• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerbit FISIP Untirta Dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta Serang, 2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Penerbit FISIP Untirta Dan Laboratorium Administrasi Negara FISIP Untirta Serang, 2011"

Copied!
278
0
0

Teks penuh

(1)

i

PROCEEDING

SIMPOSIUM NASIONAL OTONOMI DAERAH:

(2)

ii

Sanksi Pelanggaran

PasaI 72 UU Nomor 19 Tahun 2002

Tentang Hak Cipta

1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau PasaI 49 ayat (1) dan ayat (2)

dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan

dan/atau denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara

paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima

miliar rupiah).

2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau

menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau

Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara

paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000.00 (lima

(3)

iii

PROCEEDING

SIMPOSIUM NASIONAL OTONOMI DAERAH:

Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Penerbit

FISIP Untirta

Dan

(4)

iv

PROCEEDING

SIMPOSIUM NASIONAL OTONOMI DAERAH:

Best Practices Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah

Editor: Anis Fuad dan Abdul Hamid

Copyright © 2011 FISIP Untirta

Desain Sampul : Anis Fuad

Tata Letak : Anis Fuad

Penerbit: FISIP Untirta

Cetakan Pertama: Mei, 2011

ISBN : 978-602-96848-2-7

Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang.

Dilarang mengutip dan memperbanyak sebagian

atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit

FISIP Untirta

Jl. Raya Jakarta KM.4 Pakupatan Serang Banten

(5)

v

KATA PENGANTAR

Sudah lebih dari sepuluh tahun kebijakan otonomi daerah diberlakukan di

Indonesia. Semenjak itu pula berbagai dinamika muncul dan berkembang. Tujuan

desentralisasi untuk mensejahterakan masyarakat mengalami berbagai tantangan

yang tidak mudah.

Pemekaran, kisruh dan biaya tinggi pilkada, inefisiensi dan politisasi birokrasi,

serta munculnya raja-raja kecil di daerah menjadi perhatian para pengamat dan

ilmuwan yang mengamati otonomi daerah. Namun tentu saja, otonomi tak sekedar

menghasilkan keburukan. Kebijakan dan inovasi yang terkategorikan best

practices juga muncul di beberapa daerah di Indonesia.

Tentu saja ada alasan mengapa yang dipilih adalah “best practices”. Simposium

dan penerbitan buku ini dilandasi keinginan untuk mengabarkan hal-hal baik

dalam penyelenggaraan otonomi daerah ditengah maraknya kabar-kabar buruk

tentang otonomi daerah.

Bagaimanapun otonomi daerah adalah “

point of no return

”, sehingga jikapun ada

berbagai persoalan dan tantangan, solusinya adalah memperbaikinya dan bukan

kembali ke era sentralisasi. Karena itu, buku ini diharapkan menjadi sarana untuk

ber-otonomi dengan optimis. Optimisme penting ditengah goyahnya keyakinan

apakah desentralisasi adalah jalan yang benar bagi bangsa ini. Sekali lagi jika

memang berbagai persoalan muncul dan berkembang di tengah pelaksanaan

otonomi daerah, maka kita sebetulnya sedang tersesat di jalan yang benar.

Buku ini menghimpun makalah-

makalah yang dipresentasikan dalam “Simposium

Nasional Best Practices dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah di Indo

nesia”

(6)

vi

gagasan dan hasil penelitiannya tentang pelaksanaan otonomi daerah didalam

buku ini. Berbagai isu dipotret, dikupas dan dicarikan solusinya. Mulai dari

kebijakan publik, inovasi, pembangunan, politik lokal sampai pemberdayaan

masyarakat dan penanganan kemiskinan.

Pada akhirnya, berbagai kajian dalam buku ini diharapkan menjadi sarana sharing

bagi akademisi dan praktisi sehingga

best practices

di satu daerah dapat menjadi

inspirasi bagi daerah lain.

Serang, 20 Mei 2011

Lab Administrasi Negara FISIP Untirta,

Kepala,

(7)

vii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...

v

DAFTAR ISI ... vii

Dinamika Politik Lokal di Era Otonomi Daerah

Oleh : Ignatius Ismanto ...

1

Aplikasi Prinsip-Prinsip RIA dalam Formulasi Peraturan Daerah

Oleh : Kristian Widya Wicaksana ...

9

Otonomi Daerah Dan Perda-Perda Bias Agama

Oleh : Victor Silaen ... 17

Dari Birokratis Menjadi ”Biro Jasa”: Contoh Kota Jerman

Oleh : Samodra Wibawa ... 24

Kemitraan Pemerintah dan Swasta dalam Pembangunan Sumber Daya

Manusia melalui Implementasi CSR

(8)

viii

Ekonomi Lokal Wilayah Pesisir)

Oleh : Masyhudzulhak Djamil ... 35

Akuntabilitas Keuangan Partai Politik Di Provinsi Banten

Oleh : Dahnil Anzar ... 40

Urgensi Public Service Motivation Dalam Mewujudkan Pelayanan Publik

Yang Prima

Oleh: Syamsir dan Muhamad Ali Embi ... 47

Kajian Best Practice Inovasi Pemerintah Kabupaten Garut : Menikah Dan

Menanam Pohon

Oleh : Octa Soehartono dan Rizky Fitria ... 56

Pengaruh Budaya Kerja Etnik terhadap Budaya Kerja Keberanian dan

Kearifan PNS dalam Pelayanan Publik yang Prima (Studi pada

Pemerintahan Kabupaten Pasaman Barat)

Oleh : Aldri Frinaldi dan Muhamad Ali Embi ... 62

E-Government: Studi Pendahuluan Penyelenggaraan Pemerintahan

Daerah Di Kabupaten Sragen

Oleh : Ikhsan Darmawan ... 69

Manajemen Sinergitas untuk Penguatan Ekonomi Kerakyatan

(9)

ix

Oleh: Dayat Hidayat ... 82

Dukungan E-government dalam Upaya Peningkatan Kualitas Pelayanan

Publik di Era Otonomi Daerah : Kasus Best Pratice dari Sejumlah Daerah

di Indonesia

Oleh: Junaidi ... 89

Best Practice Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Dalam Pengentasan

Kemiskinan

Oleh: Suwatin ... 99

Analisis Penulusuran Anggaran APBD Provinsi Banten di Sektor

Pembangunan Sumber Daya Manusia

Oleh : Delly Maulana ... 105

Kebijakan Populis Pemerintah Kabupaten Bantul

Oleh: Samodra Wibawa & Ahmad Juary ... 113

Pembangunan Desa Berbasis Komunitas (Kasus Di Propinsi Banten)

Oleh: Agus Sjafari ... 118

Pelayanan Gratis Untuk Masyarakat Miskin di Kota Tangerang

(10)

x

Publik di Era Otonomi Daerah

Oleh: Arenawati ... 128

Pemekaran Daerah, Dapatkah menjadi Model Pemerataan Pembangunan?

Oleh : Kandung Sapto Nugroho ... 137

Strategi Pelayanan Publik Yang Prima Oleh Aparat Pemda Banten

Oleh : Emrus ... 145

Social Media Networking

dan Otonomi Daerah

Oleh : Anis Fuad ... 150

Otonomi untuk Mewujudkan Banten Mandiri, Maju dan Sejahtera

Oleh : Paulus Tangdilintin ... 158

Peran Otonomi Daerah Terhadap Pariwisata

Oleh : Ari Pandu Witantra ... 165

Kinerja Baik dan Keterpilihan dalam Pemilukada: Preliminary Research

Oleh : Abdul Hamid ... 170

Banten Menuju Era Keterbukaan Informasi: Best Practice Pembentukan

Komisi Informasi Provinsi

(11)

xi

Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten Lebak

Oleh : Ipah Ema Jumiati ... 183

Efektivitas E-Service Di Pemerintah Daerah ( Kasus Di Kabupaten Serang)

Oleh : Rahmawati ... 190

CSR dan Kepentingan Pemerintah Daerah

Oleh : Rahmatullah ... 197

Analisis Strategi SDM dan Pelayanan Prima di Kota Cilegon

Oleh : Rina Yulianti ... 203

Analisis Partisipasi Masyarakat Dan Peran Pemerintah Daerah Dalam

Pelaksanaan Manajemen Bencana Di Kabupaten Serang Provinsi Banten

Oleh: Riny Handayani ... 207

Penyelenggaraan Pelayanan Publik Yang Bermutu di Pemerintah Daerah

Oleh : Titi Stiawati ... 215

Mendorong Akuntabilitas Pejabat Publik melalui Ethics Leadership

Oleh: Yeni Widyastuti ... 220

Transparansi Informasi Publik dan Percepatan Pembangunan di Daerah

(Pelajaran dari Kabupaten Lebak – Banten)

(12)

xii

Kalimantan Timur

Oleh: Suripto ... 232

Strategi Pengembangan Usaha Sektor Informal dalam mendukung

Pertumbuhan Ekonomi dan Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan

Oleh: Deden M. Haris ... 239

Bureaucracy Culture and Leadership in Indonesian E-Administration

Implementation: Based on Perspective of Knowing and Learning

Organization

Oleh : Ayuning Budiati ... 246

Arti Penting Partisipasi Masyarakat Dalam Kebijakan Publik Di Daerah :

Analisis dengan Teori Sistem David Easton

Oleh : Lince Magriasti ... 252

Kinerja Daerah Otonom Baru Hasil Pemekaran Daerah: Kasus Kota Depok

(13)

