• Tidak ada hasil yang ditemukan

Halaman

1 Peta Pulau Kalimantan... 143 2 Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Wanaraya per Bulan... 144 3 Penduduk Kecamatan Wanaraya pada Tahun-tahun

Tertentu, 1980 – 2004... 144 4 Penduduk Kecamatan Wanaraya Menurut Jenis Pekerjaan,

Tahun 2002... 144 5 Potensi dan Fungsi Lahan Sawah Pasang Surut di Wanaraya... 145 6 Produktivitas Beberapa Komoditas Pertanian di Wanaraya,

Tahun 1999 – 2002... 145 7 Penduduk Kecamatan Wanaraya per Desa pada Tahun-tahun

Tertentu, 1980 – 2004... 146 8 Jenis Rumput dan Kandungan Nilai Nutrisi... 147 9 Catatan Refleksi dalam Pengumpulan Data di Lapangan... 148

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Program transmigrasi di usianya kurang lebih lima puluh tahun mem-berikan catatan tersendiri perihal keberhasilan dan kegagalannya. Tak dapat dipungkiri bahwa keberhasilan program transmigrasi karena dapat memberikan akses atas lahan/tanah kepada komunitas transmigran14 yang dulunya sebagian besar tergolong petani gurem dan tunakisma. Meskipun tidak terdapat data dalam angka berapa besarnya jumlah petani gurem dan tunakisma yang mengikuti program transmigrasi, akan tetapi berdasarkan sumber yang terpercaya bahwa pada hakekatnya transmigrasi direkrut diantara petani tanpa lahan, penyewa lahan kecil, buruh tani, dan buruh harian lainnya (Levang 2003:66, MacAndrew dan Rahardjo 1979). Adapun kegagalan program transmigrasi seringkali diidentikan dengan ketidakmampuan lahan berproduksi optimal karena mereka –komunitas transmigran– ditempatkan pada daerah-daerah yang mempunyai kondisi alam yang mempunyai ekologi lahan marjinal, seperti lahan kering, lahan gambut berawa, dan lain-lain.

Tahun 1978, menjelang berakhirnya Pembangunan Lima Tahun (Pelita) tahap I, Pemerintahan Orde Baru mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa secara sengaja maupun tidak sengaja untuk menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan. Transmigran dari Pulau Jawa tersebut tidak lain adalah satu dari sekian komunitas transmigran di Indonesia yang menceritakan berlangsungnya pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Merujuk teori formasi sosial ala Stzompka (1994) bahwa pembentukan formasi sosial yan terjadi pada komunitas transmigran menunjukkan kontradiksinya pada level tertentu.

Kontradiksi dapat dilihat dari lingkungan sosial eksternal (kondisi alam) yang bersifat turun temurun dengan kekuatan produksi yang tersedia. Studi

14

Komunitas transmigran dalam tulisan ini didefinisikan sebagai penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial.

Heeren15 menunjukkan bahwa kondisi lahan di luar Jawa yang memiliki tingkat kesuburan relatif kurang menyebabkan pilihan penduduk Lampung Tengah untuk melakukan usahatani perladangan berpindah. Masih dimungkinkannya perladangan berpindah oleh penduduk Lampung Tengah dikarenakan kepadatan penduduk yang masih relatif kurang dan kepemilikan tanah yang berbasis marga. Kedata-ngan para transmigran asal BRN16 ke Lampung Tengah sebagai tujuan daerah transmigran menyebabkan terjadinya konflik kepemilikan tanah antara penduduk asli dengan para transmigran tersebut.

