• Tidak ada hasil yang ditemukan

SOCIAL MEDIA NETWORKING DAN OTONOMI DAERAH Anis Fuad

OTONOMI UNTUK MEWUJUDKAN BANTEN MANDIRI, MAJU DAN SEJAHTERA

4. Otonomi Daerah sebagai Solusi

Skema Otonomi Daerah yang dikembangka menyusul tumbangnya era Orde Baru adalah bagian dari solusi untuk meluruskan kembali cita-cita pembangunan bangsa sesuai jiwa Undang-undang Dasar 45, setelah pembangunan yang dijalankan Resm Orde Baru gagal mewujudkan kesejahteraan

bangsa. Karena meskipun selalu mencatat

keberhasilan dengan angka pertumbuhan yang tinggi dan pendapatan perkapita yang terus meningkat, ternyata hasil pembangunan itu hanya dinikmati oleh sekelompok kecil mereka yang kuat, sedang sebagian terbesar rakyat justru semakin terjepit. Kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin semakin lebar, yang menimbulkan kecemburuan sosial yang makin lama makin sulit diredam akhirnya meletus dalam berbagai bentuk perlawanan yang sulit dikendalikan.

1 Untuk tujuan itu pada 1 Januari 1976 disyahkan UU pananaman Modal asing dan pada 3 Juli 1968 UU penanaman Modal Dalam Negeri.

2 Lihat Baswir dkk, 1999, mengutip Sundrum 1986

[161] Pertanyaan yang menggoda adalah kenapa pembangunan yang dinilai sangat berhasil itu

ternyata membawa bencana? Di mana

kesalahannya? Bagaimana memperbaikinya? Itu pergumulan yang muncul di awal era reformasi. Jawab atas pertanyaan ini pasti banyak, tetapi tetapi sesuai topik ada 2 yang paling mempengaruhi solusi yang dipilih saat itu. Pertama: system pemerintahan yang sangat sentralistik, otoriter dan birokratis. Kedua,paradigma pembangunan (ekonomi) yang sangat fokus pertumbuhan dan berorientasi pasar. Krisis yang terjadi itu telah menimbulkan kesadaran bahwa cita-cita bangsa ini telah bergeser jauh dari yang diamanatkan UUD 45. Karena itu transformasi total harus segera dilakukan. Pilihan untuk itu adalah pelaksanaan Otonomi Daerah yang tujuannya tercermin dari prisip-prinsip yang terkandung dalam UU.no 22/99 dan rumusan operasionalnya tercermin dalam Program Pembangunan Nasioanl (Propenas) 1999.

Otonomi menurut UU.no. 22/99 itu dirumuskan sebagai : kewenangan Daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirassi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU.no.22, ps 1.h.). Dalam UU. No 32/2004 (pengganti UU no 22/99) rumusan itu menjadi: otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU.no 32 ps. 1 butir 5) Dari rumusan itu tercermin bahwa tujuan otonomi adalah mengganti sistem pemerintahan yang sentralistik, otoriter, dan birokratis menjadi lebih partisipatif, demokratis. Rumusan itu memperlihatkan bahwa otonomi yang dipilih sebagai solusi krisis itu adalah otonomi yang mengutamakan kepentingan daerah dan masyarakatnya dan bukan kepentingan pemerintah pusat (seperti jiwa UU no. 5/74). Desentralisasi yang dijalankan di era reformasi ini seharusnya dipahami sebagaimana dirumuskan oleh Pide (1997) yang dikutip oleh Joko Widodo (2001?) bahwa “desentralisasi pada dasarnya adalah pelimpahan atau penyerahan kekuasaan atau wewenang di bidang tertentu secara vertikal dari institusi /lembaga / pejabat yang lebih tinggi kepada institusi / lembaga / fungsionaris bawahannya sehingga yang diserahi / dilimpahi kekuasaan wewenang tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tertentu tersebut.4 Penegasan ini penting karena dalam praktek pemberian kewenangan dari pusat ternyata hanya berhenti di Propinsi atau kabupaten, dan tidak dilanjutkan kepada institusi / lembaga atau pejabat dibawahnya.

