94%, padahal Banten memiliki potensi SDA yang jauh berlimpah serta posisi geostrategis yang jauh lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya.

Yang menarik dari kenaikan LPE di Banten adalah fakta kurang berkorelasinya peningkatan LPE tersebut dengan turunnya angka pengangguran dan kemiskinan. Analisis terhadap kinerja LPE terhadap

pengurangan kemiskinan dan pengangguran

sepanjang 5 tahun terakhir membuktikan bahwa secara statistik kontribusi 1% pertumbuhan ekonomi di Banten ternyata hanya mampu menyediakan lapangan kerja baru untuk sekitar 18.000 tenaga kerja saja. Artinya bila LPE saat ini (2010) adalah 5,94%, maka LPE tersebut hanya mampu

[178] menyediakan lapangan kerja bagi 106.920 tenaga kerja, padahal jumlah penganggur saat ini mencapai 726.377 orang. Bahkan, angka pengangguran faktanya terus bertambah karena rata-rata tambahan angkatan kerja baru yang mencapai 115.543 orang per tahun tidak diimbangi dengan pertambahan kesempatan kerja yang hanya tersedia sebanyak 99.976 orang per tahun.

Setiap 1% pertumbuhan ekonomi di Banten juga ternyata hanya mampu menurunkan rata-rata 0,03 persen jumlah penduduk miskin. Di samping itu, pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata justru makin menciptakan ketimpangan yang nyata antar kabupaten/kota di Banten. Secara statistik, setiap 1%

LPE justru meningkatkan besaran indeks

ketimpangan sebesar 0,19%. Artinya ada

kecenderungan yang sangat nyata bahwa daerah yang maju semakin maju sementara daerah yang kurang maju terus tertinggal. Fakta ini paling tidak membuktikan isu disparitas Utara-Selatan yang masih relevan hingga kini, yang juga membuktikan stigma yang tak banyak jauh berubah dalam dasawarsa terakhir ini.

Menurut analisis ekonom Dahnil Anzhar, LPE yang moderat pada angka 5% masih sangat jauh dibawah potensi pertumbuhan yang harusnya bisa

dicapai oleh Banten. Harusnya dengan

geostrategisnya, SDA yang luar biasa, serta supply tenaga kerja yang besar, Banten bisa mencapai angka LPE di atas Gorontalo. Faktanya justru terbalik karena adanya barrier inefisiensi yang tinggi, minimnya stimulus pemerintah terhadap dunia usaha, infrastruktur jalan dan listrik yang buruk, dan birokrasi pemerintah yang tak kunjung berubah. Kondisi ini kemudian memparah kesenjangan ekonomi antar daerah. Data National Human Development Resources (NHDR) UNDP, tahun 2009 misalnya membuktikan kontribusi yang tidak seimbang entitas ekonomi Tangerang yang berkontribusi sebesar 61% terhadap PDRB Provinsi Banten, sedangkan Kabupaten/Kota lain hanya menyumbang sisanya.

Fakta-fakta di atas tentu juga menemukan relevansinya dengan sejumlah kenyataan yang juga masih memprihatinkan, misalnya : masih tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) melahirkan yang masih mencapai 200an kasus/100.000 kelahiran; Angka Kematian Bayi (AKB) masih mencapai 30an kasus/1.000 kelahiran; 253 desa yang masih tertinggal; layanan pendidikan dan kesehatan yang kurang memadai, kesenjangan sosial antar daerah yang makin lebar, infrastruktur yang sangat buruk (63% rusak); kualitas pekerjaan pembangunan yang buruk, serta arah pembangunan yang distortif oleh sejumlah proyek mercusuar dan atau proyek

pesanan yang muncul „tiba-tiba‟. Semuanya

membuktikan policy mismatch yang nyata antara apa yang dibutuhkan masyarakat dengan apa yang dilakukan pemerintahnya.

Tingginya korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan sebagaimana dilansir oleh KPK melalui survey Integritas Pemerintahan Daerah yang rendah (5,66), serta Transparansi Internasional Indonesia melalui Indeks Persepsi Korupsi yang cukup tinggi (4,87), merupakan buah dari rendahnya akuntabilitas dalam penyelenggaraan pembangunan dan pemerintahan. Sejumlah perkara korupsi yang menjerat beberapa pejabat pemerintah hanyalah puncak gunung es dari fenomena korupsi, kolusi, dan nepotisme yang faktanya mungkin jauh lebih menggurita dibanding apa yang nampak di permukaan. Kinerja provinsi yang dinilai buruk oleh Kementerian Menteri Dalam Negeri (2010) - dengan skor 44,57 dan peringkat keenam dari tujuh provinsi baru di Indonesia - juga merupakan bukti nyata dari distorsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Provinsi Banten selama dasawarsa ini.

