• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kayon Februari 4, 2008

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 165-177)

Setelah Duryudhana mati, dan berangsur-angsur pagi meluas, dan suara gamelan bertambah pelan, tancep kayon. Dalang menancapkan lambang gunung itu di tengah-tengah layar. Kisah berakhir, meskipun sebenarnya banyak hal belum diutarakan. Pertunjukan wayang kulit semalam suntuk itu selesai.

Kayon: lambang gunung, lambang hutan, isyarat untuk awal, isyarat untuk penutup. Dari jauh bentuk itu mirip sebuah siluet segi tiga di bawah cahaya. Tapi dari dekat akan kelihatan di gunungan itu tersembunyi (dalam ukiran yang renik) pohon-pohon rindang dengan cabang yang merangkul dan pucuk yang tinggi menyembul. Ada sebuah gapura dengan tempat kunci berbentuk teratai. Ada sepasang raksasa bersenjata yang tegak simetris. Ada harimau, banteng, kera, burung merak dan burung-burung lain. Juga wajah seram banaspati.

Dengan kata lain, di gunungan itu tersimpan bermacam hal, tapi bertaut dalam satu misteri, sesuatu yang angker, tapi juga teduh: sebuah wilayah kehidupan yang lain. Ketika arena di luarnya memaparkan kisah intrik, nafsu, dan perang yang tak henti-hentinya, di kerimbunan yang agung itu hidup berlangsung anteng dan syahdu. Dalam kayon, waktu yang mengalir detik demi detik akan tak ada lagi. Di dalam gunungan, arus menit dan jam seakan-akan diinterupsi dan distop. Segala hal seseakan-akan-seakan-akan berada di luar waktu.

Tapi manusia tidak. Ia akan kembali menghadapi, bahkan terlibat dengan, peristiwa-peristiwa yang berubah dan terkadang mengguncang. Terletak terpisah tapi tak jauh dari medan peristiwa, kayon adalah sebuah kontras.

Dalam wayang kulit, ketika dalang menghadirkan adegan majelis yang tertib di balairung atau sebuah pertempuran yang seru di tepi hutan, kayon akan terpasang di sisi layar, seperti menandai bahwa ada kehidupan yang bertentangan dengan kehidupan manusia yang tak henti-hentinya berubah dan resah. Meskipun demikian, gunungan itu juga yang mengisyaratkan pergantian babak atau adegan. Ironis, bahwa yang berada di luar waktu justru jadi tengara perubahan waktu.

Bahkan sesekali ki dalang akan mengangkat dan menggerakkan kayon untuk melukiskan angin gemuruh, halilintar yang mengejutkan, dan saat keajaiban yang membuat seorang ksatria jadi makhluk yang dahsyat.

Dengan kata lain, dengan gunungan, waktu yang tak kekal dalam hidup manusia senantiasa dibayang-bayangi sebuah wujud rahasia yang hadir di awal dan terpacak di akhir.

Barangkali karena itu Bharatayudha adalah sebuah tragedi. Bukan karena perang besar itu sia-sia. Memang tak jelas apa sebenarnya arti kemenangan Pandawa dalam merebut kembali Kerajaan Hastina, jika akhirnya seluruh generasi kedua mereka terbunuh dan, ketika perang usai, seantero anggota keluarga dibantai Aswatama di sebuah malam yang lengah.

Tapi Bharatayudha terasa sebuah tragedi karena kontras dan ironi kayon tepat mengenai inti ceritanya. Lihatlah para ksatria itu. Mereka jalani hidup yang berubah-ubah, yang tak mudah, mereka masuk ke dalam sengketa yang menyakitkan dan buas, mereka ambil keputusan-keputusan yang rumit dan muskil, tapi mereka tak akan dapat membatalkan perang yang mengerikan itu. Sudah ditetapkan, Bharatayudha akan terjadi. Baik para Pandawa maupun

Kurawa tak dapat memilih untuk mati dengan cara lain. Apa arti pilihan dan keputusan manusia di bawah Nasib dan Kutuk yang permanen?

