• Tidak ada hasil yang ditemukan

Transmigrasi di Indonesia semakin mempertegas ciri khas yang memperlihatkan keidentikannya dengan pembentukan formasi sosial kapitalis, dimana terjadinya eksploitasi kelas pemilik modal terhadap kelas pekerja di daerah tujuan, khususnya daerah tujuan bertipe ekologi perladangan. Program pemindahan penduduk dari Pulau Jawa keluar Pulau Jawa ini, pertamakali dikenal –tepatnya tahun 1905– dengan istilah program koloni yang diprakarsai oleh Pemerintahan Kolonial. Penduduk yang dipindahkan tersebut diorientasikan sebagai tenaga kerja perkebunan (buruh perkebunan) dengan menggunakan sistem Bawon47. Dalam hal ini, Pemerintahan Kolonial bertindak sebagai penguasa sekaligus kelas pemilik modal, sedangkan penduduk yang dipindahkan bertindak sebagai kelas pekerja di perkebunan milik Pemerintahan Kolonial saat itu.

Meskipun berbeda dari tujuannya48 dengan program koloni, transmigrasi oleh sebagian ilmuwan sosial49 dikatakan program yang tidak orisinil –kebijakan yang lahir tidak dari pemerintahan Indonesia– menunjukkan hal yang sama dengan program koloni, dimana penduduk yang dipindahkan tersebut sebagain besar bermata pencaharian sebagai petani yang strukturnya terhierarki dan cenderung bersifat eksploitatif antara petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Kondisi seperti ini sebagaimana diuraikan sebelumnya, dimana kelas petani pemilik modal (periferi capitalism) mengeksploitasi kelas petani pemilik-penggarap melalui teknologi (pupuk dan kapur) dan tenaga kerja.

47

Sistem bawon adalah sistem Jawa tradisional untuk mempekerjakan buruh dengan imbalan sebagaian dari hasil panen. Dalam kondisi seperti ini, pemerintahan kolonial – Belanda – memanfaatkan sistem bawon kepada para transmigran baru untuk membantu transmigrasi terdahulu. Transmigrasi baru ini didatangkan sebelum panen datang dan diberikan imbalan tempat tinggal sementara, bahan pangan dan sebagian dari panen. Menurut MacAndrew dan Rahardjo (1979) bahwa penerapan sistem ini merangsang peningkatan arus transmigrasi dan mengurangi biaya yang dikeluarkan pemerintah.

48

Perbedaan antara program koloni dengan transmigrasi terletak pada tujuannya, dimana program koloni lebih kepada penyediaan tenaga kerja (buruh) perkebunan, sedangkan tujuan program transmigrasi dapat dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: (1) menyebarkan penduduk dari Pulau Jawa, Bali, dan Madura yang mempunyai tingkat kepadatan penduduk relatif tinggi ke luar Pulau Jawa (seperti Sulawesi, Kalimantan, Irian Jaya, Maluku, dan lain-lain) yang kepadatannya rendah; (2) sarana pengembangan Sumberdaya Manusia demi pemerataan pembangunan di pulau lain (selain Pulau Jawa termasuk Bali dan Madura); dan (3) kenaikan tingkat hidup, pertumbuhana produksi pertanian, keamanan nasional, dan integrasi nasional.

49

Lihat Kampto Utomo (1975), H. J. Heeren (1979); MacAndrew dan Rahardjo (1979), dan M. Otten (1986).

