• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada bagian ini, kesejarahan komunitas transmigran di Wanaraya ditinjau dari perspektif materialistik, dimana infrastruktur (kondisi alam, teknologi, dan ekonomi/modal) menentukan berlangsungnya moda produksi, perubahan struktur sosial, dan suprastruktur (norma/nilai) komunitas transmigran pada setiap periode. Berbicara tentang sejarah, maka dimensi waktu memainkan peranan penting untuk melihat sejaumana terjadinya perubahan yang dialami komunitas transmigran di Wanaraya. Perubahan tersebut berupa perubahan yang terjadi pada pada ranah infrastruktur, struktur sosial (organisasi produksi dan kelas sosial), dan sistem nilai (suprastruktur) komunitas transmigran.27

Sepanjang kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya dengan usaha produksi yang dikembangkan dapat dikelompokkan ke dalam tiga periode penting untuk diketahui. Adapun ketiga periode tersebut adalah (1) periode behuma yang dilakukan oleh komunitas lokal yang berakhir pada tahun 197728; (2) periode “pasang” komunitas transmigran berlangsung sepanjang tahun 1978–1983; dan (3) periode “surut” komunitas transmigran berlangsung sepanjang tahun 1986– 2005. Pembagian tiga periode kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya tersebut, didasarkan atas apa yang dialami dan dirasakan oleh komunitas transmigrasi ketika menempati pemukiman baru (daerah tujuan) di Wanaraya.

Sebelum kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya (tahun 1978), sudah terdapat komunitas lokal yang sejak lama menetap di Wanaraya. Komunitas lokal yang dimaksud adalah penduduk beretnis Banjar yang bermigrasi ke Wanaraya karena di daerah asal mereka tidak memungkinkan untuk melakukan usaha produksi behuma dan membatang. Menurut pengakuan Sa’ad sebagai responden peneliti bahwa jumlah penduduk yang menetap di Wanaraya saat itu relatif kecil, yaitu kurang lebih 10–15 Kepala Keluarga (KK) yang

27

Sejarah komunitas transmigran Wanaraya dalam tulisan ini merujuk pada tulisan Kartodirdjo yang berjudul “Pendekatan ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah” diterbitkan oleh Gramedia, Jakarta, tahun 1992.

28

Berdasarkan penggalian informasi yang peneliti lakukan terhadap responden tetua (orang yang dianggap tua) di komunitas lokal bahwa kepastian kurung waktu (periode) keberadaan komunitas lokal di Wanaraya tidak ketahui. Akan tetapi, berdasarkan pengakuan dan ingatan tetua bernama Sa’ad bahwa ia bersama ayahnya sudah ada di Wanaraya semenjak Jepang ada di Kalimantan Selatan.

masing-masing terdiri dari 5–9 orang per KK. Adapun pertambahan jumlah penduduk komunitas transmigran hingga mencapai angka 2.730 jiwa29 disebabkan dua hal, yaitu (1) hubungan perkawinan antara sesama komunitas lokal; dan (2) migrasi dalam bentuk transmigrasi lokal dari daerah tertentu di Kalimantan Selatan ke Wanaraya.

Usaha produksi yang dilakukan oleh komunitas lokal sebelum kehadiran komunitas transmigran adalah behuma dan membatang. Behuma merupakan istilah atau bahasa Banjar dari bertani sawah yang dilakukan keluarga komunitas lokal dengan cara berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan lainnya. Umumnya, lahan yang digunakan adalah lahan banyu atau lahan yang digenangi air30 di sekitar tempat tinggal komunitas lokal. Sementara itu, membatang adalah usaha produksi menumbang kayu (menebang pohon) di hutan oleh komunitas lokal disekitar lokasi pemukiman mereka. Biasanya usaha produksi tersebut dilakukan ketika anggota komunitas lokal akan membuka lahan untuk usaha produksi behuma.

