• Tidak ada hasil yang ditemukan

LATAR BELAKANG DAN PERKEMBANGAN PERTANIAN KOPI DI DESA PARULOHAN

PETANI DI DESA PARULOHAN

5.4 Dampak Pertanian Kopi Terhadap kehidupan Sosial Petani Desa Parulohan

5.4.2 Dampak Negatif

Dalam kehidupan bermasyarakat ketika terjadi sebuah perubahan, tentu perubahan itu mempunyai dampak, baik dampak yang negatif maupun dampak yang positif. Begitu juga dengan yang terjadi di Desa Parulohan ini, pertanian di Desa Parulohan mengalami perubahan yaitu mulai dari pertanian padi, ubi sampai pada akhirnya pertanian kopi. Di pertanian kopi ini terjadi perubahan yang sangat mencolok baik itu dari tingkat pendapatan, pendidikan sampai ke tingkat kesehatan.

Dibalik semua keberhasilan itu, ternyata ada dampak negatif yang terjadi di Desa Parulohan antara lain:

Berkurangnya Rasa Kepedulian (solidaritas) bagi Masyarakat.

Kehidupan masyarakat di Desa Parulohan yang tergolong homogen, kehidupan masyarakat yang terikat dalam satu hubungan marga, agama dan suku maupun bahasa. Adanya hubungan marga yang erat satu sama lain, menjadi sumber pengikat dalam hubungan sosial diantara masyarakat di desa ini. Secara lambat laun, corak kehidupan di desa ini yang dulunya masih terikat terkikis oleh pola kehidupan berlomba-lomba mengejar kekayaan.

Berkurangnya rasa kepedulian di kalangan masyarakat di Desa Parulohan hal ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan yang semakin tinggi. Meningkatnya pendapatan membuat masyarakat di desa ini selalu sibuk dengan urusan masing-masing (urusan pekerjaan). Bagi sebagaian besar petani telah mementingkan pekerjaaan daripada adat ataupun kegiatan sosial lainya. Untuk saat itu urusan adat menjadi urusan yang terbelakang, dan lebih mengutamakan urusan pertanian ataupun pekerjaan. Pekerjaan

yang selalu membuat masyarakat selalu sibuk dan lebih mengutamakan urusan pertanian. Dalam menghadiri acara adat, yang seharusnya suami ataupun istri harus hadir. Namun karena kondisi yang selalu sibuk urusan adat hanya diikuti satu orang perwakilan saja (perwakilan suami ataupun istri).

Sistem kekeluargaan yang diikat oleh dalihan natolu terlihat semakin menipis, hal ini menyebabkan kepedulian masyarakat juga semakin terkikis. Dalihan natolu yang merupakan filosofi dalam adat Batak Toba terdiri dari tiga bagian yaitu Somba marhula-hula, Manat mardongan tubu, Elek marboru. Sebutan dalihan natolu paopat sihalsihal (dengan yang keempat adalah tetangga) adalah falsafah yang dimaknakan sebagai kebersamaan yang cukup adil dalam kehidupan masyarakat Batak. Dalam adat Batak Toba, pihak borulah yang menghormati hula-hula. Di dalam satu wilayah yang dikuasai hula-hula, tanah adat selalu dikuasai oleh hula-hula. Sehingga boru yang tinggal di kampung hulanya akan kesulitan mencari nafkah apabila tidak menghormati hula-hulanya. Gambaran dongan tubu adalah sosok abang dan adik. Secara psikologis dalam kehidupan sehari-hari hubungan antara abang dan adik sangat erat. Namun satu saat hubungan itu akan renggang, bahkan dapat menimbulkan perkelahian. Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya mendapat berkat (pasu-pasu). Istilah boru dalam adat batak tidak memandang status, jabatan, kekayaan oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk dalam suatu pesta adat batak karena posisinya saat itu sebagai boru.78

78 Diambil dari internet : id.wikipedia.org/.wiki/Dalihan_natolu. Diakses pada tanggal 22 September 2013 pukul 21:30 WIB.

Hal yang tidak boleh lepas dan hingga saat ini masih terjadi di Desa Parulohan. Apabila harga kopi maupun hasil pertanian lainya mengalami kenaikan harga maka tradisi masyarakat juga berubah, terkadang gaya bicara masyarakat semakin sombong dan lupa diri. Tumbuhnya tradisi HOTEL (hosuk, teal,elat,late) yang berarti rakus, iri, sombong, dengki mengakibatkan masyarakat semakin terpecah belah satu sama lain.