[1]

DINAMIKA POLITIK LOKAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Ignatius Ismanto, M. Si., MA

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Universitas Pelita Harapan, Karawaci-Tangerang, Banten

E-mail: ign.ismanto@uph.edu

ABSTRAK

Desentralisasi politik telah membawa dampak yang menarik bagi perubahan dan dinamika politik di daerah. Pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi subyek intervensi pemerintah pusat. Bahkan, Kepala daerah dan DPR-D kini dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Kebijakan desentralisasi yang berkembang di tengah liberalisasi politik telah memungkinkan proses rekruitmen politik di daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Liberalisasi politik telah menempatkan partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekruitmen politik di daerah. Ironisnya, desentralisasi politik justru diikuti oleh menguatnya.sistem kepartaian yang sentralistik, yang hanya membuka peluang bagi intervensi elit-elit politik nasional di daerah. Bahkan, desentralisasi politik tidak didukung oleh kapasitas politik lokal yang kuat. Partai yang memainkan peran strategis dalam memperkuat demokrasi justru telah gagal dalam membawakan aspirasi konstituen, sebagaimana tercermin dari maraknya fenomena praktek-praktek korupsi politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Gagasan pemilihan kepala daerah secara langsung yang membuka peluang bagi calon independen merupakan alternatif dalam mendukung pendalaman demokrasi. Namun, pilkada perorangan itu akan efektif bila ditopang oleh restrukturisasi sistem pemilu legislatif yang lebih responsif kepada konstituen. Bahkan, pelembagaan partai lokal dapat menjadi alternatif bagi penguatas kapasitas politik lokal.

Kata Kunci: desentralisasi politik dan politik lokal

1. PENDAHULUAN

Relasi kekuasaan antara lembaga eksekutif (Gubernur, Bupati/Walikota) dan lembaga legislatif

di daerah (DPR-D Provinsi, DPR-D

Kabupaten/Kota) merupakan salah satu isu menarik dalam menkaji perubahan politik lokal seiring dengan pelaksanaan kebijakan dsentralisasi sejak 1999. Dinamika hubungan kedua lembaga itu sekaligus menjadi jendela dalam menkaji proses pendalaman demokrasi di Indonesia. Ada 2 (dua) faktor penting yang telah mempengaruhi dinamaka hubungan lembaga eksekutif dan lembaga eksekutif di daerah sejak 1999, yaitu restrukturisasi

pemerintahan serta liberalisasi politik.

Restrukturisasi pemerintahan yang awalnya diperkenalkan melalui UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah, yang kemudian direvisi dengan UU No. 32/2004, pada hakekatnya dipandang sebagai „era baru‟ dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah yang diperkenalkan di tengah tekanan demokratisasi itu memberikan kewenangan yang lebih besar bagi daerah dalam menentukan proses pembangunan daerah. Otonomi daerah itu tidak hanya membuka peluang bagi dinamika hubungan yang baru antara pemerintahan pusat (Jakarta) dan pemerintahan daerah, tetapi juga dinamika hubungan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif di daerah.

Faktor penting lainnya yang mempengaruhi dinamika hubungan lembaga legislatif dan lembaga eksekutif di daerah yaitu perubahan politik sejak

1999 yang membuka peluang bagi liberalisasi politik. Pada tingkat nasional, liberalisasi politik telah mendorong tumbuhnya partai-partai politik baru yang berkantor pusat di Jakarta. Bagi daerah, liberalisasi politik hanya membuka peluang sebatas pada diperkenalkannya partai-partai politik nasional tersebut. Pendirian partai politik lokal tidak dimungkinkan oleh UU1. Bahkan, liberalisasi politik telah memungkinkan partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekuitmen politik di daerah, yaitu bagi keanggotaan legislatif daerah (DPR-D) mau-pun dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada). Liberalisasi politik seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah telah meningkatkan persaingan elit-elit politik di daerah. Namun, pelaksanaan otonomi daerah di tengah liberalisasi politik itu belum membawa perubahan politik yang berarti khususnya dalam mengendalikan praktek-praktek korupsi di daerah. Persepsi masyarakat terhadap partai politik di tengah era otonomi daerah-pun semakin negatif. Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2007 yang menganulir UU No. 32/2004 dan membuka peluang bagi calon independen dalam pilkada merupakan isu politik yang menarik.

1 Pendirian partai lokal hanya dimungkinkan bagi

(14)

[2]

Tulisan ini dimaksudkan mengkaji

dinamika hubungan eksekutif dan legislatif di daerah sejak liberalisasi politik 1999 serta menkaji peluang dan tantangan dengan dimungkinkannya calon independen bagi dinamika politik di daerah.

2. LATAR BELAKANG SEJARAH

Kebijakan desentralisasi yang juga sering digunakan secara silih berganti dengan istilah kebijakan otonomi daerah sesungguhnya bukan-lah kosa kata baru dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Sejumlah UU (Undang Undang) tentang pemerintahan daerah yang menjadi kerangka acuan bagi pelaksanaan kebijakan desentralisasi sejak Indonesia merdeka telah diperkenalkan serta mengalami beberapa kali perubahan. (Hoessein,

1996; Hidayat, 2005). Namun, kebijakan

desentralisasi yang diperkenalkan sejak 1999, yaitu dengan disahkan UU No. 22/1999 dan direvisi dengan UU No. 32/2004, merupakan isu kebijakan yang menarik. Pertama, kebijakan desentralisasi itu ditempuh di tengah perubahan politik dan tekanan demokratisasi. Kedua, implementasi kebijakan desentralisasi dalam satu dasawarsa terakhir ini telah membawa dampak yang luas bagi dinamika politik di daerah (politik lokal).

Desentralisasi merupakan konsep yang multi-dimensi. Secara umum, desentralisasi merupakan penyerahan kewenangan dan tanggung-jawab pemerintahan pusat (nasional) kepada hirarkhi pemerintahan yang lebih rendah. Dari dimensi administratif, konsep desentralisasi merupakan penyerahan kewewenang administratif dari hirarkhi pemerintahan yang lebih tinggi kepada hirarkhi

pemerintahan yang lebih rendah. Konsep

desentralisasi dari dimensi administratif diartikan sebagai “transfer of planning, decision-making, or administrative authority from central government to its field, local administrative unit, semi autonomous and parastatal organization, local government or non-government organizations” (Rondenelli sebagaimana dikutip dalam Hidayat, 2005). Desentralisasi juga dapat dilihat dari dimensi finansial yaitu transfer keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dari dimensi politik, desentralisasi merupakan penyerahan kekuasaan (devolution of power). Desentralisasi dari dimensi politik ini dapat diartikan sebagai ”transfer of power, from top level to lower level in a territorial hierarchy, which could be one government within a state or offices within a large organizations” (Smith sebagaimana dikutip dalam Hidayat, 2005). Setiap bentuk desentralisasi itu pada hakekatnya memiliki karakteristik yang berbeda dan karenanya, implikasi kebijakan yang berbeda pula.

Kebijakan desentralisasi yang

diimplementasikan di Indonesia selama kurun waktu yang panjang umumnya lebih sarat dengan muatan administratif. Kebijakan desentralisasi administratif

itu ditempuh melalui berbagai bentuk, seperti: dekonsentrasi dan pendelegasian. Dekonsentrasi merupakan pergeren pengambilan keputusan dalam pemerintahan yang sentralisitik. Sedangkan pendelegasian merupakan pengalihan tugas-tugas tertentu dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sementara pemerintah pusat masih memegang tanggung-jawab secara keseluruhan. Dari dimensi administratif, kebijakan desentralisasi (administrative) itu dimaksudkan mendorong efisieni dalam penyelenggaraan pemerintahan umum di daerah. Sehubungan dengan itu, kebijakan desentralisasi yang dipromosikan oleh pemerintah pusat dengan memberikan pengakuan terhadap otonomi daerah lebih sering dipandang sebagai „kewajiban daerah‟, yaitu kewajiban bagi pemerintah daerah untuk mensukseskan kebijakan atau program-program yang telah dirumuskan oleh pemerintah pusat.

Desentralisasi fiscal ditempuh untuk mengurangi kesenjangan fiscal, yaitu: (i) antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah atau yang disebut „vertical fiscal imbalance‟, dan (ii) antar daerah atau yang disebut „horizontal fiscal imbalance‟. Instrumen yang dikembangkan antara lain: (i) Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK), dan (ii) Dana Otonomi Khusus. Sedangkan desentralisasi yang sarat dengan muatan dimensi politik merupakan bentuk desentralisasi yang paling kompleks. Desentralisasi politik ini memberikan kekuasaan yang lebih besar bagi masyarakat daerah serta legislatif daerah dalam pengambilan keputusan. Desentralisasi politik ini pada hakekatnya dimaksdukan untuk mendekatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan serta mendorong keterlibatan masyarakat di daerah dalam proses politik. Dari perspektif daerah, Hidayat (2005: 5-7) mengidentifikasi tujuan desentralisasi sebagai (i) political equality yaitu membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di daerah dan mendorong mereka itu ikut serta dalam proses pengambilan kebijakan daerah, (ii) local accountibility yaitu meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam mewujudkan kesejahteraan sosial-ekonomi mereka dan (iii) local resposivenss yaitu meningkatkan kepekaan pemerintah daerah dalam mengidentifikasi tuntutan-tuntutan masyarakat daerah.

