• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi tentang transmigrasi sebagai pembentuk formasi sosial kapitalis di daerah tujuan, diawali dengan pendekatan teoritis dan hasil kajian empiris tentang perubahan sosial yang terjadi pada komunitas tersebut. Pendekatan teoritis ini berguna sebagai landasan teoritis penulis untuk menganalisa fakta-fakta lapangan yang berkaitan dengan terbentuknya dan berubahnya formasi sosial pada komunitas transmigran. Pembentukan formasi sosial dapat dilihat dari berlangsungnya moda produksi (mode of production) terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production), yang kemudian menggerakkan suprastuktur (ideologi, budaya dan politik) dalam masyarakat.

Pendekatan Teoritis Formasi Sosial (Social Formation)

Istilah formasi sosial (social formation) merupakan istilah yang seringkali diidentikan dengan berlangsungnya moda produksi (mode of production) dalam suatu komunitas atau masyarakat oleh mereka yang beraliran “Marxis” (Sztompka 2004; Clammer 2003; Sairin et. al 2002; Setiawan 1999; Budiman 1995; dan Plattner 1989).

Adapun definisi formasi sosial adalah gejala dimana dua atau lebih moda produksi hadir bersamaan dalam masyarakat dan salah satu moda produksi mendominasi yang lainnya. Moda produksi yang dominan berfungsi seperti penerang utama yang memberi pengaruh kepada moda produksi lainnya dan mengubah sifat-sifat utama dari moda produksi lainnya (Budiman 1995). Atau dengan kata lain, apabila moda produksi feodal mendominasi suatu komunitas atau masyarakat dalam waktu tertentu, maka dapat dipastikan bahwa formasi sosial yang terbentuk adalah formasi sosial feodal, demikian pun dengan pembentukan formasi sosial kapitalis merupakan dominasi moda produksi kapitalis terhadap moda produksi lainnya dalam suatu komunitas/masyarakat.

Selain definisi formasi sosial yang dikemukan oleh Budiman tersebut, Kahn mengemukakan formasi sosial dengan merujuk pembagian moda produksi

yang berlangsung pada masyarakat Minangkabau, yaitu moda produksi subsisten, moda produksi komersil, dan moda moda produksi kapitalis (Sitorus 1999).

Ketiga moda produksi tersebut menurut Kahn memiliki keterkaitan integratif tetapi dalam bentuk yang bersifat asimetris, dimana produksi kapitalis tampil sebagai moda produksi yang dominan sedangkan dua moda produksi lainnya pada posisi resisten. Curahan waktu kerja pada moda produksi subsisten menyumbang kepada moda produksi komersil dan kepada buruh upahan dalam perusahaan kapitalis. Tetapi curahan waktu kerja yang diserap produksi komersil dari produksi subsisten tadi dalam kenyataannya dialihkan langsung ke moda produksi kapitalis melalui suatu proses pertukaran yang timpang. Barang yang dihasilkan produksi komersil dijual ke pasaran (domestik dan ekspor) dengan harga yang lebih rendah dari biaya produksinya. Karena itu dapat dikatakan bahwa moda produksi kapitalis untuk sebagian direproduksi oleh moda produksi subsisten. Sebagai indikatornya Kahn menunjuk antara lain upah buruh yang lebih rendah dari total biaya reproduksi buruh (Sitorus 1999: 17–18).

Teori atau konsep formasi sosial yang diuraikan tersebut, merupakan tingkat tertinggi bangunan teori Marx (Sztompka 2004), dimana dalam produksi sosial kehidupan manusia memasuki hubungan tertentu yang sangat diperlukan dan terlepas dari kemauan mereka. Selanjutnya hubungan produksi yang berkaitan dengan tahap perkembangan kekuatan produksi material mereka yang mana keseluruhan hubungan produksi ini merupakan struktur ekonomi masyarakat sebagai basis nyata membangun suprastruktur dan tempat menghubungkan bentuk-bentuk kesadaran sosial tertentu. Atas dasar ini, maka formasi sosial selalu mengalami perubahan yang bersifat otodinamis, terus menerus, dan dari dalam yang mana perubahan didorong oleh kontradiksi endemik, penindasan, dan ketegangan di dalam struktural.

