• Tidak ada hasil yang ditemukan

Selain itu sejumlah distorsi dan paradox muncul dalam penyelenggaraan pilkada di

sejumlah daerah, seperti munculnya

berbagai macam konflik, adanya politik

uang, bekerjanya black campaign, kultur

demokrasi yang lemah, kandidat-kandidat

yang miskin program, resources yang

terbatas dan adanya penolakan dan

kekecewaan masyarakat terhadap

hasil-hasil yang dicapai dalam pilkada langsung.

Distorsi-distorsi tersebut menjadi catatan pesimisme yang dapat menegasikan prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan pilkada langsung. Kalangan pesimisme dapat mencapai pilkada langsung sebagai

“new ghost” yang tidak membawa manfaat apa-apa

terhadap : (1) bekerjanya demokrasi local;(2) upaya penciptaan tatanan pemerintahan yang demokratis, dan; (3) tidak akan mendorong peran dan fungsi institusi-institusi politik local semakin efektif dan efisien dalam menjalankan tugasnya, (sahdan, 2005: 384 – 385)

Hal lain yang juga kemudian terjadi adalah politisasi di kalangan birokrasi. Penelitian yang dilakukan oleh Perdana, dkk (2009) menemukan bagaimana birokrasi terjebak kedalam pusaran kekuasaan dalam pilkada. Birokrasi di era pilkada langsung dianggap sebagai kekuatan politik yang dimanfaatkan untuk kemenangan kandidat tertentu, utamanya incumbent.

Karena itulah wajar jika berbagai kalangan, mulai mantan ketua PBNU Hasyim Muzadi sampai Mendagri Gamawan Fauzi membangun wacana dikembalikannya pemilihan kepala daerah ke DPRD. Selain alasan-alasan diatas tiga hal dikemukakan: mahalnya biaya kampanye yang mendorong kepala daerah melakukan korupsi, mahalnya biaya penyelenggaraan pilkada secara langsung dan pilkada berpotensi menyebabkan perpecahan di masyarakat.

Melihat argumentasi-argumentasi diatas, rasanya sulit melihat sisi baik pilkada langsung. Apakah masyarakat betul-betul tidak bias memilih calon

yang terbaik? Apakah sama sekali tak ada relasi antara kinerja baik kepala daerah dengan keterpilihannya dalam pilkada?

2. PEMBAHASAN

Baiklah, mungkin mayoritas pilkada

menghasilkan proses dan hasil yang tidak berkualitas. Namun ada minoritas kepala daerah yang bekerja baik dan membuat kebijakan yang pro rakyat. Para kepala daerah ini bekerja keras, berinovasi dan diakui sukses memimpin daerahnya. Bagaimana nasib mereka jika mereka bertarung dalam pemilukada?

Jawabannya adalah kepala daerah yang bekerja keras untuk rakyat dan dianggap berhasil akan mudah memenangkan pilkada. Tentu saja sebagai preliminary research, tulisan ini mengandalkan data-data yang bersumber dari dokumen, lityeratur dan media massa serta membutuhkan studi lapangan.

Kita bisa menyebut pasangan Joko Widodo (Jokowi) - FX Hadi Rudyatmo Calon Incumbent

Walikota Surakarta memperoleh hasil

mencengangkan, 90,09% suara pemilih dalam pencoblosan 26 April 2010. Hasil ini hampir memecahkan rekor MURI yang dipegang Herman Sutrisno- Akhmad Dimyati, Walikota Banjar yang juga incument yang mendapatkan suara 92, 19% di tahun 2008. Rekor ini tumbang di tangan Herman Deru-Kholid Mawardi, meraih 373.177 suara atau sekitar 94,56 persen. Di kalangan pemegang prosentase suara terbanyak terdapat nama Wahidin Halim, Walikota Tangerang (88,22%), Untung Wiyono, Bupati Sragen (87,34%), I Gde Winasa Bupati Jembrana (88,5%) atau di tingkat Provinsi fadel Muhammad, mantan Gubernur Gorontalo (81%).

Pemegang Rekor MURI, Herman Deru adalah incumbent dalam Pilkada Ogan Komering Ulu (OKU) Timur. OKU Timur merupakan pemekaran dari Kabupaten Ogan Komering Ulu yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Ogan Komering Ulu Timur, Kabupaten Ogan Ilir dan Kabupaten OKU Selatan pada tanggal 18 Desember 2003.