Pada akhirnya memang tak pernah bisa jelas, dalam waktu yang manakah manusia ketika ia menanggung sengsara atau berlaku buas, merasa bahagia atau lupa daratan. Ada waktu dari Nasib, waktu sebagai Kala, yang tak berubah dan tak mengubah. Di dalam Kala, manusia tak dapat lepas memilih dan memutuskan masa depannya dengan bebas. Tapi sementara itu ada waktu sehari-hari: waktu ketika manusia menyakiti dan disakiti, membunuh dan dibunuh, rindu dan bahagia, heroik dan culas. Itulah waktu ketika manusia jadi subyek, biarpun sejenak, biarpun tak utuh.

Persoalannya tentu: mungkinkah subyek lahir, subyek yang melawan situasi tempat ia hidup, merombak kondisi yang membentuknya, subyek yang terlepas dari posisi obyek di bawah Sang Kala? Dalam Bharatayudha, contoh yang utama bahwa hal itu mungkin adalah Karna. Ia anak seorang sais. Ia anak sudra, tapi ia berani maju menandingi para ksatria. Ia, seorang pendekar yang diklaim sebagai saudara seibu para Pandawa, tetap memilih berpihak kepada Kurawa—meskipun tahu pihak yang dipilihnya akan hancur. Tapi ia bebas.

Mungkin ada saat-saat yang tak dikisahkan ki dalang ketika Karna berdiri sendiri memandang ke arah kayon. Wilayah itu tak akan pernah dijangkaunya: pohon-pohon dengan cabang yang agung, gapura yang selalu siap menyambut dan mengunci rahasia, sepasang raksasa yang berjaga entah atas titah siapa, dan macan, dan banteng, dan kera, dan burung merak… semuanya suasana angker yang tak mempunyai bahasa.

Pada saat seperti itu ia sadar, ia jauh dari sana, ia hidup dengan waktunya sendiri. Lebih radikal lagi, ia—yang merasa ada misteri yang membayang dari gunungan itu—memutuskan untuk bertindak, tanpa merasa siap mengetahui rahasia hidup. Nasib? Sang Kala? Baginya semua itu lebih baik ia tinggalkan. Terlalu pahit untuk ditanggung. Ia tak terikat dengan sebuah masa lalu dan sebuah masa depan. Ia hanya punya masa kini dan sebuah pertalian dengan orang lain: para Kurawa.

Dengan itulah Karna jadi subyek—justru karena ia, seraya melepaskan diri dari Waktu, Kala, menjangkau orang lain dan bertanggung jawab kepada mereka. Pada dirinyalah sebenarnya Bharatayudha jadi kisah kepahlawanan dan sekaligus tragedi.

Tapi entah kenapa, para dalang tak pernah mengatakan itu. Karna tewas dihunjam panah Arjuna, tapi tak ada yang bercerita bagaimana ia dikuburkan. Yang pasti bukan sebagai pahlawan. Mungkin sebab itu tiap kali gunungan ditancapkan, dan suara gamelan menghilang dari cerah pagi, kita tahu ada sesuatu yang belum diutarakan dan kita tak mengerti.

~Majalah Tempo, Edisi. 50/XXXVI/04 – 10 Februari 2008~

Kebakhilan Agustus 1, 2011

Ia tak gila. Atau ia bagian dari patologi yang tak tersendiri. Anders Behring Breivik, memakai seragam polisi, membidik dengan tepat anak-anak muda yang sedang berkemah di Pulau Utoeya. Sebanyak 68 orang terbunuh di pulau di Danau Tyrifjorden, 38 kilometer dari Oslo, itu pekan lalu. Delapan lain mati karena ledakan bom. Breivik ditangkap. Pengacaranya membelanya dengan mengatakan: orang ini sakit jiwa.

Pada kesan pertama, orang Norwegia itu memang ganjil. Kekerasan dengan darah dingin di sebuah negeri tempat pemberian Hadiah Nobel Perdamaian? Gerakan sayap Kanan? Begitu kuatkah gerakan itu di bagian dunia yang pernah dianggap tauladan sosialis-demokrat ini? Tapi zaman berubah. Sosialisme, dan bersama paham ini semangat yang lebih toleran, tengah surut di Skandinavia. Juga di seluruh Eropa. Tembakan Breivik yang membunuh para kader Partai Buruh itu berbareng dengan keruwetan jiwa yang setengah tersembunyi di masyarakatnya. Sinting atau tidak, apa yang dilakukannya sebuah isyarat: kita tengah memasuki zaman kebakhilan. Eropalah yang memulainya.