(15)

[3] yang sangat besar pengaruhnya terhadap substansi kebijakan desentralisasi. Bahkan, kebijakan desentralisasi tidak-lah pernah dirumuskan dalam ruang yang hampa politik (political vacuum). Selama masa regim Orde Baru, misalnya, peran negara yang besar (omni potent) serta luasnya jangkauan keterlibatan negara dalam berbagai aspek kehidupan sosial (omni present) sangat mewarnai karakteristik sistem pemerintahan yang dipilih, yaitu sistem pemerintahan yang sentralistik. Sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi instrumen stabilitas politik yang penting dan diperlukan sebagai pra-syarat bagi pembangunan ekonomi. Sistem pemerintahan yang sentralistik dan didukung oleh negara yang otoritarian dimana proses pengambilan keputusan hanya ditentukan oleh kalangan elit yang terbatas, yaitu pejabat-pejabat pemerintahan baik sipil dan militer, diperlukan untuk mendukung pembangunan ekonomi. Bahkan, selama periode itu, Indonesia mengalami kemajuan ekonomi yang menakjubkan (World Bank, 1993).

Ironisnya, kemajuan ekonomi yang

menakjubkan itu gagal dalam mendorong

demokrasi. Pengalaman sejumlah negara Asia Timur menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi merupakan faktor yang berperan penting dalam mendorong perubahan politik menuju transisi demoktasi. Kehadiran regim otoritarian awalnya dipandang diperlukan pada tahap awal pembangunan ekonomi Dunia Ketiga, yaitu untuk menghindari revolusi sosial. Namun, regim yang otoritarian itu sifatnya hanya sementara saja (Huntington, 1965) yaitu pada

saat awal pembangunan ekonomi dimana

pertumbuhan ekonomi diikuti oleh kesenjangan ekonomi. Regim otoritarian akan berakhir seiring dengan kemajuan ekonomi. Sebaliknya, pengalaman Indonesia menunjukkan bahwa kemajuan ekonomi justru memberikan legitimasi bagi kelangsungan otoritarian dan sistem pemerintahan yang sentralistik. Kemajuan ekonomi Indonesia tidak diiikuti oleh perubahan politik yang berarti dalam mendorong proses demokratisasi. Sebaliknya, kelangsungan otoritarian itu justru semakin menyuburkan praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Krisis ekonomi yang menghantam

Indonesia pada 1997 merupakan ’blessing in disguise’. Krisis ekonomi itu membawa dampak politik yang luas, yaitu melemahkan legitimasi regim otoritarian serta mengakhiri kekuasaan Presiden Soeharto 1998. Berakhirnya regim otoritarian membuka peluang bagi restrukturisasi sistem politik dan sistem pemrintahan sejak 1999. Pengesahan UU No. 22/1999 yang membuka peluang bagi devolution of power menjadi momentum penting bagi pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia.

3. DESENTRALISASI SEBAGAI INSTRUMEN DEMOKRASI

Kebijakan desentralisasi yang menentukan format hubungan pemerintah pusat dan daerah sangat dipengaruhi karakteristik struktur kekuasaan politik yang ada. Struktur kekuasaan yang dicirikan oleh peran negara yang besar (omni potent) dan intervensi negara yang luas dalam berbagai aspek

kehidupan sosial (omni present) sangat

mempengaruhi kelangsungan sistem pemerintahan yang sentralistik yang bertahan selama kurun waktu yang panjang di masa lalu. Dalam struktur kekuasaan yang dicirikan oleh dominasi peran negara, yang dikenal dengsn birokratik otoritarian, ko-optasi merupakan unsur yang penting dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Sehubungan dengan itu, format hubungan pusat–daerah dalam struktur kekuasaan yang otoritarian dan sentralistik itu menempatkan pemerintah daerah tidak lebih sebagai instrumen bagi pemerintah pusat dalam mengatur (baca: mengendalikan) kepentingan daerah.

Sistem pemerintahan yang sentralistik yang ditopang oleh struktur kekuasaan yang otoritarian itu membawa implikasi yang luas bagi dinamika politik di daerah. Pertama, konsep pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah tidak relevan. Kedua, Kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) tidak hanya sebagai administrator / kepala administratif wilayah tetapi juga merupakan kepanjangan tangan (derevasi) pemerintahan pusat yang ada di daerah. Nordholt dan Klinken (2007:15) menamakan kalangan administrator yaitu para Gubernur, Bupati/Walikota itu sebagai ”agen pemerintah pusat”. Mereka tidak bertanggung-jawab kepada lembaga legislatif (DPR-D). Gubernur bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri. Demikian pula, Bupati/Walikota

(16)

[4] No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah membawa dampak yang luas bagi hubungan pusat-daerah serta dinamika politik di daerah. Restrukturisasi sistem pemerintahan itu membawa sejumlah perubahan

yang menarik. Pertama, restrukturisasi

pemerintahan itu telah memungkinkan penyerahan sejumlah urusan administratif2 yang lebih besar kepada daerah. Bahkan, penyerahan sejumlah urusan administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu dijamin oleh dukungan transfer finansial dari pemerintah pusat. Ray dan

Goodpaster (2003) menggambarkan bahwa

pemerintah daerah dalam era pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 lebih merupakan ”mesin pembelanjaan”. Kedua, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas, tidak hanya dalam mengalokasikan transfer keuangan dari pemerintah pusat, tetapi juga dimungkinkan untuk memobilisasi, meskipun terbatas, untuk menggali sumber-sumber keuangan dalam membiayai anggaran belanja daerah (APBD). Ketiga, restrukturisasi pemerintahan juga merombak pola interaksi hubungan kekuasaan di

daerah. Restrukturisasi pemerintahan itu

memisahkan secara tegas antara kekuasaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam struktur pemerintahan daerah. Kepala daerah tidak lagi

diangkat dan diberhentikan oleh pejabat

pemerintahan berdasarkan struktur hirarkhis dalam birokrasi pemerintahan. Namun, kepala daerah dipilih dan bertanggung-jawab kepada DPR-D yang dipilih oleh rakyat dalam pemiihan umum yang demokratis. Kebijakan desentralisasi sebagaimana yang dirumuskan dalam UU No. 22/1999 memiliki dimensi politik yang kuat, dimana pemerintah pusat memberikan kekuasaan bagi daerah dalam menentukan sirkulasi elit kekuasaan di daerah. Kebijakan desentralisasi yang ditempuh di tengah liberalisasi politik itu karenanya sangat berbeda dengan kebijakan desentralisasi sebelumnya yang lebih menekankan pada dimensi administratif. Sehubungan dengan itu, UU No. 22/1999 dapat dipandang sebagai instrumen penting dalam mendorong pendalaman demokratisasi seiring dengan perubahan politik Indonesia sejak 1998.

Restrukturisasi pemerintahan di daerah yang berlangsung di tengah liberalisasi sistem pemilu dan kepartaian telah membawa perubahan politik yang luas bagi daerah. DPR-D memainkan peran serta pengaruh yang besar, termasuk dalam menghadapi kepala daerah. Bahkan, restrukturisasi pemerintahan itu telah memungkinkan pergeseran struktur kekuasaan dari pola yang sebelumnya dicirikan oleh dominasi kekuasaan eksekutif

2 Sejumlah urusan yang tetap dipertahankan oleh

pemerintah pusat yaitu: (i) agama, (ii) politik luar negeri, (iii) peradilan, (iv) keuangan dan moneter, serta (vi) pertahanan dan keamanan.

(executive heavy) menuju pola baru yang lebih dicirikan oleh dominasi kekuasaan legislatif (legislative heavy). Pergeseran struktur kekuasaan di daerah itu secara struktural dimungkinkan karena meningkatnya kewenangan yang dimiliki DPR-D. DPR-D tidak hanya memiliki hak untuk menyetujui RAPBD yang diajukan oleh pemerintah daerah. DPR-D juga memiliki hak untuk memilih kepala daerah serta meminta pertanggung-jawaban kepala daerah. Bahkan, DPR-D dapat mengajukan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden bila laporan pertanggung-jawaban kepala daerah itu secara berturut-turut dalam 2 (dua) tahun ditolak DPR-D. Dinamika perubahan politik di daerah memungkinkan DPR-D menjadi power block yang efektif dalam menghadapi lembaga eksekutif di daerah

Kebijakan desentralisasi sebagai instrumen demokratisasi dalam realisasinya dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan ruang politik bagi daerah tidak didukung oleh infra-struktur politik yang memadai dalam mengakomodasi kepentingan daerah. Liberalisasi politik memang membuka peluang bagi tumbuhnya partai-partai baru. Namun, liberalisasi politik itu tidak membuka peluang bagi tumbuhnya partai lokal. Bahkan, kebijakan desentralisasi yang mengakhiri sistem pemerintahan yang sentralistik itu justru diimbangi oleh menguatnya manajemen kepartaian yang sentralistik. Liberalisasi politik ini pula yang membuka peluang bagi elit-elit politik nasional untuk mengintervensi isu-isu yang berkembang di daerah. Bukan tidak mustahil bahwa persaingan elit politik di daerah sekaligus mencerminkan persaingan kepentingan di kalangan elit-elit politik nasional.