4 Joko Widodo (2001:39) mengutip Pide, 1997:34

Ada banyak perubahan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan otonomi ini, baik dalam menata sistem pemerintahan maupun menata jalannya pembangunan pada semua level mulai dari pusat sampai ke daerah-daerah. Paling tidak perubahan (khususnya yang menyangkut penataan pembangunan) itu menyangkut 3 bidang yaitu (a) perubahan menyangkut pelaku pembangunan, (b) perubahan menyangkut metode pembangunan dan

(c) perubahan menyangkut substansi

pembangunan. Cita-cita propinsi Banten untuk mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejahtera berdasar Iman dan Taqwa hanya dapat diwujudkan jika ke 3 perubahan yang diamanatkan otonomi itu dapat dilakukan.

(a). Mengenai perubahan pelaku

pembangunan, undang-undang Otoda menetapkan adanya penyerahan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, atau kalau mengikuti rumusan Pide tadi, nbedrarti penyerahan kewenangan dari instansi yang lebih tinggi ke instansi yang lebih rendah, bahkan menurut jiwa UU otonomi desentralisasi itu harus bermuara ke masyarakat. Tujuannya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri, bahkan lebih dari itu ditegaskan (dan mungkin ini yang lebih menarik) bahwa peran pemerintah yang selama ini sangat

dominan melakukan pembangunan akan

digantikan oleh peran serta masyarakat yang semakin besar.

(b) Mengenai perubahan substansi

pembangunan pasal tadi mengisyaratkan bahwa fokus pembangunan di era Otonomi itu tidak lagi hanya pada fisik material tetapi juga (dan mungkin terutama) pada peningkatan kualitas manusia. Maksudnya bahwa keberhasilan pembangunan tidak hanya dinilai dari tingkat pertumbuhan tetapi keberhasilan itu terutama harus dinilai dari kualitas kinerja manusia yang lebih mampu berinisiatif dan lebih berani menyampaikan aspirasinya. Harus disadari bahwa kekayaan sesungguhnya yang menjadi andalan setiap

masyarakat adalah manusia warganya.

Kekayaan dan kekuatan yang seharusnya menjadi andalan Indonessia adalah warga (manusia) Indonesia dan bukan terutama sumber daya balamnya, demikian juga kekayaan dan kekuatan yang seharusnya menjadi andalan Banten adalah warga Banten. Masyarakat yang memiliki sumber daya alam yang sangat terebatas telah membuktikan hal itu seperti Jepang, Singapur atau Israel. Negara-negara ini dapat tampil menjadi kekuatan dunia yang cukup diperhitungkan karena didukung oleh warga yang berkualitas.

(c) Sedang menyangkut metode

pelaksanaan pembangunan tersirat prinsip bahwa cara atau pendekatan pembangunan tidak hanya

[162] pembangunan sektoral namun juga pembangunan wilayah bahkan secara lebih terfokus adalah pembangunan masyarakat (community building). Perubahan yang mendasar disini adalah pada pendekatan yang selama ini kita anut yang beranggapan bahwa kesejahteraan masyarakat dapat diwujudkan dengan membangun berbagai sektor (seperti kesehatan, ekonomi, pendidikan dan lain sebagainya) akan diarahkan menjadi pembangunan kemasyarakatan. Pembangunan kemasyarakatan menganut strategi bahwa masyarakatlah yang seharusnya diprioritaskan untuk dibangun dan diperkuat sehingga mampu membangun dirinya sendiri. Membangun masyarakat pada dasarnya berarti membangun sistem yang wujudnya institusi-institusi dalam masyarakat itu. Institusi-institusi-institusi dalam masyarakat dapat dibedakan atas : institusi pasar (ekonomi), institusi sosial (masyarakat) dan institusi politik (pemerintah). Simon Peres pernah bercerita tentang awal Israel menjalin hubungan dengan Rusia. Yang pertama diminta Rusia dari Israel adalah sapi, karena sapi Israel dapat memproduksi susu 3 kali lebih banyak dari sapi pada umumnya sehingga Israel dapat mengeksport susu. Namun di Rusia sapi Israel ternyata tidak berbeda dengan yang lain. Pesan cerita ini menurut Peres adalah bahwa “Anda bisa mendapatkan susu yang lebih banyak dari sistem ketimbang dari sapi”5. 5. Tantangan Pelaksanaan

Melaksanakan otonomi pada

hakekatnya berarti melakukan serangkaian perubahan. Itulah yang ditegaskan dalam Penjelasan Undang-Undang No. 22 berkaitan dengan Dasar Pemikiran bahwa "Hal-hal yang mendasar dalam undang-undang ini adalah mendorong dan memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi DPRD

