• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jeremiah April 16, 2007

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 144-152)

Posted by anick in All Posts, Amerika, Novel, Tokoh.

trackback

”Aku Jeremiah”—Kurt Vonnegut Jr.

Tak setiap negeri membutuhkan Jeremiah. Tapi kalaupun harus ada nabi seperti itu—yang memperingat-kan manusia bahwa Tuhan marah dan kiamat bakal segera datang—orang akan perlu satu hal lain: momen untuk ketawa.

Kurt Vonnegut Jr. memenuhi kedua keperluan itu sekaligus di Amerika kini—tapi ia meninggal 11 April pekan lalu di Manhattan, New York. So it goes….

Usianya 84. Penulis novel Slaughterhouse-Five itu, yang tak putus-putusnya mengisap rokok Pall Mall selama lebih dari 70 tahun, sudah siap mati, tapi ia pergi terlalu cepat. Seandainya ia hidup terus, kata-katanya yang mencemooh akan terus melubangi ruang kedap suara yang dibangun pemerintah Bush & Cheney, sebuah bangunan yang akhirnya hanya terdiri atas dusta & paranoia, ambisi & myopia. Di ruang sesak itu, dibutuhkan celah yang membiarkan masuk suara ragu, suara lucu.

”Aku Jeremiah,” katanya dalam wawancara dengan Douglas Brinkley di majalah The Rolling Stone. Tapi ia tak bicara tentang Tuhan. ”Aku bicara tentang kita yang sedang membunuh planet… dengan bensin.”

Lalu diutarakannya pesimisme yang kita kenal itu: bumi akan punah akibat karbon dioksida. Dan Vonnegut bisa ekstrem. Ketika ditanya pendapatnya tentang gerakan pembela lingkungan yang kini kian keras terdengar, setelah orang menonton film dokumenter An Inconvenient Truth, sang Jeremiah menjawab, ”Tak ada yang bisa mereka lakukan. Permainan sudah habis, Bung. Kita kalah.”

”Kita-kalah”—itu juga tema yang di abad ke-6 sebelum Masehi disuarakan Jeremiah yang asli menjelang Yerusa-lem jatuh ke tangan Raja Nebuchadnezar dari Babilonia. Bagi Jeremiah, bangsanya, Bani Israel, tak punya harapan lagi. Tak urung ia dianggap khianat dan

ditahan pemerintah Zedekiah. Tapi sang nabi benar. Nebuchadnezar menduduki Yerusalem, Kenisah Sulaiman dihancurkan, dan bangsa Yahudi dibuang. Konon Jeremiah kemudian diculik ke Mesir dan dibunuh kaumnya sendiri.

”Aku Jeremiah,” kata Vonnegut, meskipun ia tak disingkirkan. Hanya di awal tahun 1970-an, Slaughterhouse-Five dilarang di beberapa sekolah dan di sebuah kota di Dakota Utara novel itu dibakar.

Tapi tindakan itu sudah cukup jadi cacat yang serius di negeri yang konstitusinya menjaga kebebasan bersuara. Tampaknya, Amerika yang dibanggakan si Kurt kecil dulu telah hilang. Dan makin hilang. Setahun setelah AS menyerbu Irak, kata-kata Vonnegut brutal: ”Aku tahu sekarang, tak ada satu kemungkinan di neraka sekalipun Amerika akan jadi manusiawi dan memakai nalar.” Baginya para pemimpin Amerika seperti ”simpanse yang mabuk kuasa”. Prosanya memang punya gaya tembak-langsung. Kata-kata yang dipilihnya terasa diulang dari amarah lama. Tapi Vonnegut memang tak punya pretensi membawa sastra yang ”tinggi”. Dalam wawancaranya yang terbit dalam Paris Review di musim semi 1977, ia anggap dirinya ”penuh berisi vulgaritas”; itu sebabnya ia dulu menulis buat majalah macam Cosmopolitan dan Saturday Evening Post.

Agaknya ia akan geli jika harus berbicara khidmat tentang proses kreatif. Ia lihat dirinya sendiri seorang ”teknokrat” yang ”barbar”. Ia memperlakukan cerita seperti mobil Ford: bisa dikotak-katik. Tujuannya: memberi kenikmatan kepada pembaca.

