• Tidak ada hasil yang ditemukan

Meskipun mempunyai kesamaan dengan moda produksi komersil yang menghasilkan komoditas berorientasi nilai tukar (exchange-value), namun moda produksi kaptilasi berbeda dengan moda produksi komersil dalam hal peranan modal relatif kuat, tenaga kerja terutama berasal dari luar keluarga/kerabat, dan organisasi produksinya relatif kompleks (umumnya menunjuk pada unit produksi berupa perusahaan skala kecil sampai besar). Atau dengan kata lain, menurut Sitorus (1999) bahwa komersil tidak dengan sendirinya kapitalis, sebaliknya kapitalis dengan sendirinya juga komersil.

Moda produksi kapitalis pada komunitas transmigras Wanaraya tampil pada periode “surut” (1984–2005). Setidaknya periode ini ditandai dengan kesuburan lahan bertekstur histosol (ekologi lahan gambut berawa) yang terus mengalami penurunan sehingga menyebabkan produksi padi milik petani hanya mencapai ¼ kaleng/ha dari produksi optimal yang pernah dicapai yaitu 200 kaleng/ha. Menurut Levang43 bahwa menurunnya kesuburan lahan gambut berawa dikarenakan unsur hara yang dihasilkan dari pembakaran hutan menghilang dengan cepat di lahan yang tingkat kesuburan kimiawinya rendah, lahan yang tidak digarap dapat mencegah oksidasi, tetapi menyebabkan perkembanganbiakan gulma, dan drainasi yang terlalu dangkal tidak dapat melarutkan asam yang berlebihan dan juga tidak dapat mencegah salinasi sawah.

Untuk itu, diperlukan upaya mengembalikan kesuburan lahan persawahan tersebut. Adapun upaya yang ditempuh dengan cara penyediaan teknologi yang memadai, namun pada sisi lain, penyedian teknologi tersebut memerlukan kapital yang cukup besar yang harus disediakan keluarga komunitas transmigran. Sementara itu, untuk menyediakan teknologi tersebut tidak dimungkinkan diperoleh dari usahatani sawah pasang surut. Adapun besarnya biaya produksi di luar tenaga kerja dalam usahatani sawah pasang surut dapat mencapai Rp. 1.716.000.44 Dengan demikian, diperlukan upaya lain untuk menyediakan kapital tersebut guna memenuhi kebutuhan teknologi usahatani sawah pasang surut.

43

Patrice Levang: Ayo ke Tanah Sabrang, Jakarta 2003, hal. 165. 44

Hitungan biaya produksi ini merupakan angka ideal yang meliputi: penyedian kebutuhan kapur untuk 1 hektar lahan sebanyak 3 ton seharga Rp. 1.500.000, dan kebutuhan pupuk selama

Umumnya, tuntutan kapital dalam penyediaan teknologi tersebut dipenuhi keluarga komunitas transmigran dengan cara mencari pekerjaan di luar wilayah Wanaraya. Tujuan mencari kerja tersebut tidak lain agar usahatani sawah pasang surut dapat dilakukan kembali sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan pangan (subsisten) keluarga dan kebutuhan keluarga lainnya. Sebagaimana informasi yang penulis dapatkan dari Sumadi dan Mardinah.

“Sumadi adalah transmigrasi umum asal Lamongan yang ikut program transmigrasi di Wanaraya semenjak tahun 1978. Alasan ikut transmigrasi karena di daerah asalnya ia tidak mempunyai lahan untuk bertani. Saat peneliti mewancarai, Sumadi sebagai pembekal desa Babat Raya. Menurut Sumadi bahwa desa Babat Raya kebanyakan ditinggali perempuan karena laki-lakinya bekerja di kota sebagai buruh pabrik atau buruh bangunan. Biasanya mereka pergi selama 6–7 bulan, kemudian pulang dan menetap 1 bulan, kemudian pergi lagi. Kebanyakan laki-laki yang keluar dari desa ini mempunyai tujuan mencari modal di kota lalu membawanya pulang ke desa untuk menambah modal usahatani”.

