• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merujuk penelitian yang dilakukan oleh Kahn di Minangkabau bahwa moda produksi subsisten menghasilkan padi untuk pemenuhan subsistensi atau dengan kata lain dalam pemikiran Marx bahwa moda produksi subsistensi ini menghasilkan barang yang memiliki “nilai-pakai” atau use-value (Sitorus 1999). Untuk kasus penelitian komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan moda produksi subsistensi berlangsung pada periode behuma sebelum tahun 1978 yang ditandai dengan kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya.

Pada bagian sebelumnya telah dikemukkan bahwa sejarah usaha produksi komunitas transmigran tidak lepas dari usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas lokal yang sudah ada sebelum komunitas transmigran menempati wilayah Wanaraya sebagai daerah tujuan. Untuk itu, komoditas padi melalui behuma merupakan komoditas yang mencirikan moda produksi subsisten berlangsung sepanjang periode behuma. Sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu bahwa usaha produksi behuma yang dilakukan oleh keluarga komunitas lokal sebagai petani penggarap merupakan cerminan teknologi ekstensif (berpindah-pindah) dari satu lahan ke lahan berikutnya. Ini dimungkinkan karena masih tersedianya hutan tropis yang dapat dijadikan sebagai lahan produksi behuma dan kepadatan penduduk yang relatif sedikit. Tahap produksi behuma dibagi ke dalam 4 tahap, yaitu menugal (Oktober sampai dengan Desember), melacak (Desember sampai dengan Maret), menanam (April), dan panen (Agustus atau September).

Selanjutnya lahan yang digunakan untuk melakukan usaha produksi behuma adalah lahan yang kepemilikannya bersifat komunal di bawah penguasaan seorang Gusti sekaligus sebagai pembekal desa. Mereka keluarga komunitas lokal –yang akan menggunakan lahan tersebut diwajibkan melapor kepada pembekal desa dan selanjutnya pembekal desa menunjuk kepala padanguntuk membagikan lahan kepada petani penggarap sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing mereka dalam pengusahaannya. Setelah pembagian lahan diperoleh, terlebih dahulu dilakukan kegiatan membatang (menebang kayu) di hutan tropis Wanaraya dengan tujuan untuk menyediakan lahan produksi behuma tersebut.

Kegiatan produksi membatang ini secara tidak langsung berkaitan dengan kepemilikan lahan komunal, dimana menurut catatan Levang37 tentang kepemilikan lahan komunal di daerah Kalimantan Selatan bahwa hak milik penuh penebang tidak dapat diwariskan dan hanya dapat digunakan untuk perladangan berpindah. Rata-rata lahan yang digunakan untuk kegiatan produksi membatang oleh komu-nitas lokal seluas 10 borong (1/3 hektar) per tahunnya yang disesuaikan dengan kemampuan menggarap lahan untuk usaha produksi behuma.

Berbeda dengan tahap behuma sebelumnya, komunitas lokal mengenal empat tahap dalam membatang, terdiri dari: (1) menumbang kayu (menebang pohon) menggunakan parang yang beratnya 5–6 kg; (2) memotong kayu menjadi beberapa bagian dengan ukuran tertentu dengan alat produksi yang sama; (3) melarutkan kayu ke tepi sungai ulak dengan tali; dan (4) menjual hasil membatang ke pasar domestik dengan menggunakan klotok. Besarnya harga kayu yang dijual tersebut sangat tergantung dari jenisnya berkisar antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 15.000 per batang. Organisasi produksi membatang adalah keluarga inti yang dilakukan oleh laki-laki baik ayah maupun anak laki-laki yang sudah dewasa. Kondisi ini menunjukkan bahwa organisasi produksi membatang didominasi oleh peran laki-laki terhadap perempuan.

