• Tidak ada hasil yang ditemukan

Moda produksi komersil tampil semenjak tahun 1978 ketika hadirnya komunitas transmigran di Wanaraya. Definisi komunitas yang dimaksud dalam tulisan ini adalah penduduk yang sengaja maupun tidak sengaja didatangkan untuk menempati suatu lokasi transmigran dari latar belakang sosial-budaya beragam yang mempunyai organisasi produksi dalam sistem produksi yang relatif beragam dan ditandai dengan hubungan produksi yang tidak setara disebabkan perbedaan struktur sosial. Sehubungan dengan itu, moda produksi komersil pada komunitas transmigran di Wanaraya dapat dilihat dari berlangsungnya sistem ekonomi yang diartikulasikan dalam bentuk usaha produksi.

Usaha produksi komunitas transmigran di Wanaraya merujuk pada dua periode sebagaimana telah dijelaskan dibagian awal tulisan ini, yaitu periode “pasang” (1978–1983) dan periode “surut” (1978–1983). Pada periode “pasang” usaha produksi sawah pasang surut tampil sebagai usaha produksi yang dominan pada komunitas transmigran di Wanaraya, sedangkan periode “surut” usaha produksi yang dilakukan komunitas transmigran adalah usahatani lainnya (seperti sayuran dan kacang tanah), usaha ternak sapi, dan usaha produksi selain kedua usaha sebelumnya yaitu usaha transportasi klotok, usaha bengkel elektronik dan sepeda motor.

Berkaitan dengan itu, moda produksi komersil adalah moda produksi yang menghasilkan komoditas untuk kepentingan pasar domestik (nilai tukar/ exchange-value). Moda produksi komersil “mirip” dengan moda produksi kapitalis, akan tetapi kedua moda produksi ini mempunyai perbedaan yang mendasar. Perbedaan mendasar tersebut adalah ciri dominan yang tampil pada moda produksi komersil, yaitu peranan modal relatif lemah, tenaga kerja umumnya berasal dari lingkungan luar keluarga/kerabat, dan organisasi produksinya relatif sederhana menunjuk pada organisasi produksi keluarga/ru-mah tangga (Kahn dalam Sitorus 1999). Walaupun demikian, menarik untuk dipertanyakan adalah apakah komoditas komersil selamanya ditujukan untuk kepentingan pasar domestik? Ataukah dapat pula ditujukan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan keluarga (nilai-guna)?

Dengan merujuk pada kasus pilihan studi, dua pertanyaan tersebut akan diuraikan pada bagian ini.

Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut

Meskipun cerita tentang kegagalan program transmigrasi seringkali kita dengarkan, akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa program transmigran telah berhasil memberikan akses kepemilikan lahan kepada mereka –petani– yang dulunya sebagai buruh tani atau tunakisma di daerah asalnya.38 Berkaitan dengan itu, akses terhadap tanah/lahan diperoleh komunitas transmigran Wanaraya melalui pembagian lahan oleh pemerintah masing-masing seluas 2 hektar per Kepala Keluarga (KK). Pembagian dua hektar lahan tersebut diperuntukkan sebagai lahan pekarangan seluas 1 hektar (lahan 1) dan selebihnya sebagai lahan persawahan (lahan 2). Dengan demikian terjadi perubahan dalam hal kepemilikan lahan di Wanaraya, dimana pada periode behuma kepemilikan lahan bersifat komunal di bawah penguasaan pembekal desa, namun sebaliknya semenjak periode “pasang” kepemilikan lahan berbasis keluarga.

Mereka yang mendapatkan lahan tersebut merupakan transmigrasi yang tergolong generasi ayah yang kepemilikan lahannya dapat ditransfer kepada generasi anak. Transfer hak milik atas tanah tersebut diberikan sesuai dengan sistem paternalisme yang dianut oleh sebagian besar komunitas transmigran, dimana keturunan laki-laki yang sudah menikah diberikan lahan seluas 1 ha. Pemberian tanah seluas satu hektar tersebut ditujukan sebagai bekal anak laki-laki ketika membentuk keluarga baru yang lepas dari ketergantungan orang tua.