Formasi sosial juga merujuk pada perubahan formasi kelas dalam masyarakat kapitalis karena moda produksi kapitalis menguasai moda produksi yang lainnya (subsisten dan komersil). Sebagai contoh, studi yang dilakukan oleh Girsang (1996) pada komunitas transmigran di Desa Waihatu menunjukkan bahwa penguasaan atas tanah dalam proses produksi pertanian menyebabkan komunitas transmigran terbagi ke dalam lapisan atas, tengah, dan bawah, dimana

masing-masing lapisan sosial tersebut mempunyai pola produksi dan relasi produksi yang berbeda satu sama lainnya.

Sehubungan dengan kasus komunitas transmigran di Wanaraya, maka dapat digambarkan bahwa kelas pemilik modal menunjukkan penguasaannya terhadap kelas petani pemilik-penggarap sehingga membentuk formasi kelas, dimana kelas pemilik modal menempatkan dirinya pada posisi teratas pada basis sosio-ekonomi komunitas transmigran. Strasser dan Randall (1981) menyatakan perubahan sosial merupakan perubahan ekonomi masyarakat, dimana terjadinya perubahan formasi kelas dalam masyarakat kapitalisme, akibat timbulnya pertentangan kelas antara masyarakat yang mempunyai alat produksi dengan golongan proletar. Perubahan ini disebabkan oleh kegiatan ekonomi yang akhirnya memunculkan masyarakat tanpa kelas.

Lebih jauh Sztompka (2004) menjelaskan bahwa perubahan formasi sosial terjadi di tiga tempat yang berbasis kontradiksi, yaitu: pertama, diperbatasan antara masyarakat dan lingkungan (alam) seperti kontradiksi yang terus muncul antara tingkat perkembangan teknologi tertentu dan tantangan yang dihadapi oleh kondisi sosial maupun kondisi biologis. Kontradiksi ini mendorong perkembangan permanen dalam kekuatan produksi; kedua, kontradiksi lain muncul antara tingkat teknologi yang dapat dicapai dan organisasi produksi yang ada, yang tak sesuai dengan kekuatan produksi yang tersedia. Kontradiksi ini mendorong terjadinya perubahan progresif dalam hubungan produksi; dan ketiga, kontradiksi terakhir muncul antara hubungan produksi yang baru terbentuk dan sistem politik tradisional. Dalam kondisi seperti ini, pranata hukum dan ideologi (suprastruktur) tak lagi berfungsi membantu substruktur ekonomi. Kontradiksi ini menyebabkan terjadinya transformasi rezim politik dan tatanan hukum masyarakat. Oleh karena adanya kontradiksi internal dan tekanan terus-menerus ke arah penyelesaiannya, maka masyarakat dengan sendirinya menampakkan kecenderungan terus menerus pula ke arah perubahan. Uraian yang telah dijelaskan sebelumnya secara ringkas dapat dilihat pada Gambar 1.

Realitas fisik (kondisi) alam Wanaraya dengan tekstur lahan histosol (lahan gambut berawa) mendorong terjadinya interaksi antara alam dan manusia dalam bentuk tindakan rasional manusia memanfaatkan alam untuk usaha

produksi. Sebelum kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya, terdapat komunitas lokal (penduduk beretnis Banjar) yang melakukan usaha produksi behuma berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan berikutnya yang berorientasi subsiten (nilai-guna). Usaha produksi ini masih memungkinkan karena kepemilikan lahan bersifat komunal yang dapat dimanfaatkan oleh setiap keluarga komunitas lokal melalui persetujuan kepala padang dan pembekal.

Gambar 1. Formasi Sosial Masyarakat (Sztompka 1994).