Demikianpun studi yang dilakukan Levang17 menunjukkan kondisi alam yang ditandai dengan lahan yang sering digenangi air (ekologi lahan gambut berawa) atau lahan bertekstur histosol18 memberikan pilihan atas alat produksi (teknologi) yang digunakan orang Banjar dalam mengusahakan lahan gambut berawa tersebut. Sebagai misal, varietas padi yang digunakan untuk melakukan usahatani adalah varietas padi yang mempunyai siklus panjang (6–10 bulan) sehingga panen sawah pasang surut hanya dapat dilakukan 1 kali setiap tahunnya yang berbeda dengan panen padi sawah di Pulau Jawa. Demikian pun dengan teknologi pengelolaan lahan yang menggunakan tajak, taju, dan ani-ani.

Aktivitas yang dilakukan orang Banjar tersebut, oleh kaum positivist yang mengidap paham moderniasasi dianggap tidak efisein karena membutuhkan tenaga kerja dan waktu yang panjang sehingga diperlukan teknologi yang lebih intensif. Kehadiran transmigran dengan membawa pengalaman bertani dari daerah asalnya berupa teknik produksi yang intensif –varietas unggul, pemupukan, penyiangan, dan panen dua kali– ternyata mengalami kontradiksi

15

H. J. Heeren: Transmigrasi di Indonesia, Jakarta 1979, hal. 87 – 91. 16

BRN adalah singkatan dari Biro Rekonstruksi Nasional merupakan lembaga pemerintah yang berfungsi mengorganisasi dan memimpin rehabilitasi prajurit-prajurit yang dimobilisasi. Tujuan BRN adalah penciptaan kesempatan kerja bagi berbagai kelompok veteran untuk merintis jalan kembali bagi mereka secara teratur ke kehidupan sosial masyarakat biasa, serta untuk memanfaatkan tenaganya untuk membangun negaranya kembali.

17

Patrice Levang: Ayo ke Tanah Sabrang, Jakarta 2003. 18

Menurut Harjowigeno (1993:251) bahwa jenis tanah histosol terbentuk bila produksi dan penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di tempat-tempat yang selalu digenangi air sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat. Oleh karena itu, dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik. Selanjutnya, Harjowigeno mengatakan bahwa jenis tanah histosol ini mudah terbakar ketika drainasinya mengalami perbaikan.

dengan kondisi alam atau ekologi di daerah tujuan sehingga seringkali terjadi kegagalan dalam produksi padi-sawah pasang surut.

Kegagalan produksi sawah pasang surut yang dialami komunitas transmigran mengkibatkan tidak sedikit dari mereka meninggalkan pemukiman baru yang disediakan pemerintah. Umumnya alasan mereka –para transmigran– meninggalkan daerah tujuan adalah kurangnya keterampilan teknik usahatani sawah pasang surut dan kekurangan modal dalam peng-usahaan padi-sawah pasang surut tersebut. Meskipun demikian, diantara mereka yang bertahan karena berbekal kecakapan bertani di daerah asal dan kemauan belajar dari teknik orang Banjar. Dua faktor tersebut menyebabkan terjadinya “revolusi” dalam berproduksi sehingga mendorong berlangsungnya kekuatan produksi yang permanen.

Meskipun demikian, determinasi ekologi lahan gambut berawa yang miskin unsur hara mendorong terjadinya penurunan produksi padi dari 200–300 kaleng/ha/tahun menjadi 10–50 kaleng/ha/tahun.19 Penurunan produksi padi ini dikarenakan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan menghilang dengan cepat di lahan Kalimantan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah. Selain itu, drainasi yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah.20 Menurut mereka yang berperspektif ekologi Marxis bahwa kejadian seperti demikian akan menciptakan jurang metabolik (metabolic gap), yaitu kehancuran keadaan-keadaan kewujudan manusia yang ditentukan oleh alam. Jurang metabolik tersebut, kemudian mendorong terwujudnya watak kapitalisme di daerah tujuan yang semakin memperkuat dominasi peran kelas kapitalis pinggiran (periferi capitalism class). Ketergantungan lahan pada input teknologi tinggi menyebabkan peranan kapital tidak dapat dihindari komunitas transmigran dalam pengusahaan lahan pasang surut.