Tidak bermaksud berpanjang lebar mengungkapkan kesejarahan transmigrasi di Indonesia (disebabkan bukan fokus dari penelitian), tulisan ini ingin menggambarkan bahwa transmigrasi yang selama ini dijadikan kebijakan Pemerintahan Orde Baru ternyata telah mendorong pembentukan formasi sosial kapitalis sebagaimana kasus yang diangkat dalam penelitian ini, yaitu komunitas transmigrasi di Wanaraya. Sebagai daerah tujuan, Wanaraya seperti halnya dengan daerah tujuan transmigrasi lainnya adalah kelanjutan program transmigrasi yang dicanangkan oleh Pemerintahan Orde Baru.50

Sepanjang Pemerintahan Orde Baru, mereka yang ikut transmigrasi adalah sebagian besar penduduk Pulau Jawa yang diidentifikasi berasal dari latar belakang petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (Levang 2003). Dari sudut pandang penerapan land reform (agraria), transmigrasi merupakan bentuk komitmen Pemerintahan Orde Baru untuk mendistribusikan atau memberikan akses lahan/tanah di luar Pulau Jawa kepada petani gurem, buruh tani, atau patani tanpa lahan yang berasal dari Jawa. Lahan yang diberikan kepada keluarga tersebut, masing-masing seluas dua hektar yang terdiri dari 1 hektar untuk lahan pekarangan dan 1 hektar lainnya untuk lahan persawahan.

Sepintas memang terlihat bahwa transmigrasi merupakan kebijakan populis dari Pemerintahan Orde Baru yang memberikan akses lahan kepada mereka – petani– yang tidak mempunyai lahan (di bawah rata-rata 0,5 hektar) sehingga mempunyai lahan untuk berusahatani di lahan sendiri. Tentunya, kebijakan pemerintah tersebut memberikan kebahagiaan tersendiri bagi mereka –petani gurem, buruh tani, dan tunakisma– disebabkan lahan seluas 2 hektar yang diperoleh dari pemberian pemerintah dapat memberikan peningkatan status sosial dari petani tanpa lahan menjadi petani pemilik lahan. Namun pertanyaannya kemudian adalah apakah kebijakan populis tersebut mampu meningkatkan taraf/tingkat hidup dan pertumbuhan produksi pertanian sebagian besar para transmigran di luar Pulau Jawa?

Studi penulis pada komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan terjadinya perbaikan tingkat hidup dan pertumbuhan produksi pertanian pada

50

Pelaksanaan transmigrasi dengan memindahkan penduduk Pulau Jawa ke Wanaraya sebagai daerah tujuan dilakukan Pemerintahan Orde Baru pada pembangunan lima tahun (pelita) tahap kedua.

komunitas transmigran, namun sesuatu yang kondisinya bersifat sementara saja dan sebaliknya transmigrasi sebagai alat efektif penetrasi kapitalisme di daerah tujuan. Studi monumental yang pernah dilakukan oleh Clifford Geertz yang diterbitkan sekitar tahun 1960-an tentang Involusi Pertanian dapat menjadi acuan untuk melihat perbedaan basis ekologi antara “Indonesia Dalam” dengan “Indonesia Luar”51, dimana “Indonesia Dalam” yang diwakili oleh Pulau Jawa lebih didominasi ekologi padi-sawah, sedangkan “Indonesia Luar” yang diwakili pulau di luar Jawa lebih didominasi ekologi perladangan. Dalam hal ini Geertz mengatakan:

“...secara umum pembagian itu berguna untuk memisahkan dua macam ekosistem dengan dua macam dinamik yang berlainan – satu berpusat pada perladangan dan yang lain pada persawahan – dan dapat dipergunakan untuk memahami perbedaan yang menyolok dalam kepadatan penduduk, cara penggunaan tanah, dan produktivitas pertanian”.52

Perbedaan ekologi di atas, sangatlah ditentukan jenis atau tekstur tanah yang dominan di Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa. Seyogyanya perbedaan dua ekologi tersebut tidak bisa disamakan, akan tetapi bila terjadi “pemaksaan” untuk disamakan, maka dapat dipastikan yang terjadi adalah hadirnya kesenjangan ekologi atau dalam istilah ekologi Marxis disebut jurang metabolik (metabolic gap). Jurang metabolik adalah kehancuran keadaan-keadaan kewujudan manusia yang ditentukan oleh alam. Kehancuran ini terjadi karena terjadi pemisahan keadaan abadi bagi interaksi antara manusia dengan alam, dimana keadaan-keadaan kewujudan manusia ditentukan oleh alam (Foster 2002).

