Posted by anick in Agama, All Posts, Kisah, Revolusi, Sejarah, Tokoh.
trackback
Lukisan yang dicuri dari museum di Oslo di tahun 2004 itu tak akan mudah dilupakan orang Di tengah kanvas, dalam garis yang tergurat kasar tapi terasa ngilu, tampak sebuah sosok yang ketakutan. Mukanya pucat, mirip mayat tapi juga mirip bayi yang gagal lahir.
Mulutnya terbuka, menjerit. Matanya membeliak. Tangannya memagut kuping. Ia berdiri di sebuah jembatan kayu yang tak tampak ujungnya. Di latar belakang kelihatan dua orang lain berdiri seperti bayang-bayang. Dan tak kurang memukau adalah gelombang warna merah di angkasa yang terbentang di atas permukaan air fyord yang luas.Edvard Munch menamai karyanya yang termashur ini Jerit. Di sudut tampak angka tahun ketika sang pelukis menyelesaikannya: 1893. Kemudian kita tahu ada beberapa baris dalam catatan hariannya dari tahun 1892. Saya kutip:
“Aku tengah berjalan di belakang dua orang teman. Matahari turun di punggung sebuah bukit yang menjulang melatari kota dan fyord. Kurasakan selintas rasa sedih; langit itu mendadak berubah merah darah. Aku berhenti melangkah, bersandar pada terali, letih habis. Kedua temanku memandangiku tapi berjalan terus. Kusaksikan mega yang seperti api di atas fyord dan kota itu…Aku berdiri di sana gemetar oleh rasa takut, dan kurasakan jerit dahsyat yang tak henti-hentinya menembus alam yang terbentang tak putus-putusnya’.
Lebih seabad kemudian, lukisan itu, lanskap Norwegia yang murung itu, dan terutama langit
di atas kota
Oslo itu, yang menampakkan “darah dan lidah api di atas permukaan air fyord yang hitam-biru,” menarik perhatian para ahli astronomi. Mereka datang dengan sebuah teori.
The New York Times melaporkannya: dalam jurnal Sky & Telescope nomor Pebruary 2004, Donald Olson dan rekan-rekannya dari Universitas Negara Texas mengemukakan apa sebenarnya yang tampak di langit senja hari itu. Di tahun 1883 Krakatau meletus.
Guncangan hebat terjadi di sekitar Indonesia, dan kurang-lebih 30 ribu manusia tewas oleh tsunami yang menggebrak, tapi yang juga menakutkan ialah bahwa bahkan di Eropa, senjakala tak putus-putusnya menghadirkan langit merah yang terang sejak November 1883 sampai dengan Pebruari 1884. Olson berpendapat, sangat mungkin itu juga yang terjadi di Norwegia, dan Munch adalah salah seorang yang menyaksikannya.
Tak begitu jelas bagi saya kenapa baru 10 tahun kemudian sang pelukis menuangkannya di atas kanvas, dengan tempera, cat minyak, dan pastel di atas karton. Tapi setidaknya teori Olson telah menjadikan Jerit sebuah pengingat: begitu jauh jarak antara Selat Sunda dan Skandinavia, begitu berbeda, tapi semua ada di satu bumi, hanya satu bumi. Telah terjadi bencana besar di sebuah selat, tapi bahkan di abad ke-19, ketika teknologi belum mempercepat kabar, rasa ngeri di satu tempat bisa menjangkau pelbagai daratan, dan abu letusan yang membara bisa menjelajah merasuki rembang petang beratus-ratus kota.
Mungkin Munch melihat itu, mungkin juga tidak. Tapi apapun yang menggerakkan hatinya, kanvas itu mencuatkan rasa jeri yang sama-sama kita kenal: pekik tersekat di mulut ketika menghadapi maut, wajah pucat di tengah alam yang, pada saat yang menakutkan, tak sepenuhnya menjelaskan diri, dan hati ketir-ketir karena kefanaan kita. Di mana pun kita berada, kita merasakan diri melangkah di sebuah jembatan yang genting; di ujung yang satu kita adalah sebentuk fetus, di ujung lain kita sebuah jenazah.
“Tak ada yang kecil, tak ada yang besar”, tulis Munch. “Dalam diri kita adalah dunia. Apa yang kecil membagi diri jadi apa yang besar, apa yang besar membagi diri jadi apa yang kecil”.