Berbeda dengan organisasi produksi membatang, peran laki-laki tidak lagi mendominsi dalam tahap behuma, melainkan telah terjadi distribusi (pembagian) tenaga kerja antara laki-kali dan perempuan dalam keluarga inti. Adapun distribusi tenaga kerja dalam keluarga inti tersebut, sebagai berikut: pada tahap menugal, tenaga kerja yang terlibat adalah ayah, ibu, dan biasanya dibantu oleh anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa dengan menggunakan teknologi padi bervarietas lokal (padi siam). Pada tahap lacak teknologi yang digunakan adalah tajak dengan tenaga kerja yang terlibat adalah ayah dan anak laki-laki dewasa. Keterlibatan ayah dan anak laki-laki yang sudah dewasa disebabkan tahap ini membutuhkan fisik atau tenaga yang relatif kuat.

Sementara itu, pada tahap menanam menggunakan teknologi taju, padi lokal, dan parang dengan tenaga kerja yang terlibat antara lain ayah, ibu, anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa. Panen padi dari usaha produksi

37

behuma ini mencapai 67 kaleng per 10 borong (1/3 hektar) setiap tahunnya dengan tenaga kerja sebagian besar dilakukan oleh perempuan pada masing-masing KK komunitas lokal.

Orientasi produksi dari dua usaha produksi (behuma dan membatang) di atas mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lainnya. Usaha produksi behuma bagi komunitas lokal ditempatkan sebagai komoditas yang berorientasi pemenuhan kebutuhan subsisten atau nilai-guna (use-value), sedangkan kegiatan membatang selain pemenuhan bahan bakar dan bangunan rumah juga sebagai komoditas yang berorientasi pasar atau nilai tukar (exchange-value) untuk mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan, seperti membeli pakaian, gula, kopi, dan lain-lain.

Pemenuhan kebutuhan subsisten sebagaimana orientasi produksi behuma menunjukkan bahwa surplus produksi behuma disamping untuk keluarga komunitas lokal itu sendiri, juga untuk untuk pembekal desa. Terjadinya penyerapan surplus produksi oleh pembekal desa sebanyak 5 kaleng sampai dengan 10 kaleng per sekali panen. Demikian pun dengan kegiatan produksi membatang, hasil penjualan kayu setiap keluarga komunitas transmigran dikenakan pajak oleh pembekal desa sebesar Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 per batang oleh pembekal desa.

Artikulasi Usaha Produksi Behuma

Untuk mengartikulasikan usaha produksi behuma dalam suatu formasi sosial terletak pada dua aspek, pertama, aspek kekuatan produksi (force of production) yang terdiri dari alat produksi, unit produksi, dan tenaga kerja utama; dan kedua, hubungan produksi (relation of production) yang terdiri dari batas sosial hubungan produksi, struktur hubungan produksi, dan sifat hubungan produksi (Kahn dalam Sitorus 1999: 142).

Dua aspek di atas, kemudian dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis artikulasi usaha produksi behuma yang pernah hadir dalam kesejarahan Wanaraya (periode behuma). Alat produksi utama behuma adalah lahan yang kepemilikannya bersifat komunal, dimana penguasaannya di bawah seorang Gusti atau pembekal desa. Sementara itu, alat produksi lainnya berupa teknologi tajak,

taju, parang, dan padi lokal adalah teknologi tradisional yang dimiliki oleh masing-masing keluarga anggota komunitas lokal yang mayoritas sebagai petani penggarap. Dengan demikian, akses atas tanah petani penggarap sepenuhnya dikuasai oleh pembekal desa, namun teknologi untuk melakukan kegiatan produksi behuma sepenuhnya dikuasai oleh petani penggarap.

Perbedaan akses atas lahan antara petani penggarap dengan pembekal desa menyebabkan struktur hubungan produksi yang tercipta adalah struktur hubungan yang terhierarki antara pembekal desa sebagai penguasa tanah “patron” dengan petani penggarap sebagai “klien”. Meskipun surplus produksi sepenuhnya diorientasikan untuk memenuhi kebutuhan pemenuhan pangan keluarga, akan tetapi karena pembekal desa memonopoli penguasaan lahan sebagai alat produksi utama maka terjadi penyerapan penyerapan surplus produksi sebanyak 5 sampai dengan 10 kaleng padi per sekali panen oleh pembekal desa. Kondisi ini dikarenakan hubungan produksinya yang terhierarki sehingga cenderung bersifat eksploitatif.