Perihal penjelasan di atas menunjukkan bahwa alat produksi utama usahatani sawah pasang surut adalah lahan atau tanah. Dikarenakan masing-masing keluarga komunitas transmigran di Wanaraya mendapatkan lahan seluas 2 hektar, maka dipastikan belum terdapatnya hierarki struktur kepemilikan lahan yang berbeda antara sesama komunitas transmigran sehingga tidak memung-kinkan terjadinya penyerapan surplus produksi antar anggota komunitas

38

Berdasarkan Unit Pemukiman Teknis (UPT) terdapat 54% sampai 66% transmigran yang sama sekali tidak mempunyai lahan di daerah asalnya. Mereka –para transmigran– yang memiliki lahan di daerah asalnya rata-rata 25 are dan jarang mencapai 50 are dengan jenis lahan kering yang tanpa irigasi (Levang 2003: 65). Berkaitan dengan itu, rata-rata responden dalam penelitian ini mengaku bahwa di daerah asalnya mereka hanya memiliki lahan 0,25 – 0,5 hektar.

transmigran. Demikian pun dengan penguasaan teknologi sawah pasang surut sepenuhnya oleh keluarga komunitas transmigran yang mana penggunaanya sangat tergantung dari tahap produksi. Pada tahap nugal, teknologi yang digunakan berasal bibit padi lokal (padi siam) dan padi unggul (IR6) yang diproduksi sendiri oleh komunitas transmigran. Untuk tahap melacak teknologi yang digunakan adalah tajak dan parang, sedangkan tahap menanam mengunakan taju dan parang serta ani-ani dan sabit (celurit) merupakan teknologi saat panen.

Sementara itu, tenaga kerja utama usahatani sawah pasang surut adalah keluarga inti yang merupakan organisasi (unit) produksi sekaligus unit konsumsi dalam usahatani tersebut. Walaupun demikian, terdapat distribusi tenaga kerja yang berdasarkan jenis kelamin, dimana tahap produksi melacak dan menanam yang dianggap berat dikerjakan oleh laki-laki (ayah dan anak laki-laki dewasa). Sebaliknya, perempuan (ibu dan anak perempuan dewasa) sebagian besar terlibat dalam tahap produksi menugal dan panen yang dianggap ringan.

Meskipun demikian, bukan berarti tenaga kerja tambahan di luar keluarga inti tidak diperlukan. Beratnya penggarapan lahan persawahan pasang surut, seringkali menyebabkan tenaga kerja yang berasal dari keluarga inti tidak mampu menyelesaikan proses produksi sawah pasang surut sehingga timbul kesadaran antar sesama anggota komunitas transmigran untuk saling menukarkan tenaga

Gambar 6. Distribusi Tenaga Kerja dalam Keluarga Inti saat Tahap Menanam pada Usahatani Sawah Pasang Surut.

kerjanya. Pertukaran tenaga kerja tersebut, diorganisasi melalui kelompok yang terbentuk secara non-formal berdasarkan kebutuhan atau kepentingan yang sama antar anggota komunitas transmigran dan institusi arisan dan yasinan sebagai media berlangsungnya pertukaran tenaga kerja.