Mungkin itulah yang bisa dikatakan tentang manusia. Bencana alam datang seperti hantaman raksasa di punggung Krakatau di tahun 1883 dan di daratan Aceh di tahun 2004, dan beribu-ribu nyawa punah, dan pada saat seperti itu, apa lagi beda “besar” dan “kecil” dalam nasib? Saya teringat akan Bazarov, tokoh yang paling menarik dalam novel Turgenev, Para Ayah dan Putra Mereka. Ia merenung: “Di sini, aku berbaring di bawah tumpukan jerami. Ruang sejentik yang kutempati ini begitu tak tepermanai kecilnya dibandingkan dengan ruang
selebihnya, di mana aku tak ada…dan jangka waktu yang tersedia untuk hidupku begitu sepele disandingkan dengan keabadian yang belum dan tak akan pernah kuhuni…
”Bazarov melihat dirinya praktis tanpa arti. Novel itu menampilkannya sebagai seorang nihilis yang bertanya tentang hidup “kecil” manusia: “Bukankah ini memualkan?”.Tapi dengan itu sebenarnya ia sendiri melupakan apa yang dikatakannya di ujung renungan itu: “…dalam zarah ini, dalam titik matematik ini, darah mengalir, otak bekerja dan berkeinginan…”.
Maka Munch benar: tak ada yang “kecil”, tak ada yang “besar”. Kita bisa menghina diri dan merasa terhina, atau tidak.Memang pada kita bisa terbit gentar ketika memandang langit senjakala seakan-akan tengah dijilat lidah api, kita terpesona dan sadar, seperti pada Bazarov, akan betapa kecilnya bumi di tengah alam semesta. Pada saat seperti itu kita mungkin akan teringat bahwa sejak Kopernikus di abad ke-15 ilmu telah menjelaskan bumi bukan lagi sebagai pusat; bahkan ia kini diketahui cuma senoktah planet di antara bermilyar-milyar yang lain. Tapi soalnya: bagaimana kita memandang apa yang ditemukan Kopernikus.
Ada yang menyimpulkan, sejak itu manusia berhenti jadi angkuh. Nietzsche termasuk yang berpendapat bahwa sejak itu “pengkerdilan-diri manusia” maju pesat. Tapi sebaliknya ada juga anggapan bahwa sejak itu maju pesat pula sikap keilmuan: taklid kepada wejangan agama bahwa pusat alam semesta adalah bumi, tempat lahir Kristus, telah digantikan oleh pandangan yang meletakkan akal manusia, bukan kitab suci, sebagai pemegang suluh. Syahdan, dunia modern pun menyingsing, humanisme berkibar.
Humanisme ini terutama berporos pada keyakinan, bahwa manusia mampu dan mempunyai kebebasan untuk menemukan kebenaran. Kopernikus berpegang pada pandangan ini. Tentu saja di abad ke-16, ia harus berhati-hati. Dalam keadaan ketika wejangan agama dijaga ketat Gereja, karyanya, De Revolutionibus, yang terbit di tahun 1543, ia antar dengan sebuah persembahan bagi Paus Paulus III.Di sana ia mengingatkan bahwa pandangan yang menganggap bumi sebagai pusat alam semesta sebenarnya hanya berdasarkan otoritas ilmu dan filsafat Yunani, bukan otoritas Alkitab. Pandangan geosentris itu salah, kata Kopernikus, dan yang benar adalah teori yang dikemukakannya: matahari itulah sang pusat. Kitab Kejadian memang tak tampak sesuai dengan teorinya ini, tapi Kopernikus toh bisa mengutip Mazmur dan menyebut perlunya izin Tuhan bagi manusia untuk menggunakan nalar.