Dengan kata lain, Jeremiah Amerika ini ingin juga menghibur. Di masa tuanya ia merasa tak mampu melucu lagi, tapi ”yang sepenuhnya saya inginkan adalah mem-buat orang merasakan lega karena ketawa”. Humor seperti tablet aspirin, kata Vonnegut. Dan seperti Mark Twain yang dikaguminya, ia tangkas membagikan obat itu. Kata-katanya bisa cerdas, mencemooh, jenaka.

Cerita Harrison Bergeron, misalnya, dimulai dengan kalimat: ”Tahun itu 2081, dan tiap orang akhirnya setara sama rata. Mereka tak hanya setara di depan Tuhan dan hukum. Mereka setara dalam segala hal. Tak ada yang lebih pintar ketimbang yang lain. Tak ada yang lebih rupawan ketimbang yang lain….”

Kisah ini bisa seperti novel 1984 Orwell. Salah satu tokohnya, George, hidup dengan kuping yang dipasangi radio kecil. Pesawat ini dihubungkan dengan stasiun pemerintah yang tiap 20 detik mengirim suara untuk mengingatkan George agar tak menggunakan kecerdasannya yang lebih buat menang atas orang lain.

Cerita yang suram, tapi membuat kita terbahak-bahak, setidaknya ketika kita menemukan ada kantor yang bernama ”United Stated Handicapper General” alias ”Kantor Negara untuk Pengelolaan Perbedaan Kemampuan” yang para agennya selalu waspada mengawasi para warga.

Dengan kombinasi geli-dan-ngeri ini, hidup tergambar absurd—mungkin sebuah parodi atas masyarakat Amerika yang memuja kesetaraan tapi menyangka kesetaraan sama artinya dengan mediocrity. Sebab itu, orang seperti Bush, sibakat-kodian, tauladan mediocrity, dapat naik ke Gedung Putih. ”Jika kau orang yang terdidik dan berpikir, kau tak akan diterima di

Washington, DC,” tulis Vonnegut dalam A Man Without a Country: A Memoir of Life in George W. Bush’s America.

Tapi benarkah hidup akan mengikuti ramalan mendiang Jeremiah dari zaman Bush dan bumi-yang-memanas ini? Apa yang jadi penawar agar hidup layak dipertahankan? Vonnegut sendiri, pada umur lanjut, menjawab: ia menunggu janji pabrik rokok. Sejak dulu, Brown & Williamson Tobacco Company yang menghasilkan Pall Mall ”sudah berjanji akan membunuh saya”.

Humornya gelap di kalimat itu, tapi itu tanda bahwa Maut bukan satu-satunya penebus. Vonnegut masih memberi kita aspirin. Ia juga masih punya penawar lain: musik, terutama blues, ”satu-satunya bukti bahwa Tuhan ada”. Dengan kata lain: perlawanan kecil-kecilan terhadap apokalipse yang mendekat….

Kalau tidak, masih ada fantasi tentang planet Tralfamadore, yang menolong Billy Pilgrim di tengah ganas dan sia-sianya penghancuran Kota Dresden dalam Slaughterhouse-Five. Tralfamadore: alternatif bagi dunia para nabi yang bermuram durja.

Sebab Jeremiah toh tak melihat semuanya.

~Majalah Tempo Edisi. 08/XXXIIIIII/16 – 22 April 2007~

Juni Juni 14, 2010

Posted by anick in Agama, All Posts, Indonesia, Islam, Kisah, Modernisme, Sejarah, Tokoh,

Tradisi.

trackback

Juni adalah bulan Bung Karno—kesempatan kita mengenang yang kecil dan yang besar dari tokoh ini.

Ada satu kejadian dalam riwayat yang direkam Cindy Adams: ketika Bung Karno pertama kali menikah, ketika ia jadi mempelai bagi Utari.

Utari adalah putri H.O.S. Tjokroaminoto, pemimpin Sarekat Islam, yang menampung Soekarno sewaktu anak kepala sekolah dari Blitar itu berumur 14 tahun dan datang ke Surabaya untuk masuk HBS, sekolah menengah Belanda. Hubungan antara Soekarno dan Tjokroaminoto makin lama makin erat. Pemuda ini praktis jadi kadernya dalam pergerakan. Ia tinggal di rumah keluarga itu sampai 1920, sampai ia lulus dari HBS dan melanjutkan ke Technische Hooge School di Bandung.

