• Tidak ada hasil yang ditemukan

DESA PARULOHAN HINGGA TAHUN 1988

2.6 Kepercayaan dan Upacara

Masyarakat di Desa Parulohan yang ditandai dengan pola persamaan yang kuat dan utuh. Sebagian besar penduduk di Desa ini adalah suku batak Toba yang beragama Kristen Protestan. Seperti bagi pemeluk agama Kristen lainya, masyarakat di Desa Parulohan percaya bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Yang Maha Kuasa. Dalam penyebutanya untuk menyebut Yang Maha Kuasa yaitu Debata Sitolu Sada (Debata Anak dohot Tondi Porbadia). Hal ini yang menjadi pegangan dan dasar dalam kehidupan dalam kehidupan beragama di Desa Parulohan.

Penghayatan dan kepercayaan tersebut diungkapkan dalam berbagai bentuk, misalnya dalam bentuk adat, nilai, dan upacara-upacara serta perayaan hari-hari besar tertentu. Masyarakat di desa ini yakin dan percaya bahwa manusia mempunyai keterbatasan dan berada yang pada posisi yang lemah di hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Di samping percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa yang mempunyai dan berwenang dalam mengatur segala persoalan hidup dan kehidupan manusia di muka bumi, sebagian

masyarakat di desa ini juga percaya akan adanya ilmu-ilmu Hadatuon (dukun) dan adanya roh jahat seperti Begu Ganjang dan Sigumoang. Adanya roh-roh jahat yang pada waktu tertentu akan menggangu ketentaraman hidup masyarakat di Desa ini. Adanya roh-roh jahat yang kadang-kadang akan membawa kebinasaan, maka masyarakat berusaha untuk tidak mengganggu dan menghindar dari apa yang menjadi penyebab munculnya roh-roh jahat tersebut.

Sebagai bentuk dari sejumlah kepercayaan yang dimiliki oleh petani di Desa Parulohan dalam berbagai bentuk upacara. Salah satunya adalah upacara Mangongkal Holi (pengambilan tulang-belulang manusia dari liang kubur). Upacara mangongkal holi biasanya dilakukan bersamaan dengan acara pesta huta (peresmian huta). Upacara mangongkal holi dilkukan dengan tujuan sebagai bentuk pengharagaan/ persembahan dari pomparan (keturunan) kepada orang yang telah meninggal dunia. Kegiatan upacara mangongkal holi merupakan upacara yang paling ramai dan terbesar dari berbagai upacara yang biasa dilakukan oleh masyarakat di desa ini.

2.7 Pola Pemukiman, Keadaan Fisik dan Status Kepemilikan Rumah Warisan.

Tata letak bangunan rumah masyarakat Desa Parulohan pada umumnya mengelompok. Adapun pengelompokan ini ditandai oleh pengaruh jenis marga yang berbeda-beda, dalam setiap setiap perkampungan biasanya dihuni oleh marga yang yang sama atau masih satu keturunan. Bentuk bangunan rumah saling berhadapan, pola pemukiman masyarakat juga berkelompok dikarenakan pola perkampungan yang terpisah-pisah antara huta (kampung) yang satu dengan yang lain. Untuk pembangunan rumah tempat tinggal selalu disesuaikan dengan keadaaan tanah, keadaan tanah di desa ini yang terlihat datar membuat pola pembangunan rumah di desa ini teratur.

Pengaruh jumlah marga dan pertambahan jumlah penduduk di Desa Parulohan yang semakin tahun semakin semakin bertambah. Hal ini mengakibatkan munculnya pola

perkampungan-perkampungan baru, pola pembentukan kampung baru yang di didasarkan dari marga pemilik kampung tersebut. Munculnya perkampungan-perkampungan baru yang merupakan kawasan atau bagian terkecil dari huta, adapun kawasan pemukiman di desa ini dibagi dalam beberapa tingkatan:

a. Banjar yaitu suatu kawasan pemukiman yang bentuknya mengelompok, biasanya terdiri dari 10 sampai 15 kepala keluarga dihuni oleh keturunan dari raja huta (pendiri/pemilik huta).