Usaha produksi behuma dan membatang disekitar Wanaraya ini kemudian berhenti ketika lokasi ini dijadikan sebagai daerah tujuan transmigran oleh pemerintah. Behuma sebagai cerminan teknologi ekstensif dalam memanfaatkan alam tergantikan dengan teknologi intensif (menetap) dalam wujud usahatani sawah pasang surut yang dilakukan komunitas transmigran sebagai implementasi Proyek Pembangunan Pertanian Pasang Surut (P4S) dengan sistem irigasi pasang surut.31 Meskipun demikian, dalam hal tahapan (proses) usahatani behuma tidak begitu saja tergantikan, malah sebaliknya alat produksi (teknologi) usahatani behuma sedikit banyak mempengaruhi berlangsungnya moda produksi komunitas transmigran di Wanaraya.

29

Berdasarkan jumlah penduduk di dua desa yang didominasi komunitas lokal (Roham Raya dan Tumih) yang dicatat oleh Mantri Statistik Wanaraya pada tahun 2004.

30

Bandingkan dengan sistem perladangan di tanah daratan (lahan kering) yang dilakukan oleh Orang Kantu’ di Kalimantan Barat (Michael R. Dove: Sistem Perladangan di Indonesia (Suatu Studi Kasus dari Kalimantan Barat, Yogyakarta 1988).

31

Rofiq anwar dan Saraswati Soegiharto (Editor Prof. Dr. Sediono M. P. Tjondronegoro): Transmigrasi di Usia Kelima Puluh, Jakarta 2003, hal. 86.

Periode Behuma

Periode behuma yang berlangsung hingga tahun 1977 sepenuhnya dimaksudkan untuk menjelaskan moda produksi subsisten melalui usaha produksi behuma dan membatang. Usaha produksi ini sangat terkait erat dengan kondisi alam Wanaraya yang mempunyai perbedaan tekstur lahan dengan daerah lainnya di Indonesia, dimana umumnya lahan di Wanaraya dikategorikan sebagai lahan bertekstur histosol (gambut berawa). Menurut Hardjowigeno (1983) bahwa jenis tanah histosol terbentuk bila produksi dan penimbunan bahan organik lebih besar dari mineralisasinya. Keadaan demikian terdapat di tempat-tempat yang selalu digenangi air sehingga sirkulasi oksigen sangat terhambat. Oleh karena itu, dekomposisi bahan organik terhambat dan terjadilah akumulasi bahan organik.

Sebelum Wanaraya ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah tujuan transmigran, terdapat satu desa komunitas lokal yang pembentukannya didasarkan atas ikatan kekerabatan, yaitu Handil Bambangin yang berarti kerabat dari bambangin. Di sekitar desa tersebut terdapat sungai ulak yang bermuara ke Sungai Barito sebagai sarana yang menghubungkan Wanaraya dengan daerah lainnya di Kalimantan Selatan. Selain itu, wilayah ini pula dikenal sebagai hutan tropis yang ditumbuhi berbagai jenis pohon, seperti mahang, tapung, terantang, dan galam.

Berbagai jenis pohon yang tumbuh subur di Wanaraya tersebut berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat terjadinya laju pembusukan (dekomposisi) dan pemulihan tanah sehingga masih banyaknya terdapat humus sebagai unsur penting dari kesuburan tanah. Selain itu, hutan tropis yang tumbuhi berbagai jenis pohon dengan tinggi kurang lebih 4 meter berfungsi sebagai perlindungan tanah dari cahaya matahari langsung dan menjaga kelembaban “tanah kurus” sebagaimana istilah bagi tanah yang kurang unsur haranya.32

32

Geertz memetakan tiga ciri ekologi perladangan yang memiliki hutan tropis. Ketiga ciri sistematik tersebut, sebagai berikut: (1) Ekosistem umum, yaitu suatu ekosistem yang terdapat aneka jenis kehidupan, sehingga energi yang dihasilkan oleh sistem itu dibagikan di antara berbagai jenis yang relatif besar jumlahnya, masing-masing dengan individu yang relatif kecil jumlahnya, (2) perbandingan kuantitas zat makanan yang tersimpan dalam bentuk-bentuk yang hidup dengan zat makanan yang tersimpan di dalam tanah, pada kedua ekosistem itu sangat tinggi, dan (3) berfungsi sebagai pelindung terhadap kehidupan lainnya (Cliford Geertz: Involusi Pertanian (Proses Perubahan Ekologi di Indonesia), Jakarta 1983, hal. 16 – 25).

