• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jalan Juni 2, 2008

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 135-144)

Posted by anick in All Posts, Identitas, Pepeling, Seni.

trackback

Jalan juga sebuah laku. Di sana orang ambil keputusan, ambil risiko, hanya mengulang tapi bisa juga melakukan yang tak terduga-duga. Di sana ia bisa menemui rezeki atau ajal. Dan jika kita bicara tentang lingkungan kota besar, jalan bisa juga berarti satu wilayah untuk mengelak.

Ada sepatah kata bahasa Indonesia yang sering dipakai tapi tak menarik perhatian: ”kluyuran”. Dalam kata ini tergambar bagaimana ruang yang sambung-menyambung dan berkelok-kelok itu dapat merupakan tempat kita iseng, main-main, atau mengikuti rasa ingin tahu. Saya kluyuran jika saya berjalan menyusuri kota besar ini, tanpa ingin menghasilkan apa-apa, tanpa didesak waktu, tapi asyik mengamat-amati seraya terus-menerus mengalihkan fokus.

Laku semacam itu bukanlah laku yang cocok dengan apa yang dikehendaki sebuah kota besar: rasionalitas, efisiensi, produktivitas. Baudelaire, penyair Les Fleurs du Mal (”Bunga Mala”) dan Le Spleen de Paris (”Limpa Paris”), telah membuat kata flâneur—yang artinya tak jauh dari ”Bung Kluyur”—jadi begitu penting dalam telaah ilmu sosial dan filsafat,

karena ia dapat menggambarkan bagaimana ”kluyuran” di kota yang telah diubah jadi modern merupakan sebuah sikap politik dan estetik. Flâneurie seakan-akan menampik rasionalitas yang diterapkan di Paris mengikuti planologi Baron Georges-Eugène Haussman selama dua dasawarsa sejak 1852. Sang flâneur menjelajah secara acak, santai, dan seenaknya sebuah metropolis, semacam ikhtiar mempertahankan yang sepele, percuma, lemah, dan kuno. Sang flâneur, seraya tampil sebagai pesolek yang keren, merayakan tapi sekaligus memandang dengan berjarak dunia Paris yang berubah secara menakjubkan dan mencemaskan itu.

Di Indonesia, ”kluyuran” tentu saja tak sepenuhnya sama dengan flâneurie. Di sini kontras antara kota dan udik bisa begitu besar, tapi kota tak terputus secara radikal dari yang bukan-kota. Seperti pernah dikatakan seorang pakar sosiologi perkotaan, Jakarta tak cuma mengalami urbanisasi, tapi juga ”ruralisasi”. Rancangan yang rasional, ketertiban yang efisien, kapital yang mencoba menguasai pembagian ruang dengan perhitungan laba-rugi, tak henti-hentinya berbenturan dengan arus deras dari bawah yang datang dari desa-desa, barisan yang tiap kali kalah tapi tiap kali menyerbu kembali.

Kota ini sendiri bukanlah tauladan rasionalitas. Birokrasi begitu korup dan tak becus hingga planologi tak ada artinya. Kelas menengah tak secara serius menegakkan hukum. Kemiskinan begitu luas dan juga pengangguran, hingga bukan efisiensi yang terjadi, melainkan involusi. Involusi adalah cara kelas bawah kota besar berbagi hidup: dalam ruang yang sempit, dalam pekerjaan yang terbatas, dalam milik yang tak seberapa. Involusi adalah sebuah kiat hidup dalam keadaan berjejal.

Ketika saya menonton Je.ja.l.an yang dipentaskan Teater Garasi di Teater Luwes Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 25 Mei yang lalu, saya merasa seakan-akan saya ikut dalam sebuah ”kluyuran”: menyusur jalan-jalan kota, mengamati involusi yang terjadi di sana, terpisah tapi terpaut.

Jarak antara pentas dan penonton dibuat demikian rapat, hingga mereka yang duduk di meja VIP (dengan gelas berisi anggur dan bir) juga tak bisa mengelak. Seperti di rumah makan tepi jalan, pengamen, penjaja kitab dan lain-lain mudah masuk ke sela-sela tamu. Hanya setengah meter dari sana: barisan drum band, pekerja seks, orang mati melarat, orkes keliling, perempuan berdandan keren, pengkhotbah yang marah, petugas ketertiban kota yang hendak menegakkan tertib, banci yang hidup di luar tata. Je.ja.l.an bagi saya mengandung makna ”jejalan”.