Melihat uraian di atas jelas bahwa pembangunan yang akan diterapkan dalam rangka Otonomi Daerah adalah identik dengan apa yang disebut oleh Tropman dkk sebagai locality development yang dengan tepat didifinisikan sebagai : "to empower the local residents to gain the capacity to solve problems and successfully cope with powerful authorities and institutions that affect their lives"6. Mungkin pertanyaannya sekarang adalah tantangan besar apa yang akan dihadapi dalam menerapkan Otoda ? Jawabnya adalah melakukan perubahan membentuk dan merubah tatanan, sistem, mekanisme dan perilaku yang sudah melembaga untuk disesuaikan dengan aspirasi baru. Namun nampaknya tantangan ini tidak mendapat perhatian

5 Oscar Lafontaine dkk (terjemahan 1999) h.. 37 6 Cnaan and Rothman (tanpa thn) dalam John E. Tropman dkk (ed) (tanpa tahun)

yang berarti dalam rangka persiapan penerapan Otoda tersebut. Perhatian rupanya lebih banyak diarahkan pada persiapan perangkat hukum dan perundang-undangan. Padahal penyesuaian otomatis

tidak akan terjadi meskipun perangkat

perundangannya telah lengkap. Peraturan dan perundangan itu baru merupakan infrastruktur sosial yang perlu dilengkapi dengan perencanaan tindakan, perencanaan perubahan. Paling tidak ada tiga kategori hambatan yang dialami dalam melakukan perubahan itu, yakni hambatan yang berlatar belakang struktural, hambatan yang berlatar belakang administratif dan hambatan yang berlatar sosial budaya.

Dengan memperhatikan latar belakang Propinsi Banten yang diuraikan diawal tulisan ini kita dapat membayangkan hambatan yang harus dipertimbangkan dalam mendorong perubahan mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejahtera. Paling tidak ada dua hal :

(1) Tantangan berkaitan dengan perobahan Pelaku Pembangunan. Dalam hal ini Banten tidak berbeda dengan daerah lain. Dengan pelaku pembangunan disini terutama

dimaksudkan Pemerintah Daerah yang

diharapkan dapat berubah lebih demokratis dan partisipatif. Namun seperti kita semua tahu selama era Orba, Pemda hanya berfungsi sebagai pelaksana dari program pembangunan yang seluruhnya ditangani oleh Pemerintah Pusat, mulai dari perencanaan, pelaksanaan sampai pada evaluasinya. Pemerintah daerah hanya berfungsi sebagai pelaksana dan untuk itu mereka tidak boleh menyimpang dari skenario yang telah ditetapkan oleh pemerintah yang dikenal dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Pada umumnya mereka tidak memiliki tradisi mengidentifikasi potensi daerahnya, membuat

perencanaan berdasar potensi itu dengan

memperhatikan aspirasi masyarakat, kemudian

melaksanakan bersama dengan masyarakat.

Sekarang mereka diminta untuk mengatur dan mengurus daerahnya dengan prakarsanya sendiri. Kita tentu dapat memahami kesulitan untuk merealisasikan perubahan ini. Perubahan yang diharapkan ini tidak akan terjadi dengan hanya mengeluarkan berbagai perundangan dan peratura, karena untuk perubahan itu dibutuhkan perubahan pola pikir, pengetahuan, ketrampilan bahkan sikap yang sesuai dengan perubahan itu. Saya kira dibutuhkan semacam pendidikan dan pelatihan.

Hal yang sama dialami oleh masyarakat, yang di era otonomi, yang demokratis partisipatif, justru diharapkan menjadi pelaku pembangunan utama. Masyarakat kita selama era Orba hanya diperlakuan sebagai obyek dalam pembangunan. Mereka selalu dinilai tidak berdaya dan karena itu harus dijadikian obyelk pemberdayaan. Tidak pernah diberi kepercayaan untuk ikut berpartisipasi

[163] atau berinisiatif dalam mangatasi masalahnya. Pada hal kita tahu bahwa pengalaman adalah guru yang terbaik untuk mengembangkan diri. Di era Otonomi masyarakat diharapkan dapat berperan aktif mengambil prakarsa dan berani menyalurkan aspirasinya melalui semua jalur yang ada. Dengan kata lain pada era otonomi ini masyarakat diharapkan dapat menjadi subyek pembangunan dan bukan sekedar obyek dalam pembangunan. Perubahan ini tentu tidak mudah sehingga membutuhkan strategi yang tepat, apalagi dengan mengingat masyarakat kita yang berlatar belakang kultur feodal yang paternalistik. Masyarakat kita sudah terbiasa hanya menunggu perintah. Kultur seperti itu telah diwarisi dari era feodal, kemudian dilestarikan di masa penjajahan dan terakhir era otoriter yang militeristik selama Orde Baru. Semua itu memenjarakan inisiatif dan rasa percaya diri masyarakat kita. Ini semua memperlihatkan betapa besar tantangan yang dihadapi dalam rangka menciptakan masyarakat kita sebagai subyek pembangunan.