Kondisi alam yang ditandai hutan tropis yang masih lebat dan jenis tanah histosol disekitar Wanaraya, kemudian dimanfaatkan oleh komunitas lokal untuk melakukan usaha produksi behuma dan membatang yang masing-masing berorientasi untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga, bahan bakar, dan bahan bangunan rumah, serta untuk mendapatkan uang tunai. Sebagaimana ungkapan responden peneliti bernama Sa’ad yang sudah berumur kurang lebih 80 tahun:

“Sebelum hadirnya para transmigran, kami melakukan usaha bertani dan membatang. Kami bertani belum ada teman, kemudian dua tahun setelah itu baru ada teman. Cara bertani kami berpindah-pindah dari lahan satu ke lahan lainnya. Biasanya, 1 hektar atau 30 borong kami kerjakan dengan tiga kali berpindah, pertama, 10 borong, kedua, 5 borong, dan ketiga, 15 borong. Begitupun dengan membatang kami lakukan di sekitar Wanaraya karena beberapa jenis pohon, seperti: mahang, tapung, terantang, dan galam masih tersedia banyak”.

Dua usaha produksi tersebut dilakukan secara berurutan, dimana sebelum membuka lahan untuk behuma, terlebih dahulu dilakukan menumbang kayu (menebang pohon) untuk membuka lahan tersebut. Dengan demikian, terlihat siklus waktu yang terpola selama 1 tahun untuk membatang dan behuma, dimana waktu membatang dilakukan antara bulan Mei – Agustus setiap tahunnya, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk behuma disesuaikan dengan tahapan produksinya, yaitu: (1) menugal dilakukan bulan Oktober – Desember; (2) melacak berlangsung pada bulan Desember – Maret; (3) menanam dilakukan pada bulan April; dan (4) memanen dilakukan pada bulan Agustus atau September.

Dalam melakukan usaha produksi behuma dan membatang di atas, lahan yang digunakan adalah lahan yang kepemilikannya bersifat komunal. Sebelum membuka lahan, masing-masing KK komunitas lokal diwajibkan melapor kepada seorang Gusti sebagai pembekal (kepala) desa. Pembekal desa ini kemudian menunjuk kepala padang33 untuk membagikan lahan kepada KK komunitas lokal sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masing-masing KK tersebut untuk melakukan usaha produksi behuma. Usaha produksi behuma tersebut, kemudian disesuaikan dengan tahap produksinya, sedangkan membatang dilakukan oleh komunitas lokal antara waktu setelah tahap menanam sampai dengan panen tiba.

33

Kepala padang adalah salah seorang komunitas lokal yang dituakan dan atas persetujuan pembekal desa (seorang Gusti) mempunyai wewenang membagikan lahan kepada masing-masing KK.

Menumbang kayu (menebang pohon) di hutan Wanaraya disesuaikan dengan luas lahan untuk behuma dan tenaga kerja yang tersedia. Umumnya, komunitas lokal menebang pohon seluas 10 borong (1/3 ha) per tahun dengan menggunakan alat produksi parang besar dan tenaga kerja keluarga inti (terutama ayah dan anak laki-laki yang sudah dewasa).

Berbeda dengan tahap behuma, komunitas lokal mengenal empat tahap dalam membatang, terdiri dari: (1) menumbang kayu (menebang pohon) menggunakan parang yang beratnya 5–6 kg; (2) memotong kayu menjadi beberapa bagian dengan ukuran tertentu dengan alat produksi yang sama; (3) melarutkan kayu ke tepi sungai ulak dengan tali; dan (4) menjual hasil batangan kepada pengumpul dengan menggunakan klotok34. Biasanya kayu yang dijual tersebut, tergantung dari jenisnya dengan harga berkisar antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 15.000 per batang.