Masyarakat Lebih Komsumtif ( Konsumeris)

Akibat tingkat pendapatan para petani di Desa Parulohan yang semakin meningkat, menyebabkan tingkat kebutuhan petani juga semakin bertambah. Hasil penjualan panen kopi yang dulunya hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan keperluan rumah tangga lainya. Meningkatnya pendapatan petani dari usaha pertanian kopi mengakibatkan pola hidup masyarakat mengarah ke arah gaya hidup yang komsumtif. Keuntungan yang di dapat petani hasil pertanian tidak lagi terarah sesuai dengan tujuan. Pendapatan para petani lebih banyak digunakan untuk membeli barang-barang yang tidak perlu seperti TV, parabola, sopa, dan barang-barang mewah lainya.

Untuk soal pengadaan pesta misalnya pesta pernikahan juga sudah lebih banyak membutuhkan biaya. Setelah berkembangnya pertanian kopi Lasuna ataupun kopi Sigarar, masyarakat memiliki kebiasaan untuk membuat pesta besar-besaran. Masyarakat di Desa Parulohan identik dengan gengsi dan tidak mau kalah. Kalau misalnya salah satu masyarakat membuat pesta besar untuk pernikahan anaknya tentu masyarakat yang lainnya akan mengikuti dan tidak mau kalah.

Meningkatnya pendapatan petani dari pertanian kopi juga ditandai dengan munculnya kedai-kedai dan parter tuak yang baru yang menjual berbagai macam minum keras dan minuman beralkohol. Akibatnya bagi kalangan pria (kepala keluarga dan pemuda) menggunakan hasil pendapatan pertanian kopi untuk membeli minuman-minuman beralkohol. Jika malam hari sudah tiba, kebanyakan kaum lelaki di desa ini

menghabiskan pendapatanya di parter tuak. Sebagian ada yang tidak segan-segan pulang ke rumah dalam kondisi mabuk, sehingga sering menyebabkan adanya perselisihan dalam rumah tangga. Selain untuk membeli minuman beralkohol, bahkan sebagian orang juga yang menghabiskan pendapatanya untuk bermain judi di kedai.

Adanya Penggarapan Tanah

Seperti telah disebutkan dalam Bab II, bahwa sebelum pertaian kopi sangat jarang ditemukan masyarakat yang menjual tanah tanpa ada tujuan tertentu. Namun, hal negatif yang menjadi kebiasaan buruk masyarakat di desa ini setelah perkembangan pertanian kopi yaitu munculnya obsesi masyarakat untuk melakukan penggarapan tanah. Selain kebiasaan masyarakat Desa Parulohan untuk mengutang dan kehidupan yang konsumtif, ternyata ada muncul banyak konflik akibat pertanian kopi. Ketika masyarakat melihat potensi kopi dapat meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat, luas lahan kopi sangat berkembang dan masyarakat menanam kopi semakin banyak. Namun, akibat perluasan lahan kopi terjadi hal yang diluar pemikiran masyarakat yaitu kejadian dimana terjadi pertengkaran antar keluarga / masih semarga akibat penggarapan tanah.

Meluasnya lahan pertanian kopi yang mengakibatkan juga semakin mahalnya harga tanah di Desa Parulohan. Dalam pembukaan lahan yang baru, para petani sering kali bertengkar karena ukuran tanah yang tidak tepat. Hal yang sering terjadi di desa ini yang mengakabitkan pertengkaran yaitu permasalahan dalam pembatas areal pertanian yang sering disebut bondar/golat79. Bondar yang sebenarnya adalah jalan ataupun pemisah lahan pertanian yang satu dengan yang lain. Namun akibat lahan pertanian yang semakin luas, kegunaan bondar pun telah disalah artikan oleh petani.

Para petani yang sangat terobsesi untuk hidup sukses membuka lahan yang sudah lama tidak diusahakan namun ternyata lahan itu adalah milik orang lain yang sudah lama

tidak diusahakan, sehingga mengakibatkan munculnya perdebatan yang sengit di kalangan petani. Penggarapan tanah ini sangat marak di Desa Parulohan yang menyababkan munculnya berbagai permasalahan. Baik akibat kesalahan perbatasan maupun yang dulunya di sewakan, ada masyarakat yang menyangkal bahwa tanah itu disewakan pada dia. Sehingga tanah yang diperuntukkan untuk saudara yang merantau biasanya sudah diusahakan oleh keluarganya yang tinggal di kampung tersebut.

BAB VI