Kaitannya dengan program transmigrasi yang mendistribusikan lahan di luar Pulau Jawa sebagai faktor produksi (alat produksi) utama kepada para transmigran menunjukkan betapa pembangunanisme telah mendorong terjadinya jurang metabolik tersebut. Jurang metabolik ini sebenarnya tidak hanya menggeser sistem produksi perladangan penduduk lokal yang dianggap merusak lingkungan dan tidak efisien dan kemudian menggantikannya dengan sistem

51

Sebenarnya penulis tidak sepakat dengan Geertz tentang pembedaan Indonesia dengan istilah “Indonesia Dalam” dan “Indonesia Luar” karena pembedaan ini menunjukkan pandangan yang etnosentris. Meskipun demikian, penulis sepakat dengan pembedaan ekologi dominan antara Pulau Jawa dengan di luar Pulau Jawa.

52

Clifford Geertz: Involusi Pertanian, Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Jakarta 1983, hal. 14-15.

produksi padi-sawah sebagai cerminan teknologi intensif yang dianggap lebih efisien. Akan tetapi lebih dari itu, transmigrasi yang menciptakan jurang metabolik telah mendorong pembentukan formasi sosial kapitalis sehingga pencapaian tujuan untuk meningkatkan taraf kehidupan bagi sebagian besar para transmigran dapat dikatakan sesuatu tidak memungkinkan.

Perlakuan yang sama antara dua basis ekologi yang berbeda di atas, sangat disadari karena antara tahun 70-an hingga akhir 90-an di bawah Pemerintahan Orde Baru paham modernisasi merupakan mainstream pembangunan disegala dimensi, termasuk transmigrasi sebagai agenda penting Pemerintahan Orde Baru. Bagian berikut pada tulisan ini, akan diuraikan bagaimana transmigrasi melalui distribusi atau pembagian lahan dan penerapan sistem produksi padi-sawah di daerah tujuan merupakan bentuk dari program atau kebijakan “sesat pikir” yang menciptakan jurang metabolik sehingga mendorong proses pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan.

Transmigrasi: “Sesat Pikir” yang Menciptakan Jurang Metabolik

Implementasi pemikiran yang tidak didasarkan atas logika memadai dalam menentukan proses penempatan penduduk Jawa, Madura, dan Bali (Jambal) yang berkelebihan ke luar Pulau Jambal atau lebih dikenal dengan istilah transmigrasi adalah “sesat pikir”. Pertanyaan kritis tentang program transmigrasi adalah apakah suatu keharusan penduduk Jambal yang dianggap mempunyai kelebihan penduduk dipindahkan ke luar Pulau Jambal? Jika pun harus dipindahkan apakah perlu dilakukan perubahan secara fundamental di daerah tujuan berkaitan dengan penetrasi sistem produksi yang berbeda dari perspektif ekologinya?

Menjawab pertanyaan pertama, Levang (2003: 71) dengan studi yang telah dilakukannya dengan jelas mengatakan bahwa kepulauan Jambal tidak kelebihan penduduk. Walaupun demikian, Levang menganggap program transmigrasi tetap penting karena dapat memberikan lahan kepada mereka –petani– yang berlatar belakang sebagai petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (tunakisma). Ia kembali menambahkan bahwa pemberian lahan kepada petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan merupakan motif dasar dari para transmigran untuk menjamin hidupnya, dimana keterbatasan lahan karena kepadatan penduduk yang

terus meningkat di Pulau Jawa menyebabkan mereka –petani marjinal (petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan)– tidak memungkinkan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup sehingga transmigrasi dianggap sebagai solusi yang tepat, meskipun perlu pembenahan di sana-sini.

Sebenarnya kepadatan penduduk yang terus meningkat dan hubungannya dengan terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan tersebut (lihat Tabel 22) yang terbiasa dengan sistem produksi persawahan bukan berarti harus dipindahkan ke luar Pulau Jawa, sehingga golongan petani yang dimaksud mempunyai luasan lahan yang memadai untuk berusaha tani. Akan tetapi, perlu dilihat faktor utama penyebab terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan.