Empat tahap membatang di atas, dilakukan sebagian besar laki-laki (baik ayah maupun anak laki-laki yang sudah dewasa) yang berasal dari keluarga inti. Keluarga inti sebagai organisasi produksi membatang menunjukkan bahwa usaha produksi yang bias gender, dimana dominasi peran laki-laki atas perempuan dalam setiap tahap membatang. Berbeda dengan organisasi produksi membatang, peran laki-laki tidak lagi mendominsi dalam tahap produksi behuma, melainkan terjadi distribusi (pembagian) tenaga kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga inti.

Dalam tahap menugal, tenaga kerja terdiri dari ayah, ibu, dan biasanya dibantu oleh anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa dengan menggunakan teknologi tradisional, seperti: varietas padi lokal (padi siam). Sementara itu, tahap lacak menggunakan alat produksi tajak35 dengan tenaga kerja yang menangani tahap ini adalah ayah dan anak laki-laki dewasa, sedangkan tahap menanam, alat yang digunakan adalah taju36 dan parang dengan tenaga kerja, terdiri dari: ayah, ibu, anak laki-laki maupun perempuan yang sudah dewasa. Adapun tahap panen, setiap tahunnya dapat menghasilkan panen

34

Klotok adalah istilah lain untuk transportasi air yang digunakan oleh komunitas lokal. 35

Tajak merupakan alat produksi yang digunakan oleh petani lokal untuk membersihkan lahan dan menggemburkan lapisan atas tanah.

36

sebanyak 67 kaleng per 10 borong (1/3 ha) dengan tenaga kerja sebagian besar dilakukan oleh perempuan pada masing-masing KK komunitas lokal.

Tabel 5. Ciri-ciri Periode Behuma (sebelum tahun 1978).

Usaha Produksi Komunitas Lokal

Komponen Bagian

Behuma Membatang

Kondisi alam Lahan bertekstur histosol (gambut berawa), terdapat sungai ulak, dan masih tersedianya hutan tropis yang ditumbuhi oleh beberapa jenis pohon (seperti mahang, tapung, terantang, dan gelam)

Teknologi Padi lokal (menugal), tajak dan parang (melacak), taju, parang, varietas lokal (menanam), ani-ani (panen).

Parang besar (menumbang kayu), parang (memotong kayu dengan ukuran tertentu), tali (melarutkan kayu ke tepi sungai), dan klotok (menjual kayu). Infrastruktur

Modal à Hasil produksi padi

dikonsumsi oleh keluarga.

à 5–10 kaleng/panen dari hasil produksi diserahkan kepada pembekal desa.

à Sistem upah tenaga kerja tidak ada.

à Lahan berasal dari

pembagian pembekal desa dan bibit padi disediakan sendiri. Sarana produksi, seperti parang, tajak, ani-ani dibeli, sedangkan taju dibuat sendiri.

à Kayu dijual di pasar domestik seharga Rp. 10.000 – 15.000/batang.

à Uang penjualan kayu diperuntukan membeli kebutuhan keluarga lainnya, seperti: pakaian, minyak kelapa, kopi, gula, dan tembakau.

à Selain itu, sebesar Rp. 3.000 – Rp. 5.000/batang diserahkan kepada pembekal desa sebagai pajak.

à Upah tenaga kerja tidak ada.

Organisasi produksi

Keluarga inti, dimana terdapat pembagaian kerja antara laki-laki dan perempuan setiap tahap produksi.

Keluarga inti, dimana tenaga kerja didominasi oleh laki-laki.

Struktur Sosial

Kelas sosial Pembekal sebagai penguasa lahan dan petani penggarap.