Selain itu, kondisi alam Wanaraya menentukan jenis alat produksi yang digunakan untuk melakukan usaha produksi behuma, seperti tajak, taju, ani-ani, parang, dan varietas bibit padi lokal (padi siam). Demikian pun dengan tenaga kerja dalam usaha produksi sebatas keluarga inti saja, seperti ayah, ibu, dan anak yang sudah dewasa (baik laki-laki maupun perempuan). Atau dengan kata lain, sifat fisik (kondisi) alam Wanaraya mendorong perkembangan permanen moda produksi subsisten, dimana kekuatan produksi (seperti penggunaan alat produksi dan unit produksi berasal dari keluarga inti) dan hubungan produksi yang tercipta terkesan egaliter dan tidak bersifat eksploitatif.

Berbeda ketika hadirnya komunitas transmigran pada tahun 1978, perubahan terjadi pada kepemilikan lahan yang tidak lagi bersifat komunal melainkan didasarkan atas kepemilikan bersifat pribadi, dimana masing-masing Kepala Keluarga (KK) komunitas (baik komunitas lokal maupun komunitas

Politik dan suprastruktur legal

(ideologi)

Bentuk kesadaran sosial (seni, kesusasteraan, religi) Hubungan Produksi Kekuatan Produksi Alam Moda Produksi Formasi Sosial 1 3 2 3 2 1

transmgiran) mendapatkan lahan dari pembagian pemerintah. Selain itu, perubahan juga terjadi pada usaha produksi, yaitu dari usaha produksi behuma berpindah-pindah ke usaha produksi sawah pasang surut yang menetap. Meskipun demikian, sangat disadari oleh komunitas transmigran bahwa sifat fisik alam Wanaraya yang ditandai dengan lahan bertekstur histosol tidak memungkinkan pengalaman atau kecakapan usaha produksi sawah yang pernah dilakukan di daerah asal mereka – pulau Jawa – diterap-kan di Wanaraya.

Kondisi seperti di atas menyebabkan terjadinya kontradiksi pada kekuatan produksi, dimana alat produksi (teknologi) seperti pacul yang biasa digunakan pada tahap penggemburan tanah tidak memungkinkan digunakan pada lahan bertekstur histosol untuk usahatani sawah pasang surut. Begitupun dengan tenaga kerja dalam pengelolaan sawah pasang surut menuntut penggunaan tenaga kerja tambahan di luar keluarga inti karena ketidakmampuan anggota (keluarga) komunitas transmigran untuk mengelola lahan secara sendiri.

Dengan demikian, kesadaran komunitas transmigran terhadap kondisi alam Wanaraya menyebabkan terjadinya “revolusi teknologi” dimana tergantikannya teknologi pacul dengan teknologi tajak di dalam tahapan produksi lacak dan hadirnya sistem pertukaran tenaga kerja dalam pengelolaan usahatani sawah pasang surut yang didasarkan atas kepentingan kebutuhan yang sama akan tenaga kerja antara sesama komunitas transmigran. Meskipun terdapat tenaga kerja di luar keluarga inti tersebut, namun bukan berarti hubungan produksi yang tercipta bersifat eksploitatif. Melainkan hubungan produksinya cenderung egaliter karena tenaga kerja yang diperoleh melalui pertukaran tenaga kerja didasarkan atas tindakan tolong menolong yang disesuaikan dengan kebutuhan anggota komunitas transmigran.

Selanjutnya sifat fisik (kondisi) alam Wanaraya dengan lahan histosol yang kurang subur dan resisten terhadap kebakaran ini mendorong terjadinya perubahan permanen pada kekuatan produksi dan hubungan produksi. Dalam kondisi seperti ini, kekuatan produksi berupa modal memainkan peranan yang cukup penting dalam usaha produksi sehingga terciptanya struktur hubungan produksi yang hierarki dan terkesan eksploitatif antar sesama komunitas transmigran. Uraian yang telah dijelaskan sebelumnya memberikan gambaran

bahwa untuk memahami formasi sosial, maka terlebih dahulu perlu memahami berlangsungnya moda produksi yang kemudian mempengaruhi atau menggerakkan suprastruktur (ideologi, politik dan budaya) suatu komunitas atau masyarakat.