Kemenangan Herman Deru disumbang oleh prestasinya ketika menjadi incumbent. Salah satunya adalah diraihnya penghargaan Inovasi Manajemen Perkotaan (IPM) dari Kementerian Dalam Negeri, termasuk di antaranya Bupati OKU Timur, H Herman Deru. Kabupaten lumbung beras itu mendapat nilai tertinggi untuk IPM 2010 kategori kabupaten. Pengelolaan pasar tradisional dan PKL di OKU Timur dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Makanya pembiayaan bersifat low cost, biaya langsung dari masyarakat secara swadaya. Bukan dana dari pemerintah yang bersifat proyek. Dalam penghargaan ini terdapat lima katagori yang dinilai, pengelolaan pasar tradisional, penataan pedagang kaki lima (PKL), pembenahan pemukiman

[172] kumuh, tata ruang kota, sanitasi perkotaan, dan

ruang terbuka hijau

(http://okutimurnews.blogspot.com/2011/02/herman -deru-raih-penghargaan.html)

Juara kedua rekor Muri, Walikota Banjar juga menunjukkan kinerja yang baik sebagai incumbent. Sama seperti Kabupaten OKU Timur, kota Banjar juga merupakan daerah otonom baryu, hasil pemekaran dari Kabupaten Ciamis dan terbentuk berdasarkan UU No. 27 tahun 2002.

Anggaran publik di kota Banjar jauh lebih besar dari anggaran pegawai. Sejak tiga tahun terakhir, perbandingannya 55 persen untuk belanja publik dan 45 persen belanja aparatur. Tahun 2011, dari total anggaran belanja sekitar Rp 400 miliar, sebanyak Rp 222 miliar di antaranya difokuskan untuk belanja publik dan hanya Rp 178 miliar untuk belanja aparatur.

Prioritas itu didukung penyetopan sementara penerimaan pegawai negeri sipil baru dalam tiga tahun terakhir. Sekretaris Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan Daerah Kota Banjar Nana R mengatakan, keberadaan 3.600 orang pegawai negeri dan 1.900 tenaga sukarelawan sudah sangat ideal.

Keberanian ini membuka banyak perubahan daerah. Salah satu bukti yakni peningkatan Indek Pembangunan Manusia (IPM). Di akhir tahun 2010, Kota Banjar meraih IPM mencapai 73 atau berada di atas IPM Jabar sebesar 71,64. Hasil evaluasi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Institut Pemerintahan Dalam Negeri menetapkan Kota Banjar sebagai daerah otonomi tersukses kedua di Jabar.

Di bidang kesehatan, misalnya. Sejak tahun 2004, Kota Banjar telah membebaskan biaya berobat bagi keluarga tidak mampu. Kini, sekitar 25 persen dari total penduduk sekitar 183.046 orang menikmati bebas biaya di puskesmas dan kelas tiga Rumah Sakit Umum Daerah Banjar.

Di bidang pendidikan juga tidak kalah gaungnya. Sejak tahun 2005, Kota Banjar menerapkan program intervensi siswa SD, SMP, dan mahasiswa berprestasi, tetapi terancam putus sekolah. Program ini lebih dulu dilakukan di Banjar sebelum bantuan operasional sekolah diselenggarakan di Indonesia.

Tahun 2011, setiap siswa dari 5.000 siswa sekolah dasar mendapatkan bantuan sebesar Rp 250.000 per tahun, dan 2.000 siswa sekolah menengah pertama mendapatkan dana tambahan Rp 750.000 per tahun per orang. Adapun 20 orang mahasiswa berprestasi dibiayai satuan kredit semester yang diambil. Bantuan tersebut berlaku hingga mereka tamat sekolah.

Keberhasilan ini mendapat apresiasi

Kementerian Pendidikan Nasional. Tahun 2008, Kota Banjar dinilai berhasil tuntas wajib belajar pendidikan nasional sembilan tahun dengan angka partisipatif kasar 118,24 persen. Bahkan, 1.600 guru

di Kota Banjar juga diberikan dana tambahan Rp 500.000 per bulan per orang.

Di bidang ekonomi kerakyatan, Kota Banjar juga menggenjot partisipasi warganya melalui Program Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga (PUP2K), yang melibatkan 26 desa dan kelurahan. Setiap desa mendapatkan dana Rp 5 juta per tahun. Dana itu menjadi modal usaha bagi pengembangan warga desa, seperti usaha kecil menegah dan pertanian.

Ada juga program Koperasi Jemaah Masjid (Kopjamas) yang melibatkan 360 masjid dengan peserta aktif lebih dari 1.000 orang. Setiap masjid diberikan dana stimulan Rp 10 juta. Dana itu diserahkan secara mandiri pada pengurus masjid untuk modal para jemaahnya.