Sejumlah kelemahan tersebut tidak sekedar menggambarkan persoalan dan kendala-kendala umum yang dihadapi birokrasi, namun lebih dari itu mengindikasikan lemahnya beberapa fundamen pemerintahan yang baik. Secara hipotetis kelemahan tersebut dapat dikaitkan dengan partisipasi masyarakat yang tidak optimal, yang diakibatkan

oleh keterbukaan yang belum ”diimani” oleh jajaran

pemerintahan, swasta, dan masyarakat yang masih terbelenggu oleh implementasi nilai-nilai lama yang kurang relevan, nilai-nilai tabu yang dimaknai secara salah, serta belenggu persaingan antarkepentingan politik yang menguat sejak liberalisasi politik mewabah pasca reformasi tahun 1998. Akibatnya, akuntabilitas masih menjadi sekedar wacana daripada praktek yang nyata dalam kehidupan bernegara. Akuntabilitas disini tentu tidak sekedar akuntabilitas teknis/ administratif semata sebagaimana diatur dalam pedoman penyusunan

LAKIP, namun juga akuntabilitas

strategis/manajerial, akuntabilitas legal, akuntabilitas politik, akuntabilitas moral, dan tentu akuntabilitas spiritual yang berdimensi vertikal dan transedental.

Beberapa indikasi dari kurang ”diimani”-nya isu keterbukaan itu nampak dari beberapa sinyalemen berikut ini:

1. Masih cukup tingginya intensitas keluhan dari kalangan peneliti, pers, mahasiswa, dan LSM yang kesulitan dalam mengakses informasi publik terkait dengan dokumen kebijakan, perencanaan dan laporan-laporan kinerja badan-badan publik;

2. Relatif rendahnya partisipasi masyarakat dalam

penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan, yang direpresentasi oleh

keterlibatan mereka dalam berbagai

musyawarah perencanaan pembangunan di tingkat desa, kecamatan, hingga provinsi; 3. Tingginya kecenderungan mobilisasi daripada

[179] BANTEN 0.39 0.6 0.42 0.4 0.33 0.44 0.47 0.38 0.39 0.44 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 E fe k ti v it a s P e m e ri n ta h S ta b ili ta s P o lit ik In o v a s i P a rt is ip a s i Tr a n s p a ra n s i K a p a s it a s M e n y a m p a ik a n In fo Kua lit a s P E R D A R u le o f L a w P e n g e n d a lia n K o ru p s i K e p e rc a y a a n INDIKATOR IN D E K S

yang terbuka bagi publik, seperti: sosialisasi, diskusi, seminar, dll;

4. Belum digunakannya hak jawab secara efektif baik oleh pemerintah, swasta, maupun masyarakat dalam mengklarifikasi isu tertentu yang dianggap merugikan pihak-pihak terkait; 5. Belum mentradisinya forum ”public hearing

maupun konferensi pers di kalangan badan-badan publik maupun masyarakat;

6. Cukup tingginya aksi-aksi massa yang lebih

disebabkan oleh tersumbatnya saluran

komunikasi dan informasi;

7. Kurang optimalnya komunikasi dan koordinasi antarlevel pemerintahan di Provinsi Banten

sehingga memunculkan isu dishamoni

hubungan antarlevel pemerintahan tersebut; 8. Kurang responsifnya jajaran pemerintahan di

Banten pada umumnya dalam mensikapi isu keterbukaan informasi yang telah bergulir 10 tahun lalu, kendati Banten telah memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi di Lebak sejak tahun 2005 serta kendati UU KIP telah dilahirkan pada tahun 2008. Persiapan yang sangat minim untuk mengimplementasikan UU tersebut, serta sosialisasi yang tidak cukup

efektif menyebabkan nampak nyatanya

”kegagapan” di kalangan aparatur pemerintah

dalam merespon UU ini saat mulai berlaku pada awal Mei 2010 lalu;

Sejumlah sinyalemen di atas nampaknya cukup relevan dengan salah satu riset yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSKK UGM) yang dirilis pada tahun 2007. Riset yang bertujuan mengukur