Umumnya pertukaran tenaga kerja tersebut dilakukan pada tahap melacak, dimana tenaga kerja yang terlibat di dalamnya sebanyak 10 orang yang dapat menyelesaikan penggarapan lahan seluas 1 hektar lahan dalam waktu 5 hari. Akan tetapi dapat dipastikan bahwa semakin banyak jumlah tenaga kerja yang bekerja dalam tahap melacak, maka semakin cepat penyelesaian tahap lacak. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa tahap melacak membutuhkan waktu 1–2 bulan lamanya.39 Walaupun demikian, pertukaran tenaga kerja tidak selamanya selalu dengan orang yang sama dalam satu kelompok. Dengan demikian, jika terdapat sepuluh orang yang berkelompok tersebut telah membangun kesepakatan, namun dalam perjalanannya satu orang diantaranya sakit atau mempunyai kepentingan yang mendesak dan tidak dapat ikut dalam penggarapan pada lahan berikutnya, maka bisa digantikan dengan orang lain yang ditunjuk langsung oleh anggota kelompok yang sakit atau mempunyai kepentingan tersebut.

Disebabkan kepentingan kebutuhan tenaga kerja tambahan sebagai basis pertukaran tenaga kerja dan bergantinya orang yang terlibat selama pertukaran tenaga kerja menyebabkan tidak semua petani ikut bergabung atau membentuk kelompok pertukaran tenaga kerja tersebut. Salah satu alasan keengganan petani untuk bergabung dalam kelompok pertukaran tenaga kerja karena tidak semua anggota kelompok yang terlibat dalam pertukaran tenaga tersebut ikut serta lagi dalam penggarapan lahan berikutnya. Terjadinya pertukaran tenaga kerja tersebut mempunyai keuntungan bagi anggota komunitas transmigran, dimana persoalan

39

Proses pertukaran tenaga kerja pada tahap melacak dapat dicontohkan sebagai berikut: apabila terdapat tenaga kerja terdiri 10 orang, maka antar sesama mereka (anggota komunitas) menentukan kesepakatan untuk memulai penggarapan lahan. Setelah kesepakatan diperoleh, kemudian penggarapan lahan dimulai pada lahan pemilik I, kemudian berpindah ke lahan pemilik II, dan seterusnya sampai lahan pemilik X selesai. Biasanya, waktu yang dibutuhkan dengan tenaga kerja sebanyak 10 orang tersebut adalah kurang lebih 5 hari per pemilik lahan (seluas 1 ha), sehingga total waktu yang dibutuhkan untuk melakukan penggarapan lahan dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 10 orang sebanyak 50 hari (1,5 bulan) atau terkadang lebih. Dalam tahap melacak setiap tuan rumah (pemilik yang digarap lahannya) berkewajiban menyediakan konsumsi (makan siang dan kue) untuk tenaga kerja tersebut.

tenaga kerja dapat diatasi dengan sendirinya tanpa mengeluarkan biaya atau upah yang dialokasikan untuk tenaga kerja.

Meskipun demikian, bukan berarti anggota komunitas transmigran yang mendapat giliran penggarapan lahannya tidak mengeluarkan biaya sedikit pun, akan tetapi biaya tetap dikeluarkan untuk keperluan konsumsi pekerja, seperti makan siang, minuman kopi/teh, kue, dan rokok. Adapun mereka yang terlibat dalam pertukaran tenaga kerja pada tahap melacak lebih didominasi oleh laki-laki disebabkan pada tahap ini dibutuhkan kondisi fisik atau tenaga yang kuat. Khusus untuk kegiatan panen padi, tenaga kerja yang terlibat dalam tahapan ini adalah perempuan.

Berbeda dengan pertukaran tenaga kerja yang telah diuraikan di atas, tenaga kerja yang terlibat pada tahap panen lebih didasarkan atas panggilan dari ibu (istri) dari petani pemilik-penggarap. Mereka –tenaga kerja panen– yang dipanggil oleh istri dari petani pemilik-penggarap tersebut, umumnya mempunyai ikatan dari daerah asal yang sama dengan istri petani pemilik-penggarap tersebut. Walaupun demikian, bukan berarti laki-laki sama sekali tidak terlibat dalam tahap panen, akan tetapi panggilan sebagaimana yang dimaksud tersebut juga ditujukan kepada suami dari istri yang dipanggil.