Pentingnya peranan kapital dalam pengusahaan padi-sawah pasang surut tersebut kemudian mendorong perubahan pada hubungan produksi. Kasus

19

Data yang disajikan merujuk pada kasus yang dipilih oleh penulis selama melakukan penelitian pada komunitas transmigran di Kecamatan Wanaraya, Kabupaten Barito Kuala, Provinsi Kalimantan Selatan.

20

komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan sistem pertukaran tenaga kerja berbasis kebutuhan tenaga kerja (tolong menolong) yang pernah dilakukan sesama komunitas transmigran kemudian digantikan dengan sistem sewa/upah tenaga kerja. Menjual tenaga kerja oleh sebagian anggota komunitas transmigran tidak lain dimaksudkan untuk mendapatkan modal yang selanjutnya dengan modal tersebut diperuntukkan memenuhi keberlanjutan usahatani sawah pasang surut. Dalam kondisi seperti ini, pembentukan struktur kelas baru dalam komunitas transmigran tidak dapat dihindari.

Studi Girsang (1996) menunjukkan bahwa introduksi teknologi sawah intensif pada komunitas transmigran di Desa Waihatu menyebabkan terbaginya komunitas transmigran ke dalam tiga lapisan sosial, yaitu: (1) lapisan atas, rumah tangga yang mempunyai modal pangan dan modal cadangan pengembangan usaha serta mempunyai lahan luas; (2) lapisan tengah, rumah tangga yang hanya mampu mencukupi modal cadangan pangan dan berlahan sempit serta tidak tergolong miskin; dan (3) lapisan bawah adalah rumah tangga yang tidak berlahan dan tergolong miskin.

Perbedaan struktur sosial komunitas transmigran Waihatu di atas, kemudian mendorong berlangsungnya moda produksi kapitalis yang eksploitatif. Kekuatan produksi berupa modal, lahan yang luas, dan teknologi pasca produksi (penggilingan) yang dimiliki oleh lapisan atas dengan mudah memperoleh surplus produksi melalui penyewaan lahan, sewa tenaga kerja, meminjamkan modal, dan mengambil keuntungan melalui penggunaan mesin penggilingan terhadap lapisan tengah dan bawah pada komunitas transmigran tersebut.

Komunitas transmigran Wanaraya sebagai kasus pilihan dalam studi ini menunjukkan bahwa komunitas transmigran terbagi ke dalam dua struktur sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Berbeda dengan komunitas transmigran di Desa Waihatu, umumnya kelas sosial komunitas transmigran Wanaraya memiliki lahan minimal 2 hektar yang diperoleh dari pemerintah. Sementara itu, program bantuan pinjaman yang diberikan pemerintah kepada komunitas transmigran di Wanaraya berupa usaha ternak sapi, ternyata tidak serta merta memperbaiki struktur ekonomi petani pemilik-penggarap sebagai kelas terendah pada komunitas transmigran. Sebaliknya, bantuan pinjaman

tersebut semakin memperkuat posisi kelas pemodal terhadap kelas petani pemilik-penggarap.

Kekuatan produksi yang berbeda diantara dua struktur sosial komunitas transmigran di atas, selanjutnya mendorong terjadinya hubungan produksi yang eksploitatif, dimana surplus produksi yang hasilkan oleh petani pemilik-penggarap diserap oleh petani pemilik modal. Merujuk argumentasi sebelumnya, setidaknya transmigrasi merupakan upaya mendorong berlangsungnya struktur masyarakat kapitalis yang cenderung menciptakan ketimpangan sosial, konflik antar suku bangsa, dan kemiskinan. Kondisi ini secara tidak disadari telah bertentangan dengan tujuan dari program transmigrasi, yaitu peningkatan kesejahteraan yang dapat dicapai melalui pemberian lahan kepada petani miskin dari Jawa, Madura, dan Bali (Jambal), pemanfaatan lahan yang dianggap tidur di luar Pulau Jambal melalui pembangunan, dan pembauran antar suku bangsa.