(17)

[5] besar (omni potent) dan intervensi negara yang luas dalam berbagai aspek kehidupan sosial (omni present) sangat mempengaruhi kelangsungan sistem pemerintahan yang sentralistik yang bertahan selama kurun waktu yang panjang di masa lalu. Dalam struktur kekuasaan yang dicirikan oleh dominasi peran negara, yang dikenal dengsn birokratik otoritarian, ko-optasi merupakan unsur yang penting dalam sistem pemerintahan yang sentralistik. Sehubungan dengan itu, format hubungan pusat– daerah dalam struktur kekuasaan yang otoritarian dan sentralistik itu menempatkan pemerintah daerah tidak lebih sebagai instrumen bagi pemerintah pusat dalam mengatur (baca: mengendalikan) kepentingan daerah.

Sistem pemerintahan yang sentralistik yang ditopang oleh struktur kekuasaan yang otoritarian itu membawa implikasi yang luas bagi dinamika politik di daerah. Pertama, konsep pemisahan kekuasaan antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam pemerintahan daerah tidak relevan. Kedua, Kepala daerah (Gubernur, Bupati/Walikota) tidak hanya sebagai administrator / kepala administratif wilayah tetapi juga merupakan kepanjangan tangan (derevasi) pemerintahan pusat yang ada di daerah. Nordholt dan Klinken (2007:15) menamakan kalangan administrator yaitu para Gubernur, Bupati/Walikota itu sebagai ”agen pemerintah pusat”. Mereka tidak bertanggung-jawab kepada lembaga legislatif (DPR-D). Gubernur bertanggung-jawab kepada Presiden melalui Menteri Dalam

Negeri. Demikian pula, Bupati/Walikota

bertanggung-jawab kepada Menteri Dalam Negeri melalui Gubernur. Ketiga, peran DPR-D sangatlah minimal, yaitu hanya sebatas memberikan legitimasi terhadap kebijakan-kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah daerah. Oleh sebab itu proses rekruitmen politik terhadap keanggotaan DPR-D selalu menjadi subyek kepentingan intervensi pemerintah (pusat). Pemilihan umum selama regim Orde Baru selalu menempatkan Golkar sebagai mesin politik utama regim Orde Baru dan menguasai mayoritas kursi DPR-D di hampr sebagian besar wilayah di Indonesai. Kelangsungan dan stabilitas sistem pemerintahan yang sentralistik itu juga ditopang oleh menguatnya sistem kepartaian yang hegemonik. Sistem pemerintahan yang sentralistik itu tidak lagi dipertahankan seiring dengan tekanan demokrasi yang mengakhiri struktur kekuasaan yang otoritarian pada 1998. Restrukturisasi sistem pemerintahan yang ditempuh melalui pengesahan UU No. 22/1999 tentang Otonomi Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintahan Pusat dan Daerah membawa dampak yang luas bagi hubungan pusat-daerah serta dinamika politik di daerah. Restrukturisasi sistem pemerintahan itu membawa sejumlah perubahan

yang menarik. Pertama, restrukturisasi

pemerintahan itu telah memungkinkan penyerahan

sejumlah urusan administratif3 yang lebih besar kepada daerah. Bahkan, penyerahan sejumlah urusan administratif dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu dijamin oleh dukungan transfer finansial dari pemerintah pusat. Ray dan

Goodpaster (2003) menggambarkan bahwa

pemerintah daerah dalam era pelaksanaan otonomi daerah sejak 2001 lebih merupakan ”mesin pembelanjaan”. Kedua, pemerintah daerah memiliki kewenangan yang lebih luas, tidak hanya dalam mengalokasikan transfer keuangan dari pemerintah pusat, tetapi juga dimungkinkan untuk memobilisasi, meskipun terbatas, untuk menggali sumber-sumber keuangan dalam membiayai anggaran belanja daerah (APBD). Ketiga, restrukturisasi pemerintahan juga merombak pola interaksi hubungan kekuasaan di daerah. Restrukturisasi pemerintahan itu memisahkan secara tegas antara kekuasaan lembaga eksekutif dan lembaga legislatif dalam struktur pemerintahan daerah. Kepala daerah tidak lagi diangkat dan diberhentikan oleh pejabat pemerintahan berdasarkan struktur hirarkhis dalam birokrasi pemerintahan. Namun, kepala daerah dipilih dan bertanggung-jawab kepada DPR-D yang dipilih oleh rakyat dalam pemiihan umum yang demokratis. Kebijakan desentralisasi sebagaimana yang dirumuskan dalam UU No. 22/1999 memiliki dimensi politik yang kuat, dimana pemerintah pusat memberikan kekuasaan bagi daerah dalam menentukan sirkulasi elit kekuasaan di daerah. Kebijakan desentralisasi yang ditempuh di tengah liberalisasi politik itu karenanya sangat berbeda dengan kebijakan desentralisasi sebelumnya yang lebih menekankan pada dimensi administratif. Sehubungan dengan itu, UU No. 22/1999 dapat dipandang sebagai instrumen penting dalam mendorong pendalaman demokratisasi seiring dengan perubahan politik Indonesia sejak 1998.

Restrukturisasi pemerintahan di daerah yang berlangsung di tengah liberalisasi sistem pemilu dan kepartaian telah membawa perubahan politik yang luas bagi daerah. DPR-D memainkan peran serta pengaruh yang besar, termasuk dalam menghadapi kepala daerah. Bahkan, restrukturisasi pemerintahan itu telah memungkinkan pergeseran struktur kekuasaan dari pola yang sebelumnya dicirikan oleh dominasi kekuasaan eksekutif (executive heavy) menuju pola baru yang lebih dicirikan oleh dominasi kekuasaan legislatif (legislative heavy). Pergeseran struktur kekuasaan di daerah itu secara struktural dimungkinkan karena meningkatnya kewenangan yang dimiliki DPR-D. DPR-D tidak hanya memiliki hak untuk menyetujui RAPBD yang diajukan oleh pemerintah daerah.

3 Sejumlah urusan yang tetap dipertahankan oleh

(18)

[6] DPR-D juga memiliki hak untuk memilih kepala daerah serta meminta pertanggung-jawaban kepala daerah. Bahkan, DPR-D dapat mengajukan pemberhentian kepala daerah kepada Presiden bila laporan pertanggung-jawaban kepala daerah itu secara berturut-turut dalam 2 (dua) tahun ditolak DPR-D. Dinamika perubahan politik di daerah memungkinkan DPR-D menjadi power block yang efektif dalam menghadapi lembaga eksekutif di daerah

Kebijakan desentralisasi sebagai instrumen demokratisasi dalam realisasinya dihadapkan pada sejumlah tantangan. Pertama, pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan ruang politik bagi daerah tidak didukung oleh infra-struktur politik yang memadai dalam mengakomodasi kepentingan daerah. Liberalisasi politik memang membuka peluang bagi tumbuhnya partai-partai baru. Namun, liberalisasi politik itu tidak membuka peluang bagi tumbuhnya partai lokal. Bahkan, kebijakan desentralisasi yang mengakhiri sistem pemerintahan yang sentralistik itu justru diimbangi oleh menguatnya manajemen kepartaian yang sentralistik. Liberalisasi politik ini pula yang membuka peluang bagi elit-elit politik nasional untuk mengintervensi isu-isu yang berkembang di daerah. Bukan tidak mustahil bahwa persaingan elit politik di daerah sekaligus mencerminkan persaingan kepentingan di kalangan elit-elit politik nasional.

Kedua, restrukturisasi sistem pemerintahan yang telah menempatkan DPR-D sebagai institusi politik yang demikian penting di daerah tidak didukung oleh mekanisme politik yang efektif untuk menuntut pertanggung-jawaban DPR-D kepada publik. Dinamika politik di daerah seiring dengan

pelaksanaan otonomi daerah diikuti oleh

meningkatnya konflik di kalangan elit politik di daerah, khususnya antara kepala daerah dan DPR-D. Konflik antara kepala daerah dan DPR-D itu dipicu oleh berbagai sumber, seperti: kebijakan kepala daerah hingga pertanggung-jawaban kepala daerah. Ironisnya, kewenangan DPR-D yang besar itu tanpa didukung oleh mekanisme pertanggung-jawaban yang efektif justru membuka peluang bagi praktek-praktek penyalah-gunaan kekuasaan di daerah. Fenomena praktek-praktek korupsi politik justru semakin meluas di berbagai daerah seiring dengan pelaksanaan desentralisasi.

4. PEMILIHAN KEPALA DAERAH

Kewenangan DPR-D yang besar, sebagaimana diformulasikan oleh UU No. 22/1999, tanpa didukung oleh mekanisme pertanggung-jawaban publik yang efektif sangat-lah rentan terhadap praktek-praktek kekuatan politik uang. Pengesahan UU 32/2004 yang merupakan revisi terhadap UU No. 22/1999 merupakan respon terhadap ekses negatif kewenangan DPR-D yang disalah-gunakan. UU 32/2004 memberikan peluang bagi pemilihan

kepala daerah secara langsung. Pemilihan kepala daerah secara langsung memang mempersempit

peluang praktek-praktek kekuatan uang

dibandingkan dengan pemilihan kepala daerah yang dilakukan oleh kalangan yang sangat terbatas, seperti DPR-D yang jumlahnya rata-rata 45 orang. Pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada) memang bukan jaminan akan membebaskan praktek-praktek politik kekuatan uang. Pemilihan kepala daerah secara langsung juga memiliki kelebihan atau kekuatan yaitu memperkuat legitimasi dan meningkatkan akuntabilitas kepala daerah.