Suprastruktur Orientasi Subsisten (pemenuhan

kebutuhan pangan keluarga)

Selain untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar, juga mendapatkan uang tunai untuk memenuhi kebutuhan keluarga lainnya. Perbedaan lain dari dua usaha produksi (behuma dan membatang) di atas, dapat pula dilihat dari orientasi produksi. Usaha produksi behuma bagi komunitas lokal ditempatkan sebagai komoditas yang berorientasi pemenuhan kebutuhan

pangan keluarga (subsisten), sedangkan membatang untuk memenuhi kebutuhan bahan bakar dan bahan bangunan bagi keluarga komunitas lokal dan mendapatkan uang tunai guna memenuhi kebutuhan keluarga lainnya, seperti membeli pakaian, gula, kopi, dan lain-lain. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Sa’ad:

“...behuma dari satu lahan ke lahan berikutnya hanya untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga kami. Untuk mencukupi kebutuhan lainnya, kami menjual kayu ke kota”.

Selain untuk kebutuhan pangan keluarga, hasil produksi behuma juga diperuntukkan kepada Gusti (pembekal desa) sebanyak 5–10 kaleng/panen. Demikianpun dengan usaha membatang, hasil penjualan kayu setiap keluarga komunitas lokal dikenakan pajak sebesar Rp. 3.000 sampai dengan Rp. 5.000 per batang oleh pembekal desa. Dengan demikian, kondisi ini menunjukkan bahwa telah terjadi surplus produksi oleh pembekal desa dalam dua usaha produksi yang dilakukan oleh anggota komunitas lokal. Meskipun demikian, karena organisasi produksi berbasis keluarga inti, kepemilikan tanah yang bersifat komunal, dan tersedianya bibit padi lokal yang diproduksi sendiri oleh komunitas lokal menyebabkan modal tidak begitu berperan dominan pada usaha produksi behuma dan membatang. Modal hanya diperuntukkan memenuhi beberapa alat produksi yang berkaitan dengan tahap produksi tertentu yang dilakukan oleh komunitas lokal, seperti: tajak, parang, dan ani-ani (uraian singkat dapat dilihat pada Tabel 5).

Periode “Pasang” (1978 – 1983)

Periode “pasang” ditandai dengan kehadiran komunitas transmigran dan penetrasi sawah pasang surut sebagai perwujudan teknologi intensif di Wanaraya sebagai daerah tujuan.37 Kondisi fisik Wanaraya yang dulunya hutan berubah menjadi hamparan unit pemukiman transmigran dalam bentuk ray38 yang dibatasi oleh sungai-sungai tersier sebagai saluran irigasi sawah pasang surut. Keberadaan

37

Pemindahan penduduk dari pulau Jawa ke Kalimantan (program transmigran) oleh pemerintah orde baru merupakan suatu pendekatan untuk mengatasi masalah penyebaran penduduk dan pemenuhan kebutuhan tenaga kerja untuk pembangunan di Indonesia.

38

Ray adalah rukun tetangga (RT) yang terdiri dari 10–15 KK, dimana masing-masing KK mempunyai luas lahan 20 x 500 meter. Biasanya dalam 1 ray terdapat 1–3 RT, namun ini tidak mutlak karena jumlah RT tergantung dari kepadatan penduduk.

ray secara tidak langsung merupakan dasar pembentukan desa-desa komunitas transmigran di Wanaraya atau dengan kata lain definisi desa komunitas transmigran dapat merujuk pada kumpulan ray yang saling berdekatan antar satu dengan lainnya. Meskipun demikian, jumlah ray antar satu desa dengan desa lainnya berbeda-beda dikarenakan kepadatan penduduknya yang berbeda (semakin padat jumlah penduduk suatu desa, semakin banyak jumlah ray di desa tersebut).