(2) Tantangan berkaitan dengan perobahan Metode Pelaksanaan Pembangunan. Seperti dijelaskan di atas, yang kita maksudkan dengan perobahan metode adalah merobah prinsip pembangunan sektoral menjadi pembangunan wilayah, atau disebut juga pembangunan lokal atau pembangunan masyarakat (community building). Kenapa pembangunan lokal ini penting? Karena salah satu faktor penyebab krisis yang akhirnya terus berkepanjangan adalah hilangnya kemampuan masyarakat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari. Penyebabnya penyeragaman yang dilakukan selama Orba. Tujuannya untuk memudahkan pengaturan terpusat, tetapi ternyata berakibat fatal dengan hancurnya nilai-nilai yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat lokal. Untuk memulihkan kembali kehidupan masyarakat, sendi-sendi kehidupan lokal itu harus dibangun kembali. Tanpa itu tidak mungkin mengharapkan masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam membangun masa depannya.

Masalah utama yang kita hadapi dalam

melaksanakan pembangunan masyarakat adalah (1) kita tidak sadar benar apa urgensinya pembangunan masyarakat itu dan (2) kelihatannya kita juga tidak mengetahui teori, metode dan teknik membangun kelembagaan masyarakat itu. Karena keterbatasan itu kita cendrung mengabaikannya, dan akibatnya kita gagal membangun wadah bagi kekuatan terbesar yang kita miliki untuk membangun bangsa ini yaitu kekuatan yang dimiliki oleh rakyat kita sendiri.

Khusus untuk Propinsi Banten

pembangunan masyarakat penting karena propinsi ini unik berhubung dengan posisinya, sebagai penyangga ibu kota negara. Hal ini sudah dijelaskan di awal tulisan ini. Apa masalahnya?

6. Penutup

Sebenarnya di awal tulisan ini sudah diungkap. Banten saat ini terbelah dalam Banten Utara dan Banten Selatan yang berbeda dalam banyak hal. Perbedaan ini semakin diperlebar oleh kemajuan yang sangat dinamis yang dialami Banten Utara karena posisinya yang strategis dan fasilitas yang semakin baik. Kondisi ini menarik arus globalisasi mengalir lebih deras, dan mendorong meningkatnya mobilisasi manusia menyusul menjamurnya pemukiman khususnya di Banten Utara. Pada fase perkembangan saat ini, secara sosiologis Banten sulit disebut sebagai suatu masyarakat. Banten terdiri dari banyak segmen masyarakat yang tidak merasa terkait satu dengan yang lain, bagaikan tumpukan pasir yang berkumpul tetapi tidak terikat. Kondisi semacam ini tentu tidak dapat dibiarkan berlangsung lama. Bukan saja karena “masyarakat” seperti ini sulit dibangun, tetapi juga karena dapat menjadi sumber ketegangan yang sulit dikendalikan. Pemerintah dituntut untuk

mengimbangi perkembangan ini dengan

mengembangkan institusi yang dapat menata masyarakat sesuai dengan perkembangan yang aktual.

Seharusnya itulah yang menjadi tujuan falsafah pembangunan Banten yaitu “Mewujudkan Banten yang Mandiri, Maju dan Sejaterah”. Gejala Ekonomi ganda yang disebut diawal harus dilihast sebagai tantangan sekaligus peluang untuk memulai pembangunan wilayah (community building sesuai amanat Undang-Undang Otonomi.

Daftar Pustaka Buku

Adam Kuper dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Baswir, Revrisond, dkk. 1999. Pembangunan Tanpa Perasaan. Jakarta dan Yogyakarta: Elsam dan Idea.

Cnaan, Ram A. and Jack Rothman. Locality Development and the building of Community, in Tropman et al. (ed). Strategies of Community Intervention. Illinois: Peacock Publishers,Inc.

Kaloh, J. 2007. Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global. Jakarta: Rineka Cipta.