Tabel 22. Persentasi Penduduk Menurut Golongan Rumah Tangga.53

Jumlah Penduduk

No. Golongan Rumah Tangga

1975 1993

1. Buruh Tani 11,7 10,0

2. Petani Gurem (< 0,5 ha) 22,2 27,3

3. Pengusaha Pertanian (0,5-1 ha) 12,0 6,2 4. Pengusaha Pertanian (> 1 ha) 13,7 6,4 5. Bukan Pertanian Golongan Rendah di Desa 14,7 8,9 6. Bukan Angkatan Kerja di Desa 3,0 1,6 7. Bukan Pertanian Golongan Atas di Desa 6,0 13,0

Sumber: Biro Pusat Statistik: Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 1993. Jakarta: Biro Pusat Statistik, 1996:108.

Berkaitan dengan hal di atas, menurut Wiradi (1984) bahwa faktor utama penyebab terjadinya peningkatan petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan (tunakisma) di pedesaan Jawa adalah terdapatnya ketimpangan penguasaan atas lahan/tanah, dimana terdapat sebagian atau sekelompok orang saja yang menguasai tanah. Untuk itu, menurut Wiradi langkah atau jalan yang tepat untuk mencegah terjadinya ketimpangan penguasaan tanah adalah melakukan perombakan susunan penguasaan tanah, atau land reform. Meskipun agenda land

53

Dikutip dari tulisan Dr. Sajogyo berjudul “Petani dan Kemiskinan” dalam buku “Pemberdayaan Perekonomian Rakyat Dalam Kancah Globalisasi” yang diterbitkan oleh Yayasan Sajogyo Inti Utama (sa!ns) tahun 2005. Pengutipan ini dimaksudkan untuk memperlihatkan terjadinya peningkatan buruh tani yang diiringi dengan peningkatan pengusaha pertanian di desa.

reform ini sangat dimungkinkan di Indonesia, namun menurut Wiradi bahwa semuanya sangat ditentukan oleh kemauan politik pemerintah yang berkuasa.54

Untuk itu, penduduk yang berlebih di Pulau Jawa tidak perlu dipindahkan ke luar Pulau Jawa, melainkan diperlukan kebijakan industrialisasi perdesaan yang telebih dahulu dilakukan land reform sehingga petani gurem, buruh tani, dan petani tanpa lahan yang terus meningkat tiap tahunnya dapat berkurang dengan sendirinya dan dapat ikut serta dalam program industrialisasi perdesaan tersebut. Sebagaimana yang telah dilakukan Pemerintahan Jepang55 yang kepadatan penduduknya terus meningkat namun dapat terhindar dari kemandegan pertanian (involusi pertanian dalam istilah Geertz). Terhidarnya Jepang dari kemandegan pertanian (involusi pertanian) tersebut disebabkan keberhasilannya menuntaskan terlebih dahulu land reform sebelum melakukan industrialisasi pedesaan (Wertheim 1997). Wertheim menambahkan dengan merujuk pendapat Ritjof Tichelman56 bahwa keberhasilan Jepang tersebut sangat ditentukan oleh cara menanggulangi faktor-faktor penghambat yang terkandung dalam latar belakang agrikultural dan politisnya.

Sebaliknya dengan Indonesia, untuk mencegah terjadinya kemandegan pertanian (involusi pertanian) di Pulau Jawa, Pemerintahan Indonesia memberlakukan kebijakan transmigrasi sebagai “model baru” dari pelaksanaan land reform agar kepadatan penduduk di Pulau Jawa berkurang dan sekaligus memberikan akses terhadap lahan yang masih luas di luar Pulau Jawa kepada golongan petani Jawa yang marjinal dalam penguasaan lahan, namun mayoritas dalam jumlah.

54

Gunawan Wiradi (1984) dalam tulisannya yang berjudul “Pola Penguasaan Tanah dan Reforma Agraria” pada buku “Dua Abad Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa” disunting oleh Sediono M. P. Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi. Diterbitkan PT. Gramedia, Jakarta (1984).