Sebagai contoh, Desa Babat Raya yang hanya mempunyai 4 ray memiliki kepadatan penduduk 158,6 Jiwa/Km2. Berbeda dengan Desa Kolam Kanan yang mempunyai kepadatan penduduk 302,8 Jiwa/Km2 dengan jumlah ray sebanyak 12, dan Desa Sidomulyo dengan kepadatan penduduk 739,5 Jiwa/Km2 mempunyai 20 ray (kepadatan penduduk di Wanaraya secara keseluruhan dapat dilihat pada Lampiran 7). Berbeda dengan komunitas transmigran, pembentukan desa-desa komunitas lokal yang awalnya merujuk pada kekerabatan mengalami perubahan yang tidak lagi didasarkan oleh kekerabatan, melainkan mengikuti pembentukan desa-desa komunitas transmigran yang didasarkan atas ray. Kondisi ini dikarenakan terjadinya transmigrasi lokal dan hubungan perkawinan antar sesama komunitas lokal.

Selain itu, kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya menyebabkan perubahan pada kepemilikan lahan dan usahatani. Pada periode behuma telah dijelaskan bahwa kepemilikan tanah sebelum hadirnya komunitas transmigran lebih bersifat komunal yang diatur oleh pembekal desa yang kemudian dibagikan oleh kepala padang. Namun, kehadiran komunitas transmigran di Wanaraya berimplikasi pada kepemilikan tanah yang tidak lagi bersifat komunal, melainkan kepemilikan tanah diperuntukkan kepada masing-masing KK. Dengan demikian, peranan pembekal desa dalam hal pembagian tanah digantikan oleh Pemerintahan Orde Baru.

Selanjutnya komunitas transmigran yang dipindahkan ke Wanaraya tersebut, mendapatkan pembagian lahan dari pemerintah masing-masing seluas 2 ha per KK. Pembagian lahan tersebut diperuntukkan sebagai lahan pemukiman dengan luas 1 hektar (dikenal dengan istilah lahan 1) dan lahan persawahan seluas 1 hektar (dikenal dengan istilah lahan 2). Berkaitan dengan itu, kehadiran

komunitas transmigran di Wanaraya dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda, yaitu disatu sisi program transmigran memberikan akses lahan kepada para transmigran yang sewaktu di daerah asal sebagai petani gurem atau tunakisma, namun disisi lain “merampas” lahan komunitas lokal yang dikelola oleh pembekal desa sehingga tidak jarang terjadinya konflik antara komunitas lokal dengan komunitas transmigran.

Konflik antara komunitas lokal dengan transmigran di Wanaraya yang bersumber dari kepemilikan lahan berupa klaim lahan persawahan (lahan 2), dimana terjadi perebutan lahan 2 antara komunitas lokal dengan komnitas transmigran. Komunitas lokal menganggap bahwa lahan sawah milik komunitas transmigran yang didapatkan dari pembagian pemerintah merupakan tanah komunal milik komunitas lokal yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan adat. Menurut ketentuan hukum adat bahwa hak milik penuh penebang pertama tidak dapat diwariskan. Setelah perambah hutan pertama meninggal, hanya kebun yang dapat dibagi di antara ahli waris. Semua petak hutan yang tidak ditanami diwariskan sanak saudara dan hanya digunakan untuk perladangan padi (Levang 2003: 96). Konflik tersebut menunjukkan persoalan kepemilikan lahan masih kontemporer sebagai penyebab terjadinya konflik antar komunitas transmigran (pendatang) dengan komunitas lokal sehingga diperlukan penyelesaian yang serius agar tidak berimplikasi pada tumbuhnya konflik yang bersifat laten antar dua komunitas tersebut.

Selain perubahan pada kepemilikan lahan sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, periode “pasang” menunjukkan perubahan usaha produksi dari behuma yang mencerminkan teknologi ekstensif ke usahatani sawah pasang surut sebagai cerminan teknologi intensif. Meskipun demikian, kondisi alam Wanaraya ternyata tidak serta merta bersesuaian dengan pengalaman bertani yang pernah dilakukan komunitas transmigran di daerah asal. Lahan gambut berawa (lahan histosol) ternyata menuntut penyesuaian budaya bertani yang dilakukan oleh komunitas lokal.