Peningkatan daya beli masyarakat juga disuntik dana senilai Rp 2 miliar untuk pengadaan 100 sapi, 100 kambing, dan 100 ekor domba pada 26 desa. Tahun 2011, program ini akan ditambah 100 ekor sapi senilai Rp 900 juta. (Kompas , 4 April 2011)

Jika dua pemegang rekor diatas masih kurang, mari kita ambil contoh kesuksesan tiga incumbent lain pemegang rekor, Jokowi (90,09%), I Gde Winasa (88,5%) dan Untung (87,34%).

Joko Widodo (Jokowi) memiliki prestasi yang mengesankan dalam penataan kota dengan menggunakan pendekatan yang manusiawi. Prestasi Jokowi yang paling termashur adalah saat menata 5.817 PKL di kota itu, tanpa kekerasan. Sebelum direlokasi, Jokowi dan Wakil Walikota FX Hadi Rudyatmo melewati proses dialog panjang, hingga 54 kali pertemuan. Bersama wakilnya, dan para kepala dinas, setiap Jumat pagi (dua minggu sekali) Jokowi bersepeda berkeliling kampung. Dia ajak pedagang makan siang atau makan malam. Mereka yang bersuara vokal didatangi. Keinginan mereka seperti apa, lalu didengarkan.

Pada Juli 2006 sebanyak 989 pedagang yang berusaha di Monumen 45 Banjarsari sejak 1998 mau pindah ke Pasar Klithikan Notoharjo, Semanggi, tanpa paksaan. Kerja keras Pemkot Solo itu dapat ditemui di Stadion Manahan dan Jalan Slamet Riyadi. Bahkan, di Jalan Slamet Riyadi, pedagang makanan diberi gerobak seragam untuk mendukung city walk (kawasan khusus pejalan kaki). Untuk program penataan PKL ini Pemko Solo setidaknya menghabiskan dana Rp 5,6 Miliar. Selain itu, pemerintah daerah juga menggratiskan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Daftar Perusahaan (TDP). Dari penataan para pedagang pasar tradisional itu, Jokowi berhasil menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) dari pasar yang semula Rp 7 miliar naik menjadi Rp 12 miliar. (Harian Global, 28/12/2009)

Di Jembrana, I Gde Winasa melakukan berbagai terobosan positif. Tahun 2001, siswa SD sampai SMA/SMK di Jembrana dibebaskan dari segala bentuk pungutan. Ada pula beasiswa bagi siswa sekolah swasta berprestasi. Insentif guru

[173] ditingkatkan dan pemkab menanggung sebagian biaya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Tahun 2008 total anggaran pendidikan 30 persen APBD.

Di bidang kesehatan, pemkab mengalihkan subsidi pelayanan kesehatan dari unit pelayanan kesehatan ke masyarakat melalui lembaga Jaminan Kesehatan Jembrana. Penduduk Jembrana gratis berobat jalan ke semua dokter, dokter gigi, bidan, dan klinik pemerintah maupun swasta. (Kompas, 4/12/2008)

Di Sragen, Untung melakukan revolusi besar dengan pendekatan government. Penerapan e-government di Sragen sudah dimulai sejak tahun 2003. Melalui aplikasi e-government, kantor-kantor pemerintah sampai ke tingkat kecamatan terkoneksi dalam LAN (Local Area Network) dan WAN (Wide Area Network). Sejak 2007 WAN bahkan sudah menjangkau 208 desa di Sragen. Tulang punggung penerapa e-government di Sragen adalah Kantor Pengolahan Data Elektronik (PDE).

Secara garis besar, terdapat empat bentuk aplikasi e-government di Sragen (Warta Ekonomi, Maret 2008). Pertama, Sistem Informasi Manajemen

Kependudukan sejak 2003. Layanan ini

memungkinkan pembuatan KTP hanya butuh waktu lima sampai dua menit, tanpa ada pungutan liar dan prosedur yang berbelit.

Kedua, Sistem Informasi Manajemen Perizinan sejak 2005. Sistem ini bisa melacak (tracking) dokumen perizinan secara online. Saat ini sudah 59 izin dan 10 non-perizinan yang diproses menggunakan TI. Kabupaten Sragen juga sudah mempunyai 13 aplikasi sistem untuk kantor pemerintah dan rumah sakit. Sragen juga sudah membangun jaringan sampai ke 208 desa dan menyerahkan 17 izin yang bisa diurus pada tingkat kecamatan.