Tabel 12. Artikulasi Usaha Produksi Behuma.

Hub. Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi Struktur Hub. Produksi Sifat Hub. Produksi

Alat produksi Lahan atau tanah merupakan alat produksi utama yang dikuasai oleh pembekal desa, sedangkan teknologi produksi, seperti tajak, taju, parang, dan bibit varietas padi lokal dikuasai oleh petani penggarap.

Hierarki antara pembekal desa dan petani penggarap. Cenderung eksploitatif karena surplus produksi sebanyak 5 – 10 kaleng padi/panen diserap oleh pembekal desa. Organisasi (unit) produksi

Keluarga inti, namun terdapat distribusi antar sesama keluarga inti.

Terhierarki berdasarkan jenis kelamin di dalam keluarga inti. Cenderung eksploitatif karena suplus produksi melalui tenaga kerja diserap oleh sebagian pembekal desa.

Tenaga kerja utama Keluarga inti - -

Sementara itu, gejala “upanisasi” tenaga kerja pada usaha produksi behuma sama sekali tidak ditemukan karena tenaga kerja utama usaha produksi behuma sepenuhnya dilakukan keluarga inti sebagai organisasi (unit) produksi yang

sekaligus menunjukkan batas sosial hubungan produksinya. Walaupun demikian, di dalam keluarga inti terdapat distribusi tenaga kerja sesuai dengan tahap produksi behuma. Adapun distribusi tenaga kerja tersebut, sebagai berikut: (1) tahap menugal, dimana tenaga kerja yang terlibat adalah ayah, ibu, dan biasanya dibantu oleh anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa; (2) tahap melacak, tenaga kerja yang terlibat adalah ayah dan anak laki-laki dewasa; (3) tahap menanam, dimana tenaga kerja yang terlibat adalah ayah, ibu, anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa; dan (4) tahap panen, tenaga kerja yang terlibat sebagian besar perempuan pada masing-masing KK komunitas lokal.

Meskipun organisasi produksi berbasis keluarga inti, yang mana terjadi penyerapan surplus produksi oleh keluarga inti, akan tetapi tak dapat dipungkiri bahwa surplus produksi juga diekstrak oleh pembekal desa. Dengan demikian, dapat dipastikan terdapat hierarki dalam struktur hubungan produksi yang juga berarti terjadi kecenderungan eksploitatif dalam hal tenaga kerja (uraikan singkat artikulasi usaha produksi behuma dapat dilihat pada Tabel 12).

Artikulasi Kegiatan Produksi Membatang

Seperti halnya dengan usaha produksi behuma yang dijelaskan di atas, alat produksi utama membatang adalah lahan disebabkan kegiatan produksi ini tidak dapat dipisahkan dengan tahap produksi behuma. Umumnya, kegiatan produksi membatang dilakukan pada lahan yang sama untuk produksi behuma, dimana petani penggarap sebelum memulai produksi behuma melakukan penebangan pohon sesuai kemampuan dan kebutuhan dalam pengusahaan lahan, yaitu seluas 10 borong atau 1/3 hektar. Seperti halnya behuma, akses atas lahan dikuasai oleh pembekal desa sedangkan alat produksi lainnya berupa teknologi pemotong (parang), tali, dan klotok dimiliki oleh masing-masing petani penggarap.

Perbedaan akses atas lahan tersebut menyebabkan struktur hubungan produksi yang tercipta adalah struktur hubungan yang terhierarki antara pembekal desa sebagai penguasa tanah sebagai “patron” dengan petani penggarap sebagai “klien”. Berbeda dengan behuma, surplus produksi diorientasikan untuk dua hal yaitu bahan untuk membangun rumah sebagai penjelmaan nilai-guna (use-value) dan mendapatkan uang tunai (exchange-value). Uang tunai yang diperoleh dari

kegiatan produksi membatang tersebut digunakan untuk membeli kebutuhan keluarga, seperti minyak kelapa, tembakau (rokok), sabun, dan baju. Oleh karena itu, usaha produksi memba-tang ini merupakan cerminan dari usaha yang berorientasi selain nilai guna, juga berorientasi nilai tukar.