Moda Produksi (Mode of Production)

Bagi kalangan Marxis, teori tentang moda produksi (mode of production) mempunyai titik penekanan yang berbeda-beda dalam menafsirkan moda produksi yang terdiri dari kekuatan produksi (force of production) dan hubungan produksi (relation of production). Merujuk penelitian yang telah dilakukan oleh Kahn di Minangkabau, moda produksi didefinisikan berdasarkan pembagian moda produksi ke dalam tiga bagian, terdiri dari: pertama, produksi subsisten (subsistence production), yaitu usaha pertanian tanaman pangan dimana hubungan produksi terbatas dalam keluarga inti antara pekerja yang bersifat egaliter; kedua, produksi komersil (petty commodity production), yaitu usaha pertanian atau luar pertanian yang (sudah) berorientasi pasar dimana hubungan produksi merujuk pada gejala eksploitasi surplus melalui ikatan kekerabatan, dan hubungan sosial antara pekerja (umumnya anggota keluarga/kerabat) bersifat egaliter tetapi kompetitif; dan ketiga, produksi kapitalis (capitalist production), yaitu usaha padat-modal berorientasi pasar dimana hubungan mencakup struktur majikan-buruh atau “pemilik modal-pemilik tenaga” (Sitorus 1999).

Tidak sampai disitu saja, Kahn menunjukkan artikulasi moda produksi subsisten, komersil, dan kapitalis yang masing-masing mempunyai perbedaan kekuatan produksi dan hubungan produksi (penjelasan secara rinci artikulasi moda produksi yang dimaksud dapat dilihat pada Tabel 1). Selain teori moda produksi menurut Kahn, terdapat teori lain tentang moda produksi yang kekuatan produksinya diartikulasikan sebagai basis material produksi, mencakup: alat-alat produksi (teknologi), manusia dengan kecakapannya, pengalaman-pengalaman produksi, dan terkadang pembagian teknis kerja.

Sementara itu, hubungan produksi merupakan hubungan kerjasama atau pembagian kerja (hubungan ekonomi dan sosial) antara manusia yang terlibat dalam proses produksi ekonomi (produsen dan non-produsen). Hubungan-hubungan produksi tersebut ditentukan oleh tingkat perkembangan kekuatan

produksi, struktur kelas yang tercipta dalam masyarakat dan tuntutan efisiensi produksi (Jary and Jary 2000; Agusta 2000; Magnis Suseno 1998; Watson 1997). Tabel 1. Artikulasi Moda Produksi Menurut Kahn.

Artikulasi Moda Produksi Moda

Produksi Kekuatan Produksi Hubungan Produksi Orientasi

Subsisten Tanah sebagai alat produksi, keluarga sebagai unit produksi, anggota

keluarga/kerabat sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan padi sebagai produk utama

Terbatas keluarga inti, hubungan antara pekerja bersifat egaliter.

Usaha subsisten

Komersil Tanah dan non-tanah sebagai alat produksi, individu sebagai unit produksi, individu dan anggota keluarga sebagai tenaga kerja utama (buruh upahan langka), dan komoditi ekspor/konsumsi lokal sebagai produk utama

Hadirnya gejala eksploitasi suplus melalui ikatan kerabat dekat, hubungan sosial antara pekerja bersifat egaliter, tetapi

kompetitf (dimana pekerja memiliki hasil kerjanya untuk

dipertukarkan sebagai komoditi).

Pasar

Kapitalis Modal sebagai alat produksi, perusahaan sebagai unit produksi, buruh upahan sebagai tenaga kerja utama, dan komoditi ekspor/konsumsi domestik sebagai produk utama. Majikan-buruh, dimana majikan sebagai pemilik modal

sedangkan buruh tidak memiliki alat produksi (kecuali menjual tenaga yang menghasilkan nilai), surplus nilai diserap pemilik modal.

Pasar

Sumber: Kahn dalam Sitorus (1999).