“Mardinah ikut program transmigrasi bersama orang tuanya. Umur Mardinah saat peneliti wawancarai adalah 35 tahun dan mempunyai 2 orang anak perempuan. Yang tertua sudah duduk di bangku SMA, sementara yang kecil masih berumur 5 tahun. Saat peneliti wawancarai, Mardinah ditemani 2 orang anaknya tersebut, sementara suami beliau masih di luar Wanaraya bekerja sebagai buruh bangunan kurang lebih 6 bulan. Suami Mardinah bekerja sebagai buruh bangunan untuk menambah penghasilan keluarga. Dan semenjak ditinggal suaminya tersebut, Mardinah mengelola sendiri lahan persawahannya dan sesekali dibantu oleh anaknya yang sudah dewasa”.

Adapun jenis pekerjaan di luar wilayah Wanaraya tersebut adalah membatang dan buruh pabrik atau buruh bangunan. Akan tetapi, sesuai dengan tema yang diangkat dalam tulisan ini, maka aktivitas buruh pabrik dan buruh bangunan tidak akan dijelaskan di dalam tulisan ini dikarenakan aktivitas produksi tersebut lebih dominan unsur pelakunya (majikan) berada di luar komunitas transmigran. Berkaitan dengan pembahasan pada bagian ini, maka komoditas yang termasuk ke dalam produksi kapitalis adalah membatang dan usahatani sawah pasang surut.

setahun 200 kg seharga Rp. 216.000. Jadi besarnya modal yang harus disediakan oleh petani adalah Rp. 1.716.000.

Artikulasi Usaha Produksi Membatang

Usaha produksi membatang dilakukan oleh anggota keluarga komunitas transmigran yang tergolong ke dalam kelas sosial petani pemilik-penggarap. Alat produksi utama dari usaha produksi ini terletak pada modal yang dimiliki oleh “majikan” atau “bos batang”. Bagi mereka –petani pemilik-penggarap– pada komunitas transmigran Wanaraya, usaha produksi menebang kayu tersebut merupakan usaha alternatif mendapatkan modal yang diperlukan untuk melakukan usahatani sawah pasang surut dan memenuhi kebutuhan anggota keluarga.

Usaha produksi membatang merupakan usaha dalam bentuk perusahaan berskala sedang di bawah seorang pimpinan bernama bos batang, sedangkan mereka yang terlibat dalam usaha membatang (keluarga anggota komunitas transmigran) sebagai tenaga kerja atau buruh membatang. Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha membatang adalah laki-laki (ayah atau anak laki-laki dewasa) yang berumur di bawah 35 tahun yang berasal dari keluarga inti. Keterlibatan laki-laki yang berumur di bawah 35 tahun ini karena kegiatan produksi membatang membutuhkan tenaga atau fisik yang kuat sehingga tidak memungkinkan keterlibatan kaum perempuan dalam usaha produksi ini.

Umumnya usaha produksi membatang dilakukan setelah tahap menanam sampai dengan panen padi sawah pasang surut. Atau dengan kata lain, usaha ini dilakukan selama kurang lebih tiga sampai empat bulan oleh anggota keluarga komunitas transmigran. Sebelum ke lokasi membatang, tenaga kerja (pembatang) yang sudah mendaftar dan bersedia ikut membatang diberikan pinjaman uang tunai oleh bos batang sebesar Rp. 500.000 sampai dengan Rp. 1.000.000 untuk keperluan kebutuhan keluarga pembatang selama ditinggal pergi.

Sebelum ke lokasi membatang, mereka –pembatang– tergabung dalam satu rombongan yang terdiri dari 2 sampai 4 orang yang kemudian diantar langsung oleh bos batang ke lokasi dan menempati rumah penginapan (basecamp) selama membatang. Pinjaman uang oleh bos batang diberikan lagi kepada pembatang selama di lokasi, yaitu sebesar Rp. 200.000 sampai dengan Rp. 300.000 per bulan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, seperti sabun mandi/cuci, minum kopi/teh, dan rokok.