Perubahan politik seiring dengan

pelaksanaan otonomi daerah dan liberalisasi politik semakin membuka peluang bagi persaingan politik di daerah. Anggota DPR-D dan Kepala Daerah kini dipilih secara langsung oleh rakyat. Satu hal yang menarik dari pilkada adalah bahwa partai politik memainkan peran yang penting dalam proses pencalonan pasangan kepala daerah. Pasal 59, ayat (1) UU 32/2004 menegaskan bahwa ”peserta kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon yang diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Dari ketentuan itu semakin jelas bahwa partai politik merupakan satu-satunya kendaraan politik untuk menuju tampuk kekuasaan menjadi kepala daerah. Ironisnya, pelaksanaan pilkada tidak didukung oleh proses pemilu yang demokratis. Praktek-praktek kekuatan politik uang (money politics) masih juga menyertai pelaksanaan pilkada di sejumlah daerah. Bahkan, partai-partai yang telah mapan berkepentingan untuk membatasi persaingan dalam pilkada. Mereka diuntungkan oleh ketentuan Pasal 59, ayat (2) yang menegaskan bahwa ”partai atau gabungan partai politik yang meraih sekurang-kurangnya 15 persen kursi DPR-D atau 15 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilu DPR-D yang berhak mengajukan pasangan calon dalam pilkada”.

(19)

[7] pemilihan umum, yaitu: (i) pembelian suara (vote buying), pembelian kursi (candidacy buying), (iii)

manipulasi pendanaan kampanye (abusive

donation), dan (iv) manipulasi perolehan suara (administrative electoral corruption). Proses pencalonan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dilakukan oleh partai atau gabungan partai politik membuka peluang bagi suburnya ‟pembelian tiket‟ (candidacy buying) untuk dinominasikan oleh partai atau gabungan partai tersebut dalam pilkada. Sehubungan dengan itu, memperjuangkan kepentingan sosial siapakan partai itu – merupakan pertanyaan yang besar di tengah perubahan politik dewasa ini.

Keputusan Mahkamah Konstitusi No. 5/PUU-V/2007 yang menganulir UU 32/2004 membuka peluang bagi calon perorangan dalam

pilkada. Gagasan dimungkinkannya calon

perorangan atau calon independen dalam pilkada merupakan respons terhadap hegemoni partai dalam proses pencalonan kepala daerah. UU No. 12/2008 tentang Pemilihan Umum menjamin calon independen untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Namun, pilkada yang membuka peluang bagi calon indepen itu tidaklah cukup dalam mendorong demokratisasi, tanpa didukung oleh perubahan dalam sistem kepartaian dan sistem pemilu. Bahkan, di tengah fragmentasi kekuatan-kekuatan politik di parlemen, calon independen yang terpilih hanya akan menghasilkan “minority government”, yaitu kepala daerah yang memiliki legitimasi politik yang tinggi karena terpilih dengan suara terbanyak dalam pilkada tetapi tidak memiliki dukungan politik yang kuat dalam DPR-D.

5. PENUTUP

Salah satu fenomena menarik yang menyertai perubahan politik sejak 1998 adalah komitmen politik untuk melakukan restrukturisasi sistem perintahan yang sentralistik. Kebijakan desentralisasi yang ditempuh melalui pengesahan UU No 22/199 dan 25/1999 memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih besar bagi daerah. Bahkan, kebijakan desentralisasi yang baru itu berbeda dengan kebijakan desentralisasi sebelumnya yang hanya menekankan pada aspek administrasi, yaitu meningkatkan efisiensi pelayanan publik. Sebaliknya, kebijakan desentralisasi yang baru itu memberikan kewenangan politik bagi daerah, aspek yang tidak pernah diberikan pada kebijakan desentralisasi sebelumnya. Dengan demikian, kebijakan desentralisasi yang baru itu merupakani instrument penting bagi pendalaman demokratisasi di Indonesia.

Desentralisasi politik telah membawa dampak yang menarik bagi perubahan dan dinamika politik di daerah. Pemilihan kepala daerah tidak lagi menjadi subyek intervensi pemerintah pusat.

Bahkan, Kepala daerah dan DPR-D kini dipilih secara langsung oleh masyarakat melalui proses pemilu yang lebih demokratis. Kebijakan desentralisasi telah membuka proses rekruitmen politik di daerah yang semakin terbuka bagi partisipasi masyarakat. Liberalisasi politik merupakan faktor yang besar pengaruhnya bagi pelaksanaan desentralisasi, yaitu membuka persaingan politik di daerah. Bahkan, partai politik memainkan peran sentral dalam proses rekruitmen politik di daerah. Namun, perubahan politik itu belum mampu mendorong penguatan bagi demokrasi lokal.

Pertama, liberalisasi politik memang telah membuka peluang bagi tumbuhnya partai-partai politik baru. Ironisnya, restrukturisasi sistem pemerintahan yang sentralistik di tengah liberalisasi politik itu justru diikuti oleh menguatnya pengelolaan sistem kepartaian yang sentralistik. Sistem kepartaian yang sentralistik itu hanya membuka peluang bagi intervensi elit-elit politik nasional dan karenanya tidak menguntungkan bagi kepentingan daerah. Kedua, desentralisasi politik sebagai instrument demokratisasi tidak didukung oleh kapasitas politik yang kuat. Proses konsolidasi demokrasi selalu menuntut peran partai dalam menyerderhanakan konflik serta mengartikulasikan kepentingan-kepentingan yang berkembang dalam masyarakat. Dalam realitas, partai justru seringkali menjadi sumber konflik. Bahkan, partai telah gagal

dalam membawakan aspirasi konstituen,

sebagaimana tercermin dari maraknya fenomena praktek-praktek korupsi politik di daerah seiring dengan pelaksanaan otonomi daerah. Bukan tidak mustahil, partai hanya menjadi instrument elit-elit politik, termasuk elit poltik nasional dalam memperjuangkan kepentingan politik mereka di daerah

Pemilihan kepala daerah yang membuka kemungkinkan bagi calon independen (perorangan), merupakan gagasan yang dapat memperkuat pelembagaan demokrasi. Namun, pelembagaan pilkada perorangan itu kiranya juga perlu didukung oleh restrukturisasi sistem pemilu dalam mendorong akuntabilitas partai. Tanpa didukung restrukturisasi sistem kepartaian, kemenangan calon independen dalam pilkada hanya akan menghasilkan ‟minority government‟ yang membuat kompleksitas pelaksanaan pemerintahan di daerah. Di samping itu, pelembagaan partai politik local juga dapat menjadi

alternatif dalam mendorong penguatan

demokratisasi lokal seiring dengan desentralisasi politik.

PUSTAKA

(20)

[8] Tahun Indonesia Merdeka, diselenggarakan oleh Harian Kompas, 22 Juli.

Hoessein, Benyamin (1996), “Memutar Roda Desentralisasi: Dari Effisiensi ke Demokras”, Prisma (4), April

Masduki, Teten, (2005) “Politik Uang dalam Pilkada Langsung?”, Paper yang dipresentasikan dalam Seminar Nasional Menyambut Pilkada Langsung yang Demokratis, Bersih tanpa Politik Uang, diselenggarakan di Pacitan, 20 Januari.

Mietzner, Marcus, (2007), ”Party Financing in Post -Soeharto Indonesia: Between State Subsidies and Political Corruption”, Contemporary Southeast Asia: A Journal of International and Strategic Affars, Vol. (29), Number 2.

Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken eds., (2007), Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

World Bank (1993), The East Asian Miracle, Washington DC: Oxford University Press.

Biodata Penulis

(21)

[9]

APLIKASI PRINSIP-PRINSIP RIA DALAM PROSES FORMULASI

PERATURAN DAERAH

Kristian Widya Wicaksana, M.Si. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik – Untirta

Serang, Banten

E-mail: widyawicaksana@yahoo.com

ABSTRAK

One of the implementations of good governance can reflected in the capability of Pemda in producing good regulations. In public administration science, such capability is often referred to as good regulatory governance. This means that people as taxpayers deserve quality service from local government, one of them is through local regulation that benefits the people. It is because of this that we need to idetify some effective guidelines that could direct local government in issuing regulations. One of the guidelines is called Regulation Impact Assessment (RIA). RIA is a policy evaluation tool that would systematically assess the positive and negative influence of a particular policy being curently proposed (Asian Development Bank, 2003). RIA has several principles, among others are Principle of Neutrality in Competition, Principle of Effective Minimum Regulatory Needs, Principle of Participation and Transparancy, and Principle of Budget-Interest Effectiveness.