Studi formasi sosial tentang komunitas transmigran yang akan diuraikan dalam tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan kelemahan-kelemahan transmigrasi, dimana perbedaan kondisi alam (ekologi lahan hambut berawa) antara daerah asal dengan daerah tujuan ternyata telah mendorong perbedaan kepemilikan terhadap faktor-faktor produksi antar sesama komunitas transmigran. Walaupun setiap keluarga transmigran mendapatkan tanah yang relatif luas (minimal 2 hektar/keluarga) di daerah tujuan untuk berproduksi, namun determinasi ekologi lahan bambur berawa yang miskin unsur hara ternyata tidak mampu mencukupi kebutuhan ekonomi sebagian besar keluarga komunitas transmigran di Wanaraya. Hal ini disebabkan artikulasi produksi baik pertanian maupun non pertanian menuntut peranan kapital yang tidak kecil sehingga mendorong berkembangnya struktur kelas komunitas transmigran yang semulanya hanya terdapat petani pemilik-penggarap menjadi petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap.

Hadirnya dua kelas sosial tersebut, kemudian memberikan efek terhadap perubahan hubungan produksi antar sesama anggota komunitas transmigran, dimana tergantikannya hubungan produksi yang didasarkan atas kepentingan tolong-menolong menjadi hubungan produksi yang eksploitatif. Hubungan produksi eksploitatif ini, kemudian mendorong pembentukan nilai-nilai individual

yang berorientasi keuntungan dalam kegiatan produksi baik pertanian maupun non pertanian. Petani pemilik modal melakukan akumulasi modal dengan cara mengekstrak surplus produksi yang dihasilkan petani pemilik-penggarap melalui sistem upah tenaga kerja, pinjaman teknologi (pupuk dan kapur), dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya ketimpangan sosial antara petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap.

Setidaknya tulisan ini hendak menjelaskan bagaimana berlangsungnya pembentukan formasi sosial di daerah tujuan pada komunitas transmigran Wanaraya. Formasi sosial muncul dari berlangsungnya moda produksi yang di dalamnya terdapat kekuatan produksi dan hubungan produksi, kemudian menggerakkan suprastuktur (nilai atau norma/aturan) suatu komunitas atau masyarakat.

Rumusan Masalah

Sudah menjadi kenyataan bahwa kondisi alam (ekologi lahan gambut berawa) di Pulau Kalimantan yang ditanami padi-sawah pasang surut mempunyai keterbatasan. Menurut Levang21 bahwa keterbatasan sawah pasang surut tersebut dapat dilihat dari kemampuan produksinya yang hanya menghasilkan dua sampai tiga ton padi per hektar selama tiga tahun pertama dan setelah itu hasilnya mulai menurun dengan cepat. Sehubungan dengan itu, kasus komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan penurunan produksi padi dapat mencapai dua puluh lima persen kaleng per hektar dari produksi optimal yang pernah dicapai.

Penelitian dengan tema pembentukan formasi sosial komunitas transmigran ini membatasi definisi komunitas sebagai penduduk yang sengaja atau tidak sengaja didatangkan oleh pemerintah melalui program transmigrasi untuk menempati lokasi pemukiman baru di Wanaraya. Penduduk yang sengaja didatangkan atau tidak sengaja didatangkan tersebut berasal dari latar belakang sosial-budaya beragam dan melakukan berbagai usaha produksi (usahatani, usaha transportasi klotok, usaha bengkel, dan membatang) di lokasi pemukiman baru. Dengan usaha produksi tersebut, komunitas transmigran mempunyai organisasi produksi yang relatif beragam dan ditandai hubungan produksi yang tidak setara

21

dikarenakan struktur sosial yang berbeda sehingga mempunyai ciri khas dari moda produksi.