Kegiatan produksi membatang terbagi ke dalam empat tahapan, yaitu: menumbang kayu, memotong kayu sesuai ukuran yang ditentukan, menguda, dan melarutkan kayu ke sungai. Untuk menempuh lokasi membatang yang letaknya agak berjauhan dengan penginapan (basecamp), maka pembatang menggunakan klotok sebagai alat transportasi. Pada bagian menumbang kayu, digunakan alat produksi berupa parang dan geregaji tangan yang disediakan sendiri oleh pembatang. Jika pembatang menggunakan geregaji mesin (senso), maka biasanya alat produksi tersebut disediakan dari pihak bos batang.

Tabel 18. Artikulasi Usaha Produksi Membatang.

Hub. Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi

Struktur Hub. Produksi

Sifat Hub. Produksi

Alat produksi à Modal merupakan alat produksi utama dimiliki oleh bos batang dan pembatang sebagai tenaga kerja upahan.

à Teknologi tradisional seperti parang dan tali disediakan atau dikuasai oleh pembatang,

sedangkan teknologi modern seperti senso dikuasai oleh bos batang.

Bertindak sebagai pemilik modal adalah bos batang dan pembatang sebagai tenaga kerja upahan. Eksploitatif, dimana surplus produksi dalam bentuk tenaga kerja diserap oleh bos batang.

Organisasi (unit) produksi

Perusahaan skala sedang yang tidak mempunyai badan hukum, dimana bos batang bertindak sebagai pimpinan dan pembatang sebagai karyawan (tenaga kerja upahan).

Struktur hubungan yang hierarkis, dimana bos batang bertindak sebagai “majikan” dan pembatang sebagai “buruh. Eksploitatif, dimana surplus produksi dalam bentuk tenaga kerja diserap oleh bos batang. Tenaga kerja utama Tenaga kerja upahan atau

buruh (pembatang).

- -

Setelah menumbang kayu, proses selanjutnya adalah memotong kayu sesuai ukuran yang ditentukan. Waktu yang dibutuhkan pembatang di dalam hutan (lokasi membatang) disesuaikan dengan kemampuan pembatang, biasanya selama 1 sampai 2 bulan. Selama waktu tersebut, pembatang dapat memperoleh 50 kubik kayu per orang. Kayu yang diperoleh dari tahapan sebelumnya ini, kemudian diangkut sampai sungai yang terdekat atau dikenal dengan tahapan

menguda. Biasanya menguda dilakukan dengan cara menarik kayu sampai ke tempat penumpukan yang menggunakan tali.

Tali yang berfungsi untuk menarik kayu dililitkan ke tubuh pembatang yang berjalan melewati parit (sungai kecil). Untuk menyelesaikan tahapan ini, pembatang membutuhkan dua sampai tiga hari sampai kayu berada di tempat penumpukan dekat sungai. Tahapan terakhir dari usaha produksi membatang ini adalah melarutkan kayu ke tepi sungai besar (pelabuhan) yang disepakati dengan menggunakan klotok dan selanjutnya diterima oleh bos batang. Setelah menyelesaikan empat tahapan usaha produksi membatang ini, pembatang menerima upah hasil kerjaannya dari bos batang. Adapun upah yang diperoleh pembatang selama 1 sampai 2 bulan berkisar antara 2 sampai dengan 3 juta per orang sudah termasuk potong pinjaman uang tunai pembatang kepada bos batang.