Governance Assesment in Banten Province’ menghasilkan kesimpulan yang agak mengejutkan, dimana terdapat sejumlah indikator yang secara meyakinkan menunjukkan bahwa Banten tengah bergerak ke arah bad governance bukan good governance. Beberapa indikator itu antara lain: indeks efektivitas pemerintahan yang hanya 0,39 (dalam skala 1); indeks inovasi pemerintah 0,42; indeks partisipasi 0,4; indeks transparansi 0,33; indeks kapasitas menyampaikan informasi 0,44; indeks kualitas Perda 0,47; indeks rule of law 0,38; indeks pengendalian korupsi 0,39; indeks kepercayaan publik 0,44; dan indeks stabilitas politik 0,6. Nyaris seluruh indikator good governance tersebut berada di bawah indeks 0,5 yang berarti dalam kondisi buruk hingga sangat buruk. Grafik berikut ini menggambarkan hasil governance assesment sebagaimana dipapar di atas.

Sumber: PSKK UGM, 2008

Riset juga menyimpulkan 2 instansi non pemerintah yang paling tidak dipercaya yaitu: parpol (79,78%) dan asosiasi pengusaha (74,16%), di samping 2 instansi non pemerintah yang paling terpercaya yaitu: perguruan tinggi (78,65%) dan media massa (75,28%).

Secara khusus beberapa indikator keterbukaan juga menunjukkan penampakkan indeks yang relatif rendah, seperti: akses terhadap informasi (0,32), partisipasi (0,4), keterbukaan dalam kebijakan (0,35), keterbukaan dalam rekrutmen (0,28), keterbukaan dalam keputusan tender (0,41), dan transparansi (0,33). Informasi ini dapat dilihat pada grafik berikut ini.

Merefleksikan fakta-fakta di atas serta menyadari sepenuhnya urgensi keterbukaan informasi bagi kemajuan masyarakat, maka lahirnya UU KIP merupakan angin segar yang dapat membuka ruang partisipasi yang jauh lebih besar bagi masyarakat. Oleh karenanya, berbagai diskusi dalam rangka sosialisasi telah dilakukan guna menyambut UU KIP ini. Sejumlah LSM, lembaga riset, pers, tokoh masyarakat, dan organisasi mahasiswa) gencar melakukan sosialisasi dan mewacanakan UU KIP ini

[180] sejak awal tahun 2009. Tim Persiapan pembentukan Komisi Informasi Publik (TP-KIP)vii dibentuk sebagai organisasi taktis yang bersifat ad-hocviii yang mewadahi elemen-elemen masyarakat tersebut guna mendorong pemerintah untuk proaktif dalam menyambut pemberlakuan UU KIP ini dengan

melakukan percepatan pembentukan Komisi

Informasi di Provinsi Banten. Wacana percepatan ini saat itu menjadi sangat penting bagi Banten, karena didorong oleh 4 (empat) kepentingan besar untuk mempercepat pembentukan komisi tersebut, yaitu: (1) mempertahankan image sebagai Provinsi pertama yang membentuk Komisi Informasi Provinsi, melengkapi image provinsi pertama yang memiliki Komisi Transparansi dan Partisipasi di Kabupaten Lebak; (2) mempertahankan prestasi sebagai Provinsi terdepan dalam implementasi UU, sebagaimana prestasi sebelumnya sebagai Provinsi pertama dan satu-satunya yang memiliki Perda Pengarusutamaan Gender; dan (3) mengubah stigma provinsi Banten yang tertutup, tidak transparan, dan tertinggal dalam pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan (4) membangun best practice implementasi UU KIP dengan

mengawalinya melalui pembentukan Komisi

Informasi Provinsi yang melibatkan elemen masyarakat sipil dan pemerintah secara sinergis dan kemitraan yang setara. Dan untuk ke-empat obsesi itulah percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten dipandang penting dan strategis bagi kepentingan Provinsi Banten saat itu.

Percepatan pun sangat memungkinkan (saat itu) mengingat beberapa faktor obyektif yang dimiliki Provinsi Banten sebagai berikut:

1. Percepatan pembentukan Komisi Informasi

Provinsi Banten sangat memungkinkan

mengingat 3 (tiga) pertimbangan empiris sebagai berikut: (1) Banten telah memiliki pengalaman pembentukan Komisi sejenis, dan berhasil dengan baik; (2) Lembaga teknis daerah terkait - dalam hal ini adalah Dinas Perhubungan, Informasi, dan Komunikasi - juga telah memiliki pengalaman memfasilitasi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) dan berhasil dengan sangat baik; dan (3) Banten memiliki best practice

pembentukan Komisi Transparansi dan

Partisipasi (KTP) di Kabupaten Lebak, yang juga diakui sangat berhasil.