Memang banyak adegan yang tak baru: kita telah sering melihatnya, setidaknya di berita televisi dan koran. Tapi itu justru menunjukkan bahwa yang terpapar bukanlah sesuatu yang eksotis, bukan pula yang dramatis. Di kota-kota besar Indonesia, kita menemukannya tiap kali di tiap sudut. Kluyuran bukanlah sebuah darmawisata: karya teater Yudi Ahmad Tajudin dan kawan-kawan menegaskan hal itu karena ia tak mengajak menyaksikan hal yang menakjubkan.

Namun tiap karya teater adalah sebuah intervensi terhadap apa yang tak menakjubkan yang kita temukan di tiap sudut. Realisme dalam teater pada akhirnya mengakui bahwa ”realitas” bukanlah das Ding an sich. ”Realitas” mengandung sejarah sosial: ia dihadirkan oleh bahasa dan percakapan. Maka di pentas, kluyuran merupakan konstruksi ganda. Di pentas, ia diberi

bentuk jadi sesuatu yang lebih intens. Demikianlah teater lahir, membuka peluang bagi dunia yang tampil sebagai beda, juga ketika ia seakan-akan menampilkan yang itu-itu juga.

Dalam beda itulah hadir sebuah tamasya—tapi bukan tamasya yang tertangkap secara panoptik, bukan gambaran utuh yang hanya bisa dilihat dari atas. Justru ambisi kota besar untuk mengikuti sebuah rencana agung terbentur oleh centang-perenang yang mencemooh perubahan budaya dalam ”urbanisasi”.

Itu sebabnya bagi saya Je.ja.l.an bukan hendak terdiri dari satu statemen, misalnya sebuah protes sosial karena kemiskinan. Pidato Bung Karno berapi-api, tapi rekamannya yang diputar tak mendominasi ruang. Kisah seorang miskin yang bunuh diri dibacakan, tapi si pembaca seperti lelah di ujungnya. Keduanya tak menimbulkan perubahan di pentas itu. Dialektik antara beda dan sama, antara yang menusuk dan yang banal, antara teriak dan sikap acuh tak acuh, memantulkan kembali yang kita alami kini: sebuah fragmentasi pengalaman, sebuah khaos dalam perhatian.

Michel de Certeau, yang juga merenungkan makna kluyuran dalam hidup sehari-hari, seakan-akan berbicara tentang jalanan kota yang terpapar di pentas malam itu: ”Pengguna kota memungut fragmen tertentu dari statemen itu, dan dengan demikian mengaktualisasikannya dalam rahasia”.

~Majalah Tempo Edisi. 15/XXXVII/02 – 8 Juni 2008~

Januari Januari 18, 2010

Posted by anick in All Posts, Revolusi, Sejarah.

trackback

Tiap generasi ingin punya revolusinya sendiri. Di bulan Januari.

15 Januari 1974. Jakarta guncang, tegang, dan suasana menakutkan. Ribuan orang berdemonstrasi, menyusuri jalan, membakar puluhan mobil dan ratusan sepeda motor, membumihanguskan pusat belanja di kawasan Senen (yang waktu itu termasuk megah), dan merusak apa saja yang memakai logo perusahaan Jepang. Sudah beberapa lama sebelumnya—pada masa ketika pers belum dijerat ketat oleh penguasa—para aktivis mahasiswa dan intelektual menyuarakan kecaman mereka kepada modal Jepang. Dan hari itu aksi massa meledak.

Revolusi? Mungkin itulah yang dibayangkan para pelakunya. Tapi, bagi saya, hari itu yang terjadi sebuah laku tanpa ide. Terbiasa membaca Lenin, saya cenderung melihat ”revolusi” sebagai langkah untuk perubahan radikal yang bukan hanya disertai aksi massa, tapi juga berkait dengan sebuah ”teori” atau gagasan yang tak cuma datang dari batok kepala, melainkan dari benturan dengan keadaan.