Setidaknya uraian di atas menggambarkan beberapa hal yang berkaitan dengan artikulasi usaha produksi membatang yang dilakukan oleh komunitas transmigran. Artikulasi sebagaimana yang dimaksud merujuk pada kekuatan produksi dan hubungan produksi dari membatang, dimana alat produksi utamanya adalah modal. Dalam hal ini, yang bertindak sebagai pemilik modal adalah bos batang dan tenaga kerja yang diupah adalah petani pemilik-penggarap. Tindakan petani pemilik-penggarap untuk menjadi tenaga kerja upahan pada membatang karena kebutuhan akan modal untuk menjaga keberlangsungan usahatani sawah pasang surut sehingga pemenuhan kebutuhan pangan anggota keluarga dapat terjaga. Sedangkan jenis teknologi parang dan tali disediakan pembatang dan teknologi lainnya, seperti senso dan klotok yang disediakan oleh bos batang sehingga terdapat perbedaan penguasaan teknologi antara pembatang dan bos batang.

Perusahaan dengan skala sedang yang tidak mempunyai badan usaha merupakan bentuk organisasi produksi membatang sekaligus batas sosial, dimana bertindak sebagai pemilik perusahaan adalah bos batang dan pembatang sebagai tenaga kerja yang diupah. Tenaga kerja upahan merupakan tenaga kerja utama membatang sehingga stuktur hubungan produksinya terhierarki antara bos batang yang bertindak sebagai “majikan” dan pembatang yang bertindak sebagai “buruh”. Struktur hubungan produksi yang hierarkis ini menunjukkan bahwa

hubungan produksi yang eksploitatif dimana tenaga kerja yang dimiliki oleh pembatang diserap oleh bos batang.

Artikulasi Usatani Sawah Pasang Surut

Berbeda dengan periode “pasang”, usahatani sawah pasang surut yang berlangsung pada periode “surut” merupakan usaha produksi atau komoditas yang sangat tergantung dengan kekuatan modal dalam produksinya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alat produksi utama usahatani sawah pasang surut adalah modal. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa tanah tidak dikategorikan sebagai alat produksi utama pada usahatani sawah pasang surut tersebut? Untuk menjawab pertanyaan ini, setidaknya kita dapat merujuk pada struktur kelas sosial pada periode “surut”.

Telah dijelaskan pada bagian awal dalam tulisan ini bahwa krisis lahan marjinal (lahan histosol atau gambut berawa) di Wanaraya merupakan penyebab utama yang menentukan perbedaan struktur kelas sosial komunitas transmigran di Wanaraya. Dengan demikian terjadi perubahan struktur kelas sosial komunitas transmigran, dimana pada awalnya hanya terdapat petani pemilik-penggarap kemudian menjadi dua kelas sosial, yaitu petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Pada dasarnya dua kelas sosial tersebut sama-sama memiliki lahan, akan tetapi yang membedakannya terletak pada kemampuan memproduksi lahan atau dengan kata lain hadirnya dua kelas sosial pada komunitas transmigran sangat tergantung dari besar kecilnya modal yang dimiliki oleh masing-masing kelas tersebut.

Merujuk pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya menunjukkan jumlah kelas petani pemilik-penggarap lebih banyak dibandingkan kelas petani pemilik di Wanaraya, yaitu masing-masing sebesar 93% atau (2.938 orang) dan 7% atau sebanyak 221 orang. Dari empat desa komunitas transmigran di Wanaraya yang menjadi fokus penelitian penulis menunjukan gejala semakin banyaknya jumlah petani (petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap) suatu desa, maka semakin banyak pula kelas petani pemilik-penggarap di desa tersebut. Ini dapat dilihat daru jumlah petani di desa Sidomulyo sebanyak 11, 11% dari jumlah petani secara keseluruhan, kemudian diikuti Kolam Kanan

(9,97%), Kolam Makmur (7,50%), dan Babat Raya sebanyak 6,36% atau 201 orang (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 19).

Tebel 19. Jumlah Petani Pemilik-penggarap Berdasarkan Desa di Wanaraya, Tahun 2002.