Selanjutnya, bekerjanya moda produksi tersebut dapat dicermati dari dua bentuk moda produksi, yaitu: (1) moda produksi pra-kapitalis (pre-capitalist mode of production) merupakan bentuk dari ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis dan dalam beberapa masyarakat muncul secara terus menerus bersama moda produksi kapitalis. Adapun ciri-ciri moda produksi pra-kapitalis adalah komunisme primitif, kuno, asiatik, dan feodal.

Selain itu, moda produksi pra-kapitalis juga dapat dilihat dari kekuatan politik yang digunakan untuk mengekstrak surplus ekonomi, tidak merdeka, dan tidak didasarkan pada pekerja upah bebas; dan kedua, moda produksi kapitalis (capitalist mode of production) merupakan bentuk ekonomi yang dicirikan oleh modal (kapital) dimiliki dan diawasi sendiri, serta pekerja dibeli dengan pembayaran upah oleh kapitalis. Adapun tujuan produksi dalam moda produksi kapitalis adalah menciptakan keuntungan dari penjualan komoditas dalam pasar bebas yang kompetitif, bersifat dinamis dan ini memberi dasar pada kompetisi akumulasi modal (Jary and Jary 2000; Agusta 2000).

Berkaitan dengan moda produksi kapitalis di atas, menurut Watson (1997) bahwa terdapat kekuatan produksi kapitalis yang terdiri dari tanah, tenaga kerja, modal, dan hubungan produksi yang merujuk pada hubungan kapitalis antara borjuis dan proletar. Sementara itu, hubungan produksi yang tercipta antara borjuis dan proletar sudah didasari atas konflik, dimana salah satu mengeksploitasi yang lainnya. Adapun ciri khusus dari moda produksi ini adalah modal dimiliki oleh kapitalisme, pekerja dibeli dengan sistem upah, dan tujuan produksi untuk mendapatkan keuntungan dari penjualan barang. Untuk memahami secara ringkas moda produksi kapitalis menurut Marx disajikan pada Gambar 2.

Tulisan dari hasil penelitian ini menitikberatkan pada pembentukan formasi sosial pada komunitas transmigran di Wanaraya. Komunitas trans-migran tersebut mempunyai basis materi lahan marjinal (lahan bertekstur histosol) yang diperoleh dari pembagian pemerintah, dimana masing-masing keluarga komunitas transmigran menerima kurang lebih 2 ha tanah. Pembagian tanah ini diperuntukkan sebagai lahan pemukiman (disitilahkan lahan 1) dan lahan persawahan (distilahkan lahan 2) untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga sehari-hari.

Tenaga kerja untuk pengusahaan kebutuhan produksi tersebut berasal dari keluarga inti dan terkadang antar sesama anggota komunitas saling bekerjasama dalam bentuk pertukaran tenaga kerja. Jika organisasi produksi merupakan cerminan dari struktur sosial komunitas transmigran didasarkan atas kepemilikan lahan dan tenaga kerja sewa atau upah, maka untuk kasus komunitas transmigran

di Wanaraya dapat dipastikan bahwa pada awal-awal komunitas transmigran menetap di daerah tujuan (Wanaraya) tidak mempunyai perbedaan kelas sosial antar satu dengan lainnya.

Gambar 2. Moda Produksi Kapitalis Menurut Marx (Watson 1997).

Keterbatasan lahan produksi (lahan histosol) yang diperoleh komunitas transmigran dari pemerintah mempunyai pengaruh terhadap kekuatan produksi, hubungan produksi, dan nilai/norma komunitas transmigran dikare-nakan kondisi lahan histosol (gambut berawa) daerah tujuan berbeda dengan daerah asal komunitas transmigran, maka pengusahaan usahatani sawah sangat ditentukan oleh penggunaan alat produksi dan tenaga kerja.