55

Pelaksanaan reforma agrarian (land reform) sangat ditentukan oleh kekuatan atau penguasa yang memberi dukungan terhadap kebijakan ini. Untuk itu, keberhasilan agenda land reform pemerintahan Jepang sangat terkait erat dengan tipe kombinasi antara pemerintah negara setempat dengan tentara pendudukan. Dengan bantuan dan tekanan dari pemerintah AS, maka penguasa setempat melaksanakan reforma agraria dengan drastis. Tanah-tanah kelebihan dibagikan kepada buruh tani atau penyakap dengan pembayaran ganti rugi kepada pemilik semula (Wiradi 1984: 319).

56

Menurut Tichelman sebagaimana dirujuk oleh Wertheim (1997) bahwa kemandegan pertanian (involusi pertanian) di Asia Tenggara hingga kini disebabkan oleh berlangsungnya moda produksi asiatik, dimana tanah/lahan sebagai alat produksi utama dalam usaha produksi pertanian dikuasai/dimiliki oleh seseorang.

Berdasarkan temuan dari penelitian yang penulis lakukan pada komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan transmigrasi sebagai alat yang efektif untuk merombak struktur penguasaan tanah yang didominasi pembekal desa di luar Pulau Jawa sebagaimana ciri dari moda produksi asiatik yang berlangsung di negara-negara Asia Tenggara. Meskipun pemerintah berhasil melakukan perombakan struktur penguasaan tanah yang dimonopoli pembekal desa tersebut, akan tetapi persoalan utamanya ternyata bukan terletak pada dominasi struktur penguasaan tanah oleh pembekal desa, melainkan terletak pada kondisi lahan – ekologi lahan gambut berawa– marjinal yang jauh berbeda dengan daerah asal transmigran (Pulau Jawa).

Sehubungan dengan di atas, kebijakan pemerintah tentang transmigrasi yang memindahkan penduduk dari Pulau Jawa ke daerah tujuan (seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua) sebenarnya memiliki kelemahan mendasar berkaitan dengan pendekatan yang digunakan selama ini. Kelemahan tersebut terletak pada penetrasi sistem produksi padi-sawah yang sebenarnya jauh berbeda dengan kondisi ekologi daerah asal komunitas transmigran –sebagaimana diungkapkan oleh Geertz yang membedakan tipe ekologi dominan antara Pulau Jawa dan Pulau di luar Jawa).

Umumnya daerah tujuan transmigrasi merupakan daerah yang sudah dihuni komunitas lokal dengan aktivitas produksi perladangannya. Alasan mendasar dilakukannya aktivitas produksi perladangan tersebut disebabkan determinasi kondisi alam yang ditandai dengan ekologi lahan marjinal (lahan gambut berawa). Kemudian aktivitas perladangan ini diidentikkan dengan logika produktivitas (hasil produksi yang dicapai) berupa produksi hasil per unit tenaga kerja. Logika ini menekankan bahwa sistem perladangan sebagaimana tercermin dari aktivitas produksi komunitas lokal di daerah tujuan atau daerah pedalaman Indonesia menggunakan tenaga kerja yang cenderung sedikit, luas lahan relatif banyak, dan input teknologi rendah sehingga modal yang dibutuhkan untuk melakukan kegiatan produksi relatif sedikit.

Namun berbeda dengan logika di atas, kedatangan komunitas transmigran di beberapa daerah tujuan transmigrasi tidak dapat dipisahkan dengan penetrasi sistem produksi padi sawah yang identik dengan logika produksi per luas lahan.

Sistem produksi padi sawah sebagaimana tercermin di Pulau Jawa ditandai dengan kelangkaan terhadap lahan (luas lahan menyempit), tenaga kerja upah meningkat, dan input teknologi besar yang mendorong peranan modal relatif besar dan sangat menentukan. Dengan demikian, menurut Dove57 bahwa perbandingan dua logika tersebut menunjukkan bahwa sistem perladangan menghasilkan produktivitas yang tinggi per unit tenaga kerja, dan sebaliknya menghasilkan produktivitas yang rendah per unit tanah (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 23).