Tapi, sebelum itu, Nyonya Tjokroaminoto wafat. Kesedihan merundung suaminya, yang ditinggal dengan beberapa anak yang masih remaja. Mereka dan anak-anak yang indekos, termasuk Soekarno, pun pindah ke rumah lain. Tapi Tjokroaminoto tak terlipur penuh. Untuk meringankan hati orang tua itu, Soekarno memutuskan untuk menikahi Utari—meskipun masih merupakan ”perkawinan gantung”, sebab Utari masih 16 tahun dan Soekarno sendiri baru 20.

Yang menarik kisah Bung Karno tentang hari pernikahan itu. Sang mempelai—seorang yang suka berdandan—datang dengan mengenakan jas, pantalon, dan dasi. Melihat itu, penghulu berkeberatan. ”Anak muda,” katanya, ”dasi adalah pakaian orang yang beragama Kristen… tidak sesuai dengan kebiasaan kita dalam agama Islam.”

Soekarno membela diri. Cara berpakaian kini ”sudah diperbaharui”.

Sang penghulu membentak, pembaharuan itu hanya terbatas pada pantalon dan jas buka, katanya.

Menghadapi suara keras itu, Soekarno membalas. Ia tak sudi. Tuturnya: biar ”Nabi sendiri sekalipun tak kan sanggup menyuruhku untuk menanggalkan dasi”. Maka ia bangkit dari kursi dan mengancam membatalkan akad nikah, jika ia harus mencopot dasi. Ketika penghulu tak mau mundur, mempelai yang kelak jadi tokoh utama pergerakan politik untuk kemerdekaan itu berkata: ”Persetan, tuan-tuan semua. Saya pemberontak dan saya akan selalu memberontak. Saya tak mau didikte orang di hari perkawinan saya.”

Suasana tegang. Tapi akhirnya akad nikah dilakukan bukan oleh si penghulu, melainkan oleh seorang alim yang ada di antara tamu….

Insiden ini bukan hanya menunjukkan watak Bung Karno, melainkan juga problem Indonesia zaman itu: bagaimana membebaskan diri dari penjajahan dan sekaligus dari apa yang disebut Bung Karno ”pendirian yang kolot”.

Orang ada yang melawan para penjajah Eropa dengan ambil posisi kembali ke akar yang tertanam di masa lalu. Tapi pemuda Soekarno tak begitu. Juga Hatta, Tan Malaka, dan sebelumnya Tjipto Mangunkusumo dan Soewardi Soerjaningrat. Pergerakan menentang kolonialisme Belanda telah melahirkan sebuah nasionalisme yang lain: melihat ke depan. Nasionalisme itu berkait dengan agenda modernitas.

Bung Karno, dengan prosanya yang penuh api, pernah mencemooh para ”oude-cultuur maniak” yang ”pikiran dan angan-angannya hanya merindui candi-candi, Negarakertagama, Empu Tantular dan Panuluh, dan lain-lain barang kuno”.

Tan Malaka menegaskan bahwa pendapatnya yang dirumuskan sebagai ”Madilog” (Materialisme, Dialektika, Logika) berlawanan dengan segala yang berhubungan dengan mistik dan kegaiban. Tan Malaka, seorang Marxis yang bertahun-tahun mengembara di Eropa, menyebut semua yang ditentangnya itu ”ketimuran”.

Bagi Hatta, sebagaimana dikatakannya pada 1924 di Belanda, Indonesia yang muda harus memutuskan semua hubungan dengan masa lampau ”untuk membangun kehidupan nasional baru yang sesuai dengan tuntutan peradaban modern”.

Sebuah konfrontasi tak bisa dielakkan. Nasionalisme itu tak hanya memutuskan kaitan dengan masa silam yang setengah feodal, yang sering disebut ”kebudayaan daerah” atau segala yang dikibarkan sebagai bendera identitas lokal. Nasionalisme itu juga ingin melepaskan diri dari adat yang mengikat kebebasan, lembaga lama yang menindas perempuan, keyakinan yang tak membuat orang mencari informasi baru. Bagi nasionalisme ini, kolonialisme harus dihadapi dengan cara yang jadi sumber kekuatan ”Barat”. Para perintis kemerdekaan Indonesia melihat Jepang sebagai tauladan dan Turki baru sebagai

inspirasi. Dalam sebuah tulisan panjang tentang Turki pada 1940, Bung Karno mengutip sebagai pembuka: ”Kita datang dari Timur. Kita berjalan menuju Barat.”

Syahdan, pada 1939 ada sebuah berita tentang Bung Karno: ia meninggalkan sebuah rapat Muhammadiyah sebagai protes. Bung Karno tak setuju karena ada tabir yang dipasang di sana untuk membatasi tempat perempuan dengan tempat laki-laki.