Kontradiksi antara kondisi alam dengan pengalaman bertani sawah komunitas transmigran di daerah asal menyebabkan terjadinya “revolusi” produksi usahatani sawah yang ditandai dengan penggunaan teknologi produksi yang digunakan pada tahapan produksi, seperti teknologi pacul digantikan oleh teknologi tajak dalam tahapan lacak (penggemburan tanah) usahatani sawah pasang surut. Sementara itu, teknologi pacul yang melekat dengan pengalaman bertani komunitas transmigran diperuntukkan untuk mengelola lahan yang relatif tinggi (lahan 1).

Sementara itu, ketidakmampuan tenaga kerja dari keluarga inti dalam tahapan produksi usahtani sawah tertentu (seperti tahap lacak dan tahap

Ideologi, Agama, Politik, dan Institusi Budaya

Kekuatan produksi (tanah, tenaga kerja, dan investasi modal) Hubungan produksi (kapitalisme/ Pekerja) Kontradiksi

menanam) dan terbatasnya modal milik keluarga komunitas transmigran menyebabkan hadirnya pertukaran tenaga kerja antara sesama anggota keluarga komunitas transmigran. Pertukaran tenaga kerja antar keluarga komunitas transmigran tersebut didasarkan atas kepentingan yang sama untuk melakukan pengelolaan usatani sawah pasang surut mendorong hubungan produksi yang egaliter dengan sifatnya yang non-eksploitatif sehingga masih bertahannya nilai/norma tolong menolong antar sesama komunitas transmigran.

Namun, hubungan yang cenderung eksploitatif kemudian hadir ketika terjadinya penurunan kesuburan lahan yang ditandai dengan penurunan produksi padi dari 200–300 kaleng/ha/tahun menjadi 10–50 kaleng/ha/tahun22. Penurunan produksi padi tersebut disebabkan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran saat pembukaan hutan menghilang dengan cepat di lahan Kalimantan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah. Selain itu, drainase yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah (Levang 2003).

Dalam kondisi seperti di atas, investasi modal pada lahan gambut berawa mempunyai peranan yang cukup penting untuk melanjutkan usahatani sawah pasang surut. Atau dengan kata lain, modal diperuntukkan untuk membeli sarana produksi (seperti pupuk dan kapur) dan upah tenaga kerja. Hadirnya upanisasi tenaga kerja dikarenakan memudarnya pertukaran tenaga kerja dan kecenderungan anggota komunitas transmigran mengupahkan tenaga kerjanya untuk memperoleh modal guna membeli sarana produksi tersebut.

Dengan demikian, pada aras struktur sosial terdapat kelas pemilik modal (petani pemilik modal) dan kelas petani pemilik-penggarap pada komunitas transmigran. Begitupun pada aras suprastruktur komunitas transmigran mengalami pergeseran dari basis kebutuhan tenaga kerja dengan tolong menolong menjadi individual yang didasari oleh kepentingan untuk memperoleh uang tunai (modal).

Perubahan Sosial dalam Dimensi Teknologi dan Ekonomi

Teknologi merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk memanfaatkan alam melalui kegiatan-kegiatan produktif. Dalam hal ini,

22

teknologi adalah alat untuk mencapai pemenuhan kebutuhan manusia. Teknologi juga dapat diartikan sebagai suatu cara atau rancangan alat bagi suatu tindakan yang dapat membantu mengurangi ketidakpastian dalam hubungan sebab-akibat dalam upaya mencapai suatu hasil. Arti teknologi sendiri dapat menunjuk pada alat produksi dan teknik penggunaannya (Rogers 1983: 12; ESCAP 1984: 3).

Dalam kajian Marxis, teknologi merupakan bagian dari kekuatan produksi yang di dalamnya juga terdapat tanah, manusia dan kecakapannya, serta pembagian teknis kerja. Menurut Weilland (1988) teknologi dapat dipilah ke dalam tiga bentuk, yaitu: (1) teknologi modern, yang mempunyai ukuran kecil sampai ukuran yang besar; (2) teknologi tradisional, yang mempunyai ukuran workshop kecil; dan (3) teknologi rumah tangga, dengan tenaga kerja satu orang hingga rumah tangga secara luas. Berbagai studi tentang peran teknologi dalam suatu masyarakat menunjukkan kemampuannya melakukan perubahan pada level masyarakat (community) maupun level keluarga (family).