Mubyarto.1999. Reformasi Ekonomi. Yogyakarta: Aditya Media.

Joko Widodo. 2001. Good Governance. Surabaya: Insan Cendekia.

Peres, Shimon. Melibatkan Diri dalam Tanggung Jawab Sejarah dan Tantangan Masa Depan. dalam Lafontaine, Oscar, dkk. 2000. Shaping Globalization (terjemahan). Yogjakarta: Penerbit Jendela.

[164] Timur Mahardika. 2001. Strategi Tiga Kaki. Dari

Pintu Otonomi Daerah Mencapai Keadilan Sosial. Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama. BPS Propinsi. Banten Dalam Angka. 2008 (diakses

9 Mei 2010). Undang-Undang

Undang-Undang Otonomi Daerah 1999, Penerbit Restu Agung Jakarta

Undang-Undang Otonomi Daerah 2004, Edisi Lengkap, 2006, penerbit Fokusmedia

Dokumen

Draf Program IPTEK bagi Wilayah (IbW), 2010, Meletakkan Dasar Masyarakat Mnadiri Melalui PKBM

Draf Usulan Program IPTEK bagi Wilayah di Propinsi Banten oleh Dinas Pendidikan Pemerintah Propinsi Banten (2010)

Koran Kompas, 26 Januari 2010 Kompas, 27 Januari 2010 Kompas, 28 Januari 2010 Kompas, 29 Januari 2010 Kompas, 30 Januari 2010 Identitas Penulis

Paulus Tangdilintin, Guru Besar pada Program Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP Universitas Indonesia ini lahir pada 16 Juli 1938 di Makale, Sulawesi Selatan. Menjadi staf pengajar di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial FISIP UI sejak tahun 1970. Beliau pensiun pada tahun 2003. Saat beliau masih aktif, beliau pernah menjabat sebagai Ketua Jurusan Ilmu Kesejahteraan Sosial. Beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Program Pascasarjana Ilmu Kesejahteraan Sosial, juga Ketua Program Kekhususan Pembangunan Sosial. Saat ini beliau menjadi pengajar tidak tetap di Departemen Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Adapun bidang keahliannya adalah Pembangunan Sosial dan Evaluasi. Saat ini mengajar di FISIP UPH Karawaci Tangerang.

[165]

PERAN OTONOMI DAERAH TERHADAP PARIWISATA

Ari Pandu Witantra, S.Sos

Prodi Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa Jl. Raya Jakarta KM.4 Serang, Banten

E-mail: aripanduwitantra@yahoo.com

ABSTRAKS

Potensi-potensi yang ada di daerah sangat sulit dikembangkan jika kebijakan yang masih dianut adalah kebijakan yang masih tersentralisasi. Sebutlah sektor pariwisata, pada dasarnya sektor ini adalah sektor strategis yang dapat dengan optimal dikelola oleh daerah. Sektor pariwisata dapat mendatangkan wisatawan mancanegara ataupun wisatawan domestik. Pengembangan pariwisata yang baik akan mengundang banyak investor yang berminat untuk mengembangkan usahanya di daerah yang banyak dikunjungi wisatawan. Sebelum adanya Otonomi Daerah, secara umum Indonesia sudah memiliki bermacam-macam objek pariwisata, namun jumlahnya tidak banyak. Bandingkan dengan saat ini, begitu banyak daerah yang mempromosikan objek pariwisata di daerahnya bahkan hingga stasiun TV nasional tidak pernah kehabisan bahan ulasan untuk sektor pariwisata saat ini. Dari hasil studi pustaka dan informasi yang penulis temukan, otonomi daerah cukup berperan penting dalam pengembangan potensi daerah, terutama pada sektor pariwisata. Kebijakan desentralisasi ini memberikan keleluasaan bagi daerah untuk mengoptimalkan potensi pariwisata yang terdapat di masing-masing daerah. Untuk sesuatu yang ada di daerah, dengan keberagaman sifat dan sikap yang dimiliki masyarakat Indonesia, daerah pasti lebih mengetahui sendiri apa yang mereka butuhkan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah. Tinggal bagaimana promosi yang akan diambil oleh pemerintah daerah untuk menjadikannya destinasi wisata.

Kata Kunci: desentralisasi, pariwisata, potensi daerah, promosi 1. PARIWISATA INDONESIA

1.1 Visit Indonesia

Siapa yang belum pernah mendengar Bali? Daerah wisata yang dikenal juga dengan nama Pulau Dewata ini hingga saat ini menjadi destinasi

pariwisata oleh wisatawan Internasional.