Permasalahan penting untuk dipelajari dari komunitas transmigran di Wanaraya adalah berlangsungnya moda produksi sepanjang 27 tahun terakhir. Moda produksi tersebut terus berkembang berdasarkan kontradiksi, dimana kontradiksi pertama terjadi antara lingkungan (alam) di daerah tujuan dengan pengalaman produksi komunitas transmigran di daerah asal yang kemudian mendorong kekuatan produksi yang permanen (alat produksi, manusia dan kecakapannya, pengalaman-pengalaman dalam proses produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja).

Selanjutnya kekuatan produksi permanen tersebut mendorong hubungan dalam berproduksi antar sesama komunitas transmigran. Hubungan produksi yang tercipta dapat dilihat dari berlangsungnya organisasi produksi komunitas transmigran di Wanaraya. Kekuatan produksi dan hubungan produksi (moda produksi) tersebut kemudian menggerakkan suprastruktur (nilai atau aturan/norma) komunitas transmigran di Wanaraya. Untuk itu, bagaimana berlangsungnya pembentukan moda produksi komunitas transmigran di Wanaraya? Kemudian bagaimana terjadinya perubahan organisasi produksi? Lalu bagaimana perubahan yang terjadi sebelumnya menggerakkan suprastruktur (nilai atau norma/aturan) komunitas transmigran di Wanaraya?

Kekuatan produksi sebagai cerminan faktor-faktor produksi (tanah, teknologi, modal, tenaga kerja, dan kecakapan) yang dimiliki oleh komunitas transmigran mempengaruhi kepentingan antar struktur kelas sosial yang ada di dalam komunitas transmigran itu sendiri. Kepentingan tersebut dipengaruhi perbedaan terhadap akses atau penguasaan (kepemilikan) faktor-faktor produksi yang kemudian menentukan perbedaan struktur kelas sosial, dimana struktur kelas tertinggi lebih mudah mengakses atau menguasai faktor-faktor produksi dibandingkan dengan struktur kelas terendah.

Dalam konteks komunitas transmigran di Wanaraya, disatu sisi kelas sosial tertinggi dengan mudah mengakses atau menguasai faktor-faktor produksi dan disisi lain kelas sosial terendah teralienasi dalam penguasaan faktor-faktor produksi sehingga solidaritas antar sesama anggota komunitas transmigran

semakin rendah. Menjadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana berlangsungnya proses teralienasinya kelas sosial terendah pada komunitas transmigran di Wanaraya sehingga melemahnya solidaritas komunitas transmigran di Wanaraya?

Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan, khususnya komunitas transmigran di Wanaraya. Sementara itu, secara khusus penelitian ini ditujukan untuk:

1. Menjelaskan kondisi infrastruktur (alam, modal/ekonomi, dan teknologi) mempengaruhi berlangsungnya pembentukan moda produksi (kekuatan produksi dan hubungan produksi) sebagai cerminan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya;

2. Menjelaskan perubahan organisasi produksi dan akibat dari perubahan yang terjadi tersebut sehingga mampu menggerakkan suprastruktur (nilai atau norma/aturan) dan struktur sosial komunitas transmigran di Wanaraya; dan 3. Mengetahui terjadinya ketimpangan sosial yang terjadi akibat dari

penempatan para transmigran di daerah tujuan, khususnya komunitas transmigran di Wanaraya.

Kegunaan

Sesuai dengan rincian masalah dan tujuan studi, yaitu menjelaskan berlangsungnya pembentukan formasi sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Hasil studi ini diharapkan dapat berguna untuk menambah khasanah kajian sosiologis komunitas transmigran yang mempunyai ciri khas dari moda produksi yang terbentuk dan diharapkan dapat menghasilkan rumusan saran-saran praktis bagi pemerintah untuk mengatasi persoalan sosial yang terjadi pada komunitas transmigran dan pengembangan lahan produksi marjinal.