Maka koresponden Antara pun mewawancarainya. Bung Karno menegaskan: tabir tampaknya ”soal kecil, soal kain yang remeh”. Tapi sebenarnya ”soal mahabesar dan mahapenting”, sebab menyangkut posisi sosial perempuan. ”Saya ulangi: tabir adalah simbol dari perbudakan kaum perempuan!”

Bagi Bung Karno, tabir adalah aturan agama yang lahir dalam sejarah sosial. Seperti halnya kolonialisme, ”perbudakan” seperti itu bukan hasil dari sabda yang kekal. Ia akan berubah. Ia bisa diubah.

Itu sebabnya nasionalisme Indonesia mengandung optimisme. Hatta, misalnya, percaya kepada dialektika sejarah yang berakar pada Marxisme: tiap keadaan ”menimbulkan syarat yang mesti mengubah keadaan itu sendiri”.

Tentu, optimisme semacam ini tak selamanya terbukti benar. Tapi sejak awal abad ke-20 zaman terasa bergerak. Entah ke mana, tapi banyak hal yang tak tumbuh jadi membatu, jadi benda antik atau ditinggalkan.

~Majalah Tempo Edisi Senin, 14 Juni 2010~

K.A. November 6, 2006

Hidup memang bukan pasar malam, kata seorang tokoh novel Pramoedya Ananta Toer, tapi mungkin hidup ibarat kereta api. Maka kali ini saya ingin menulis tentang sepur dan manusia—sepur bukan hanya sebuah sarana perjalanan, tapi juga sebuah ruang pertemuan dengan orang lain yang bergerak dari dan ke tempat yang berbeda, semacam kebersamaan dan kesendirian yang tak kekal.

Mungkin karena itulah adegan di kereta api sering masuk ke pelbagai bentuk ekspresi yang mengemukakan saat yang ajaib, ketika manusia seakan-akan menemukan degupnya kembali, justru dalam satu trayek lurus yang sebenarnya membuat jemu.

Dalam lagu Sepasang Mata Bola, misalnya. Lagu ini ditulis di masa perjuangan bersenjata melawan Belanda pada tahun 1940-an—ketika hidup sosial terguncang-guncang, ketika tempat asal dan tujuan sama-sama jadi hanya sejenis ruang transit, ketika orang dengan cepat berpindah lokasi dan kelas.

”Hampir malam di Yogya, ketika keretaku tiba Remang-remang cuaca, terkejut aku tiba-tiba..”

Lagu itu, yang sampai hari ini dinyanyikan dengan penuh nostalgia dan keharuan, memaparkan gambar sebuah senja di Stasiun Tugu di Yogya: sepur dari Jakarta datang, penuh orang yang mengungsi dari pendudukan Belanda. Di antara kerumunan itu tampak para prajurit muda, dengan senjata dan sikap yang siap. Tiba-tiba sebuah wajah hadir, dan cerita pun terjadi.

Dalam lirik lagu ini, wajah itu ditandai tatapan mata seorang yang seakan-akan minta dilindungi dari ancaman ”si angkara murka”. Tak jelas sebenarnya—dalam lirik Ismail Marzuki ini—siapa yang berangkat perang, yang ”datang dari Jakarta/’nuju medan perwira”. Tapi terasa ada getaran hati pada sebuah pertemuan, pada sebuah perpisahan, dalam suasana ketika kata ”pahlawan” disebut, dan semangat mempertahankan Republik terasa bertaut dengan ketidakpastian. ”Semoga kelak kita berjumpa pula….”

Kereta api datang, kereta api pergi, apa yang memberikan arti di situ? Bukan Stasiun Tugu, yang menetap seakan-akan prasasti yang dipatok, melainkan perjalanan dan perpindahan— dan tentu saja keberangkatan untuk mati. Yang sementara, yang fana, justru jadi yang amat penting.

Itu juga yang terasa dalam lagu Juwita Malam, juga ciptaan Ismail Marzuki: akhir sebuah perjalanan bukannya melegakan, melainkan menimbulkan rasa sayu.

Kereta kita, segera tiba

di Jatinegara kita kan berpisah

Kita berpisah, akhirnya, tapi tiap perpisahan terjadi karena pertemuan. Yang menarik dalam Juwita Malam ialah bahwa pertemuan itu adalah pertemuan dengan seseorang yang tak dikenal: ”Siapakah gerangan tuan? Dari bulankah tuan?”