Revolusi Lenin bahkan bertolak dari telaah tentang keadaan sosial dan ekonomi. Dari telaah itu disusun ”program umum” dan ”program khusus”. Dalam strategi dan taktik itu perebutan kekuasaan politik jadi soal penting. Jelas juga pihak yang akan memimpin, jelas pula sistem politik & ekonomi yang akan diterapkan. Revolusi Oktober 1917 di Rusia jadi teladan.

Revolusi Prancis memang tak tampak berangkat dari ”program” apa pun, tapi, seperti dikatakan Lenin, itu juga sebuah revolusi besar: dengan itu dasar baru masyarakat diletakkan dan tak bisa diubah lagi. Perebutan kekuasaan—sang raja dipenggal—bahkan jadi tanda zaman baru: tak ada lagi yang kekal di takhta itu.

Revolusi Prancis juga tak hanya meletus dari konflik sosial, dan sebab itu melibatkan orang ramai. Ia sambungan cita-cita yang lahir dari konflik sosial itu, yang dirumuskan oleh para pemikir dan disaripatikan dalam semboyan liberté, egalité, fraternité.

Dengan sedikit penyesuaian, kita bisa mengatakan, yang terjadi di tahun 1945 di Indonesia (dan 17 Agustus hanya salah satu penanda waktu yang penting) juga sebuah ”revolusi”. Sebab sejak itu, sejak kekuasaan berpindah tangan dari Hindia Belanda dan Jepang, Indonesia tak bisa ditarik kembali ke kerangkeng kolonialisme. Bertahun-tahun sebelumnya, gagasan tentang sebuah bangsa dicanangkan dan sejak 1945 bangsa itu bersedia mati untuk merdeka. Dari kancah mereka yang bersedia mati itu Pramoedya Ananta Toer, dalam Di Tepi Kali Bekasi, bersaksi tentang sebuah ”epos revolusi jiwa”. Revolusi: awal transformasi yang tak dapat dibalikkan.

Januari 1966. Saya tak tahu bagaimana keadaan waktu itu. Saya tak ada di Indonesia. Dari sebuah kota kecil di Eropa saya hanya dapat kabar secara sporadis (antara lain dari surat-surat almarhum Soe Hok Gie, salah satu aktivis yang militan masa itu) tentang aksi mahasiswa yang tak henti-hentinya.

Sekembali di Tanah Air, saya kemudian tahu bahwa ada kerja sama para mahasiswa itu dengan militer; ada pembantaian dengan korban para anggota PKI atau yang dicurigai jadi pendukung. Ya, ada hal-hal yang mengerikan dan busuk. Pelan-pelan tampak bahwa militer mengambil alih gerak perubahan politik yang dipelopori mahasiswa ke arah sebuah rezim baru yang antidemokrasi. Tapi membaca surat kabar waktu itu, terutama Kompas dan Harian Kami, saya bisa tahu, ada hasrat demokratisasi yang kuat di tahun 1966, ketika para aktivis merobohan sistem ”demokrasi terpimpin” Bung Karno. Suara untuk mengukuhkan hak-hak asasi manusia terdengar nyaring, usaha menegakkan kemerdekaan pers dan rule of law serius. Apa yang dicita-citakan itu kemudian memang dikhianati. Namun yang terjadi bukan hanya kemarahan. Juga bukan hanya rencana perubahan kekuasaan. Yang terjadi adalah gerakan untuk gagasan yang datang dari mulut yang tercekik, perut yang tak tenang. Setelah 1966, demokrasi memang dibalikkan jadi kediktatoran, tapi ada yang sejak itu tak dapat dibalikkan lagi: sistem ”ekonomi terpimpin” ditinggalkan—30 tahun lebih sebelum Cina dan Vietnam meninggalkan sistem ”ekonomi sosialis”.

Revolusi? Mungkin ya, mungkin bukan. Kata itu barangkali tak disebut. Tapi ia punya pukaunya sendiri: dalam historiografi populer Indonesia, ”revolusi” dikaitkan dengan sepatah kata yang ganjil tapi mempesona: ”angkatan”. Kata ini tak jelas asal-usulnya dan sebetulnya membingungkan maknanya. Namun ia dipakai terus. Ia berarti ”generasi”, tapi ia mengandung juga kesan ”perjuangan” dan ”kekuatan” yang gagah (yang juga kita temukan dalam ”angkatan bersenjata”). Maka ”Angkatan ’45” disebut, dan orang pun latah: ”Angkatan ’66” menyusul.