Selanjutnya mereka –tenaga kerja– yang terlibat pada tahap panen ini diberi upah setelah berlangsungnya panen. Adapun upah tenaga kerja yang diberi tersebut bukan dalam wujud uang (monetisasi), melainkan dalam bentuk padi yang beragam mulai dari 1 sampai 5 kaleng per orang oleh petani pemilik-penggarap. Adapun jumlah tenaga kerja di luar keluarga inti yang terlibat selama berlangsungnya tahap panen padi berkisar antara 3–5 orang per hektar termasuk istri pemilik lahan.

Dua organisasi produksi sebagaimana telah dijelaskan di atas menunjukkan ciri khas dari struktur hubungan produksi usahatani sawah pasang surut pada periode “pasang”. Untuk pertukaran tenaga kerja yang umumnya berlangsung pada tahap melacak menunjukkan struktur hubungan produksinya yang belum terhierarki atau tidak terdapat “majikan” yang memberikan upah atau sewa kepada “buruh” yang menjual atau menyewakan tenaga kerjanya. Sedangkan pertukaran tenaga kerja pada tahap panen padi menunjukkan struktur hubungan produksinya

berbasis upah atau terdapat gejala pseudo-hierarki yang cenderung eksploitatif antara pemilik usaha produksi dengan tenaga kerja yang terlibat.

Selanjutnya periode “pasang” yang ditandai dengan kesuburan lahan histosol yang belum berkurang memberikan produksi padi yang dapat mencapai 200–300 kaleng/ha. Dari produksi padi ini, setiap KK komunitas transmigran menyimpan sebanyak 70–100 kaleng atau 1/3 dari produksi untuk konsumsi pangan (subsisten) keluarga per tahunnya, dan selebihnya 2/3 dari produksi dijual ke pedagang pengumpul. Banyaknya surplus produksi yang dijual dibandingkan untuk konsumsi pangan keluarga tersebut menunjukkan orientasi padi bagi komunitas transmigran adalah komersil yang kemudian dapat diartikulasikan sebagai moda produksi komersil.40

Selain itu, kedatangan komunitas transmigran di Wanaraya yang disertai dengan pembagian lahan seluas 2 hektar (1 hektar lahan persawahan dan 1 hektar lahan pekarangan), tidak lain menunjukkan artikulasi penyeragaman usaha produksi, yaitu usahatani sawah pasang surut. Setidaknya pada aras makro, kondisi seperti ini berlangsung pada tahun 70-an dan 80-an dimana dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Soeharto yang berorientasi swasembada beras. Akibat dari kebijakan tersebut, maka mendapatkan uang tunai dengan terus menerus bagi komunitas transmigran hanya dapat dilakukan melalui penjualan beras. Uang tunai yang diperoleh dari penjualan beras tersebut, selanjutnya diperuntukkan membeli kebutuhan-kebutuhan keluarga lainnya, seperti sabun, gula, kopi, minyak goreng, garam, teh, rokok, perabot rumah tangga, dan pakaian. Selain itu, uang tunai yang diperoleh tersebut juga diperuntukkan untuk membeli alat produksi usahatani sebagai investasi, seperti tajak, taju, parang, dan lain sebagainya.

Uraian yang dikemukakan di atas menunjukkan arti penting beras dilihat dari fungsi ekonominya sebagai konsumsi pangan (subsisten) dan bahan untuk mendapatkan kebutuhan keluarga lainnya, serta investasi pada usahatani sawah pasang surut. Walaupun demikian, arti penting beras tidak hanya sebatas fungsi ekonomi saja, melainkan mempunyai fungsi sosial dan religi antar sesama

40

Bandingkan dengan temuan Sitorus (1999: 130) pada masyarakat Balige yang menunjukkan bahwa mereka –masyarakat Balige– yang mayoritas tergolong petani kecil melakukan penjualan padi yang diperoleh dari surplus produksi diutamakan untuk kepentingan pemenuhan subsisten (konsumsi pangan), bukan untuk kepentingan komersil (dijual).