Tabel 23. Perbedaan Sistem Produksi Perladangan dan Sistem Produksi Padi-Sawah.

Sistem Produksi

Pembeda Perladangan Padi-Sawah

Teknologi Input teknologi rendah Input teknologi tinggi Tenaga Kerja Tenaga kerja upahan

rendah

Tenaga kerja upahan tinggi

Lahan/tanah Luas lahan yang tersebar banyak

Kelangkaan lahan (luas lahan sangat sedikit) Modal Peranan modal rendah Peranan modal tinggi

Produksi Produksi per unit

tenaga kerja tinggi, tapi produksi per unit tanah sedikit

Produksi per unit tanah (ha) tinggi, tapi

produksi per unit tenaga kerja rendah. Perbedaan dua logika di atas, jelas dideterminasi perbedaan alam (ekologi lahan) antara Pulau Jawa dan di luar Pulau Jawa. Berkaitan dengan kebijakan transmigrasi yang sengaja maupun secara tidak sengaja mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa ke luar Pulau Jawa (khusunya Kalimantan), lebih bertendensi pada logika produksi hasil per unit tanah. Atau dengan kata lain bahwa anggapan yang dibangun selama ini adalah tanah merupakan faktor produksi (alat produksi) utama yang dibutuhkan bagi mereka –para transmigran– untuk melakukan usaha produksi di luar Pulau Jawa adalah anggapan yang “sesat pikir”. Ini didasarkan atas realitas kondisi ekologi di daerah tujuan (khususnya Pulau Kalimantan) yang berbeda de-ngan daerah asal para transmigran.58

57

Michael R. Dove: op.cit., hal. 466. 58

Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat mencatat sebagian besar tanah-tanah yang memiliki tingkat kesuburan paling rendah,seperti jenis tanah histosol, entisol, dan vertisol banyak terdapat di

Selain itu, pembukaan lahan dengan penebangan hutan secara besar-besaran untuk hamparan pemukiman dan lahan pertanian para transmigran di luar Pulau Jawa –khususnya Kalimantan– menyebabkan kehancuran keberadaan manusia yang ditentukan oleh interaksinya dengan alam. Sistem produksi behuma (bercocok tanam dengan berpindah-pindah) sebagaimana yang pernah dilakukan oleh komunitas lokal di Wanaraya merupakan perwujudan interaksi antara manusia dengan alam. Sistem produksi behuma sebagai pemasok utama kebutuhan subsisten komunitas lokal di Wanaraya sangat tergantung dengan kesuburan lahan yang ditentukan ketersediaan humus yang berasal dari berbagai jenis binatang dan tumbuhan yang hidup, kemudian mati dan membusuk di atas tanah hutan.

Sementara itu, keberadaan hutan yang masih tersedia dengan berbagai jenis pohon yang tumbuh (seperti mahang, terantang, dan lain sebagainya) di Wanaraya berfungsi untuk menjaga kelembaban yang tinggi sehingga mendorong percepatan terjadinya laju pembusukan (dekomposisi) berbagai jenis bahan organik. Dengan kata lain sistem produksi behuma oleh komunitas lokal, sangat ditentukan oleh hutan yang memberikan jaminan atas ketersediaan sumber-sumber humus untuk kesuburan lahan. Kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya merupakan implementasi kebijakan transmigrasi Pemerintahan Orde Baru yang tidak dapat dipisahkan dengan habisnya secara perlahan-lahan hutan di sekitar Wanaraya karena penebangan hutan secara besar-besaran untuk kepentingan pemukiman dan lahan persawahan untuk para transmigran.