b. Sosor yaitu kawasan pemukiman yang hampir sama dengan banjar, namun sudah dihuni oleh dari beberapa marga (keturunan dari pemilik huta dan marga boru ( hela/boru ni huta).

c. Lumban yaitu kawasan pemukiman yang masih baru diresmikan, dihuni oleh masyarakat yang masih satu keturunan (satu marga) yang membentuk perkampungan baru. Lumban biasanya dihuni oleh marga boru yang mendirikan perkampungan yang baru, biasanya dihuni oleh 4-5 kepala rumah tangga saja. Bentuk perkampungan di Desa Parulohan terlihat memang sangat unik, pola perkampungan di desa ini selalu di kelilingi oleh tembok/pagar yang ditumbuhi bambu. Setiap perkampungan (Banjar, Sosor maupun Lumban) selalu dikelilingi Parik ni Huta (tembok), diatas tembok ditanami bambu yang berpungsi sebagai pagar dan juga sebagai pembatas di setiap perkampungan. Setiap juga ditandai dengan adanya bahal (gerbang) sebagai pintu masuk menuju perkampungan penduduk. Pola perkampungan yang bentuknya mengelompok menjadikan Desa Parulohan terlihat rapi dan beraturan.

Sebelum tahun 1988 kondisi dan bentuk fisik bangunan rumah di Desa Parulohan pada umunya masih terlihat sederhana. Sebagian besar masyarakat tinggal dan menempati rumah panggung yang terbuat dari bahan kayu, bangunan rumah panggung dengan kolong yang memiliki ketinggian kira-kira 100-150 Cm dari permukaan tanah. Kolong

rumah yang biasa disebut dengan bara jabu juga dimafaatkan sebagai tempat/ kandang kerbau. Ruangan yang terdapat di dalam rumah terdiri atas ruang tamu yang berdampingan dengan dapur, di setiap rumah juga ditemukan tradisi yang sama yaitu setiap kamar tidur selalu berada di sebelah kanan pintu masuk rumah. Hampir di seluruh rumah tempat tinggal penduduk di desa ini mempunyai langit-langit, yang digunakan sebagai tempat penjemuran padi.

Di era sebelum tahun 1988 di desa ini juga masih ada ditemukan rumah tempat tinggal penduduk yang masih beratapkan ijuk dan rumbia. Di era ini juga masih ada sebagian masyarakat yang menempati rumah Bolon (rumah batak), rumah bolon biasanya ditempati oleh para petinggi-petinggi adat dan raja huta (pemilik huta).

Tata letak pembangunan rumah di desa ini yang selalu disesuaikan dengan keadaan sebelumnya membuat perkampungan Desa Parulohan terlihat sangat rapi dan teratur. Pola pembangunan rumah yang harus sama dan harus disesuaikan dengan tradisi dan adat pembangunan rumah. Adapun tradisi itu menjadi satu satu keunikan yang terlihat dengan pola perkampungan di Desa Parulohan yaitu: pada umumnya rumah tempat tinggal masyarakat tidak ada yang menghadap ke arah matahari terbit ( sebelah timur).

Sebagai desa yang masih sangat menjunjung adat yang berlaku maupun hukum warisan adat. Masyarakat di Desa Parulohan juga menggangap bahwa rumah yang sering disebut dengan bale-bale merupakan warisan yang sangat berharga dari orang tuanya. Bale-bale sebagai jabu (tempat perkumpulan anggota keluarga) yang tidak bisa lepas dari adat masyarakat di desa ini. Dalam hal kepemilikan rumah warisan (rumah orang tua) disesuaikan adat yang berlaku dari yang sebelumnya yaitu hak kepemilikan rumah diserahkan kepada anak siappudan (anak bungsu). Anak bungsulah yang berhak untuk menempati rumah peninggalan orang tuanya. pentingnya rumah milik orang tua yang

diwariskan kepada anak sulungnya, sehingga keberadaan bentuk rumah-rumah lama di desa ini masih banyak ditemukan sampai sekarang. Rumah-rumah tua ini sering disebut dengan jabu parsaktian.