komunitas transmigran. Kondisi ini dapat digambarkan melalui peristiwa syukuran anggota komunitas transmigran dan pembangunan tempat ibadah (masjid). Sebagai misal, jika seorang keluarga komunitas melaksanakan “aqiqah anak” sebagai wujud syukur kepada Tuhan, maka keluarga tersebut mengundang keluarga lain sesama komunitas transmigran. Sebagai wujud solidaritas antar sesama komunitas transmigran tersebut, keluarga yang diundang biasanya membawa beras, demikian pun sebaliknya.

Tabel 14. Artikulasi Usahatani Sawah Pasang Surut.

Hub. Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi

Struktur Hub. Produksi

Sifat Hub. Produksi

Alat produksi Lahan atau tanah dikuasai oleh masing-masing keluarga komunitas transmigran, sedangkan teknologi produksi disesuaikan dengan tahap produksi yang dikuasai oleh petani pemilik-penggarap. Tidak terdapat hierarki. Non-eksploitatif karena belum terdapat penyerapan surplus produksi. Organisasi (unit) produksi

àKeluarga inti, dimana terdapat distribusi tenaga kerja (TK) sesuai tahap produksi (pada melacak TK yang terlibat didominasi laki-laki dan tahap panen didominasi perempuan);

àKeterlibatan TK di luar keluarga inti melalui pertukaran TK. Pertukaran TK pada melacak berbasis kepentingan keburuhan TK, sedangkan pertukaran TK pada panen berbasis upah dalam bentuk padi sebanyak 1 – 3 kaleng.

Untuk TK keluarga inti dan pertukaran TK pada tahap lacak struktur hub. produksinya belum terhierarki (egaliter). Sedangkan struktur hub. produksi pertukaran TK pada tahap penen menunjukkan pseudo-hierarki. Non-eksploitatif karena suplus produksi sepenuhnya untuk kebutuhan pangan keluarga. Sekaligus menunjukkan gejala kecenderungan eksploitatif.

Tenaga kerja utama Keluarga inti dan tenaga di luar keluarga inti.

- -

Setidaknya, peristiwa tersebut memberikan artikulasi bahwa selain fungsi ekonomi, beras mempunyai nilai tukar dalam fungsi sosial. Demikian pun dengan aktivitas agama (religi), padi/beras merupakan usahatani yang mempunyai nilai lebih dibandingkan dengan usahatani lainnya. Setiap pembangunan tempat ibadah

(masjid), sumbangan yang diberikan oleh komunitas transmigran senatiasa diberikan dalam bentuk padi/beras kepada panitia penyelenggara pembangunan masjid tersebut (secara singkat artikulasi usahatani sawah pasang surut dapat dilihat pada Tabel 14).

Artikulasi Usahatani Sayuran dan Kacang Tanah

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan bahwa usahatani sayuran dan kacang tanah merupakan komoditas yang diproduksi pada periode “surut” oleh keluarga komunitas transmigran di Wanaraya. Dua komoditas tersebut menunjukkan struktur kelas dalam pengusahaannya, dimana diproduksi oleh mereka –komunitas transmigran– yang tergolong petani pemilik modal. Selanjutnya pengusahaan dua komoditas tersebut disebabkan oleh besarnya modal yang dikeluarkan untuk memproduksi komoditas tersebut. Untuk komoditas sayuran dan kacang tanah membutuhkan modal sebesar Rp. 400.000 sampai Rp. 500.000 per siklus produksi (belum termasuk upah tenaga kerja). Modal tersebut diperlukan untuk membeli pupuk yang diperuntukkan menambah kesuburan lahan bertekstur histosol. Dengan demikian, alat produksi utama usahatani sayuran dan kacang tanah ini adalah modal.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa modal sebagai alat produksi utama bukan lahan atau tanah untuk dua komoditas tersebut? Pertanyaan ini dapat dijawab dengan argumentasi bahwa pada kasus komunitas transmigran di Wanaraya baik kelas petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap masing-masing mempunyai lahan minimal seluas 2 hektar sehingga lahan bukan sebagai alat produksi utama dalam usahatani sayuran dan kacang tanah. Oleh karena itu, perbedaan kepemilikan modal kemudian mendorong perbedaan dalam kemampuan akses terhadap teknologi, dimana petani pemilik modal dengan modal yang dimiliknya lebih mampu mengakses teknologi dibandingkan petani pemilik-penggarap. Atau dengan kata lain terdapat kesenjangan akses teknologi antara kedua kelas sosial tersebut. Adapun teknologi usahatani sayuran dan kacang tanah adalah pupuk urea, SP36, KCl, dan pupuk kandang.