Pemilik-Penggarap Jumlah Petani

No. Desa ---orang--- 1. Sidomulyo 351 (11,11) 377 (11,93) 2. Kolam Kanan 315 (9,97) 334 (10,57) 3. Sumber Rahayu 292 (9,24) 312 (9,88) 5. Kolam Kiri 255 (8,07) 268 (8,48) 4. Surya Kanta 252 (7,98) 287 (9,09) 6. Kolam Makmur 237 (7,50) 261 (8,26) 7. Pinang Habang 234 (7,41) 234 (7,41) 8. Simpang Jaya 226 (7,15) 226 (7,15) 9. Babat Raya 201 (6,36) 221 (7,00) 10. Waringin Kencana 178 (5,63) 178 (5,63) 11. Dwi Pasari 152 (4,81) 175 (5,54) 12. Tumih 126 (3,99) 147 (4,65) 13. Roham Raya 119 (3,77) 139 (4,40) Jumlah 2.938 (93,00) 3.159 (100)

Sumber: BPP Kec. Wanaraya Tahun 2003 (Diolah).

Keterangan: Angka dalam tanda kurung menunjukkan persentasi.

Berbeda dengan sebelumnya, banyaknya jumlah petani tidak serta merta diikuti dengan bertambahnya jumlah petani pemilik disetiap desa-desa Wanaraya. Namun sebaliknya, kosentrasi petani pemilik mempunyai persentasi yang lebih kecil dari besarnya persentasi petani secara keseluruhan. Kosentrasi petani pemilik yang sedikit tersebut (rata-rata di bawah 1 persen) disebabkan tidak semua petani mempunyai kemampuan modal yang sama untuk menyediakan teknologi guna melakukan aktivitas produksi.

Empat desa yang menjadi fokus penelitian ini menunjukkan perbedaannya dengan banyaknya jumlah petani pemilik-penggarap sebelumnya. Desa Sidomulyo mempunyai 0,82 persen petani pemilik dari 11,93 persen jumlah petani secara keseluruhan, kemudian diiukuti masing-masing Kolam Makmur sebesar 0,76 persen, Babat Raya (0,63 persen), dan Kolam Kanan sebesar 0,60 persen. Setidaknya apa yang telah diuraikan sebelumnya tentang keberadaan petani pemilik dan petani pemilik-penggarap menentukan berlangsungnya moda

produksi kapitalis yang berlangsung di Wanaraya (lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 20.

Tebel 20. Jumlah Petani Pemilik Berdasarkan Desa di Wanaraya, Tahun 2002.

Petani Pemilik Jumlah Petani

No. Desa ---orang--- 1. Surya Kanta 35 (1,11) 287 (9,09) 2, Sidomulyo 26 (0,82) 377 (11,93) 3. Kolam Makmur 24 (0,76) 261 (8,26) 4. Dwi Pasari 23 (0,73) 175 (5,54) 5. Tumih 21 (0,66) 147 (4,65) 6. Sumber Rahayu 20 (0,63) 312 (9,88) 7. Babat Raya 20 (0,63) 221 (7,00) 8. Roham Raya 20 (0,63) 139 (4,40) 9. Kolam Kanan 19 (0,60) 334 (10,57) 10. Kolam Kiri 13 (0,41) 268 (8,48) 11. Pinang Habang - 234 (7,41) 12. Simpang Jaya - 226 (7,15) 13. Waringin Kencana - 178 (5,63) Jumlah 221 (7,00) 3.159 (100)

Sumber: BPP Kec. Wanaraya Tahun 2003 (Diolah).

Keterangan: Angka dalam tanda kurung menunjukkan persentasi.

Seiring dengan perbedaan dari dua kelas sosial tersebut berimplikasi terhadap perbedaan penguasaan atas alat produksi utama (modal), dimana teknologi (pupuk dan kapur) lebih dikuasai oleh mereka yang tergolong petani pemilik modal sedangkan petani pemilik-penggarap cenderung terlalienase dari teknologi. Mereka –petani pemilik modal– dalam penyediaan teknologi sebagaimana dimaksud berperan sebagai pemilik usaha distribusi pupuk dan kapur yang bersatu dengan rumah pemilik usaha yang kemudian dipinjamkan kepada petani pemilik-penggarap.