Paus Paulus III kebetulan seorang yang menerima humanisme dengan tenang. Namun perdamaian antara Kopernikus dan Gereja tak bertahan sampai akhir.Sebab dasar pendapatnya tetap: bagi Kopernikus, manusia-lah tolok ukur sebenarnya, sebab ia subyek yang bebas dan mampu menemukan kebenaran, dan dengan metode ilmu yang pasti mampu mengetahui sesuatu secara obyektif. Tak ayal, Gereja menampik pandangan manusia-sentris ini. De Revolutionibus pun digolongkan ke dalam Indeks buku yang haram dibaca, satu ketentuan yang baru dicabut di tahun 1822. Dengan catatan: itu terjadi 70 tahun setelah buku itu terbit. Juga bukan Paus yang memulai serangan agama Kristen atas Kopernikus, melainkan Luther, sang pelopor Protestantisme. Ketika itu sang astronom Polandia itu telah lama wafat.Bentrok yang lebih dramatis terjadi kemudian. Teori Kopernikus berbenturan sengit dengan Gereja dalam kasus Giordano Bruno. Pebruari 1600, setelah delapan bulan dipenjara, bekas padri itu dihukum mati di Campo di Fiore di Roma: lidahnya ditusuk tembilang dan tubuhnya dibakar hidup-hidup.Memang tak cukup bukti bahwa ia dipidana karena keyakinannya mengikuti Kopernikus. Tapi seperti dikatakan Karsten Harris dalam Infinity and Perspective, sebuah uraian historis yang jernih dan mendalam tentang pemikiran
manusia Eropa menghadapi infinitas, ‘yang tak terhingga’, pandangan Bruno tentang kosmos bertaut dengan penampikannya atas dogma utama agama Kristen.
Dalam arti tertentu, yang diyakini Bruno adalah konsekuensi lanjut dari pandangan yang menganggap bumi hanya satu noktah di antara jutaan noktah lain di alam semesta — hingga mungkin tak begitu penting planet tempat Yesus dilahirkan ini. Bumi bukan titik dari mana kehidupan di luarnya diukur. Bagaimana pusat bisa ditentukan? Matahari juga hanya salah satu penghuni sebuah galaksi, terselip di antara berjuta galaksi lain.Walhasil, bagi Bruno, tak ada pusat. Kopernikus cuma mengganti satu pusat (“bumi’) dengan pusat lain (“matahari’). Ia juga keliru.. Tak pasti pula mana awal dan mana akhir, dalam ruang dan dalam waktu. Kosmos, menurut Bruno, adalah sesuatu yang tak terhingga, reproduksi diri Tuhan sepenuhnya. Tuhan dan kosmos membaur.
Di sini teori Kopernikus diteruskan secara radikal, tapi sebenarnya ada yang gagal. Kopernikus mengklaim telah membuka kemungkinan manusia untuk menangkap kebenaran tanpa dibatasi sudut pandang yang sepihak, tapi ternyata Nietszche benar: justru karena Kopernikus, proses “peng-kerdil-an diri” manusia berlangsung..Bagi Nietszche manusia akhirnya hanya makhluk di sebuah bintang kecil nun jauh. Manusia `merasa menemukan apa artinya “mengetahui” dan ia hidup dalam satu menit yang takabur yang disebut “sejarah dunia”. Tapi hanya satu menit. Kemudian bintang itu jadi dingin dan sang makhluk pintar itu punah.
Hanya begitukah manusia? Kita tahu Nietzsche memaparkannya dengan berlebihan, dan tak berarti nihilisme ala Bezarov bisa membuat kita arif.Mungkin kearifan datang justru dari lukisan Munch itu: di kepungan semesta yang perkasa itu, wajah kita guyah, lemah. Tapi apa salahnya? Telah sering terbukti fatwa agama ternyata salah, penemuan ilmu keliru, kesimpulan filsafat tak bisa bertahan; maka mengakui kelemahan adalah sebuah kekuatan. Gianni Vattimo pun bicara tentang il pensiore debole, “pemikiran lemah”.
Bagi Vattimo, seraya menyadari “pemikiran lemah” itu, sebuah kesimpulan, meskipun ditawarkan agar diterima orang lain, tetap sadar bahwa ia dinamis tapi tak kekal, ia terbuka tapi penuh risiko. Ia ditawarkan sekedar sebagai tasfir, yang menyingkirkan tafsir lain tapi tak menghapuskannya habis.
Artinya kita selalu berada di tengah jembatan, bukan di ujung tujuan. Ilham kita bukan Tuhan yang segagah dalam lukisan Micheangelo, tapi tubuh yang terbungkuk kena dera yang pada saat yang genting ditinggalkan Bapanya, tanpa sebab, tanpa jawab. Tapi kita tahu, ia tak sendiri, kita tak sendiri.
~Majalah Tempo Edisi 44/XXXIV/26 Desember 2005 – 01 Januari 2006~
Darwin Februari 16, 2009
Posted by anick in Agama, All Posts, Tokoh, Tuhan.
trackback
Darwin, lelaki pemalu itu, tak ingin membunuh Tuhan. Ini agaknya yang sering dilupakan orang sampai hari ini, ketika dunia memperingati 200 tahun hari lahirnya, 12 Februari.
Menjelang akhir hidupnya, ia hanya mengatakan bahwa ia ”harus puas untuk tetap jadi seorang agnostik.” Teori evolusinya yang mengguncangkan dunia pada akhirnya bukanlah penerang segala hal. Ketika ditanya mengapa manusia percaya kepada Tuhan, Darwin hanya mengatakan, ”Misteri tentang awal dari semua hal tak dapat kita pecahkan.”
Dia sendiri pernah jadi seorang yang alim, setidaknya jika dilihat di awal perjalanannya mengarungi laut di atas kapal HMS Beagle dari tahun 1831 sampai 1836. Pemuda berumur 22 tahun itu, yang pernah dikirim ayahnya untuk jadi pastor (setelah gagal bersekolah dokter), dan di penjelajahan itu diajak sebagai pakar geologi, amat gemar mengutip Alkitab. Terutama untuk menasihati awak kapal yang berfiil ”buruk”. Selama belajar di Christ’s College di Cambridge, sebuah sekolah tua yang didirikan pada abad ke-15, Darwin memang terkesan kepada buku seperti Evidences of Christianity karya William Paley, pemikir yang gigih membela ajaran Kristen pada zaman ketika rasionalitas dan otonomi manusia dikukuhkan tiap hari.
Tapi Darwin pelan-pelan berubah pandangan. Otobiografinya mengatakan, ketika ia menulis karyanya yang termasyhur, On the Origin of Species, yang terbit pada 1859, ia masih seorang ”theis”. Sampai akhir hayatnya ia tak pernah jadi atheis. Namun, setelah lima tahun penjelajahan menelaah kehidupan satwa liar dan fosil, ditanggalkannya argumen Paley. Bagi seorang apologis, segala hal di alam semesta adalah hasil desain Tuhan yang mahasempurna. Tapi Darwin menemukan bahwa tak ada satu spesies pun yang bisa dikatakan dirancang ”sempurna”; makhluk itu berubah dalam perjalanan waktu, menyesuaikan diri dengan kondisi tempatnya hidup.
Darwin juga menemukan hal yang lain. Ia tak hanya menyiasati hidup alam di pantai Amerika Selatan dan ceruk Pulau Galapagos. Ia memandang juga ke dunia manusia di zamannya, dan bertanya: bagaimana desain Tuhan dikatakan sempurna bila ketidakadilan begitu menyakitkan hati? Darwin melihat kejamnya perbudakan. Ia, yang pernah bersahabat dengan seorang bekas budak dari Guyana yang mengajarinya teknik taksidermi ketika ia bersekolah kedokteran di Edinburgh, menganggap perbudakan sebagai ”skandal bagi bangsa-bangsa yang beragama Kristen”. Dalam perjalanan dengan HMS Beagle itu ia juga menyaksikan nestapanya manusia yang jadi pribumi Tierra del Fuego.
Tak bisa diterangkan dengan cara Paley mengapa Tuhan yang adil dan maha-penyayang menghasilkan desain yang melahirkan keadaan keji itu. Tentu ia bisa menemukan tema ini dalam kisah kesengsaraan Ayub dalam Alkitab, tapi bagaimana ”keadilan” Tuhan di situ bisa diterima seseorang yang berpikir kritis dan tak takut?
Bagi Darwin, apologia ala Paley gagal. Darwin tak melihat ada desain dalam keanekaragaman makhluk hidup dan kerja seleksi alamiah. Lingkungan hidup yang me-ngontrol nasib kehidupan di alam semesta bekerja tak konsisten dan tanpa tujuan. Alam memecahkan problemnya dengan cara yang berantakan dan tak optimal, dan tiap penyelesaian tergantung pada keadaan ketika itu.
Mau tak mau, pandangan itu merisaukan. Darwinisme adalah bagian dari sejarah yang ikut menenggelamkan apa yang disebut penyair Yeats sebagai ”ceremony of innocence”—yang terutama dijunjung oleh lembaga agama. Di Amerika Serikat, lebih banyak orang tak percaya kepada teori evolusi. Di sana pula, para pengkritik Darwin mengibarkan teori tentang adanya ”desain yang pintar” di alam semesta. Mereka mengatakan, ada ”kecerdasan” yang datang
dari luar alam yang campur tangan ke kancah hidup di sini, hingga, misalnya, bakteria bisa berpusar pada flagellum yang strukturnya begitu rumit hingga tak teruraikan.
Tapi kaum penerus Darwin bisa menunjukkan ada ribuan jenis flagella yang terbangun dari protein yang sebagian besar berbeda, dan jejak evolusi tampak jelas di dalamnya. Sebagian besar komponen yang membentuk flagella diperkirakan sudah ada dalam bakteria sebelum struktur yang dikenal kini muncul.
Artinya, tak ada desain, kata para penerus Darwin. Teori evolusi menunjukkan ketidaktetapan dan kontingensi: hal ihwal selamanya berubah, meskipun tak terus-menerus, dan perubahan itu bergantung pada konteks yang ada, dan konteks itu pun terbangun tanpa dirancang. Bahkan terjadi karena koinsidensi. Stephen Jay Gould mengiaskannya sebagai spandrel, satu bagian dari plengkung dalam gereja gothis yang tak dirancang oleh arsitek tapi terjadi secara kebetulan ketika, dan karena, plengkung yang direncanakan itu rampung dibangun.
Memang dengan demikian tak ada lagi narasi besar. Kita hidup dengan apa yang dalam bahasa program komputer disebut kluge, himpunan yang kacau dari macam-macam anasir yang terjadi dalam proses menyelesaikan satu masalah. Tak ada flow-chart yang bisa segalanya dan lengkap, tak ada resep yang akan siap.
Itulah sejarah: dibangun dari praxis, laku, keputusan setelah meraba-raba, dan mungkin juga loncatan ke dalam gelap di depan. Tapi tak semuanya gagal. Alam penuh dengan perabot yang ganjil dan awut-awutan, tapi makhluk hidup juga punya keterampilan dan kreativitas di tengah keserbamungkinan itu. ”Nature is as full of contraptions as it is if contrivance,” kata Darwin.
Mungkin Tuhanlah yang menyiapkan itu, mungkin juga Ia tak ada. Mungkin tak ada apa pun sebelumnya. Bagi Darwin itu bukan persoalan. Yang penting adalah mengakui pengetahuan kita yang guyah, rumus kita yang coba-coba, tapi pada saat yang sama kita bilang ”ya” kepada hidup.
Orang beragama akan menyebutnya syukur. Juga tawakal. ~Majalah Tempo Edisi Senin, 16 Februari 2009~
DD Juni 30, 2008
Posted by anick in All Posts, Indonesia, Kisah, Sejarah, Tokoh.
trackback
Orang kelahiran Pasuruan itu selalu mengingatkan saya apa arti sebuah tanah air. Ia Ernest François Eugene Douwes Dekker. Ia mengingatkan apa arti Indonesia bagi saya.
Sekitar akhir Juli 1913 ia disekap di sebuah penjara di Jakarta Pusat. Waktu itu umurnya 33 tahun. Pemerintah kolonial menuduhnya telah ”membangkitkan rasa benci dan penghinaan terhadap pemerintah Belanda dan Hindia Belanda”. Tuduhan itu tak benar; tapi ia memang tak menyukai kekuasaan itu, yang, seperti dikatakannya kepada para hakim kolonial, bertakhta ”di negeri kami ini, di bumi orang-orang yang tak menikmati kebebasan”.
Dari sebuah berita acara yang bertanggal 11 Agustus kita tahu apa yang ia perbuat sebenarnya. Partai politik yang didirikannya, ”Indische Partij”, tak diakui sebagai badan hukum. Tapi Douwes Dekker terus menulis dalam surat kabar De Expres dan lain-lain sejumlah artikel yang oleh Residen Betawi, yang menginterogasinya hari itu, dianggap ”melanjutkan membuat propaganda” tentang cita-cita partai itu.
Tapi dapatkah itu dielakkan? Dalam sebuah memori pembelaan Douwes Dekker menjawab: ”Adakah kemungkinan saya tak lagi berbuat propaganda? Apakah hati seseorang ibarat jas luar yang dapat sesuka hati dipakai atau disimpan…? Tidakkah seseorang akan merupakan propaganda bagi dirinya sendiri selama ia hidup?”
”Saya tak dapat berbuat lain…. Kecuali saya dalam sebuah toko barang loakan dapat memperoleh watak yang sudah usang, semangat yang telah luntur, dan kedok yang kelihatannya tak mengerikan.”
Kalimat itu menggugah, meskipun bukan bagian sebuah prosa yang gemilang. Douwes Dekker ini bukan Douwes Dekker yang lebih termasyhur, yang terbilang masih kakeknya: penulis Max Havelaar yang memakai nama samaran Multatuli. Douwes Dekker dari Pasuruan ini bahkan agak enggan dikaitkan dengan sang kakek.
Dalam biografi yang ditulis Paul W. Van der Veur, The Lion and the Gadfly (KITLV Press, 2006)—sebuah buku yang layak dibaca orang Indonesia—dapat kita temukan rasa enggannya. ”Mengapa saya dibandingkan dengan Multatuli?” Ia merasa itu tak adil. Eduard Douwes Dekker, sang Multatuli, ”seorang sastrawan cemerlang”. Sedangkan dia, Ernest François Eugene, ”cuma seorang jurnalis rata-rata”.
Lagi pula, katanya pula, ”Multatuli seorang Belanda….”
Jika Multatuli ”orang Belanda”, orang apakah Ernest, yang oleh Van der Veur disebut ”DD”? Yang jelas, ia Indo. Ia lahir pada 8 Oktober 1879, anak ketiga dan putra kedua Auguste Henri Edouard Douwes Dekker dan Louisa Margaretha Neumann. Ibunya putri seorang Jerman yang kawin dengan seorang wanita Jawa.
Posisi seorang Indo cukup galau masa itu. Dalam ”negara taksonomi” (istilah Ann Laura Stoler, dalam telaahnya tentang kekuasaan dan klasifikasi sosial di Hindia Belanda) seorang Indo akhirnya tak diterima oleh mereka yang mengagungkan yang ”asli” dan ”murni”. Orang Indo, kata DD, adalah ”makhluk yang nestapa”.
Tapi justru sebab itu DD bisa berdiri memandang ”negara taksonomi” dengan hati kesal dan mata nyalang: ia tahu, taksonomi manusia adalah laku yang sewenang-wenang.
Maka ia bisa cepat merasakan ketidakadilan dengan tajam. Pada pertengahan 1898 ia selesai sekolah menengah dan bekerja di perkebunan kopi Soember Doeren, di lereng selatan Gunung Semeru, Jawa Timur. Ia akrab dengan para buruh. Seorang kuli tua pernah mengatakan kepadanya, ”Tuan muda, tuan memperlakukan kami sebagai manusia.” Tapi majikannya menilai DD tak selamanya tahu bagaimana ”membuat batas”.
Ia pun berhenti bekerja. Ia pindah ke pabrik gula Padjarakan di dekat Probolinggo. Pada masa itu di Jawa selalu ada sengketa pembagian air irigasi antara pabrik gula dan para petani di
sekitarnya. Ketika DD menemukan bahwa Padjarakan merebut hak petani, ia menyatakan itu kepada atasannya. Ia diperingatkan. Dari sini ia juga berhenti.
Mungkin juga karena ibunya, yang amat dicintainya, wafat.
Dalam keadaan kehilangan, ia memutuskan meninggalkan Hindia Belanda: ia bergabung dalam sukarelawan untuk Perang Boer di Afrika Selatan, yang pecah pada awal abad ke-20 itu, ketika orang keturunan Belanda bertempur melawan ekspansi Inggris. Syahdan, Februari 1900, ia naik kapal S.S. Calédonien ke medan perang.
Pertalian dengan yang ”Belanda” tampaknya masih kuat dalam diri DD pada masa itu. Dalam perjalanan ke Afrika Selatan itu, DD berhenti di Bombay. Seperti dikutip dalam The Lion and the Gadfly, ia begitu bahagia bertemu dengan konsul Belanda, mendengar suara seseorang