Breivik tak sendirian, meskipun tak semua orang yang sepaham akan mau membunuhi sejumlah pemuda yang kesalahannya hanya karena mereka pendukung Partai Buruh. Bagi Breivik, Partai Buruh harus dihabisi; partai inilah yang dengan mudah membiarkan kaum imigran, terutama yang muslim, masuk ke Norwegia.

Breivik dulu anggota Partai Kemajuan Norwegia, Fremskrittspartiet. Partai ini tak jauh pandangannya dari sang pembantai, meskipun pemimpinnya, Siv Jensen, menyatakan merasa sedih bahwa bekas anggotanya bertindak demikian. Yang menegaskan bahwa Breivik tak sendirian: Partai Kemajuan kini berada dalam posisi yang naik.

Di bagian Eropa lain, seorang tokoh politik sayap Kanan Italia, Francesco Speroni—yang pernah duduk dalam kabinet Berlusconi yang berkuasa—menyebut gagasan Breivik bertujuan “membela peradaban Barat”. Eropa sedang terancam oleh Islam, kata mereka, Eropa sedang berubah jadi “Eurabia”….

Kecemasan itu adalah ekspresi kebakhilan—yang membuat pandangan Kanan kembali jadi antitesis gerakan Kiri. Inti pandangan ala Breivik dan Speroni adalah eksklusivisme. Bagi mereka, pelbagai hal di dalam hidup—lapangan kerja, bantuan sosial, peradaban Barat— adalah milik eksklusif.

Eksklusivisme atau kebakhilan menampik orang lain ikut dalam ruang dan waktu, di sebuah wilayah yang batasnya mereka tentukan dan tutup sepihak.

Batas itu mereka beri dasar agama; mereka menyebutnya “Kristen”. Seperti halnya di sementara kalangan Islam, mereka anggap kebenaran dan Tuhan milik eksklusif mereka. Batas itu mereka beri wilayah: “Eropa”. Dan waktu mereka adalah waktu yang “dulu”— artinya terbatas, bukan waktu yang berlanjut dan membawa perubahan.

Itu sebabnya mereka konservatif. Konservatisme juga eksklusivisme. Bila pemikiran Breivik hendak mengembalikan perempuan ke status yang lebih rendah ketimbang yang telah berlaku sejak akhir abad ke-20, itu juga menunjukkan bahwa konservatisme itu bergabung dengan kebakhilan: bagi mereka, hak-hak tertentu hanya hak kaum lelaki. Orang harus kembali seperti dulu, kata mereka. Yang tak mereka sebut, “dulu” itu adalah “dulu” dalam ingatan yang eksklusif. Ingatan pihak lain, misalnya ingatan kaum perempuan, tak boleh ikut.

Dibandingkan dengan itu semua, kaum Kiri punya tradisi anti-kebakhilan. Tradisi itu bisa ditarik ke gagasan komunisme awal. Dalam The Idea of Communism (editor: Slavoj Zizek dan Costas Douzinas), Jean-Luc Nancy menyebut “the Diggers” di Inggris abad ke-16, yang menganggap tanah sebagai “common treasure” atau harta bersama. Dari sini pula kata “commonwealth” lahir dan dibawa oleh Republik pertama.

Dalam semangat commonwealth, kekayaan bukanlah semata-mata milik eksklusif. Sosialisme menegaskan sah dan adilnya redistribusi sumber-sumber material dan intelektual. Dan untuk beberapa dasawarsa, sosialisme didengar.

Tapi sejarah sosial dan ekonomi Eropa tak membiarkan itu berlanjut. Kini sosialisme yang ingin adil pada gilirannya dituduh tak berlaku adil. Agenda partai-partai sosialis adalah membagikan dana yang ditakik, dalam bentuk pajak, dari hasil jerih payah orang. Hasil itu dibagikan kepada orang miskin, yang umumnya tak punya kerja dan sebab itu dianggap tak berjerih payah. Para penerima subsidi—sebagian besar orang yang datang sebagai imigran— dengan mudah dianggap parasit. Para pembayar pajak marah. Mereka mulai menentang agenda sosialis. Tak mengherankan bila partai-partai Kanan merebut posisi. Kebakhilan bergema.