Key words: Governance, Regulation and Democracy

PENDAHULUAN

Sebagaimana yang kita ketahui bersama bahwa setelah otonomi daerah resmi dilaksanakan pada tahun 2001 melalui UU No. 22 Tahun 1999 Jo. UU 32 Tahun 2004, pemerintah daerah menjadi ujung tombak dalam melaksanakan pelayanan publik. Dalam tulisan Ripley (1982) dinyatakan bahwa Street Level Bureaucracy atau birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat perlu untuk diberi keleluasaan kewenangan (otonomi) agar mampu menjawab kebutuhan daerah lokal yang terus menerus membuncah. Oleh karenanya, kita

dapat melihat bagaimana tuntutan untuk

menjalankan pemerintahan yang bersih dan berwibawa (good governance) justeru semakin besar ditujukan pada pemerintah daerah. Salah satu wujud pelaksanaan Good Governance adalah kapabilitas Pemda dalam menghasilkan regulasi yang mampu

menjawab kebutuhan publik. Dalam ilmu

Administrasi Publik, kapabilitas tersebut dinamakan sebagai Good Regulatory Governance. Artinya, masyarakat dan pelaku bisnis sebagai pembayar pajak (tax payer) berhak memperoleh layanan yang optimal dari Pemda, salah satunya adalah melalui regulasi yang dapat mendatangkan kesejahteraan bagi mereka. Dengan demikian, perlu diidentifikasi seperangkat rambu-rambu yang efektif untuk memberi batasan bagi Pemda dalam menerbitkan suatu regulasi, sehingga regulasi yang dihasilkan benar-benat akurat untuk menjawab kebutuhan masyarakat dan pelaku pasar.

Rambu-rambu tersebut salah satunya adalah Regulation Impact Assesment (RIA). RIA merupakan piranti evaluasi yang bertujuan menilai secara sistematis pengaruh negatif dan positif dari

suatu kebijakan yang sedang diusulkan ataupun yang sedang berjalan (Asian Development Bank, 2003).

Masalah yang seringkali dihadapi dalam

Implementasi Otonomi Daerah adalah sulitnya

menyusun Peraturan Daerah yang dapat

mengakomodir kepentingan masyarakat dan

sekaligus tidak bertentangan dengan regulasi lainnya yang telah diterbitkan sebelumnya. Data yang dihimpun melalui Departemen Dalam Negeri per-bulan Maret 2005 menyebutkan bahwa dari 4.564 Peraturan Daerah yang dilaporkan kepada Departemen Dalam Negeri RI, diidentifikasi 1.835 Perda diantaranya dikategorikan bermasalah karena mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, melemahkan daya saing komoditas daerah dan sebagian bertentangan dengan Undang-undang, Peraturan Pemerintah serta kebijakan menteri terkait. Misalnya, pada tanggal 23 Febuari 2006 yang lalu,

Menteri Keuangan RI merekomendasikan

pembatalan Peraturan Daerah Nomor 18 Tahun 2001 tentang Retribusi Pelayanan Penyelenggaraan Koperasi yang dikeluarkan Pemerintah Daerah Kabupaten Garut, Jawa Barat. Peraturan daerah ini dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Koperasi Nomor 25 Tahun 1992 dan mengganggu kepentingan umum karena tidak menciptakan iklim kondusif bagi usaha perkoperasian (Kompas, 1 Maret 2005).

(22)

[10] oleh Perda Kabupaten Blitar, Bondowoso, Magetan, Pasuruan, dan Probolinggo tentang retribusi kartu ternak. Hal ini menunjukkan bahwa masih terdapat masalah yang fundamental dalam tubuh Pemerintah Daerah dalam hal memformasikan kebijakan.

Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa lemahnya formulasi regulasi di tingkat daerah juga merupakan cerminan buruknya formulasi kebijakan di tingkat pusat, misalnya pertentangan antara Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah dengan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dimana pada Undang-undang otonomi daerah dinyatakan bahwa

pengurusan kehutanan diserahkan kepada

Pemerintah Daerah sedangkan dalam Undang-Undang Kehutanan disebutkan bahwa kewenangan wilayah pengelolaan kehutanan masih diurus oleh sejumlah instansi vertikal. Hal ini ternyata berdampak buruk di lapangan, misalnya di Jawa Barat, upaya Pemda Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Kehutanan untuk melakukan Rehabilitasi Hutan dan Lahan menjadi terhambat akibat hutan dan lahan kritis yang hendak direhabilitasi berada dalam wilayah kewenangan pengelolaan Perhutani dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Yang kemudian menjadi ironis adalah waktu penerbitan kedua Undang-Undang tersebut (UU No. 41 dan UU No. 22) dilakukan pada tahun yang sama.

Desain kebijakan otonomi daerah juga hingga saat pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 mengindikasikan defisit otonomi daerah dimana masih ada sinyalemen yang menunjukkan upaya resentralisiasi. Dukungan pemerintah pusat agar daerah dapat menjalankan otonominya secara optimal masih nampak kurang optimal hal ini diindikasikan dari sejumlah pajak strategis yang masih dikelola oleh pusat. Oleh karenanya, kapasitas anggaran daerah tidak memungkinkan untuk menyelenggarakan otonomi daerah terutama dalam hal penyediaan barang dan layanan publik bagi masyarakat di daerah mengingat masih terbatasnya kemampuan daerah untuk memperoleh penghasilan dari sumber-sumber yang

sesuai dengan aturan perundang-undangan.

Akhirnya daerah masih saja tergantung pada Pemerintah Pusat melalui Block Grant dan Specific Grant yang tentunya memberatkan APBN. Apalagi pasca bergulirnya PP 129 Tahun 2000 yang mengatur pemekaran wilayah, tentunya semakin banyak pula daerah yang harus memperoleh porsi Block Grant dan Specific Grant.

Namun demikian, demi untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat maka kebijakan otonomi daerah harus tetap dipertahankan meskipun ke depannya perlu dilakukan reformulasi kebijakan agar sasaran otonomi daerah dapat tercapai secara akurat. Hal ini juga dimaksudkan

untuk membangun keseimbangan pembangunan di berbagai daerah di Indonesia sehingga keutuhan Indonesia sebagai negara kesatuan dapat tetap terjaga. Selain itu, sebagaimana yang dikemukakan oleh Amartya Sen dalam bukunya Development As Freedom bahwa negara perlu menciptakan kesempatan sosial bagi warganegaranya sehingga memungkinkan bagi mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Salah satu upaya menciptakan kesempatan sosial tersebut adalah membuka akses layanan yang lebih mudah dijangkau oleh masyarakat. Maka dari itu, otonomi daerah sebagai upaya untuk mendekatkan layanan pemerintah kepada publik perlu untuk dipertahankan, dengan asumsi bahwa akan lebih banyak kesempatan sosial yang dapat diciptakan oleh negara bagi warganya melalui otonomi daerah.

Berangkat dari argumen tersebut maka untuk menciptakan otonomi daerah yang sesuai dengan ontologinya perlu dilakukan pemberdayaan terhadap Pemda dalam memformulasi kebijakan. Regulation Impact Asssesment (RIA) menjadi salah satu resep metodologis yang dapat memberikan

sejumlah argumen yang plausibel untuk

menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan dan mendukung bagi suatu regulasi daerah. Hal ini juga dapat mengefesienkan waktu konsultasi antara pihak Pemda dengan pihak Departemen Dalam Negeri sehingga penyediaan regulasi untuk merespon kebutuhan publik menjadi lebih cepat tersaji.

RIA memiliki empat prinsip pokok diantaranya adalah: Prinsip Netralitas dalam Persaingan, Prinsip Kebutuhan Regulasi Minimum yang Efektif, Prinsip Partisipasi Transparansi dan Prinsip Efektivitas Biaya-Keuntungan.

PRINSIP NETRALITAS DALAM

PERSAINGAN

Prinsip Netralitas dalam Persaingan dilandasi pandangan yang menyatakan bahwa pasar yang bebas dari intervensi pemerintah memberikan hasil yang terbaik bagi konsumen dan produsen dibandingkan pasar yang diatur oleh mekanisme kebijakan pemerintah. Asumsi seperti ini telah ada sejak awal abad ke-19 dimana para scholars ekonomi-politik menggagas bahwa konsep pasar

(market) merupakan konsep yang dapat

(23)

[11] adalah melalui penggunaan kekuatan pasar. Berfungsinya kebebasan (freedom) dan kebebasan individu dalam mengambil pilihan bisa memenuhi kepentingan individu sekaligus meningkatkan ketersediaan barang publik dan kesejahteraan publik. Oleh karenanya, peran negara dan politik adalah sebatas menciptakan kondisi dimana kepentingan publik dapat terjamin. Konsekuensinya bahwa pemerintah sebaiknya tidak terlalu banyak ikut campur tangan dalam pasar. Namun demikian, bukan berarti pemerintah tidak terlibat dalam penyediaan fasilitas publik. Dalam hal ini yang menjadi pembatas penting bagi peran pemerintah adalah kebebasan ekonomi. Habermas berhipotesis bahwa kepentingan publik akan terlayani dengan baik apabila kepentingan kebebasan ekonomi dan pasar difasilitasi oleh negara, bukannya dibatasi oleh negara. Pendapat ini mengasumsikan bahwa ketertiban merupakan hasil spontan dari pilihan privat. Oleh karenanya, intervensi publik dipersilahkan saja sepanjang mampu menjamin penegakkan hukum, menjamin hak-hak asasi dan ketertiban. Akan tetapi, sebaliknya, intervensi sama sekali tidak diperkenankan untuk mencampuri equilibrium alami yang muncul dari swa kepentingan (self interest). Oleh karenanya, konsep ini disebut dengan utilitarianisme, yakni memaksimalkan nilai kegunaan bagi individu. Pada dasarnya kosep utilitarian yang ditawarkan Habermas tersebut bersandar pada gagasan liberalisme yang dapat kita temui pula dalam karya lama milik Adam Smith, The Wealth Of Nation (1776).