Dalam kereta api, itulah memang yang sering terjadi—dan itulah yang membuat hidup menegangkan tapi juga memikat. Dari cerita detektif Agatha Christie Murder at the Orient Express sampai dengan travelog Paul Theroux The Great Railway Bazaar, ruang kereta api yang bergerak itu adalah ruang orang-orang yang mungkin ingin saling bertanya kepada orang segerbong: ”Dari bulankah tuan?”

Ada rasa takjub dan juga rasa ingin tahu di hadapan sesama manusia yang beda—yang menyebabkan sebuah cerita detektif mendapatkan suspens-nya dan cerita perjalanan menemukan bumbunya. The Great Railway Bazaar yang terbit pada tahun 1977 adalah perjalanan panjang dari London, lewat Iran, ke Asia. Tapi kita akan kecewa jika kita mengharapkan di buku ini akan ada uraian yang rinci tentang tempat-tempat perhentian. Bahkan terkadang Theroux tak tertarik (misalnya ketika tiba di Teheran) dan terganggu (ketika memasuki Afganistan). Yang ia tangkap adalah apa yang berlain-lainan pada suatu momen: lanskap di luar jendela, bau sardin, kubis, dan tembakau, orang Georgia itu, orang Kanada yang berduka itu, dua pustakawan Australia itu….

Ketika kereta api sampai ke tujuan, semua yang asyik pun usai—seakan-akan hendak menunjukkan bahwa tempat di luar kereta terlampau luas bagi sebuah pengalaman manusia yang terbatas.

Dalam film Tickets, apa yang terjadi dalam sebuah kereta api menuju Roma sanggup berbicara tentang kehidupan sosial-politik Eropa secara lebih jelas dan tajam ketimbang yang disiarkan di televisi mengenai dunia di luar gerbong.

Disutradarai bersama oleh Abbas Kiarostami, Ermanno Olmi, dan Ken Loach, film tahun 2005 ini adalah kisah kebersamaan antar-orang-orang asing, justru di suatu masa yang terganggu oleh kekerasan, paranoia, dan ketimpangan kekuasaan—dunia setelah ”11 September”.

Ada seorang profesor yang pergi ikut pesta ulang tahun cucunya, dan mengkhayalkan sebuah hubungan romantik dengan seorang perempuan yang nyaris tak dikenalnya. Ada seorang pemuda yang dengan sabar tapi akhirnya sebal mengawal janda cerewet seorang jenderal. Ada tiga pemuda pecandu bola dari Skotlandia yang riuh. Ada sebuah keluarga imigran Albania yang tak punya uang untuk beli tiket. Terhadap yang terakhir inilah para penumpang tadi jadi kontras tapi sekaligus bagian dari sebuah solidaritas. Si profesor mengantarkan segelas susu panas bagi si bayi imigran yang terusir dari bordes, trio penggemar bola itu merelakan tiketnya dicuri si anak Albania.

Dan kereta api pun berhenti di Roma.

Apa yang tersisa? Ingatan tentang sebuah perjalanan yang tanpa suspens karena arahnya pasti, tapi memukau karena ini cerita orang-orang asing yang punya momen jadi manusia. Kita jadi manusia ketika kita merasakan ketakutan dan kehilangan orang lain yang tak kita kenal, dan bersedia ikut menanggungkannya. Di situlah, yang fana—derak dan peluit kereta yang berjalan di atas rel menuju ke satu titik yang sudah dirancang—adalah yang membuat kita seakan abadi.

~Majalah Tempo Edisi. 37/XXXV/06 – 12 November 2006~

Kahyangan Januari 2, 2006

Di surga, tak ada tahun baru. Waktu tak hadir, juga perbuatan

Dalam tiap adegan kahyangan pada pertunjukan wayang purwa, keabadian digambarkan dengan kalimat ini: ‘Ana padhang dudu padhanging rina, ana peteng dudu petenging wengi’. Yang ada adalah ‘terang yang bukan terangnya siang’ dan ‘gelap yang bukan gelapnya malam’. Tak ada waktu, tak ada ruang, hanya keluasan yang tanpa tepi — mung alam tumlawung ngalangut datan patepi.