Yang paling mencolok di Belgia. Partai Kepentingan Vlaams dan Partai Aliansi Vlaams Baru berteriak bukan saja untuk membatasi masuknya imigran dari Dunia Ketiga. Mereka juga berjuang agar orang berbahasa Vlaams, sebagai “suku” tersendiri, memisahkan diri dari Kerajaan Belgia. Tapi bukan soal bahasa yang memicunya. Pada dasarnya yang diutarakan adalah sikap menolak membiayai. Mereka tak mau membiarkan uang pajak mereka dipakai untuk subsidi bagi orang-orang yang berbahasa Prancis di Belgia Selatan yang lebih miskin. Dengan kata lain, persoalan yang dihadapi Belgia bukanlah taal, “bahasa”, melainkan betaal, “bayar”.

Kebakhilan macam itu kini mudah mendapatkan legitimasi. Pada mulanya adalah milik— yang jadi bagian kerja kelas borjuis yang mengubah sejarah. Tak semua menyenangkan. “Kaum borjuis itu seperti babi,” kata sebaris lagu Jacques Brel, penyanyi Belgia termasyhur itu. Tak terlalu tepat: babi tak ditandai oleh sikap eksklusif. Dari babi tak akan muncul kebakhilan yang agresif—kebakhilan kaum Kanan baru.

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 1 Agustus 2011~

Kim Oktober 30, 2006

Horor tak pernah tampil sebagai yang normal. Juga ketika kita tak bersama cerita hantu. Dalam kisah Flash Gordon, horor adalah Kaisar Ming; dalam film James Bond: Dr. No; dalam wayang: raksasa berhidung grotesk.

Hari ini horor dunia juga datang dari sosok yang ganjil, atau dianggap ganjil: sebuah republik teka-teki, negeri di utara yang dulu disebut ”Kerajaan Pertapa” dan kini benteng tertutup, sebuah ”demokrasi rakyat” yang menyembah seorang lelaki yang, menurut sejarah resmi, lahir di pucuk gunung sakral ketika bintang menyilaukan. Ia Kim Jong Il, ahli waris takhta yang tetap manja pada umur 65, pemimpin yang disanjung dengan gelar yang muluk-muluk, penguasa yang dikelilingi jenderal berbintang emas, kepala negara yang rakyatnya lapar tapi menantang seluruh jagat dengan menyiapkan senjata nuklir.

Jarum jam apokalipse itu, yang beristirahat sejak Perang Dingin selesai 20 tahun yang lalu, kini tampak bergerak lagi. Bahkan lebih mencemaskan: ia tak jauh dari telunjuk sang otokrat yang duduk tak terjangkau, penuh rahasia, di sebuah istana di Kota Pyongyang. Dan horor pun bertengger di atas horor; yang menakutkan bertaut dengan yang tak lazim.

Tapi jika horor selalu berkait dengan yang aneh dan tak terjangkau, bukan berarti ia tak bisa berupa kejadian sehari-hari. Ia bahkan bisa terasa banal; kita ingat Hannah Arendt pernah berbicara tentang ”the banality of evil”.

Mungkin itulah yang terjadi kini. Tiap malam kabar datang dari Irak tentang bom yang meledak dan orang terbunuh berpuluh-puluh, dan kita baca dalam Lancet, jurnal kedokteran Inggris yang ternama itu, 650.000 jiwa mati selama empat tahun sejak Amerika menyerbu Bagdad. Berarti, 450 nyawa putus saban hari.…

Jika tak ada yang terasa mengerikan dalam ”the deadliest international conflict of the 21st century” ini—begitulah Perang Irak disebut dalam Lancet—mungkin karena kita telah tumpul hati. Tapi lebih mungkin karena kebuasan itu telah ditampilkan sebagai bagian dari ikhtiar orang yang ”normal”.