2. percepatan pembentukan Komisi Informasi Provinsi sangat bernilai strategis dalam

mempertahankan citra positif Banten,

khususnya terkait dengan eksistensi UU tersebut;

3. Berbagai pengalaman pembentukan komisi-komisi daerah di provinsi Banten dapat dielaborasi guna membentuk Komisi Informasi Provinsi dengan biaya yang murah, proses yang cepat, dan hasil yang sesuai dengan tujuannya.

Berbekal sejumlah modal sosial tersebut, TP-KIP melakukan advokasiix proses pembentukan komisi informasi. TP-KIP juga melakukan diskusi, kajian dan fasilitasi guna percepatan pembentukan komisi informasi di daerah.x Komunikasi dengan Komisi Informasi Pusat juga dilakukan guna mengefektifkan proses percepatan tersebut.xi

TP-KIP menjadi satu-satunya organisasi yang aktif mengawal proses pembentukan komisi informasi, sehingga hampir seluruh tahapan seleksi yang diselenggarakan oleh tim seleksi nyaris tidak luput dari pengawasan dan kontribusi dari TP-KIP. xii

Penutup

Terbentuknya Komisi Informasi Provinsi Banten

disadari bukanlah tujuan, namun sarana

mewujudkan keterbukaan informasi yang nyata bagi masyarakat yang memungkinkankan terbangunnya tata pemerintahan yang baik. Karenanya, terbentuknya KIP tidak dengan serta merta menjamin keterbukaan di Provinsi Banten karena sejumlah kendala struktural dan kultural diyakini tidak banyak berubah. Mindset ketertutupan yang masih menjadi paradigma kebanyakan elite pemerintahan, politik, dan birokrasi merupakan tantangan yang masih akan dihadapi. Di sisi lain, kesadaran masyarakat terhadap hak-hak sipilnya yang masih rendah dalam pemerintahan dan pembangunan juga merupakan kendala lain yang juga diyakini masih menghambat iklim keterbukaan di daerah.

Karena itu, peran masyarakat kelas menengah masih diperlukan guna menjadi trigger perubahan. TP-KIP yang telah ”berhasil” memainkan peran

sejarahnya masih dibutuhkan guna mengoptimalkan peran komisi informasi sekaligus mendorong kesadaran politik warga negara. Dan karena itu pula, transformasi TP-KIP menjadi Masyarakat Informasi Banten (MIB) merupakan keputusan strategis guna terus mewacanakan dan mewujudkan keterbukaan untuk terbangunnya tata pemerintahan yang baik di daerah. Semoga.

Daftar Bacaan

http://mirror.undp.org/magnet/policy/chapter1.htm# b

http://www.radarbanten.com/

Kasim, Ifdhal. “Kebebasan Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara”. Makalah pada Diskusi Terbuka RUU Rahasia Negara dan Ancaman Kebebasan Informasi Publik, Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009.

Patinassarany, Daan. Kusuma, Chandra.

Transparansi, Partisipasi, dan Pelayanan Publik di Kabupaten P2TPD, Temuan GDS Tahun 2006”. DSF Working Paper, 2007

Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan

Universitas Gadjah Mada. ”Governance Assesment in Banten Province”. Working

[181] Sobari, Wawan. Jurnal YIPD. Tahun V No. 3, Juli -

September 2006.

http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act= ndetail&sub=article&p_id=41

Universal Declaration of Human Rights, Article 19th. http://www.un.org/en/documents/udhr/

UU Nomor 39/1999 Tentang Hak Azasi Manusia UU No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan

Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik 1966

UU Nomor 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik

Biodata Penulis

Penulis lahir di Tanjung Karang 36 tahun silam, menikah dan memiliki 2 putra. Hobi membaca, bermusik, dan fishing. Pernah memimpin Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten Serang tahun 2004, Panitia Pengawas Pemilihan Kepala Daerah Provinsi Banten tahun 2006, Konsultan Perencana pada beberapa instansi pemerintah hingga kini, Sekretaris Eksekutif Dewan Riset Daerah Provinsi Banten tahun 2005-2008, Pembantu Dekan II FISIP UNTIRTA 2007-2009, dan lain-lain. Pembicara dan trainer pada sejumlah seminar, lokakarya, dan training. Host pada acara dialog interaktif “Sudut Pandang” di Banten Tv. Sehari-hari berkhidmat sebagai guru pada program studi Ilmu Administrasi Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, serta aktif menulis dan meneliti untuk pengembangan ilmu sosial dan politik maupun untuk kepentingan kebijakan publik. Ketua Perkumpulan (NGO) Masyarakat Informasi Banten, 2011-sekarang.