Untung, setelah 15 Januari 1974, tak ada lagi yang ditahbiskan dengan sebutan ”angkatan”. Peristiwa yang disebut ”Malari” itu tak punya dampak sosial yang berlanjut. Bahkan bisa disebut, amuk hari itu hanya bagian sebuah operasi intelijen, selapis tabir untuk menutupi

konflik antara para jenderal pendukung Soeharto, lengkap dengan dusta dan propagandanya—sebuah fragmen sejarah yang kelak perlu lebih jelas diungkapkan.

Tapi bahwa itu terjadi, di sebuah Januari, menunjukkan betapa mudahnya revolusi ditiru. Meskipun harus dicatat: revolusi seperti puisi: sekali dilahirkan, ia tak bisa diulang. Amarah yang meledakkannya dan gairah yang menyertainya tak bisa cuma repetisi. Tiap usaha mengulangnya akan tampak sok-pahlawan dan absurd. Saya teringat kalimat Marx dalam Brumaire Ke-18 Louis Bonaparte—dan di sini saya ubah sedikit: ”Kejadian besar dalam sejarah bisa diulangi; kali pertama berupa tragedi, kali kedua berupa banyolan.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 18 Januari 2010~

Jasih Desember 20, 2004

Posted by anick in All Posts, Bencana, Ekonomi, Kisah, Tokoh.

trackback

Jasih mati membakar diri, dan kita bersalah. Kita harus mengaku…. Kita mungkin ikut membunuhnya, atau kita berdiri di kamar kita dengan dosa sejenis itu, karena kita sampai tak tahu bahwa ada ibu berumur 39 tahun yang begitu berputus asa hingga ia menghabisi nyawanya sendiri dan nyawa Galuh, anaknya yang berumur 4 tahun, yang terserang kanker otak dan tak ada lagi biaya untuk mengobatinya. Kita bersalah karena Jasih begitu miskin– utangnya yang lima juta rupiah kepada para tetangga itu begitu menekan–dan kita selama ini ingkar. Kita tak pernah menengok. Kita tak pernah ingat.

Malapetaka itu tak dapat kita cegah, dan kita bersalah. Jasih tak hidup di negeri yang jauh. Ia mati tak di tempat yang jauh. Kejadian itu, di Kelurahan Lagoa, Kecamatan Koja, Jakarta Utara, pada pertengahan Desember 2004. Artinya, bukan masa lalu. Artinya, sebenarnya terjangkau dari tempat saya. Juga terjangkau dari tempat Anda. Lagoa bukan di seberang lautan dan di balik benua. Kecamatan itu hanya beberapa puluh kilometer saja dari orang-orang (mungkin teman-teman kita) yang baru membeli sebuah apartemen di Paris, menikahkan anak di Convention Hall Jakarta, memberi kado istri dengan berlian 500 juta, menyogok rekanan dengan 3 miliar, menyumbangkan uang untuk gereja sebesar 70 juta, naik haji ketiga kalinya seraya mentraktir 10 orang teman ke Mekkah, berjudi di London sampai kalah 1.000 poundsterling, atau hanya menyimpan uang beberapa miliar di bank seraya menunggui bunga sekian persen?. Daftar itu bisa diperpanjang. Dan bersama itu, kesalahan kita kian jelas.

Tuan akan berkata, tentu, “Ah, tidak jelas!” Tuan akan bertanya kenapa Tuan disangkutkan ke dalam “salah”. Maaf, beribu-ribu maaf. Saya punya bahasa yang kasar kali ini: jika kita (Tuan dan saya) tidak tahu, jika kita (Tuan dan saya) tidak merasa bersalah karena kematian di Lagoa itu, jika kita merasa tak berurusan dengan Jasih dan Galuh yang putus asa, itu berarti kita dungu atau tak punya hati. Tuan tahu bahwa sebuah kota, sebuah negeri, bukanlah tempat yang selama-lamanya longgar, dengan kekayaan yang berlimpah-ruah. Tak ada bagian dunia yang bebas dari kelangkaan dan kekurangan; itulah sebabnya ekonomi terjadi: orang berproduksi terus, tukar-menukar tak henti-henti. Dan jika kita berbicara tentang Indonesia, kita akan lebih tahu apa artinya kelangkaan dan kekurangan itu. Bahkan kita akan tahu apa yang ada di baliknya: kekayaan yang begitu timpang, kesempatan yang begitu selisih. Dari sini Tuan tahu apa yang menyebabkan tak ada pengobatan yang murah bagi Galuh. Inilah