Di belakang ikhtiar yang membawa kematian itu memang tak ada tokoh yang ganjil. Tak ada lelaki tambun berambut disasak seperti Kim. Yang ada mereka yang berjas-dan-dasi seperti para eksekutif di kantor yang bersih. Bahkan paras para jenderal mereka tak menakutkan, tentara mereka tampan seperti di film Hollywood, percakapan mereka hidup, terkadang disertai humor—penampilan yang tersiar ke seluruh dunia dari waktu ke waktu. Mereka bukan Kaisar Ming, bukan Dr. No. Mereka Bush, Cheney, Rumsfeld, Blair—orang-orang yang tampak rukun beranak-istri, punya waktu senggang untuk berburu, rajin beribadat. Tapi tidakkah yang ”normal” sesungguhnya menutupi sesuatu dengan lupa? Lupa, dalam hal ini, mencoba menenggelamkan ke bawah-sadar segala hal yang tak pas bila kita hendak tampil jadi ”orang”. Jadi ”orang” artinya mengikuti pola yang dikehendaki Mereka (dengan ”M”), kekuatan-kekuatan efektif yang menyusun tata dan menentukan wacana. Dari wacana ”M” itulah terbentuk yang ”normal”. Orang pun ramai-ramai ikut, meskipun (atau justru karena) di dalamnya terkandung lupa dan represi.

Membentuk yang ”normal” memang punya kekerasan tersendiri. Sebanyak 650.000 orang mati di Irak, dan itu bagian dari usaha Tuan Bush untuk membuat negeri itu ”normal”; 350.000 orang mati hampir sekaligus di Nagasaki dan Hiroshima, dan itu karena yang berkuasa di Amerika ingin membentuk dunia seperti wajah mereka. Dan kita, yang menerima itu sebagai sesuatu yang wajar, alpa bahwa ada yang mengerikan dari lupa.

Kata ”yang-mengerikan-dari-lupa”, l’horreur de l’oubli, saya pinjam dari Hiroshima Mon Amour. Film Alain Resnais dari tahun 1960 dengan teks Margaret Duras ini—yang sarat dengan ingatan tentang bom ganas yang meledak pada pagi 6 Agustus 1945 itu—memang menghadirkan ketegangan antara kehancuran perang dan percintaan, lupa dan trauma, tempat dan saat, 14 tahun setelah Hiroshima luluh-lantak dan bangun kembali.

Seorang perempuan datang dari Prancis ke kota itu. Ia bertemu seorang lelaki Jepang, dan mereka bercinta. Perempuan itu hanya disebut elle, pria itu lui. Kemudian kita tahu: elle bergulat pedih dengan masa lalunya di Nevers—kekasihnya seorang prajurit Jerman, musuh yang akhirnya ditembak mati—dan lui dengan ingatan tentang Hiroshima yang binasa. Tapi hanya itu yang kita tahu. Biodata mereka seakan terhapus.

”Hiroshima, itu namamu,” kata perempuan itu. ”Namamu, untukmu, Nevers,” kata lelaki itu.

Mereka berpelukan.

Mereka mencoba melupakan, mereka ingin lumat. Tapi justru dalam ke-terhapus-an mereka, masa lalu tambah mengiris, dengan cara yang sederhana. Lupa, seperti ingat, adalah memilih mana yang disimpan dan dibuang. Tapi tak urung, yang disimpan dan yang terhapus susup-menyusupi: ”Seperti kau, juga aku—kucoba sekuat tenaga melawan lupa. Seperti kau, aku melupakan. Seperti kau, kuinginkan kenangan yang tak mungkin terhibur, kenangan tentang batu dan bayang-bayang”.

Kepedihan, kontradiksi, dan keretakan diri itulah yang menjadikan mereka tanda luka sejarah yang dalam, saksi horor 1.000 batu dan bayang-bayang. Justru Hiroshima yang tidak. Kota itu telah dipermak jadi ruang yang melupakan apa yang terbelah dalam dirinya—ruang yang normal dan banal.

Banal—itu juga yang bisa dikatakan tentang dalih Bush dan orang sejenisnya. Ketika ribuan kematian hanya mereka anggap statistik, ketika lupa menghapusnya sebagai tragedi, ketika kebuasan itu tak diingat sebagai akibat kesalahan fatal mereka sendiri, yang normal dan yang ab-normal tak bisa lagi dibedakan.

Maka dunia pun seperti menemukan kembali horor yang disangka tak ada lagi, ketika Kim muncul tak bisa ditebak, menyeringai ke Amerika yang kewalahan, dan menggertak. Ia memang aneh, dan senjata itu membuat kita jeri—meskipun sebenarnya belum tercatat sudah berapa ribu orang yang mati.

~Majalah Tempo Edisi. 36/XXXV/30 Oktober – 05 November 2006~

Konstitusi Januari 29, 2007

— kepada para jenderal yang kehilangan kekuasaan

Para jenderal yang kehilangan kekuasaan, lihatlah: konstitusi bukanlah wahyu, bangsa ini bukan makhluk dongeng.