Ketiga, website resmi Pemkab Sragen sejak 2002, http://www.sragenkab.go.id/. Lewat website, masyarakat bisa memperoleh informasi lengkap mengenai profil dan potensi kabupaten yang terdiri dari 20 kecamatan dan 208 desa/kelurahan ini, termasuk harga sembako dan sarana interaktif aparat dan masyarakat.

Keempat, Sistem Informasi Pemerintahan Daerah-Kantaya (Kantor Maya) sejak 2004. Sistem online ini mempermudah pekerjaan pegawai Pemkab Sragen dan koordinasi antarorganisasi pemerintahan di sana. Misalnya, untuk pelaporan dan pengawasan di setiap unit kerja, kecamatan dan BUMD, sarana pengiriman data, informasi dan pengawasan proyek di setiap unit kerja, informasi agenda kerja di setiap satuan kerja, pengiriman surat dinas atau undangan kedinasan ke setiap unit kerja, dan untuk forum diskusi serta interaksi antarpegawai.

Kantaya telah menjadi sarana komunikasi dari kantor kabupaten hingga ke 20 kecamatan dan 208 desa di Sragen yang disebut Kantor Maya (Kantaya).

Aplikasi Kantaya di antaranya laporan monitoring setiap dinas, satuan kerja, dan kecamatan; sarana pengiriman data; informasi dan monitoring proyek secara online pada setiap satuan kerja; agenda kerja setiap satuan kerja; forum diskusi dan chatting antarpersonel dan satuan kerja; surat dinas atau undangan.

Di kantaya juga tersedia sistem informasi pemerintahan daerah, perizinan terpadu, sistem informasi perdagangan antarwilayah, kepegawaian, keuangan daerah, kependudukan, pertanahan, sistem rumah sakit umum daerah, sistem informasi strategis, pendapatan daerah, pengelolaan barang daerah, sistem informasi geografis, kredit, dan pembayaran perusahaan daerah air minum.

3. SIMPULAN

Contoh-contoh diatas rasanya cukup memberi kita pelajaran bahwa keberhasilan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah berkorelasi positif dengan perolehan suara dalam pilkada. Mereka menuai hasil dari kebijakan pro rakyat dengan perolehan suara yang amat tinggi.

Hal ini penting dipahami oleh para incumbent, terutama di masa jabatan pertama bahwa kampanye sesungguhnya tidak hanya berlangsung dua minggu menjelang pencoblosan. Kampanye sesungguhnya adalah merealisasikan janji-janji kampanye dan melaksanakan kebijakan pro rakyat selama memerintah sehingga masyarakat terpuaskan dan memiliki loyalitas.

Incumbent yang tak bekerja baik biasanya

mengalami kesulitan untuk memenangkan

pemilihan. Hal ini biasanya kemudian diikuti

pencitraan besar-besaran yang cenderung

menggunakan APBD seperti berbagai bentuk sosialisasi yang sebetulnya merupakan kampanye terselubung.

Jika mereka bekerja baik sebetulnya yang berkampanye bukanlah spanduk atau baligo, tapi jalan yang bagus, sekolah yang kokoh, atau

puskesmas yang melayani semua lapisan

masyarakat. Kinerja-lah yang berkampanye untuk seorang incumbent.

PUSTAKA

Harris, John, Kristian Stokke and Olle Tornquist . 2005. Politicising Democracy: The New Local Politics of Democratization. New York, Palgrave Macmillan.

Sahdan, Gregorius. 2005. Distorsi dan Paradoks dalam Pilkada . Jurnal Analisis CSIS, Vol. 34 No. 4 Desember 2005

Bahan Sosialisasi Pilkada Langsung 2005, Departemen Dalam Negeri

Aditya Perdana (dkk), Politisasi Birokrasi Dalam Pilkada: Studi Kasus Kota Depok Dan Kabupaten Tangerang, Laporan Penelitan Strategis Nasional UI Tahun 2009

[174] Zuhro, Siti. Rapor Merah Pilkada, 26 Juli 2010.

http://okutimurnews.blogspot.com/2011/02/herman-deru-raih-penghargaan.html www.sragenkab.go.id Harian Global, 28/12/2009 Kompas, 4 April 2011 ---, 4 Desember 2008 Biodata Penulis

Abdul Hamid, dosen dan peneliti di Lab Administrasi Negara FISIP Untirta. Hamid bisa ditemukan di www.abdul-hamid.com atau dihubungi di doelha@yahoo.com.

[175]

BANTEN MENUJU ERA KETERBUKAAN INFORMASI: