• Tidak ada hasil yang ditemukan

Erasmus Oktober 26, 2009

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 73-85)

Posted by anick in Agama, All Posts, Tokoh.

trackback

Ini akhir pekan Erasmus. Saya diminta bicara tentang humanisme dalam pandangan Indonesia untuk ulang tahun tokoh humanisme Eropa yang lahir 27 Oktober 1466 itu di Erasmus Huis, Jakarta. Saya tak tahu banyak tentang humanisme abad ke-15 Eropa, dan yang pertama kali saya ingat tentang Erasmus adalah apa yang dikatakan Luther tentang dia. Bagi Luther, pemula Protestantisme yang pada akhirnya mengambil posisi yang tegas keras menghadapi Gereja itu, Erasmus ibarat ”belut”. Licin, sukar ditangkap.

Erasmus memang tak selamanya mudah masuk kategori, tak mudah menunjukkan di mana ia berpihak, ketika zaman penuh hempasan pertentangan keyakinan theologis. Pada mulanya ia membela Luther, ketika pembangkang ini diserang dan diancam, tapi kemudian ia menentangnya, ketika Luther dianggapnya semakin mengganas dalam menyerang Roma. Dalam sepucuk suratnya kepada Paus Adrianus VI, Erasmus sendiri mengatakan, ”Satu kelompok mengatakan hamba bersetuju dengan Luther karena hamba tak menentangnya; kelompok lain menyalahkan hamba karena hamba menentangnya….”

Bagi Erasmus, sikapnya menunjukkan apa yang disebut di zamannya sebagai civilitas. Dalam kata-kata sejarawan Belanda terkemuka, Huizinga, itulah ”kelembutan, kebaikan hati, dan moderasi”.

Perangai tokoh humanisme abad ke-15 ini agaknya seperti sosok tubuhnya. Kita hanya bisa melihat wajahnya melalui kanvas Holbein di Museum Louvre: kurus, pucat, wajah filosof yang meditatif dan sedikit melankolis. Tetapi ia—yang merupakan pengarang terlaris di masanya ini (seorang penjual buku di Oxford pada 1520 mengatakan, sepertiga bukunya yang terjual adalah karya-karya Erasmus)—juga seorang yang suka dipuji. Dan di balik sikapnya yang santun, ada kapasitas untuk menulis satire yang sangat berat sebelah yang menyerang Paus Julius II. Dalam satire ini, Santo Petrus bertanya kepada Julius di gerbang akhirat: ”Apa ada cara mencopot seorang Paus yang jahat?” Jawab Julius: ”Absurd!”

Pada akhirnya memang tak begitu jelas bagaimana ia harus diperlakukan. Ia meninggal di Basel, Swiss, pada 1536, tanpa disertai seorang pastor, tanpa sakramen Gereja. Tapi ia dapat kubur di katedral kota itu.

Agaknya itu menggambarkan posisinya: seorang yang meragukan banyak hal dalam agama Kristen, tapi setia kepada Gereja. ”Aku menanggungkan Gereja,” katanya, ”sampai pada suatu hari aku akan menyaksikan Gereja yang jadi lebih baik.”

Mungkin itulah sebabnya yang selalu dikagumi orang tentang pemikir ini adalah seruannya untuk menghadapi perbedaan pikiran dengan sikap toleran dan mengutamakan perdamaian. ”Tak ada damai, biarpun yang tak adil sekalipun, yang tak lebih baik ketimbang kebanyakan perang.”

Dari sini agaknya orang berbicara tentang ”humanisme Kristen” bila berbicara tentang Erasmus—atau, dalam perumusan lain, ”rasionalisme religius”. Dalam jenis ”rasionalisme” ini, skeptisisme dan rasa ingin tahu, curiositas, diolah dengan baik, tapi pada akhirnya tetap dibatasi oleh apa yang ditentukan agama. Tak mengherankan bila Ralf Dahrendorf menyebut posisi Erasmus sebagai ”leise Passion der Vernunft”, gairah yang lembut untuk akal budi. Dalam hal itu, Erasmus memang tak bisa diharapkan akan mengatasi pikiran yang umum di zamannya—yang tak amat leluasa dan luas. Di abad ke-21 sekarang, rasa ingin tahu yang dikendalikan oleh iman bukanlah sikap ilmiah maupun filsafat. Itu hanya sikap yang membuat pemikiran buntu.

Dalam kasus lain, Erasmus juga bisa tidak konsisten. Pernah untuk menghadapi kritik pedas Ulrich von Hutten—seorang tokoh Reformasi Jerman yang teguh tapi sengsara—Erasmus ikut bersama para tokoh Gereja di Basel untuk mengusir orang itu dari kota. Dalam kasus lain, Erasmus memang penganjur jalan damai menghadapi Turki, tapi ia tetap memandang ”Turki” sebagai yang tak setara dengan Eropa yang Kristen.

Pendek kata, pada diri Erasmus ada nilai-nilai yang mengagumkan dari humanisme, tapi juga ada unsur yang menyebabkan humanisme itu dikecam. Humanisme ini sejak mula—dengan kegairahannya mempelajari khazanah yang tak hanya terbatas pada kitab agama, tapi juga karya-karya Yunani kuno yang ”kafir”—yakin bahwa kita, sebagai manusia, dapat menangkap dunia obyektif dengan menggunakan akal budi. Di dalamnya tersirat asumsi bahwa (tiap) manusia adalah identitas yang tetap, atau ”diri” dan ”subyek” yang utuh dan tak berubah. Subyek ini menentukan makna dan kebenaran. Pikiran manusia menangkap dunia sebagaimana adanya dan bahwa bahasa merupakan representasi dari realitas yang obyektif. Dalam perkembangannya kemudian, pandangan seperti ini terbentur kepada apa yang jadi tajam sejak abad ke-19 Eropa. Dan itu ketika manusia, sebagai subyek yang ulung, jadi penakluk ”yang-lain” di sekitarnya. Ternyata sang subyek tak seluruhnya bisa dikatakan utuh, tetap, dan rasional. Tak berarti manusia sia-sia.

Erasmus sendiri menulis sebuah karya satire yang termasyhur, Encomium Moriae, yang dalam bahasa Inggris terkenal sebagai The Praise of Folly. Di dalamnya, folly atau laku yang gebleg, yang tak masuk akal, dipujikan. ”Tak ada masyarakat, tak ada kehidupan bersama, yang dapat jadi nyaman dan awet tanpa sikap gebleg.” Dengan sikap gebleg itulah manusia mencintai, bertindak berani, termasuk berani menikah, apalagi cuma sekali, dan dengan sikap yang tak masuk akal pula ia percaya kepada apa yang diajarkan agama.

Mungkin manusia selalu harus mengakui ada yang lain yang menyertai satu sisi dari dirinya dan satu bagian dari dunianya. Yang lain dan yang tak cocok bahkan tak senonoh itu tak dapat dibungkam—atau manusia hilang dalam kepongahan dan ketidakadilan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 26 Oktober 2009~

Eropa April 9, 2007

Posted by anick in Agama, All Posts, Identitas, Islam, Kekerasan, Terorisme, Tokoh.

”Aku tahu persis, wahai, Eropa, engkau akan runtuh.”

Kalimat itu tertulis di kertas yang bergelimang darah segar. Mohammed Bouyeri menuliskannya di antara sederet kalimat lain, kemudian memaklumkannya dengan cara yang mengerikan.

Setelah ia tembak mati Theo van Gogh dan lehernya ia sembelih di tepi sebuah jalan di Amsterdam di pagi hari 2 November 2004 itu, ia hunus sebilah pisau lain. Dengan itulah ia cobloskan kertas bertuliskan statemen itu ke dada mayat si korban. ”Aku tahu persis, wahai Eropa….”

Dan dunia pun terbelalak: pemuda keturunan Maroko yang baru berumur 26 itu merasa sedang berjihad melawan kekufuran Eropa, benua tempat ia dibesarkan. Pembunuhan Theo van Gogh adalah bagian dari ”perang suci” itu. Tapi dunia juga tahu, juga dalam ”benturan peradaban” yang dibayangkan Bouyeri, Eropa tak runtuh. Eropa hanya terperanjat.

Tiba-tiba benua itu sadar bahwa dari kancah 15 juta orang muslim yang kini tinggal di sana telah muncul sejumlah orang marah yang mengutip ayat yang marah dan melakukan tindakan yang marah. Dari Hamburg: Mohammad Atta, pemimpin rombongan Al-Qaidah yang menabrakkan dua pesawat ke menara World Trade Center pada 11 September 2001; ia orang Mesir yang jadi radikal selama tinggal di Jerman. Di Madrid: orang muslim lain meledakkan bom di kereta jalur Cercanías, membunuh 191 orang. Di Amsterdam, Mohammed Bouyeri menggorok Theo van Gogh. Di London, 7 Juli 2005, setidaknya tiga pemuda muslim meledakkan diri dengan bom di kereta api bawah tanah dan membunuh 52 orang.

Eropa terperanjat, menyalahkan orang lain, menyalahkan diri sendiri, bertanya, berdebat— sebuah proses diagnostik sebelum menemukan terapi. Adakah kekerasan itu bagian dari sifat dasar Islam sejak khalifah kedua dibunuh? Ataukah ada frustrasi mendalam—seperti yang dialami para imigran muslim yang merasa dihina dan terasing di tanahnya yang baru—yang mendapatkan jawaban dan alasannya dalam Kitab Suci?

Sebenarnya orang muslim Eropa bisa ikut menjawab pertanyaan-pertanyaan itu—sepanjang mereka mau bertanya dan berdebat di antara mereka. Tapi problem yang berkecamuk ibarat akar mimang: kian sengit kekerasan dilakukan orang muslim, kian buruk pandangan terhadap Islam di Eropa, dan kian buruk pandangan itu, kian marah pula orang muslim.

”Tunjukkan padaku apa yang baru yang dibawakan Muhammad, dan yang kita dapat hanya hal-hal yang keji dan tak manusiawi”—itu kalimat di sebuah kitab di akhir 1391. Bahwa kalimat itu dikutip lagi pada tahun 2005 oleh Paus Benediktus XVI di sebuah pidato di Kota Regensburg, Jerman—hingga memicu reaksi sengit orang Islam di seluruh dunia— menunjukkan betapa panjangnya akar mimang yang membelit Eropa sekarang.

Tapi benua itu bertahan, sebab ada kesediaannya untuk masuk ke dalam proses diagnostik yang terbuka—antara lain karena Eropa telah berhenti jadi pusat dunia. Sejak akhir Perang Dunia II, Eropa terbiasa mengakui keterbatasannya sendiri. Dan tentu Sri Paus di Vatikan yang kecil itu tahu, kata-katanya tak bisa mengubah dunia.

Dua setengah bulan setelah pidato di Regensburg, Sri Paus berkunjung ke Turki. Sebenarnya kunjungan ini sudah disiapkan sejak 2004, ketika Paus Yohanes Paulus masih bertakhta. Tapi

setelah ucapannya yang menyakitkan hati tentang Islam, kunjungan Paus punya sisi lain yang mendesak.

Dan di Masjid Biru, Sri Paus Benediktus XVI bergandengan tangan dan berdoa dengan Mufti Besar Istanbul….

Adakah Paus ini kembali ke semangat Nostra Aetate? Dokumen itu, yang disusun semasa Paus Yohanes XXIII dan ditandatangani Paus penggantinya pada tahun 1965, sebuah dokumen bersejarah. Buat pertama kalinya Gereja menyatakan ”rasa hormat” kepada ”kaum muslimin”, sebab ”mereka memuja Tuhan yang Esa”, yang ”rahman dan mahakuasa, pencipta langit dan bumi”.

Kita tak tahu, pernahkah Benediktus yang naik ke Takhta Suci pada tahun 2005 itu antusias terhadap Nostra Aetate. Dalam sebuah tulisan yang terbit di The New Yorker, 2 April 2007, Jane Kramer menelaah dengan cermat posisi Benediktus XVI dalam menghadapi Islam. Benediktus, menurut Kramer, tak amat percaya dialog theologis dengan mereka yang bukan Kristen akan berguna—bahkan malah mustahil. Baginya, Islam tak mudah ”dimasukkan ke dalam wilayah bebas masyarakat pluralistik”. Maka tak mengherankan bila sepuluh bulan setelah ia jadi Paus, Benediktus XVI menggeser dialog antaragama (khususnya dengan Islam) menjadi dialog kebudayaan.

Ia sangat ragu ”Islam” layak diajak bicara perkara theologis….

Tapi jangan-jangan itulah yang seharusnya terjadi. Muhammad Javad Fariszadeh, duta besar Iran di Vatikan—seorang filosof yang fasih mengutip Nietzsche, Ricoeur, dan Foucault— mendukung langkah Benediktus. ”Dialog theologis antaragama akan mati begitu ia lahir,” katanya sebagai dikutip Kramer. Bahasa theologis akan jadi militan ketika harus mempertahankan agamanya. Maka dalam dialog, kata Fariszadeh, lebih baik ”tinggalkan theologi di pintu dan kita datang dengan ’bunga’—dan itu bisa berupa ’kebudayaan’”.

Dalam hal inilah Eropa satu saksi yang penting. Tapi ini ”Eropa” yang tak dibayangkan Benediktus XVI. Ini bukan sebuah ruang yang ditopang satu atau dua sistem kepercayaan, bukan sebuah kehidupan yang hanya dibaca secara theologis. Ini Eropa yang mau tak mau jadi tempat orang saling menawarkan ”bunga”.

Sebab kebudayaan, juga di sini, terbentuk oleh laku, oleh hal yang sepele dan sekuler— dengan atau tanpa Nostra Aetate: pertandingan sepak bola, lagu pop, film televisi, lotere, dan perdebatan bagaimana menyehatkan pohon di taman. Itulah yang sebenarnya terjadi di Eropa berabad-abad: yang disebut ”Eropa” adalah sebuah lalu lintas perdagangan dan pengetahuan, yang selalu membuka ruang yang kemudian disebut kebebasan, biarpun terkadang susah payah.

Saya tak tahu bagaimana ia akan runtuh, Bouyeri.

~Majalah Tempo Edisi. 07/XXXIIIIII/09 – 15 April 2007~

Estaba la Madre April 20, 2009

Posted by anick in All Posts, Elegi, Fasisme, Pepeling.

trackback

”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung…”

Kesedihan terbesar mungkin bukan kesedihan manusia karena Tuhan mati, tapi kesedihan seorang ibu yang anaknya menemui ajal dalam penyaliban.

Pada zaman ini kesedihan besar itu tetap tak terbandingkan. Tapi pada saat yang sama juga menyebar. Kini tak hanya satu ibu yang sedih, dan tak hanya satu anak yang disalibkan. Kita ingat Argentina, 1976-1983. Negeri ini hidup di bawah titah pemerintahan militer yang menculik dan melenyapkan ribuan orang, termasuk anak-anak muda. Diperkirakan 30 ribu orang hilang.

Renee Epelbaum, misalnya, seorang ibu, menemukan bahwa anak sulungnya, Luis, mahasiswa fakultas kedokteran, diculik. Tanpa sebab yang jelas. Itu 10 Agustus 1976. Takut nasib yang sama akan jatuh ke kedua anaknya yang lain, Lila dan Claudio, Renee pun mengirim mereka ke Uruguay. Tapi di sana mereka justru dikuntit sebuah mobil dengan nomor polisi Argentina—dan akhirnya, 4 November 1976, Lila dan Claudio juga lenyap. Bertahun-tahun kemudian, seorang perwira angkatan laut menceritakan apa yang dilakukannya terhadap anak-anak muda yang diculik itu. Pada suatu saat mereka akan dibius dan ditelanjangi. Para serdadu akan mengangkut mereka ke sebuah pesawat. Dari ketinggian 4.000 meter, tubuh mereka akan dilontarkan hidup-hidup ke laut Atlantik, satu demi satu…. Komponis Argentina, Luis Bacalov, pernah hendak mengingatkan orang lagi akan zaman yang buas itu. Ia menciptakan sebuah opera satu babak, Estaba la Madre. Saya tengok di YouTube: di adegan pertama, ketika perkusi dan piano mengisi kesunyian dan pentas gelap, tampak laut. Makam yang tak bertanda itu muncul sejenak di layar. Kemudian: wajah, puluhan wajah. Di antara itu, sebuah paduan suara yang semakin menggemuruh.

Tapi bukan sang korban yang jadi fokus opera ini, melainkan sejumlah perempuan yang tak lazim. ”Inilah orang-orang gila itu,” begitu kita dengar di pembukaan.

Para ”orang gila”, umumnya separuh baya, berbaris di jalan, dengan kain menutupi rambut, dan duka menutup mulut. Tapi sebenarnya mereka tak diam. Estaba la Madre mengutip kisahnya dari sejarah: perempuan-perempuan itu ibu yang berdiri, yang berkabung, bertanya, menuntut, karena anak-anak mereka telah dihilangkan. Mereka ”gila” karena di negeri yang ketakutan itu, mereka berani menggugat. Tiap Kamis mereka akan muncul di Plaza de Mayo, di seberang istana Presiden. Tiap Kamis, selama 20 tahun.

”Saya tak bisa melupakan,” kata Renee Epelbaum. ”Saya tak bisa memaafkan.” Ia pun jadi salah satu pemula himpunan ibu orang-orang yang hilang itu, yang kemudian dikenal sebagai ”Para Ibu di Plaza de Mayo”—sebuah bentuk perlawanan yang tak disangka-sangka. Mula-mula, akhir April 1977, hanya 14 perempuan yang berani melawan larangan berkumpul. Berangsur-angsur, jumlah itu jadi 400.

Tak mengherankan bila kemudian para ibu pun jadi sebuah lambang yang lebih luas cakupannya ketimbang Plaza de Mayo. Ia menandai yang universal. Opera Estaba la Madre,

misalnya, mengambil asal-usul pada Stabat Mater dalam C minor yang digubah Pergolesi, menjelang komponis ini meninggal dalam umur 26 tahun pada abad ke-18. Kata-katanya berasal dari lagu puja seorang rahib Fransiskan pada abad ke-13 tentang penderitaan di Golgotha: ”Stabat Mater dolorosa iuxta crucem lacrimosa dum pendebat Filius…”—”Ibu itu di sana, berdiri, berkabung, di sisi salib tempat sang anak tergantung.”

Dan ketika dua orang dari para ibu Argentina itu pekan lalu datang ke Indonesia, mereka pun menghubungkan kisah mereka dengan apa yang terjadi di sini, di antara keluarga Indonesia yang ”hilang”.

Tentu ada beda antara Sang Ibu dalam Stabat Mater dan para ibu di Plaza de Mayo: tak ada tubuh sang anak yang mati di Argentina. Dalam pentas Estaba la Madre, kita akan menemukan Sara, ibu Si Samuel. Ia dan suaminya menanti anaknya. ”Kamis, mereka menunggunya untuk makan malam di rumah,” demikianlah paduan suara meningkah. Tapi Samuel tak kembali.

”Ini pukul sembilan. Ini pukul 10.

Tengah malam Fajar datang,

dan ia tak pernah pulang.”

Sampai hari ini orang masih bertanya, kenapa itu mesti terjadi. Mungkinkah sebuah kekuasaan yang dijaga ribuan tentara bisa begitu ketakutan?

Saya tak tahu jawabnya—meskipun saya menyaksikannya juga di Indonesia, di tahun di pertengahan 1990-an, ketika ”Tim Mawar” dibentuk untuk menculik dan menyiksa, mungkin sekali membunuh, sejumlah anak muda yang sebenarnya tak cukup kuat untuk menjatuhkan rezim Soeharto. Barangkali paranoia adalah bagian utama dari kekuasaan yang bertolak dari kebrutalan dan pembasmian—kekuasaan yang selamanya merasa tak yakin akan legitimasinya sendiri.

Mungkin sekali para petinggi tentara itu tak bisa lagi membedakan khayalan dengan keinginan. Dalam Estaba la Madre ada adegan yang tak mudah dilupakan, baik di Argentina maupun di Indonesia: tiga jenderal muncul di pentas atas, suara mereka mengancam si lemah dan mengajukan dalih kebersamaan—hingga terdengar menggelikan:

Hidup kemerdekaan!

Kemerdekaan bicara dan membuat orang bicara. Hidup kemerdekaan mengaku dan membuat orang mengaku.

menjerit.

Yang tak mereka sangka: yang menjerit tak akan bisu. Kekuasaan militer Argentina akhirnya runtuh. Dan di tembok jalan layang, di dinding kios koran, di pelbagai sudut di Buenos Aires, kata-kata ini tertulis, bukan hanya dari Renee, tapi dari mana-mana yang dianiaya: ”Kami tak memaafkan. Kami tak melupakan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 20 April 2009~

Eumenides November 2, 2009

Posted by anick in All Posts, Hukum.

trackback

Kita kira-kira tahu dari mana datangnya hukum, tapi tahukah kita dari mana datangnya keadilan?

Hukum memang dimaksudkan sebagai aktualisasi dari “rasa keadilan”. Kata “rasa” di sini sebenarnya lebih dekat ke arah “kesadaran”. Dengan catatan: kesadaran akan keadilan itu tak hanya sebuah produk kognitif, hasil proses pengetahuan, melainkan juga tumbuh melalui proses penghayatan. Dengan kata lain, sebagai aktualisasi, hukum adalah ibarat realisasi dari hasrat yang kita sebut “rasa keadilan” itu.

Tapi “rasa keadilan” punya sejarah yang rumit, separuhnya gelap yang mungkin belum juga selesai.

Ada masanya “keadilan” kurang-lebih sama dengan pembalasan simetris, sesuatu yang kita dapatkan dalam cerita silat Hong Kong abad ke-20 atau riwayat Keris Empu Gandring dari Jawa abad ke-11: Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, dan atas nama keadilan, Ken Arok dibunuh Anusapati, kemudian Anusapati dibunuh Tohjaya. Pendek kata, pelbagai versi lex talionis yang mengharuskan, untuk memakai rumusan Perjanjian Lama, “satu mata dibalas satu mata”.

Tapi jika “keadilan” yang sama artinya dengan dendam itu kita temukan dalam pelbagai cerita, juga dalam Mahabharata, agaknya hanya dalam sebuah karya Aeschylus di Yunani abad ke-5 Sebelum Masehi kita temukan bagaimana “keadilan” itu mengalami transformasi. Dalam lakon Oresteia yang terdiri dari tiga bagian itu, Agamnenon membunuh anaknya yang perempuan, dan sebagai pembalasan ia dibunuh isterinya sendiri, ibu si gadis. Dalam kisah berikutnya, si ibu dibunuh oleh Orestes, anak kandungnya.

Memang kepada sahabatya, Pylades, ia bertanya: “Apa yang kulakukan? Membunuh ibu sendiri, betapa mengerikan!”. Tapi atas nama hukum Zeus dan Apollo, ia akhirnya melakukan hal yang mengerikan itu juga.

Tak ayal, para dewi pembalasan yang disebut ?????? – yang dalam bahasa Inggris disebut “the furies” – mengejarnya. Orestes harus membayar perbuatannya dengan nyawanya.

Namun trilogi ini berakhir dengan sebuah transformasi yang radikal: lex talionis digantikan dengan sebuah proses peradilan. Dewi Athena datang dan memanggil sebuah dewan juri buat mengambil keputusan dengan pemungutan suara. Athena sendiri memberikan suara untuk membebaskan Orestes. Lalu diubahnya para peri pembalasan jadi peri budi baik, eumenides. Dalam kisah ini, mereka ditanam di bawah gedung pengadilan untuk selama-lamanya.

Boleh dikatakan ini adalah lakon lahirnya hukum yang proses dan sikapnya berbeda sama sekali: prosedur hukum inilah (yang mencoba menterjemahkan “keadilan”) yang agaknya yang jadi tauladan di Eropa dan Amerika kemudian, sampai hari ini

Tapi di situ tampak juga, betapa hukum meringkas dan meringkus. Hukum yang diletakkan dasarnya oleh Athena memotong ingatan; kejahatan masa lampau tak bisa dikenang terus sepenuhnya. Tak ada dendam tujuh turunan.

Hukum itu juga meringkus: ia tak mengijinkan perasaan pribadi seseorang bergejolak jadi pedoman memutuskan “pembalasan”. Inilah awal pandangan yang disebut “positivisme hukum”: para hakim tak boleh menggunakan perasaan dan nilai-niai pribadinya. Mereka hanya harus mengikuti apa yang digariskan undang-undang – biarpun itu dirasakan tak adil. Dalam sebuah lakon terkenal Sophocles di masa sesudah Aeschylus, Antigone, positivisme itulah yang jadi prinsip Raja Kreon. Ia melarang salah seorang putra Oedipus yang tewas dikuburkan di dalam makam Thebes. Pemuda itu mati dalam peperangan yang melawan tanahairnya sendiri. Ia pengkhanat. Menurut undang-undang yang berlaku, mayatnya harus dibiarkan tergeletak dimakan gagak di luar dinding kota.

Bagi Antigone, saudara sekandung pemuda yang mati itu, hal itu tak bisa diterima. Untuk itu Antigone siap melawan dan mengorbankan diri, karena ia percaya ada hukum yang lebih luhur, yakni hukum dari dewa-dewa. Sebaliknya bagi Kreon, yang baru saja selesai

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 73-85)