Korespondensi dapat dilakukan melalui

singodimejo_gi@yahoo.com atau fesbuk: Romo Gandung Ismanto

i Sobari, Wawan. Jurnal YIPD. Tahun V No. 3, Juli -

September 2006.

http://www.yipd.or.id/publikasi/index.php?act=ndetail &sub=article&p_id=41

ii http://www.un.org/en/documents/udhr/. Article 19th Universal Declaration of Human Rights, declared by the General Assembly of the United Nations on December 10, 1948.

iii Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik 1966 menjelaskan bahwa: “(1). Everyone shall have the right to hold opinions without interference. (2) Everyone shall have the right to freedom of expression; this right shall include freedom to seek, receive and impart information and ideas of all kinds, regardless of frontiers, either orally, in writing or in print, in the form of art, or through any other media of his choice. (3) The exercise of the rights provided for in paragraph 2 of this article carries with it special duties and responsibilities. It may therefore be subject to certain restrictions, but these shall only be such as are provided by law and are necessary:

(a) For respect of the rights or reputations of others; (b) For the protection of national security or of public

order (ordre public), or of public health or morals.

iv Ifdhal Kasim, Ketua Komnas HAM RI, “Kebebasan

Memperoleh Informasi dan Rahasia Negara”. Makalah disampaikan pada Diskusi Terbuka RUU Rahasia Negara dan Ancaman Kebebasan Informasi Publik, Hotel IBIS Tamarin, 18 Februari 2009. v Pasal 28 F UUD 1945 menegaskan bahwa “Setiap

orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi denggan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

vi Good governance is, among other things,

participatory, transparent and accountable. It is also effective and equitable. And it promotes the rule of law. Good governance ensures that political, social and economic priorities are based on broad consensus in society and that the voices of the poorest and the most vulnerable are heard in decision-making over the

allocation of development resources.

http://mirror.undp.org/magnet/policy/chapter1.htm#b vii TP-KIP dibentuk secara resmi pada tanggal 2 Juli

2009 di kantor Banten Research and Development Support (BRDS) Cijawa, setelah melalui sejumlah diskusi dengan berbagai tokoh, jurnalis, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat. Pattiro adalah NGO yang paling awal mewacanakan keterbukaan informasi, dan sangat aktif dalam aktivitas TP-KIP. TP-KIP dipimpin oleh Gandung Ismanto, dan sejak itu TP-KIP aktif melakukan sosialisasi dan pendekatan khususnya kepada pemerintah provinsi agar proaktif dalam mensikapi berlakunya UU No.14/2008, khususnya dalam pembentukan Komisi Informasi Provinsi Banten.

viii Ad hoc karena TP-KIP merupakan koalisi masyarakat sipil Banten yang bertujuan afirmatif untuk mempercepat dan mengawal proses pembentukan Komisi Informasi di Banten. Namun Pasca dilantiknya Komisi Informasi Provinsi Banten pada tanggal 24 Pebruari 2011, TP-KIP bertransformasi menjadi Lembaga Swadaya Masyarakat berbadan hukum perkumpulan dengan nama Masyarakat Informasi Banten (MIB) pada tanggal 23 April 2011, dengan visi turut serta membangun tata pemerintahan yang baik di Provinsi Banten melalui penguatan masyarakat sipil dalam meningkatkan partisipasi publik dalam pemerintahan dan pembangunan. MIB juga melakukan kajian, penelitian, penerbitan, hingga advokasi dalam mewujudkan visi dan misinya.

ix Advokasi dimulai melalui audiensi dengan sejumlah SKPD, dimulai dari: Dishubkominfo Provinsi Banten (7 Juli 2009), Bappeda Provinsi Banten (13 Juli 2009), dan Sekretaris Daerah Provinsi Banten (20 Juli 2009). Audiensi tersebut menghasilkan kesepahaman dan kesanggupan pemerintah provinsi untuk memfasilitasi anggaran untuk proses pembentukan Komisi Informasi di Banten secepat-cepatnya.

x Tanggal 25 Juli 2009 dilakukan diskusi dalam rangka penyusunan rancangan Kelompok Kerja Pembentukan Komisi Informasi. Tanggal 10 Agustus 2009 dilakukan fasilitasi awal rencana pembentukan komisi Informasi, dihadiri oleh Komisioner dari KI Pusat, Humas Provinsi Banten, Dishubkominfo, dan sejumlah wartawan, bertempat di RM. Sederhana.

[182] Tanggal 5 September 2009 dilakukan rapat teknis penyusunan persiapan pembentukan KI di kantor