Ogburn (Harper 1989: 57–58) mengatakan bahwa inovasi teknologi setidaknya dapat menyebabkan perubahan dalam tiga hal, yaitu: (1) inovasi teknologi dapat memberikan kemudahan dalam kehidupan; (2) teknologi baru dapat merubah interaksi antar manusia; dan (3) teknologi dapat menimbulkan masalah-masalah baru. Studi yang dilakukan Yosep (1996) dan Dyah W.I.KR. (1997) menunjukkan bahwa masuknya teknologi sawah dapat merubah kekuatan produksi berkaitan dengan pembagian kerja dan penggunaan tenaga kerja di luar keluarga inti menyebabkan hadirnya masalah-masalah baru berupa kebutuhan modal untuk mengupah tenaga kerja.

Selain itu, permasalahan yang ditimbulkan dari masuknya teknologi sawah di komunitas transmigran adalah introduksi varietas unggul pada sistem produksi sawah. Penggunaan varitas unggul bisa jadi meningkatkan produksi padi, namun disisi lain teknologi ini membutuhkan curahan kerja yang cukup tinggi. Dua kondisi yang kontradiktif ini setidaknya dialami oleh keluarga inti23 komunitas transmigran. Akibat dari reduksi keluarga luas menjadi keluarga inti yang terjadi di komunitas transmigran kemudian dihadapkan dengan curahan kerja dalam

23

Keluarga inti merupakan sasaran operasionalisasi dalam program transmigran yang dapat di lihat dari alokasi sumber daya lahan, alokasi fasilitas dan jasa-jasa sosial serta target dalam realisasi program transmigran.

usahatani yang meningkat menyebabkan penggunaan tenaga kerja sewaan atau bersama-sama anggota kerabat atau anggota lainnya dalam sistem sosialnya mengembangkan pola gotong royong (Yosep 1996).

Demikian pun dengan studi yang dilakukan oleh Dyah W.I.K.R. (1997) pada masyarakat Tulem di Propinsi Irian Jaya menunjukkan introduksi teknologi sawah menyebabkan perubahan yang dapat dilihat dari kembalinya peran laki-laki dalam bidang ekonomi, keamanan dan kesejahteraan dalam jaminan sosial. Selain itu, introduksi teknologi tersebut ternyata merubah kepemimpinan laki-laki yang berorientasi perang (bigman-war) berubah menjadi orientasi ekonomi dengan peningkatan hasil pertanian (bigman-agriculture). Setidaknya, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yosep dan Dyah W.I.K.R. berkaitan dengan introduksi teknologi menyebabkan perubahan kekuatan dan hubungan produksi, serta orientasi nilai tersebut menunjukkan bahwa teknologi sebagai salah satu prime mover perubahan di dalam sistem sosial, seperti perubahan kebudayaan dan struktur sosial (Ponsioen 1969).

Sementara itu, perubahan kebudayaan oleh teknologi dapat dilihat dari penjelasan Krysmanski dan Tjaden (Stasser dan Rendall 1981). Krysmanski dan Tjaden mengatakan kemajuan teknologi menyebabkan terjadinya perubahan kultur dimana implementasi dan penjelmaan proses sosial yang mendasari realitas sosial di masyarakat. Proses sosial ini berlangsung dalam formasi sosial, dimana teknologi memegang peranan penting dalam bekerjanya moda produksi suatu masyarakat. Kenyataan yang terjadi di masyarakat adalah moda produksi mengalami peralihan waktu yang cukup lama dari satu moda produksi ke moda produksi yang lainnya, misalnya peralihan dari moda produksi feodal ke moda produksi kapitalis. Pada waktu peralihan ini mengakibatkan terjadinya percampuran atau pertemuan dari dua atau lebih moda produksi. Percampuran atau pertemuan dua moda produksi ini disebut formasi sosial.

Berbeda dengan teknologi, peranan ekonomi lebih dominan berpengaruh