Umumnya pinjaman pupuk yang diberikan oleh petani pemilik modal biasanya dikembalikan atau dibayar oleh petani pemilik-penggarap dalam bentuk beras sebanyak 10 kaleng setelah tahap panen selesai. Pembayaran dalam bentuk beras tersebut secara tidak langsung menunjukkan terjadinya penyerapan surplus produksi oleh petani pemodal terhadap petani pemilik-penggarap. Sebagai contoh, petani pemilik-penggarap menggunakan pupuk urea sebanyak 200 kg per hektar dalam setiap musim pengusahaan padi-sawah pasang surut.

Harga urea sebanyak 100 kg (1 kwintal) sewaktu penelitian berlangsung adalah Rp. 108.000, yang berarti petani pemilik-penggarap harus mengeluarkan modal untuk urea sebesar Rp. 216.000 per hektar. Dikarenakan petani pemilik-penggarap tidak mempunyai modal dalam bentuk uang tunai untuk membeli pupuk, maka mereka meminjam telebih dahulu pupuk urea tersebut kepada petani pemilik modal.

Pengembalian kemudian akan dilakukan sewaktu selesainya tahap panen, dimana pinjaman 1 kwintal dihargakan dengan 10 kaleng beras (harga rata-rata per kaleng beras adalah Rp. 39.000).45 Dalam kondisi seperti ini, petani pemilik modal mendapat keuntungan sebesar Rp. 174.000 atau 80,5% yang diperoleh dari selisih harga pupuk urea yang sebenarnya dengan harga pupuk saat pengembalian dalam bentuk beras sebanyak 10 kaleng tersebut. Dengan demikian, disatu sisi penguasaan atas teknologi (pupuk dan kapur) oleh petani pemilik modal dan pada sisi lain teralienasinya petani pemilik-penggarap dalam penguasaan teknologi tersebut menyebabkan terjadinya penyerapan surplus produksi dari petani pemilik modal kepada petani pemilik-penggarap.

Selain itu, surplus produksi dapat juga diperoleh petani pemilik modal dalam penggunaan traktor tangan. Umumnya traktor tangan dimiliki petani pemilik modal yang digunakan pada tahap tertentu, yaitu tahap melacak. Berbeda

45

Harga yang dicantumkan dalam tulisan ini merujuk pada harga yang berlaku ditingkat petani sewaktu penelitian ini berlangsung, yaitu pada bulan Mei sampai dengan Juli 2005.

dengan tenaga manusia, mesin traktor dapat menyelesaikan tahap lacak selama 1 jam untuk 1 galur46 dengan sewa traktor tangan berkisar Rp. 50.000 sampai dengan Rp. 100.000 per hektar dimana petani pemilik-penggarap bertindak sebagai pemakai traktor tangan tersebut. Jika petani pemilik-penggarap menginginkan penggunaan traktor tangan selama tahapan proses produksi hingga siap tanam, maka biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik lahan sebesar Rp. 550.000.

Tabel 21. Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut.

Hub. Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi

Struktur Hub. Produksi

Sifat Hub. Produksi

Alat produksi àModal merupakan alat produksi utama yang dikuasai oleh petani pemilik modal. àDengan modal yang

dimiliki tersebut, petani pemilik modal dapat menguasai teknologi (pupuk, kapur, dan traktor tangan).

Bertindak sebagai pemilik modal adalah petani pemilik modal dan pembatang sebagai tenaga kerja upahan.

Eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal melalui pinjaman pupuk dan kapur kepada petani pemilik-penggarap.