Arah berpikir seperti ini merupakan konsekuensi atas dominasi pemikiran ekonom

neoklasik terhadap pemikiran ekonom

neomerkantilis yang lebih menekankan pada upaya-upaya pemerintah untuk mengarahkan agar ekonomi dapat berjalan lebih baik dibandingkan pasar. Keberhasilan para pemikir ekonomi neoklasik terletak pada kemampuan mereka menjelaskan hakikat pasar dan uang. Sebab, bagaimanapun pasar secara faktual merupakan peletak sumberdaya yang efesien dan memberikan kebebasan bagi dorongan

kepentingan pribadi untuk meningkatkan

pertumbuhan. Dan hal ini didukung pula oleh teori kebutuhan manusia yang dikembangkan Abraham Maslow yang menyatakan bahwa manusia salah satu kebutuhan manusia adalah aktualisasi diri yakni dorongan untuk menjadi sesuatu yang dia inginkan termasuk pertumbuhan, mengembangkan potensi diri serta menggapai cita-citanya. Sehingga pembatasan yang berlebihan justeru akan semakin memenjarakan manusia dan berpotensi untuk menciptakan pemberontakan.

Oleh karenanya, Pemda sebaiknya tidak menerbitkan regulasi-regulasi yang dapat membatasi proses aktulisasi diri tersebut. Pemda dapat menerbitkan suatu regulasi apabila masyarakat dan

produsen yang terlibat dalam mekanisme pasar memintanya dan dengan catatan bahwa intervensi tersebut harus diarahkan untuk menciptakan suasana yang lebih kondusif bagi pasar. Sebab, tidak tertutup kemungkinan bahwa beberapa regulasi yang diterbitkan Pemda dapat mengganggu netralitas. Contohnya beberapa Pemda yang memberlakukan regulasi non-tariff barrier terhadap produk-produk yang didatangkan dari luar wilayah mereka dalam bentuk karantina. Regulasi seperti ini jelas merugikan bagi pengusaha yang berasal dari luar daerah dan menutup peluang pengusaha luar daerah untuk bersaing dengan pengusaha lokal.

Keluhan terhadap Perda-Perda yang tidak kondusif bagi iklim usaha di daerah sudah lama bermunculan, akan tetapi hanya segelintir yang ditanggapi oleh pemerintah sesuai harapan pelaku bisnis. Dari ribuan perda yang dimintakan untuk dibatalkan, hanya sedikit yang akhirnya dicabut atau dibatalkan. Bahkan, jika ada keputusan pemerintah pusat untuk mencabut perda bermasalah tersebut, yang terjadi di lapangan belum tentu konsisten sebagai akibat lemahnya jangkauan pengawasan pemerintah pusat.

Beberapa contoh Perda sebagaimana yang diuraikan dalam Kompas edisi 1 April 2006 yang dinilai memberatkan dunia usaha diantaranya adalah pungutan pada sektor perkebunan. Pungutan ini bermacam-macam, mulai dari pungutan yang dikenakan pada obyek volume produksi dan distribusi perkebunan hingga pungutan terhadap penggunaan tenaga listrik. Misalnya Perda Nomor 10 Tahun 2002 tentang Retribusi Hasil Produksi Usaha Perkebunan yang diterbitkan oleh Kabupaten Kotabaru, Provinsi Kalimantan Selatan. Perda ini mengenakan pungutan retribusi (kategori jasa umum) pada obyek pajak hasil produksi bidang perkebunan. Besarnya Rp 2 per kilogram minyak sawit mentah (CPO), 2 persen dari harga jual untuk kelapa, tebu, kopi, lada, dan lain-lain, serta 0,25 persen dari harga jual untuk benih atau bibit yang dijual keluar daerah.

(24)

[12] yang sama sudah terkena pungutan pajak dari pemerintah pusat.

Sedangkan contoh pungutan atas komoditas perkebunan yang dikaitkan dengan distribusi antara lain Perda No 15/2002 tentang Retribusi Lalu Lintas Hasil Hutan dan Perkebunan yang dikeluarkan Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Perda ini mengenakan pungutan retribusi atas obyek hasil perkebunan, seperti TBS sawit, getah pohon karet, CPO, kernel, limbah CPO, bibit sawit, dan bibit karet yang diangkut ke dan dari wilayah Kabupaten Indragiri Hulu serta melintasi wilayah Kabupaten Indragiri Hulu. Pengenaan tarif dilakukan berdasarkan tarif rupiah tertentu terhadap unit ukuran tertentu. Misalnya, Rp 100 untuk setiap batang bibit kelapa sawit atau Rp 1 per kilogram TBS.

Contoh lainnya adalah Perda No 25/2001 tentang Pajak Komoditi yang diterapkan oleh Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. Berdasarkan perda ini, berbagai jenis komoditas yang keluar dari Kabupaten Tolitoli (termasuk 12 jenis hasil perkebunan) dikenai tarif pungutan 1-5 persen dari harga jual produk yang berlaku di daerah tersebut.

Pungutan-pungutan seperti ini, jelas melanggar prinsip free internal trade (perdagangan bebas dalam negeri) dan menambah biaya komoditas sehingga berpotensi menurunkan daya saing produk bersangkutan di pasaran. Alhasil pengusaha berpotensi untuk merugi karena harga jual komoditi mereka tentunya harus dinaikkan untuk menutupi kebutuhan produksi.

Dengan demikian, sebaiknya Pemda berperan sebagai pengawas (watch dog) terhadap berbagai konfigurasi interaksi yang terjadi antara produsen dan konsumen dalam mekanisme pasar. Dalam perspektif leftis, peran pemerintah sebagai pengawas diintepretasikan sebagai pelindung atau “anjing penjaga” bagi para pemilik modal. Namun, pada dasarnya peran pemerintah sebagai pengawas adalah memantau mekanisme pasar agar tetap berjalan secara netral dan natural. Artinya, Pemda memberikan kesempatan yang sama luasnya kepada semua aktor yang terlibat dalam mekanisme pasar untuk melakukan aktivitasnya tanpa berpihak pada salah satu aktor manapun.

PRINSIP KEBUTUHAN REGULASI

MINIMUM YANG EFEKTIF

Prinsip Kebutuhan Regulasi Minimum yang Efektif menekankan bahwa pemerintah sebaiknya hanya mengeluarkan regulasi untuk hal-hal yang memang tidak dapat dicapai dengan cara lain selain menerbitkan regulasi. Dan penerbitan regulasi dilakukan untuk kepentingan menjamin “iklim peraturan” yang kondusif. Apabila masalah dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar dan

secara sukarela, maka regulasi tidak perlu diterbitkan.

Sedangkan bila pemerintah menerbitkan suatu regulasi maka pemerintah harus memilih regulasi yang menimbulkan beban paling sedikit bagi masyarakat. Artinya, pemerintah hanya bertindak jika ada masalah yang harus dipecahkan, atau jika tidak ada alternatif non regulasi yang

tersedia untuk memecahkan masalah atau

berdasarkan analisis cost-benefit bahwa peraturan yang akan diterbitkan merupakan cara pemecahan masalah yang terbaik.

Indonesia menjadi contoh kasus yang menarik untuk meninjau penerapan prinsip kebutuhan regulasi minimum yang efektif sebab di era otonomi daerah banyak Pemda yang menerbitkan Perda-Perda bermasalah. Kemunculan peraturan-peraturan daerah di Indonesia umunya dilatari keinginan untuk menggali pendapatan asli

daerah (PAD) sebesar-besarnya. Namun,

implikasinya hal ini menjadi sumber ekonomi biaya tinggi bagi para investor dan pelaku usaha di daerah sehingga menyebabkan penerbitan regulasi tersebut justru tidak menjawab prinsip kebutuhan regulasi minimum yang efektif. Bagi pengusaha, perda menjadi kendala paling mengganggu, yang lebih menjengkelkan dibandingkan hambatan-hambatan investasi lain, seperti masalah perizinan usaha, ketenagakerjaan, atau masalah lingkungan.

Misalnya, Perda No 29 tahun 2000 tentang

Sumbangan Wajib Perusahaan Perkebunan

Negara/Daerah dan Perusahaan Perkebunan Swasta, yang dikeluarkan oleh Kabupaten Asahan, Provinsi Sumatera Utara. Perda ini memungut sumbangan sebesar Rp 10 per kilogram untuk komoditas karet, Rp 5 untuk cokelat, dan Rp 3 untuk TBS sawit. Contoh lainnya adala Surat Keputusan (SK) DPRD Temanggung Nomor 67/Pimp/VII/2004 tanggal 3 Agustus 2004 dan Keputusan Bupati No 525.2/213 Tahun 2004 tentang Sumbangan Masyarakat Pertembakauan disebutkan, setiap orang atau badan yang mengangkut daun tembakau dengan kendaraan bak terbuka bertonase sampai satu ton dan masuk ke wilayah Temanggung dikenai retribusi sebesar Rp 750.000. Adapun kendaraan bertonase dua ton dikenai Rp 800.000, truk bertonase tiga ton dikutip Rp 1 juta, dan yang bertonase 6 ton dikutip Rp 1,5 juta. (Kompas, 1 April 2006)

Itu berarti biaya-biaya pungutan melalui perda ini sudah pada taraf mengganggu efisiensi produksi. Sejumlah kalangan meyakini bahwa ada sinyalemen, otonomi daerah hanya memindahkan sebagian praktik korupsi dan pemerasan dari pusat ke daerah.