Keberadaan sungai sekunder sebagai saluran irigasi yang dibuat oleh pemerintah untuk mengairi areal persawahan, ternyata tidak mudah dapat diatur

penggunaanya karena tergantung oleh gerakan pasang dan surutnya air laut.39 Demikian pun dengan teknologi pacul yang biasa digunakan oleh komunitas transmigran pada tahap melacak dalam usahatani sawah digantikan dengan tajak. Penggunaan alat produksi tajak ini disebabkan karena jenis tanah berupa gambut berawa (istilah komunitas lokal: tanah banyu) mempunyai perbedaan dengan jenis tanah di daerah asal komunitas transmigran yang umumnya berjenis ultisol.

Perbedaan di atas, kemudian menyebabkan terjadinya “krisis” pengalaman berproduksi pada lahan gambut berawa. Krisis ini kemudian mendorong tidak sedikit komunitas transmigran meninggalkan pemukiman baru mereka yang diberikan pemerintah. Meskipun angka pasti tentang jumlah transmigran yang meninggalkan Wanaraya tidak penulis peroleh, namun dapat dipastikan bahwa alasan mendasar bagi mereka yang meninggalkan daerah tujuan (lokasi transmigrasi) karena kurangnya pengetahuan teknik usahatani sawah pasang surut yang dimiliki komunitas transmigran tersebut.

Walaupun demikian, bagi mereka –komunitas transmigran– yang tidak meninggalkan Wanaraya (bertahan hidup) dengan bekal pengalaman bertani di daerah asal dan kemauan belajar dari teknik bertani komunitas lokal memberikan kecapakan tersendiri dalam mengusahakan lahan gambut berawa tersebut. Kecapakapan usahatani tersebut dapat dilihat dari penggunaan alat produksi (teknologi) yang digunakan oleh komunitas transmigran. Untuk tanah yang lebih tinggi (tidak digenangi air) komunitas transmigran menggarapnya dengan menggunakan teknologi pacul, sedangkan untuk lahan persawahan mengikuti teknologi yang digunakan komunitas lokal, terkecuali pada tahap panen menggunakan sabit (celurit).

Dengan demikian, kontradiksi yang terjadi menyebabkan perubahan permanen kekuatan produksi pada usahatani sawah pasang surut, seperti penggunaan alat produksi (tajak, taju, varietas padi lokal/unggul, celurit untuk lahan persawahan dan pacul untuk lahan yang tidak digenangi air), pengalaman

39

Keberadaan sungai kerukan (sungai sekunder) tersebut, tidak hanya berperan sebagai saluran irigasi untuk mengairi sawah pasang surut milik petani. Akan tetapi lebih dari itu, sungai sekunder dimanfaatkan oleh komunitas transmigran untuk kebutuhan pribadi, seperti: mandi, mencuci, membuang hajat, dan sumber air minum.

berproduksi, dan pembagian teknis kerja pada keluarga inti. Situasi ini sebagaimana diungkapkan oleh Nono saat peneliti wawancarai:

“Di sini kami bertani menggambungkan pengalaman sewaktu di Jawa dan pengalaman bertani yang dilakukan oleh penduduk lokal. Sebagai contoh, untuk menggarap tanah yang tinggi teknik dari Jawa yang kami pakai, sedangkan untuk lahan persawahan kami meniru asli teknik penduduk lokal, disitulah keuntungannya”.

Selanjutnya, penggunaan alat produksi tersebut disesuaikan dengan tahap produksi sawah pasang surut, dimana pada tahap nugal teknologi yang digunakan adalah bibit padi lokal (padi siam) yang mempunyai siklus panjang (6–10 bulan), tahap melacak menggunakan teknologi tajak, tahap menanam menggunakan taju dan parang, dan tahap panen menggunakan teknologi celurit (sabit). Tabel 6 menunjukkan penggunaan alat produksi disetiap tahap usahatani sawah pasang surut.

Tabel 6. Penggunaan Alat Produksi Disetiap Tahap Usahatani Sawah Pasang Surut.