Keberhasilan Indonesia dalam mengembangkan Bali sebagai salah satu tujuan wisata memang berhasil. Bali dianggap sebagai salah satu surga daerah tropis di mata dunia.

Destinasi wisata lain di Indonesia yang terkenal sejak lama yaitu Danau Toba, Gunung Tangkuban Perahu, Lompat Batu Nias, dan banyak lagi. Indonesia memang sudah lama mengembangkan sektor pariwisata untuk menarik perhatian masyarakat dunia agar datang ke Indonesia. Dahulu, salah satu cara promosinya adalah dengan menceritakan atau mendongengkan Legenda dan

sejarah terjadinya kawasan wisata yang

dipromosikan.

Saat ini, perkembangan pariwisata di Indonesia sungguhlah pesat. Setiap daerah berlomba untuk memajukan potensi pariwisata yang mereka miliki. Sektor pariwisata memang salah satu sektor strategis untuk mendatangkan wisatawan dan juga Investor. Semakin banyak wisatawan datang, investor

semakin melirik daerah tersebut untuk

mengembangkan usahanya disana.

Salah satu promosi internasional Indonesia dalam meningkatkan kunjungan wisatawan ke Indonesia adalah Visit Indonesia. Program yang

sudah dijalankan sejak beberapa Tahun lalu itu memang sudah menampakkan hasilnya. Walaupun terdapat banyak gangguan, baik dari sisi gejolak krisis dunia hingga adanya terror Bom, jumlah wisatawan yang datang ke Indonesia sedikit demi sedikit terus meningkat.

1.2 Pariwisata

Pariwisata berasal dari kata pari dan wisata. Pari dapat diartikan sebagai banyak atau berkali-kali. Sedangkan Wisata berarti bepergian dalam tujuan

bersenang-senang baik sendirian ataupun

berkelompok (kamus Tata Ruang, 2007).

Didalam UU No.10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan disebutkan bahwa wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalan jangka waktu sementara. Sedangkan pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Dari dua teori diatas dapat kita simpulkan bahwa tujuan pariwisata adalah bersenang-senang. Pariwisata memegang peranan penting bagi masyarakat pekerja yang membutuhkan saat untuk relaksasi dan bersenang-senang. Masyarakat pekerja menganggap pariwisata sebagai salah satu cara

[166] untuk melepas ketegangan setelah sekian lama bekerja di tempat kerjanya.

Kelompok masyarakat yang juga membutuhkan pariwisata adalah masyarakat keluarga. Dalam menjalin kebersamaan dalam sebuah keluarga, melakukan wisata sekali atau beberapa kali dalam setahun dapat mempererat hubungan antar keluarga. Wisata juga memperluas wawasan anak dalam membantu tumbuh kembang otaknya. Selain itu, kegiatan pariwisata juga dapat menambah keharmonisan pasangan dalam berkeluarga.

1.2.1 Wisata Budaya, Cultural based tourism Indonesia adalah gudangnya wisata budaya. Indonesia yang memiliki berbagai macam suku bangsa yang memiliki masing-masing adat istiadat membuat Indonesia menjadi surganya wisata budaya. Budaya yang unik, menarik untuk disaksikan dan dipelajari membuat budaya dijadikan sebagai salah satu jenis pariwisata.

Keaneka ragaman budaya yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, serta keunikannya yang tidak ditemui di daerah lain membuat budaya menjadi salah satu hal point penting dalam pengklasifikasian jenis-jenis pariwisata.

Contoh wisata budaya yang terkenal dan dijadikan destinasi wisata yaitu Ngaben di Bali, Lompat Batu di Nias, Makam batu Tana Toraja, Debus di Banten dan masih banyak lagi.

1.2.2 Wisata Air, Water based tourism

Indonesia adalah negara kepulauan, jelas sebagian besar wilayahnya adalah perairan. Air juga menjadi salah satu klasifikasi jenis wisata karena banyak hal yang menarik yang dapat dilakukan di dalam dan di permukaan perairan. Diving, snorkeling, surfing adalah beberapa hal

menarik yang dilakukan di air.

Keanekaragaman hayati yang berwarna-warni di dalam air menjadikan bawah laut memiliki pemandangan yang luar biasa indahnya. Saat ini indonesia memiliki beberapa destinasi