(25)

[13] daerah untuk mengejar pendapatan asli daerah sehingga mengabaikan kepentingan jangka panjang pembangunan daerah tersebut.

PRINSIP PARTISIPASI TRANSPARANSI Prinsip partisipasi tranparansi merupakan cerminan budaya demokratis yang menekankan bahwa proses perumusan sebuah regulasi harus memperhatikan aspirasi masyarakat. Sebab, regulasi yang dirumuskan melalui proses yang transparan dan partisipatif akan lebih efektif memperoleh dukungan dari stakeholder dibandingkan dengan regulasi yang dihasilkan dari teori otonomi negara ataupun teori koalisi dan kepentingan ekonomi

Prinsip Partisipasi Transparansi dapat pula memperbaiki tingkat kepercayaan masyarakat terhadap Pemda. Francis Fukuyama dalam bukunya Trust: The Social Virtues and the Creation Of Prosperity (1995) menyatakan bahwa dengan tumbuhnya kepercayaan diantara sesama anggota masyarakat maka akan membantu proses pemulihan dan pemantapan kesejahteraan masyarakat yang terpuruk akibat terjadinya destruksi sosial seperti krisis ekonomi.

Pada sisi lain, Pemda akan memetik keuntungan dari kepercayaan yang terbentuk dalam benak masyarakat yakni mencitrakan pemerintahan lebih solid dan berwibawa di mata masyarakat sehingga kemungkinan ketidakpatuhan masyarakat terhadap regulasi dapat direduksi.

Kepercayaan kemudian membidani

interaksi yang konstruktif diantara

kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat.

Kepercayaan merupakan bagian dari Social Capital (James Coleman, 1998). Social Capital sebagaimana yang kita ketahui bersama adalah kemampuan masyarakat untuk bekerja bersama-sama demi mencapai tujuan bersama di dalam berbagai kelompok dan organisasi. Social Capital sama pentingnya dengan Physical Capital (tanah, bangunan, mesin) dan Human Capital (keterampilan dan pengetahuan yang dimiliki manusia), sebab ketiganya menjadi prsyarat menuju paripurna kesejahteraan.

Dengan kepercayaan sebagai modal sosial maka interaksi yang terjalin diantara stakeholder tersebut akan memungkinkan untuk menghasilkan stock informasi dan pengetahuan untuk dan dalam mendapatkan alternatif kebijakan yang lebih menguntungkan, baik mengenai subjek regulasi maupun dampak yang mungkin akan timbul dari penerapan regulasi tersebut.

Transparansi partisipasi merupakan elemen yang berguna ketika upaya masyarakat luas untuk memahami maksud dan tujuan dari pemberlakukan

suatu kebijakan dikomunikasikan sebab

bagaimanapun pemerintah memiliki kepentingan kekuasaan, masyarakat mempunyai keinginan untuk memperoleh harga barang kebutuhan yang

terjangkau dan pengusaha berkemauan untuk memperoleh keuntungan. Oleh karenanya, semua kepentingan harus didialogkan sebab apabila tidak dilakukan dialog maka dapat menimbulkan kesalahan intepretasi dan dapat berujung pada konflik. Giddens mensyaratkan dialog demokrasi yang menyamaratakan kedudukan pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat sehingga terjadi proses bargaining yang seimbang.

Untuk menciptakan kesamaan kedudukan antara pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat dalam proses dialog demokrasi maka Amy Guttman dan Dennis Thompson dalam bukunya yang berjudul Democracy and Disagreement (1996) menyarankan untuk menerapkan dileberative democracy. Artinya, kesempatan untuk terlibat dalam dialog demokrasi terbuka bagi siapa saja yang berkeinginan untuk terlibat secara aktif tanpa dibatasi sekat-sekat yang sudah ada pada dirinya. Diharapkan dengan demikian, dialog demokrasi berjalan secara efektif yakni membicarakan substansi permasalahan bukan terdistorsi dengan hal-hal yang tidak diperlukan seperti sentimen rasialisme, wawasan keagamaan yang sempit dan eksklusivitas lainnya.

Selain itu, seringkali sulit untuk memperoleh kata sepakat antara masyarakat dan institusi pemerintah, maka dileberative democracy dapat berperan sebagai penggiring kelompok kepentingan untuk dapat menerima keputusan yang dapat diterima bersama hingga pada titik yang paling minimum.

Salah satu bentuk aplikasi dari prinsip partisipasi tranparasi dalam penyusunan kebijakan dapat ditinjau pada kasus Solo. Kasus Solo merupakan eksperimen Anggaran Partisipasi yang penyusunannya diawali dari tingkat Rukun Tetangga (RT) dengan melibatkan seluruh Kepala Keluarga (KK) dan difasilitasi oleh organisasi non pemerintah. Selanjutnya usulan tersebut ditembuskan ke tingkat RW dan dusun untuk dibawa ke tingkat desa/kelurahan. Pada level desa/kelurahan kemudian dibentuk panitia pembahasan yang terdiri dari unsur aparat pemerintah, tokoh masyarakat dan organisasi non pemerintah yang bertugas menyusun draft rencana pembangunan beserta dengan anggaran yang dibutuhkannya. Selanjutnya dilakukan sidang pleno di tingkat desa/kelurahan yang melibatkan seluruh Kepala Keluarga untuk membahas usulan rencana pembangunan yang sudah disusun tersebut dan mengutus perwakilan dari desa/kelurahan untuk mengikuti pleno di tingkat Kecamatan.

(26)

[14] melakukan generalisasi rancana pembangunan dan anggaran yang relevan untuk masuk dalam struktur Anggaran Daerah. Legislatif daerah selanjutnya dapat menjadi fasilitator untuk lebih menajamkan struktur anggaran daerah tersebut agar terlihat lebih akurat dan proporsional.

Kasus Solo memperlihatkan keterkaitan yang integratif antara lembaga pemerintahan dari hulu hingga ke hilir untuk membangun konstruksi arsitektur pemerintahan yang sinergis dengan tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat. Konstalasi tersebut secara positif akan mendorong degradasi mono-orientasi kekuasaan pada kalangan birokrasi dan politisi serta menempatkan pemerintah pada posisi sesungguhnya yakni sebagai fasilitator dan penyedia layanan bagi masyarakat.

PRINSIP EFEKTIVITAS

BIAYA-KEUNTUNGAN

Setiap regulasi yang diterbitkan harus menghasilkan keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkan. Jika terdapat lebih dari satu alternatif yang menghasilkan rasio dan netto yang positif maka yang dipilih adalah yang terbesar rasio manfaatnya.

Misalnya apabila Pemda menciptakan pos pajak baru dalam nomenklatur anggaran. Perlu dipahami bahwa pada hakikatnya pungutan pajak yang dilakukan Pemda terhadap masyarakat telah menurunkan tingkat daya beli masyarakat. Maka dari itu, regulasi yang terbitkan oleh Pemda diarahkan untuk mengembalikan daya beli masyarakat tersebut melalui penyediaan layanan dan fasilitasi terhadap kebutuhan-kebutuhan yang muncul sebagai akibat ketidaksempurnaan pasar yakni ketidakmampuan pasar untuk menyediakan barang-barang publik (public goods) atau efek eksternalitas pasar seperti polusi, pengangguran, kemiskinan dan kriminalitas.

Oleh karenanya, kita perlu untuk memperhatikan dimensi-dimensi anggaran kinerja yang saat ini tengah diterapkan oleh Pemerintah Daerah. Terdapat empat dimensi aspek dalam proses penyusunan Anggaran Kinerja yang dapat mengoptimalisasikan pencapaian hasil dari input

yang telah direncanakan. Pertama adalah

ketersediaan ruang partisipasi yang memadai bagi masyarakat dalam f

Gambar

Tabel :  HDI Indonesia, Asia  Timur pasifik dan Dunia 2005-2010
Gambar 1.
Table diatas Kabupaten Garut mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tak hanya itu, Pertumbuhan PDRB perkapita yang dapat menjadi acuan kesejahteraan masyarakatnya juga mengalami peningkatan seperti tampak pada grafik dibawah ini: menunjukkan bahwa PDRB
Tabel 3. Tingkat Pertumbuhan Kabupaten Garut periode 1971 – 2010
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 2 ayat (1) UUK dinyatakan bahwa “debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar setidikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat

Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan benih padi VUB adalah variabel luas lahan, harga benih padi VUB, harga benih padi non VUB dan pendapatan petani secara

Nilai massa jenis bahan bakar minyak yang dihasilkan erat kaitannya dengan temperatur reaktor pada saat proses pembuatan BBM dari sampah plastik. Semakin tinggi

Menurut Solin, 2010 menjelaskan ada 7 faktor yang bisa memprediksikan rekurensi lokal dalam 10 tahun pasca terapi kanker payudara, antara lain : umur, ukuran tumor,

Their measure of religiosity includes (i) the strength of individuals’ belief in God; (ii) the importance of religion and (iii) the individuals’ perception of their level

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “ Optimasi Formula

Minyak merupakan komponen SNEDDS yang berfungsi untuk melarutkan obat yang bersifat lipofilik, serta penting untuk meningkatkan transportasi obat kedalam

1) Lapisan basal atau stratum germinativum (lapisan sel basal). Lapisan basal merupakan lapisan epidermis paling bawah dan berbatas dengan dermis. Dalam lapisan basal