• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keadaan Tanah dan Status Kepemilikan/ Penguasaan Tanah

DESA PARULOHAN HINGGA TAHUN 1988

2.2 Latar Belakang Historis Desa Parulohan

2.3.2 Keadaan Tanah dan Status Kepemilikan/ Penguasaan Tanah

Tradisi adat masyarakat di Desa Parulohan yang menganggap bahwa tanah itu sering disebut dengan “ulos na so buruk” (ulos yang tak bisa rusak). Masyarakat juga mengganggap bahwa tanah merupakan barang yang sangat berharga sebagai warisan dari ompu sijolo-jolo tubu (nenek moyang) dan titipan dari Debata mulajadi nabolon (Tuhan Yang Maha Esa). Tanah yang dianggap sangat berharga bagi masyarakat pada saat itu, akibatnya sangat jarang masyarakat yang menjual tanah. Masyarakat yang menjual tanahnya itu hanyalah karena adanya kebutuhan tertentu (keadaaan paksaaan), awalnya sistem penjualan tanah dilakukan masyarakat yaitu masyarakat yang menjual tanah selalu mengusahakan untuk menjual tanahnya ke sesama keluarga (keluarga dekat). Sebagian masyarakat juga ada yang menjual tanahnya dengan menjual tanahnya dengan sistem marbile (tanah dibayar dengan tanah), dan disesuaikan dengan kondisi tanah. Secara rinci

pemamfaatan lahan sebelum adanya pertanian kopi Sigarar utang di Desa Parulohan dapat terlihat pada tabel berikut:

Tabel 1.1

Luas Lahan menurut Peruntukkan di Desa Parulohan Tahun 1980

No Peruntukkan Lahan Luas Presentase

1 Persawahan 82,50 Ha 10,83 %

2 Areal pertanian kopi 17,75 Ha 4,35 %

3 Tegalan (lahan kosong) 614,75 Ha 80,31 %

4 Perumahan / Pemukiman 13,55 Ha 21,77 %

5 Kolam / Perikanan 22,00 Ha 2,88 %

6 Perkantoran / Sarana Sosial a.Kantor/Balai Desa

b.1Poskesdes c.1Unit Gereja

d.1Unit SD

e.Jalan Umum/ Jalan Dusun f.Saluran Irigasi Tersier g.Saluran Irigasi Pembuang

h.Kuburan i.Irigasi 0,02 Ha 0,08 Ha 0,35 Ha 0,20 Ha 5,31 Ha 0,26 Ha 0,11 Ha 5,00 Ha 0,05 Ha 0,002 % 0,010 % 0,045 % 0,026 % 0,69 % 0,034 % 0,014 % 0,65 % 0,007 % TOTAL 761,32 Ha 100 %

( Sumber : Koordinar Penyuluh Pertanian Lapangan Kecamatan Lintong Nihuta tahun 1980)

Sebagian besar tanah di Desa Parulohan merupakan tanah podzal (podzolid)25, dan sebagian kecil lainnya adalah tanah merah. Sebagian besar tanah di Parulohan sangat cocok digunakan untuk lahan pertanian pangan, palawija dan holtikultura. Kondisi

25 Yang dimaksud dengan tanah podzal adalah tanah subur yang pada umumnya berada di daerah pengunungan, dengan curah hujan yang tinggi dan bersuhu rendah/rendah.

wilayah Desa Parulohan dengan keadaan tanahnya datar, berada pada daerah pegunungan yang beriklim dingin26. Sebagian besar tanah di Desa Parulohan merupakan tanah tegal (perladangan) yang pada waktu itu digunakan untuk pertanian padi dan ubi.

Sebelum adanya pengaruh modern ataupun pengaruh dari budaya lain, hukum pengusaan tanah di Desa Parulohan disesuikan dengan hukum adat dan bius yang berlaku, adapun hukum adat penguasaan tanah yaitu: hukum pertanahan tanah adat (ulayat) merupakan milik Raja Huta (pendiri Huta), kawasan sumber daya komunal (hutan, padang rumput penggembalaan, Harangan, tambok (kali/waduk) dan pemukiman dikuasai secara bersama-sama (kolektif) berdasarkan hukum yang ditetapakan oleh Raja Huta, hukum parsahutaon adalah hak pendiri Huta/ pemilik Huta sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Raja Huta.