Organisasi (unit) produksi

Perusahaan skala kecil (rumah tangga) yang tidak mempunyai badan hukum, dimana petani pemilik modal sebagai pemlik usaha dan petani pemilik-penggarap sebagai tenaga kerja upahan. Struktur hubungan yang hierarkis, dimana petani pemilik modal sebagai “majikan” dan petani pemilik-penggarap sebagai “buruh”.

Eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal melalui sewa tenaga kerja dan sewa traktor tangan kepada petani pemilik-penggarap.

Tenaga kerja utama Tenaga kerja upahan atau buruh.

- -

Dibandingkan penggunaan tenaga kerja manusia, penggunaan traktor tangan lebih efisien dalam hal waktu dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh petani pemilik-penggarap. Perbandingan ini dapat dilihat dari penggunaan traktor tangan dalam melacak hanya membutuhkan waktu 3 hari per hektar sedangkan penggunaan tenaga kerja manusia sebanyak 2 orang membutuhkan 1 bulan per hektar, begitupun biaya yang dikeluarkan lebih efisien sebanyak 23,6 persen dari selisih sewa tenaga kerja sebanyak 2 orang selama 30 hari (Rp. 720.000) dan sewa traktor tangan sebesar Rp. 550.000. Akan tetapi kepemilikan

46

traktor tangan tersebut menyebabkan teralienasinya tenaga kerja petani pemilik-penggarap untuk memperoleh modal tambahan dari sistem sewa atau upah tenaga kerja kepada petani pemilik modal.

Penjelasan di atas menunjukkan organisasi produksi produksi pada usahatani sawah pasang surut adalah perusahaan skala kecil (rumah tangga) yang tidak mempunyai badan usaha. Sebagaimana perusahaan rumah tangga, maka terdapat struktur hubungan produksi antara petani pemilik modal sebagai “majikan” dan petani pemilik-penggarap sebagai “buruh” yang dieksploitasi (secara singkat artikulasi usahatani sawah pasang surut dapat dilihat pada Tabel 21).

Ikhtisar

Moda produksi kapitalis pada komunitas transmigran di Wanaraya tampil pada periode periode “surut” (1984 – 2005). Moda produksi kapitalis ini merujuk pada usaha produksi membatang dan usahatani sawah pasang surut yang berorientasi berorientasi untuk mendapatkan uang tunai sebagai tambahan modal bagi kebutuhan keluarga komunitas transmigran. Modal tampil sebagai alat produksi utama sekaligus menunjukkan moda produksi kapitalis komunitas transmigran di Wanaraya.

Modal digunakan pemilik modal untuk mengupah tenaga kerja dari dua usaha produksi yang telah disebutkan sebelumnya. Selain itu, modal juga diorientasikan oleh pemilik modal untuk menguasai teknologi sehingga dengan penguasaan atas faktor produksi, petani pemilik modal dapat melakukan ekstrak surplus produksi yang dihasilkan oleh petani pemilik-penggarap. Selain itu, organisasi produksi pada moda produksi kapitalis berupa perusahaan dengan skala rumah tangga (keluarga) hingga sedang yang tidak berbadan hukum, seperti organisasi produksi pada usahatani sawah pasang surut dan membatang.

Bentuk perusahaan tersebut merujuk pada usaha produksi membatang yang dipimpin oleh bos batang dan petani pemilik modal sebagai pemilik usaha distribusi pupuk dan kapur untuk usahatani sawah pasang surut. Tenaga kerja dalam moda produksi ini sepenuhnya dilakukan dalam bentuk sewa yang diberikan oleh petani pemilik modal kepada petani petani pemilik-penggarap.

Atau dengan kata lain, siapa yang mempunyai modal, maka dialah yang memiliki tenaga kerja. Dengan demikian, struktur hubungan produksinya dapat diidentifikasi berupa struktur hubungan produksi yang terhierarki antara “majikan” dengan “buruh”. Struktur hubungan produksi tersebut, memungkinkan terjadinya eksploitatif, dimana penyerapan surplus produksi dilakukan oleh pemilik modal terhadap petani pemilik-penggarap.