Kita terdiri dari tubuh, jiwa, roh, tanah, dan air, dengan impian, fantasi, rasa kurang, bangga, hasrat punya harga diri, nafsu untuk jadi kaya dan bermartabat atau jadi orang sederhana saja. Kita manusia yang pandai mengekspresikan kebaikan hati, kepintaran, tapi juga ketololan dan kekejian. Kita menyimpan kekuatan otot dan juga rasa sakit dari cacingan sampai dengan flu burung. Kita bukan peri.

Konstitusi kita—yang terkadang kalian perlakukan seperti benda sakti dengan nama ”UUD 45” itu—tak datang dalam dunia peri. Ia dirumuskan sejumlah orang yang berasal dari himpunan manusia yang konkret dan bisa sakit itu.

Ia bahkan datang dari sebuah ketidakjelasan. Ketika sejumlah orang—kini disebut sebagai bapak dan ibu pendiri Republik Indonesia—bertemu di sebuah gedung di Jakarta pada bulan Juli 1945 sebagai anggota panitia ”persiapan kemerdekaan”, mereka dianggap mewakili pergerakan rakyat ”Indonesia”. Tetapi ada yang tak mudah dijawab dalam soal ini: bagaimana itu mungkin, jika saat itu ”Indonesia” belum ditentukan batasannya?

Siapa pula yang menentukan bahwa mereka mewakili rakyat Indonesia? Penguasa militer Jepang yang waktu itu sedang akan kalah dalam Perang Pasifik tentu mendengarkan sejumlah penasihat—termasuk Bung Karno dan Bung Hatta—tentang siapa saja yang harus diundang ke rapat persiapan itu. Tapi pada akhirnya kekuasaan de facto itulah yang menentukan, lengkap dengan unsur pemaksaan yang entah harus dipertanggungjawabkan kepada siapa, sesuatu yang lazim terjadi di masa genting dan tergopoh-gopoh seperti itu.

Dengan kata lain, Indonesia adalah persilangan dua jenis waktu. Yang pertama waktu yang tak dapat ditandai—waktu yang berlangsung bersama tumbuhnya keinginan kita dan para pendahulu kita untuk jadi satu bangsa. Yang kedua waktu yang bisa ditandai dalam sebuah titimangsa, misalnya 17 Agustus 1945.

Bahwa waktu yang kedua itu kemudian melampaui batasnya sendiri—17 Agustus 1945 hanya berlangsung selama 24 jam, tapi ia seakan-akan berlangsung terus hingga 2007—itu berarti bahwa waktu yang pertama itulah yang menentukan. Keinginan jadi satu bangsa tumbuh sebelum hari itu, dan terus tumbuh setelah hari itu. Angka ”45” yang sering kalian anggap keramat itu jadi berarti justru karena ada sesuatu yang tak stop di sana.

Para jenderal yang kehilangan kekuasaan dan kenikmatan, tahukah kalian, konstitusi yang disebut ”UUD 45” itu hanyalah satu formulasi dari pelbagai keinginan yang belum terpenuhi semuanya? Angka ”45” hanyalah sebuah momen; naskah yang ditandatangani di hari itu juga hanya sebuah momen. Waktunya terbatas. Memang momen pada gilirannya dapat berubah bagaikan sebuah monumen. Tapi itu terjadi ketika dalam keterbatasannya sang momen mendapatkan peran dan makna karena bertaut dengan waktu yang tak dapat ditandai, waktu yang datang sebelumnya dan sesudahnya, waktu yang entah di mana berawal dan berakhir, waktu yang menyebabkan bangsa ini ada dalam sejarah—dan ada dalam keadaan yang serba mungkin.

Monumen, kita tahu, bukan barang mati. Ia jadi barang mati jika ia tak lagi ditafsirkan terus-menerus.

Sebuah konstitusi—berbeda dengan sebuah puisi—memang berniat membatasi penafsiran yang nyaris tak terbatas. Tetapi sebuah konstitusi akan jadi sesuatu yang segera usang jika ia tak dilihat sebagai teks yang terbatas dan bersifat membatasi—dan dalam posisi itu ia sebenarnya merupakan ”momen” dari kehendak akan keadilan yang tak kunjung padam

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 165-177)