Organisasi (unit) produksi komoditas sayuran dan kacang tanah adalah keluarga komunitas transmigran yang memiliki modal. Sementara itu, mereka –

petani pemilik-penggarap– yang tidak mempunyai modal cenderung sebagai tenaga kerja dalam proses produksi komoditas sayuran dan kacang tanah yang didominasi oleh petani pemilik modal sehingga struktur hubungan produksi yang terbentuk adalah petani pemilik modal sebagai penguasa teknologi (majikan) dan petani pemilik-penggarap sebagai tenaga kerja (buruh). Adapun upah atau sewa yang diberikan oleh petani pemilik modal kepada petani pemilik-penggarap yang bertindak sebagai tenaga kerja sebesar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 15.000 per kepala per hari kerja yang dimulai dari jam 08.00 – 15.00 WITA.

Tabel 15. Artikulasi Usahatani Sayuran dan Kacang Tanah.

Hub. Produksi

Kekuatan Produksi

Batas Sosial Hub. Produksi

Struktur Hub. Produksi

Sifat Hub. Produksi

Alat produksi Modal digunakan

untuk menyediakan teknologi (pupuk urea, SP36, KCl, dan pupuk kandang). Petani pemilik modal sebagai kelas yang mampu mengakses

teknologi, sedangkan petani pemilik-penggarap sebagai kelas yang memp. tidak akses terhadap teknologi Terdapat kesenjangan terhadap akses teknologi. Organisasi (unit) produksi

Keluarga dalam hal ini petani pemilik modal. TK di luar keluarga inti direkrut melalui sistem upah/sewa. Petani pemilik modal sebagai “majikan” dan petani pemilik-penggarap sebagai “buruh” Petani pemilik modal mengupah TK petani pemilik-penggarap sebesar Rp. 12.000 s/d Rp. Rp. 15.000

Tenaga kerja utama Tenaga kerja (TK) di luar keluarga inti

“Majikan” dan “buruh”

Eksploitatif, dimana surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal melalui TK. Upah atau sewa tenaga kerja ini tergantung kesepakatan antara petani pemilik modal dengan petani penggarap, jika saja petani pemilik-penggarap sepakat dengan upah sebesar Rp. 12.000 per hari, maka ia berhak mendapatkan konsumsi berupa makan siang dan kue. Sementara itu, jika petani pemilik-penggarap sepakat dengan upah sebesar Rp. 15.000 per hari, maka petani pemilik modal tidak akan memberikan konsumsi sama sekali dan ini berarti

konsumsi (makan siang) ditanggung sendiri oleh petani pemilik-penggarap tersebut.

Meskipun upah tenaga kerja umumnya berkisar Rp. 12.000 sampai dengan Rp. 15.000, akan tetapi terdapat pula petani pemilik modal yang memberikan upah hingga Rp. 20.000 per hari. Dalam kondisi seperti ini, dimungkinkan bekerjanya sistem pasar dalam tenaga kerja dimana adanya penawaran dan permintaan (suplaydemand) tenaga kerja antara petani pemilik modal dan petani pemilik-penggarap. Disatu sisi petani pemilik-penggarap menyodorkan tenaga kerjanya kepada petani pemilik modal untuk menggarap lahan tersebut, dan disisi lain petani pemilik modal menawar upah ke petani pemilik-penggarap. Sebagaimana informasi yang peneliti peroleh dari Nono sebagai petani pemilik modal.