daftarnya, meskipun tak lengkap: karena dokter-dokter yang tak pernah mengulurkan bantuan ke rumah orang miskin, karena industriawan obat yang hanya memikirkan the bottom line, karena pejabat Departemen Kesehatan yang mencolong dana buat pelayanan medis dan pencegahan penyakit di kampung-kampung, karena wartawan-wartawan (rekan-rekan saya) yang menerima suap dari dokter, industriawan obat atau pejabat dan sebab itu lalai untuk menceritakan putus asa di kekumuhan itu kepada publik, juga karena para wakil rakyat yang?setelah beranjangsana ke luar negeri dengan uang ribuan dolar?tak menegur kepala daerah yang tak banyak berbuat. Tuan dan saya tambah bersalah bila Tuan dan saya tak tahu itu?apalagi berpura-pura tidak tahu itu. Tuan bersalah, tapi harus saya tambahkan memang: kesalahan Tuan lebih kecil sedikit ketimbang dosa saya, yang menulis tulisan ini dan sudah terlambat, yang menulis dan mendapatkan nama, yang ingin menangis untuk Jasih dan Galuh tapi kemudian merasa bahwa saya juga yang akhirnya mendapatkan manfaat, juga dari tangis itu. Jasih, Galuh, dan kakaknya, Galang, yang luka-luka, dan Mahfud, bapak anak-anak itu, yang kehilangan segala yang berarti baginya, tetap tak tertolong. Miskin. Berutang. Hari-hari yang sudah cacat.

Mereka itu yang benar mengalami: kota begini sempit. Tiap jengkal yang kita miliki berarti tiap jengkal yang tak dimiliki orang lain. Saya kira itulah yang traumatis dalam sebuah masyarakat–apalagi masyarakat ini. Ada seorang yang mengatakan bahwa pada saat seseorang memaklumkan, “Inilah tempatku di bawah cahaya matahari,” itulah bermula perebutan tak sah seluruh muka bumi. “Kematian orang lain memanggilku untuk ditanyai,” kata Emannuel Levinas, “seakan-akan, karena sikap acuh tak acuh yang mungkin aku ambil kelak, aku bersekongkol dengan kematian yang dihadapkan kepada orang lain, kematian yang tak dapat diketahuinya.”

Jasih, saya tak berharap saya layak kamu maafkan.

~Majalah Tempo Edisi. 43/XXXIII/20 – 26 Desember 2004~

Jazz Desember 4, 2006

Posted by anick in All Posts, Buku, Musik.

trackback

Salena Jones menyanyi ke udara Jakarta dalam Jakjazz 2006. Dalam rasa asyik, tiba-tiba kita merasakan seakan-akan kota ini sedang menopang sebuah musik yang menjerit, terkadang serak, melankolik. Kota ini jadi ruang di mana ada yang menjulang tak kunjung terjangkau, tapi juga ada liang di jalan yang tak diingat, gorong-gorong yang pada saat yang sama menyembunyikan celurut, sampah, dan mungkin sampar. Kota ini setengahnya sebuah tempat ekspresi, setengahnya yang lain sebuah ujian stamina.

”Kota seperti ini membuatku bermimpi muluk dan merasa dekat pada hal ihwal…,” kata sang pembawa cerita dalam Jazz, novel Toni Morrison tahun 1992. ”Baja cerah yang bergoyang di atas keteduhan di bawahnya itulah yang membuatnya demikian.”

Sang kota, ”the City”, dalam novel yang seakan-akan terdiri dari cetusan improvisasi dengan pelbagai peserta ini, adalah Harlem, New York, pada tahun 1920-an. Meskipun punya sejarah yang berbeda dengan kota mana pun, apalagi Jakarta, ia punya pola seperti Jakarta: kota yang merangsang dan sekaligus membatalkan impian.

Ia adalah tempat pelarian yang menyingkir dari muramnya hidup di pedalaman. Di Amerika Serikat masa itu, ”muram” berarti ”hitam” yang dianiaya oleh orang-orang kulit putih di wilayah Selatan. Di Indonesia masa kini, ”muram” berarti si muda yang terimpit miskin dan pengangguran. Kedua-duanya berbeda, dan perbedaan itu amat penting, tapi pada akhirnya kedua-duanya mengiris dan menorehkan kepedihan. Juga kebengisan.

Dalam Jazz, Joe Trace menyingkir dari kota kelahirannya di bagian Selatan itu, Vienna, yang habis terbakar. Api merah itu bergerak cepat, ”mengosongkan kami dari tempat kami sedemikian lekas hingga kami lari dari satu bagian ke bagian lain negeri ini—atau tak ke mana pun”. Dengan kata lain, Joe jadi bagian dari ”900 Negro, digalakkan oleh bedil dan kanabi, yang meninggalkan Vienna, naik kereta atau berjalan kaki keluar kota itu, menuju entah ke mana”.

Dengan latar Indonesia, kita bisa bayangkan sebuah eksodus yang mirip: ribuan orang yang masuk dari pedalaman, bukan karena api yang membuat habis ludes se-buah tempat, tapi karena sang Nasib seolah-olah membuat mereka terhenyak di sekitar sawah ladang yang makin sempit. Mereka datang dengan kereta api, bus, kapal, motor, truk, dan entah apa lagi, untuk kemudian menumpang tinggal di sebuah kamar dan pada esok harinya menyusuri jalan. Cari kerja, kata mereka, tapi sebenarnya juga cari diri dan kemerdekaan.

Ya, Jakarta punya Joe Trace-nya sendiri. Namanya mungkin Mat Tilas: ia yang muncul di kota ini—dengan jejak yang kumuh dan penuh lumpur dari masa lalu pedalaman— menjajakan tahu goreng Sumedang atau air minum di jalan-jalan yang macet, menawarkan parfum palsu kepada para penumpang di bandara, berjalan kaki dari kecamatan yang satu ke kecamatan lain di siang yang terik mencoba jadi juru jual pisau dapur yang tak diketahui siapa yang akan membeli, atau menyediakan jasa yang sebenarnya tak perlu untuk mengatur lalu-lintas di pengkolan yang ruwet—dan tentu saja mereka yang jadi pelacur di tepi rel kereta api di Jalan Latuharhary.

Para pembaca akan berkata, ini sebuah cerita yang begitu biasa hingga tak diacuhkan lagi— dan benar: ini sebuah klise yang, seperti tiap klise, kehilangan daya pukaunya dan tenggelam dalam bawah sadar seperti manusia-manusia yang tenggelam dari catatan kita seakan-akan ditelan gorong-gorong kota.

Tidak berarti Jakarta selamanya menakutkan. Malam hari akan datang, cahaya jalanan dan gedung-gedung akan melipur, dan sang Kota seakan-akan menyediakan sebuah musik lain: musik yang menjerit, terompet yang ditiup serak, tapi memukau, meskipun mungkin dengan tenggorokan yang berdarah.

Ada yang menyentuh, mengejutkan, dan mempesona di sana.

Dalam arti itu, riwayat seorang migran dari pedalaman mengingatkan kita akan hasrat menjangkau sesuatu dari keadaan patah harapan, sebagaimana seorang pemain musik meniti melodi melalui improvisasi, untuk mendapatkan yang paling memuaskan hati dari kepastian yang absen.

Sebab begitu pentingkah kepastian? Di kota ini, kepastian hanya terhantar pada kaki lima dan aspal jalanan. Bagi si Mat Tilas, seperti Joe Trace, seperti bagi jutaan pendatang yang lain, begitu ”sol sepatu menapak trotoar, tak ada jalan berbalik lagi… Di sana, di sebuah kota, mereka mungkin bukan diri-diri baru, tapi diri yang lebih kuat, lebih punya risiko.” Bisakah

kita di sini bicara tentang kota sebagai arah yang dituju sebuah eksodus, Tanah Yang Dijanjikan oleh Tuhan bagi hamba-Nya yang dianiaya? Tidak, meskipun novel Toni Morrison agak menyarankan demikian.

Riwayat urbanisasi adalah riwayat sebuah hijrah yang sekuler, dengan hewan korban,

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 135-144)