Penyerapan surplus produksi dilakukan oleh pembekal desa tetap ada, seperti halnya usaha produksi behuma. Besarnya surplus produksi yang diserap oleh pembekal desa tersebut adalah tiga ribu rupiah sampai dengan lima ribu rupiah per batang. Dengan demikian, hubungan produksi yang terhierarki dan terjadinya penyerapan surplus produksi oleh pembekal desa menyebabkan kegiatan produksi ini cenderung eksploitatif.

Tabel 13. Artikulasi Usaha Produksi Membatang.

Hub. Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi

Struktur Hub. Produksi

Sifat Hub. Produksi

Alat produksi Lahan atau tanah

sebagai alat produksi utama yang dikuasai oleh pembekal desa, sedangkan teknologi produksi, seperti parang, tali, dan klotok dikuasai oleh petani penggarap.

Hierarki antara pembekal desa dan petani penggarap. Cenderung eksploitatif karena surplus produksi sebanyak Rp. 3.000 – Rp. 5.000 /batang diserap oleh pembekal desa. Organisasi (unit) produksi

Keluarga inti, namun peran didominasi oleh laki-laki (ayah dan anak laki-laki yang sudah dewasa).

Terhierarki dalam keluarga inti yang didasarkan atas jenis kelamin. Cenderung eksploitatif karena surplus produksi melalui tenaga kerja diekstrak oleh pembekal desa.

Tenaga kerja utama Keluarga inti - -

Organisasi (unit) produksi membatang adalah keluarga inti yang juga sebagai tenaga kerja utama. Jika dalam usaha produksi behuma terdapat distribusi tenaga kerja, namun pada membatang tenaga kerja didominasi oleh laki-laki (seperti ayah dan anak laki-laki dewasa) disebabkan dalam setiap tahap membatang dibutuhkan fisik yang kuat. Oleh karena itu, struktur hubungan produksi cenderung egaliter di dalam keluarga inti meskipun terhierarki berdasarkan jenis kelamin. Surplus produksi dari kegiatan produksi membatang

diekstrak oleh pembekal desa melalui tenaga kerja sehingga cenderung bersifat eksploitatif (uraian singkat artikulasi usaha produksi behuma dapat dilihat pada Tabel 13).

Ikhtisar

Artikulasi dari dua usaha produksi pada periode behuma yang telah diuraikan di atas merupakan cerminan dari berlangsungnya moda produksi subsisten di wilayah Wanaraya. Meskipun demikian, gejala surplus produksi oleh pembekal desa kepada petani penggarap – keluarga komunitas lokal – dan penjualan hasil membatang ke pasar domestik menunjukkan bentuk ekonomi komunitas transmigran di Wanaraya yang secara histori mendahului kemunculan produksi komersial maupun kapitalis.

Ciri-ciri utama yang dapat dilihat dari artikulasi dua usaha produksi di atas adalah tenaga kerja utama berasal dari keluarga inti yang sekaligus sebagai organisasi (unit) produksi, kekuatan politik (pembekal desa) digunakan untuk menyerap surplus produksi yang diperoleh petani penggarap, dan belum terdapatnya tenaga kerja dalam bentuk upah. Dengan demikian, moda produksi subsisten yang berlangsung pada periode behuma di Wanaraya merupakan bentuk ekonomi yang sudah menampakkan gejala kemunculan komersil. Moda produksi seperti ini dalam bahasa Jary dan Jary (2000) disebut moda produksi pra-kapitalis, dimana bentuk ekonomi suatu masyarakat yang secara historis mendahului kemunculan kapitalis atau dapat dilihat dari kekuatan politik yang digunakan untuk mengekstrak surplus ekonomi, tidak merdeka, dan tidak didasarkan pada pekerja upah bebas.