“Nono termasuk transmigran yang sukses menurut sebagian besar penduduk di Wanaraya. Kesuksesan Nono dimata transmigran lainnya dilihat dari fisik rumah, mobil yang dimiliki, dan jumlah ternak sapi yang melebihi 5 ekor. Dalam kasus ini, Nono sebagai petani pemilik modal yang tidak menggarap lahannya, melainkan mengupahkan kepada petani penggarap bernama Rakimin. Berkaitan dengan petani pemilik-penggarap, Nono mengatakan bahwa beberapa hari yang lalu Rakimin menawarkan tenaganya untuk mengelola lahan yang dimilikinya. Menurut Nono bahwa Rakimin sudah lama sebagai petani yang diupah di lahan miliknya. Biasanya Nono memberikan upah ke Rakimin sebesar Rp. 20.000,00/hari yang berbeda dengan pemberian upah dari orang lain sehingga Rakimin betah menggarap lahan milik Nono”.

Urian di atas menunjukkan bahwa struktur hubungan produksi yang tercipta adalah hierarki antara “majikan” dan “buruh”. “Majikan” diwakili oleh petani pemilik modal yang mempunyai modal untuk mengupah “buruh” yang diwakili oleh petani pemilik-penggarap. Dengan demikian, hubungan produksi bersifat eksploitasi dimana penyerapan surplus produksi diserap oleh petani pemilik modal terhadap petani pemilik-penggarap yang menyewakan tenaga kerjanya.

Usaha ternak sapi sudah tampil semenjak periode “pasang” yang berasal dari bantuan pemerintah. Meskipun demikian, usaha yang organisasi produksinya berbasis keluarga ini lebih berkembang pada periode “surut”. Perbedaan pengusahaan komoditas sapi oleh komunitas transmigran pada dua periode tersebut dapat dilihat dalam hal kepemilikan ternak dan tenaga kerja yang terlibat. Pada periode “pasang” kepemilikan ternak dikuasai oleh petani pemilik-penggarap yang berarti tenaga kerja utamanya berasal dari keluarga inti tersebut. Dengan demikian, merujuk pada tenaga kerja utama komoditas tersebut berarti organisasi produksinya berbasis keluarga inti.

Distribusi tenaga kerja dalam keluarga inti didasarkan atas kegiatan pengusahaan komoditas ini, seperti dalam penyediaan hijauan pakan ternak dilakukan oleh ayah atau anak laki-laki yang dewasa, sedangkan ibu dan anak perempuan dewasa menyediakan air minum untuk ternak sapi tersebut. Hasil yang diperoleh diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan keluarga lainnya, seperti: membeli generator, membeli TV dan radio, membangun rumah, menyekolahkan anak, dan lain sebagainya. Walaupun pada periode “pasang” komoditas ini sudah berorientasi komersil (nilai tukar), namun belum terlibatnya tenaga kerja di luar keluarga inti menunjukkan struktur hubungan produksinya bersifat egaliter dimana seluruh surplus produksinya diserap oleh keluarga inti tersebut.

Berbeda dengan periode “pasang”, terbentuknya dua struktur kelas sosial komunitas transmigran menyebabkan kepemilikan ternak pada periode “surut” lebih didominasi oleh petani pemilik pemodal. Didominasinya kepemilikan ternak oleh petani pemilik modal tersebut menunjukkan keterlibatan tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga inti. Adapun organisasi (unit) produksi sebagai perwujudan hubungan produksi dapat dilihat berlangsungnya sistem gaduhan ternak dan sistem persentasi. Alat produksi utama dalam usaha ternak sapi ini