Adanya pengaruh dari hukum adat yang menyatakan bahwa sebagian besar kawasan huta (desa), merupakan hak pendiri Huta dan didasarkan garis keturunan dari anak laki-laki). Sistem kepemilikan tanah di desa ini lebih ditekankan kepada anak laki yang merupakan penyambung garis keturunan, dan sebagian tanah di berikan kepada boru (anak perempuan). Dalam hukum adat di Desa Parulohan, pola kepemilikan (pembagian) tanah untuk anak dan boru sangatlah berbeda. Hal ini disebut dengan istilah Panjaean dan Pangusean, panjaean yaitu sebidang tanah warisan yang diberikan kepada anak laki-laki, tanah penjaean biasanya diberi orang tuanya setelah anaknya sudah marhasohotan (berumah tangga/ membentuk keluarga baru). Adapun pangusean yaitu sebidang tanah yang menjadi bagian dari boru (anak perempuan), pemberian tanah untuk boru sama halnya seperti untuk boru yaitu diberi setelah borunya marhamulian (menikah dengan lelaki bermarga lain). Antara panjaean dan pengusean memang berbeda, luas tanah

panjean yang diberikan kepada anak biasnya jauh berbeda dengan pangusean yang diberukan kepada boru.

2. 4 Kondisi Sosial Budaya dan Sistem Kemasyarakatan

Kehidupan sosial masyarakat di Desa Parulohan sangat kental dengan tradisi-tradisi peninggalan leluhur. Upacara-upacara adat yang berhubungan dengan siklus hidup manusia (lahir –dewasa/berumah tangga-meninggal dunia), seperti upacara kelahiran (maresek-esek)27, pemberian nama (tardidi/Parupa-upaan)28, pernikahan dan upacara-upacara yang berhubungan dengan kematian,hampir selalu dilakukan oleh warga masyarakat. Selain itu, tradisi keagamaan (hari-hari besar agama Kristen), dan syukuran atas hasil panen (pesta gotilon)29 atau semacamnya juga masih dilakukan setiap tahunya.

Gotong-royong biasanya bertujuan untuk kepentingan masyarakat umum atau kepentingan sesama warga masyarakat. kegiatan gotong-royong pada umumnya diwujudkan dalam kegiatan atau aktivitas kerja bersama dengan tujuan yang sama. Seperti kerja bakti menata lingkungan ataupun kerja bersama menyelenggarakan suatu kegiatan upacara (ritual).

Ikatan kekeluargaan bagi petani kopi di Desa Parulohan yang masih terjaga erat, baik yang tinggal di dalam satu dusun maupun yang tinggal di dusun lain. Eratnya bentuk persaudaraan di desa ini terlihat dari kegiatan gotong-royong dan adanya rasa tolong menolong diantara warga masyarakat dalam kehidupan bersama khususnya dalam kehidupan agama dan adat. Para petani di desa ini menunjukkan adanya rasa senasib dan sepenanggungan di antara mereka. Hal ini antara lain bila diantara mereka sedang

27 Maresek-esek dilaksanakan oleh para ibu rumah tangga sebagai bentuk ucapan syukur kepada bayi yang baru lahir.

28 Tardidi atau parupa-upaan dilaksanakan oleh masyarakat yang bergama Kristen, hal ini dilakukan dalam rangka pemberian nama kepada setiap bayi yang baru lahir dan bayi itu sudah terdaptar sebagai angggota jemaat gereja sesuai gereja yang diikuti oleh kedua orangtua bayi tersebut.

29 Pesta gotilan atau pesta syukuran, acara ini dilaksanakan di gereja setiap tahunya dalam rangka pemberian sebagian hasil pertanian (biasanya padi atau pun dalam bentuk uang) sebagai bentuk ucapan syukur terhadap berkat yang diterima oleh jemaat gereja.

mengadakan suatu pesta (acara adat), ataupun bila diantara mereka sedang mengalami musibah (dukacita). Dalam kehidupanya sebagai petani mereka mempunyai tujuan yang sama, yaitu bagaimana hasil produksi pertanian kopi mereka semakin meningkat. Tujuan utama sebagai petani ini pulalah yang mendorong adanya semangat gotong-royong dan rasa tolong menolong di antara petani di desa ini.

Salah satu bentuk gotong-royong dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat petani kopi di Desa Parulohan terlihat dalam sebuah acara pesta (adat). Bagi masyarakat di Desa Parulohan yang melakukan sebuah acara pesta baik pernikahan (pamasu-masuon), mamestahon huta (pesta tugu/peresmian suatu huta) , monding / saur satua (kematian), ulang tahun, dll. Untuk meringankan beban dari keluarga yang mengadakan pesta, para tetanga (dongan sahuta dan dongan saparadatan) biasanya memberikan sumbangan (papungu tuppak) dalam bentuk uang ataupun beras. Sumbangan ini dilakukan dalam bentuk kewajiban bagi anggota masyarakat yang mengadakan acara adat, hal ini juga dilakukan secara bergantian dalam setiap acara adat. Selain memberikan sumbangan, para petani di desa ini juga berpatisipasi untuk membantu pihak yang mengadakan pesta dalam bentuk materi dan tenaga.