Yang menarik – seperti saya temukan dalam buku yang disusun Anom Sukatno, Janturan lan Pocapan Ringgit Purwo — dalam janturan yang dilantunkan ki dalang, kahyangan adalah keadaan tak ada subyek. Maka tak ada obyek. Yang ada suwung.

Kata ‘suwung’ berbeda dengan ‘kosong’ atau ‘hampa’. ‘Suwung’ sebenarnya bukanlah sebuah defisit. ‘Suwung’ punya wilayahnya sendiri. Dalam Serat Wirid Hidayat Jati, Ronggowarsito menampilkan sebuah keadaan paradoksal dalam meditasi: ‘suwung sakjatining isi’, suwung namun sesungguhnya berisi.

Maka bila kahyangan digambarkan sebagai ‘suwung’ dan tak ada ‘rasa pribadi,’ yang dimaksudkan bukanlah sebuah gambaran kekurangan. Bahkan sebaliknya. ‘Cipta, rasa dan karsa’ tak ada karena tak dibutuhkan. Keheningan itu total – yang juga berarti kebebasan dari pengaruh perasaan suka dan sedih: datan kaprabawaning rasa bungah lan susah.

Mungkin pengaruh Budhisme ikut membentuk imajinasi para pencipta wayang purwa dalam adegan ‘Alang-Alang Kumitir’: surga adalah sesuatu yang berada di luar wilayah pancaindera, seperti yang dilambangkan dengan stupa di pucuk Borobudur itu — polos, ugahari, tanpa ruang, tanpa celah.

Saya ingat Sanusi Pane. Dalam perjalanannya di India, ia mengagumi Syiwa Nataraja, dewa yang menari dalam lingkaran api. Beginilah dilukiskannya dalam sebuah puisi panjang dalam Madah Kelana:

Natésa berdiri

Di atas buta, kanan memegang gendang, kiri

Memegang api bernyala-nyala. Sikap badan, tangan Dan kaki, wajah muka amat permainya: angan-angan

Keindahan Patung Syiwa itu ‘dalam dirinya bergerak dan beredar, tidak terperi’, dan di hadapan Natésa itulah Sanusi menemukan satu kearifan, tatkala sesaat seakan-akan didengarnya sebuah suara halus-merdu yang menyeru:

‘Tujuan sekalian ada dalam diri sendiri

Tidak ada asal tujuan, pangkal ujung, yang diberi

Dari luar…’ Maka tarian Syiwa-Nataraja bagi Sanusi Pane adalah ‘jalan ringkas…mencapai kemerdekaan’. Jiwa akan merdeka jika kita membiarkan diri menari dan ‘membakar segala ikatan buta’ yang kita bikin, jika dalam gerak itu, sang penari tak dijajah oleh hasil, oleh ‘tujuan’. Seperti ketika, dalam sebuah sajaknya yang lain, ia merasa di atas biduk dan merasa hening dan tenteram, dibawa gelombang tanpa kehendak tanpa arah, menyimak getar

keabadian di langit dan melenyapkan diri ke dalam alam…

Di sini, tindakan berada di titik nol. ‘Diam, hatiku, jangan bercita’, tulis Sanusi dalam Candi Mendut, ‘Jangan kau lagi mengandung rasa/Mengharap bahagia dunia Maya’.

Maka tindakan jadi ‘laku’: ada di antara posisi yang bukan pasif dan juga bukan aktif. Sajak Syiwa-Nataraja melukiskan dua gerakan untuk mencapai kemerdekaan: yang satu dengan metafora ‘menari’, dan pada saat yang sama juga ‘tinggal samadi’.

Tapi persoalannya tetap: bagaimana laku ini menyiapkan sesuatu yang berarti bagi sejarah. Di dunia, manusia ada dalam keadaan terlempar. Ia tak siap, ia sebuah kekurangan: ikan langsung dapat berenang begitu ke luar dari indung telur, tapi manusia tidak.

Sebab itulah ia merasa terancam terhimpit oleh dunia sekitarnya. Ia pun mencoba mengendalikan alam, termasuk jasmaninya sendiri. Untuk itu ia harus berada di atasnya dan membebaskan diri darinya.

Maka kebudayaan pun terbentuk, dengan produksi dan teknik yang diperbaiki terus menerus. Tapi juga dengan kesengsaraan dan penindasan.

Dan di koloni orang-orang yang tertindas, seperti Indonesia di tahun 1930-an ketika Sanusi Pane menuliskan sajak-sajak yang terkumpul dalam Madah Kelana, tampaknya harus diakui

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 144-152)