Dalam kondisi seperti ini, transmigrasi mendorong resiliesi/daya lenting ekologi gambut terputus; akibat pergeseran pola pengusahaan dari ekstensif (sistem produksi behuma) ke intensif atau menetap (sistem produksi padi-sawah pasang surut). Pergeseran ekologis tersebut ternyata kontradiktif dengan prinsip keberlanjutan produksi di Wanaraya. Ini ditandai oleh kerusakan lahan/tanah bertekstur histosol dan peristiwa kebakaran lahan yang meng-uras potensi kesuburan lahan. Fakta ini semakin mempertegas gejala jurang metabolik (metabolic gap), dimana sesat pikir dalam tata interaksi antara manusia dengan

Pulau Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya dan Sumatera. Sementara itu, tanah subur berjenis andisol banyak terdapat di Pulau Jawa dan daerah-daerah yang memiliki gunung berapi (Puslit Tanah dan Agroklimat, Jakarta 2000).

alam membawa kehancuran yang tidak hanya menyingkirkan keberadaan komunitas lokal, akan tetapi juga menghadapkan komunitas transmigran Wanaraya pada masa depan hampir yang marginal di sektor pertanian.

“Sesat pikir” dalam transmigrasi memunculkan empat watak kapitalisme di Wanaraya. Pertama, mewujudkan “jurang yang tidak dapat dipulihkan kembali” berupa gejala “behuma hilang, sawah terancam” dan mengancam keberadaan komunitas lokal dan transmigran; kedua, sebagai konsekuensi pertama dan yang utama dari jurang tersebut, kedua komunitas dihadapkan pada dilema ekonomi kapitalisme dimana intensifikasi merupakan pilihan tunggal dalam mempertahankan produksi yang keberlanjutan terancam. Intensifikasi merupakan saluran yang terus membesar bagi penetrasi kekuatan modal (kapitalis) ke dalam sistem produksi padi-sawah pasang surut.

Ketiga, petani menjadi sekedar operator yang memperoleh manfaat tidak sebanding dengan rantai kapitalis. Manfaat produksi lebih banyak ditentukan dan diserap industri pupuk dan industri kapur berskala besar, yang bertidak sebagai pemasok faktor produksi utama petani di lahan gambut berawa; dan keempat, konsolidasi kapitalis, dimana kerjasama antara kapitalisme sentral (central capitalism) yang diwakili oleh industri pupuk dan kapur yang berskala sedang sampai besar dengan kapitalisme pinggiran (periferi capitalism) yang diwakili oleh petani pemilik modal semakin meluas dan menguat. Keempat watak kapitalisme tersebut, selanjutnya mendapat tanggapan emansipasitoris dari kalangan petani, dengan mengembangkan alternatif usaha produksi yang tidak berbasis input teknologi tinggi dan bermodal besar, seperti usaha produksi umbi-umbian.

Apa yang hendak dijelaskan dari uraian di atas adalah bahwa kebijakan pemerintah membagikan lahan kepada para transmigran ternyata tidak serta merta memperbaiki struktur ekonomi dan kesejahteraan komunitas transmigran. Sebaliknya, yang terjadi adalah penguatan struktur sosial yang eksploitatif terhadap petani pemilik-penggarap di dua komunitas, melalui peran petani pemilik modal. Oleh karena itu, tidak diragukan lagi, kehadiran modal dalam usaha produksi komunitas transmigran adalah sebagai ciri pokok pembentukan formasi sosial kapitalis di daerah tujuan. Dalam konteks ini dominasi moda produksi

kapitalis terhadap moda produksi lainnya (moda produksi subsisten dan moda produksi komersil) saling terintegrasi satu sama lainnya, sebagaimana yang terjadi pada komunitas transmigran di Wanaraya.

Formasi Sosial Kapitalis di Daerah Tujuan: Dominasi Peran Kelas Kapitalis Pinggiran

Telah dikemukakan bahwa pembagian lahan seluas 2 hektar kepada keluarga transmigran di daerah tujuan adalah tindakan yang berdasar “sesat pikir”, dimana meletakkan logika produktivitas yang menempatkan lahan sebagai faktor produksi atau alat produksi utama. Dengan logika ini, sampai akhir