Kegiatan tolong-menolong juga terlihat pada sebuah keluarga yang tertimpa kedukaan (kemalangan), seperti ada salah satu dari anggota keluarga yang kecelakaan. Apabila ada terdengar salah satu dari warga masyarakat yang kemalangan, para petani di desa ini pada umunya berdatangan untuk menjenguk. Biasnya bagi anggota masyarakat yang tertimpa bencana, di desa ini diadakan sebuah acara Mangapuli (menjenguk orang yang sakit). Acara ini dilakukan dalam bentuk doa bersama antar sesama warga, bagi keluarga terdekat yang mengalami musibah biasanya mamboan Sipanganon (membawa makanan) sebagai bentuk adanya rasa saling senasip dan sepenanggungan).

Budaya dan hukum adat yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat, sehingga pola kehidupan masyarakat di desa ini diikat oleh sistem adat yang berlaku. Masyarakat menggangap bahwa selain hukum agama, hukum tertinggi adalah hukum adat. Segala bentuk permasalahan/perselisihan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, selalu diselesaikan dengan hukum adat disamping hukum agama. Hukum adat yang mengacu pada sistem dalihan natolu (somba marhula, elek marboru, manat mardongan tubu), artinya bahwa kita harus selalu hormat kepada Tulang (keluarga dari pihak ibu), sabar terhadap boru (keluarga dari pihak perempuan) dan harus hati-hati-hati kepada dongan tubu (satu marga). Sistem inilah yang selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat dalam menjalankan hidupnya sehari-hari.

Adanya umpasa dan umpama (pribahasa dan pepatah) yang merupakan bagian dari budaya adat yang berlaku di Desa Parulohan. Masyarakat di desa ini menerapkan hukum adat dalam bentuk pengucapan umpasa dan umpama yang banyak mengandung makna, nilai-nilai ataupun norma-norma (falsapah hidup). Sistem politik, hukum dan adat diwujudkan/didasari dari umpasa dan umpama yang sumber petunjuk hidup bermasyarakat. Dalam sistem adat, kehidupan masyarakat di desa ini mempunyai status ataupun golongan yang berbeda yaitu status parhuta (pemilik huta) dan boruni huta/sonduk hela/maisolat (marga boru). Namun, dalam hukum agama status dan golongan masyarakat sama tanpa ada perbedaan. Dalam hukum agama setiap masyarakat yang melanggar hukum, dihukum sesuai hukum yang berlaku tanpa memandang status maupun golongan. Bebeda dengan hukum adat, hukum adat biasanya lebih memihak kepada pemilik huta.

Dalam pelaksanaan tatanan kehidupan sehari-hari di Desa Parulohan terdapat dua unsur kepemimpinan yang satu sama yang lain bekerja sama untuk mengatur tatanan hidup kemasyarakatan. Adapun kedua kepemimpinan itu adalah kepemimpinan formal

dan non formal. Kepemimpinan formal yaitu kepemimpinan yang berhubungan dengan pemerintahan desa seperti kepala desa, kepala dusun, dan sekretaris desa. Kepemimpinan non formal atau kepemimpinan adat dan agama, yang berfungsi sebagai pemimpin kehidupan yang berhubungan dengan adat dan agama. Setiap acara adat biasanya dipimpin oleh dua unsur yang berbeda yaitu raja huta dan raja adat. Pemimpin agama yang sering disebut dengan sintua (penatua gereja) dan parhangir (pimpinan gereja), kedua pimpinan ini biasanya berpungsi untuk memimpin acara kerohanian yang ada dalam masyarakat.

Kegotongroyongan masyarakat di desa ini terlihat masih kuat. Dinilai dengan masih adanya gotong royong dalam hal mengerjakan pengolahan lahan (Marsiadap ari)30. Kebiasaan menjenguk orang kemalangan (tetangga atau sanak famili) masih dilakukan oleh masyarakat. Biasanya ketika terjadi kemalangan (rumah kebakaran,kecelakaan misalnya) dibuat sebuah acara untuk pengumpulan tumpak (dana), mereka mengumpulkan uang bersama-sama warga untuk kemudian disumbangkan kepada keluarga yang kemalangan untuk meringankan beban/biaya keluarga yang kemalangan. Kebiasaan saling memperbaiki rumah, semua itu menggambarkan bahwa hubungan kekeluargaan di desa ini masih erat/kuat yang tersirat dalam bunyi umpasa yaitu:

Jonok pe partubu

Jonokan dope parhundul Terjemahan

Hubungan darah memang penting

Tetapi lebih penting lagi rukun ketetanggaan/ sewilayah

Artinya solidaritas yang timbul dari tempat tinggal/domisili lebih utama daripada hubungan darah (marga).