• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kamar Juni 29, 2009

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 155-161)

Sajak itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya cuma 3 m x 4 m, “terlalu sempit buat meniup nyawa”. Penghuninya tujuh. Ruang pun terasa kerdil dan rudin, ketika sebuah jendela menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu perkasa.

Dalam sajak itu pula Chairil Anwar melukiskan kemurungan dan kelesuan kamar itu dengan sederet imaji yang makin lama makin dramatis. Sang ibu “tertidur dalam tersedu”. Sang bapak “terbaring jemu”. Mata lelaki tua itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah citra ketidak-berdayaan: gambaran “orang tersalib di batu”. Cahaya terbatas. Malam itu bulan mengirimkan sinarnya sedikit untuk mengintip, dan tanpak “sudah lima anak bernyawa di sini”.

Suasana represif, seperti sel-sel bui yang padat tapi kehilangan suara. “Keramaian penjara sepi selalu”.

Chairil menuliskan baris-baris itu sekitar setengah abad yang lalu, di Jakarta yang penduduknya belum lagi empat juta. Kini kota ini – yang baru saja berulangtahun ke-482 — dihuni 12 juta orang, dan membaca sajak itu kita terpekur: apa makna sebuah ruang (mungkin sebuah rumah) di kota seperti ini? Bagaimana pula kelak, di tahun 2025, ketika diperhitungkan hampir 70% penduduk Indonesia hidup di kota-kota? Apa yang tengah kita saksikan: sebuah progresi kepadatan dan ketercekikan?

Kecemasan atas kota-kota yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang Paris: “Di Paris tak ada rumah”. Itu tulis Gaston Bachelard, filosof Prancis itu, dalam La poétique de l’espace. “Penduduk kota-kota besar tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun”. Akhirnya rumaha hanya terbangun horisontal; ia kehilangan “kosmisitas”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis, sebagaimana ia kehilangan angkasa, terlepas ari misteri keagungan.

Keluhan Bachelard memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada suasana tempat tinggal yang dengan nyaman dihuni bertahun-tahun di pedusunan dan kota kecil di pedalaman – sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-ekonomi Indonesia.

Di Indonesia, terutama di Jawa, kepadatan penduduk sudah lama merampas pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan lukisan Dazentje. Petani miskin tak mampu lagi punya rumah yang layak dirindukan. Tanah yang kian sempit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian” (dalam istilah terkenal Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Kamar yang dilukiskan Chairil bisa juga berlaku bagi ruang di rumah-rumah dusun.

Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pengendalian pertumbuhan penduduk dua dasawarsa yang lalu berhasil. Pertumbuhan kini tinggal 1,3%. Tapi jika lihat Jakarta, kepadatan tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara manusia dan tempat tinggalnya demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-nomadisme: orang berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; “rumah” bukanlah faktor penting dalam stabilitas.

Orang hidup dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai dunung, sebuah kata Jawa yang bukan saja menunjukkan sebuah situs fisik, tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untukku. Tempat telah jadi komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalamanku yang tak bisa dipertukarkan. Ia bukan lagi mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud diriku; ia tidak lahir dari prosesku mengureg (burrow, bahasa Inggrisnya), proses seperti ketika tikus tanah membuat ruang hidupnya

dengan membuat liang yang cocok. Para nomad baru tak membangun liangnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu. Neo-nomadisme itu juga lahir dari jarak: di Jakarta, rumah dan tempat kerja seringkali begitu jauh, lalulintas begitu padat, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul tujuh malam, untuk kemudian duduk menonton televisi tentang dunia jauh, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan pada pukul lima…

Tapi tetap ada benarnya, bahwa seorang nomad tak pernah sempurna sebagai seorang nomad. Pada tiap kesempatan, manusia mencoba membentuk dunung-nya. Juga di Jakarta. Ada tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah, juga di luar apa yang biasa disebut “rumah”. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah pojok di taman, sebuah sudut kota yang menyimpan kenangan, sebuah pasar yang menambat hati, sebuah kedai, sebuah stasiun bis, sebuah tempat pertemuan…

Di ruang-ruang yang jadi dunung, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik pusat, membangun dunia yang seakan-akan tanah yang kita ureg. Tapi di zaman ini, ada tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apapun pada akhirnya hanya sebuah ruang transit. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya nomor HP atau alamat e-mail. Dan kita tak menyebut diri “tuna-wisma”.

Hari ini dan mungkin nanti, Jakarta adalah arus di mana “wisma” tak lagi relevan. Yang ada adalah kemah dalam hidup yang tak bisa mandeg. Ada yang hilang dalam kepadatan itu. Tapi manusia berjalan terus, terengah-engah makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan sel-sel sempit yang kehilangan suara, dalam “keramaian penjara sepi sel-selalu.”

~Majalah Tempo Edisi Senin, 29 Juni 2009~

Kanvas November 1, 2010

Di Istana Bogor, patung perempuan di mana-mana. Telanjang. Tubuh dengan lekuk yang jelas. Badan dengan proporsi yang rapi. Tampilan jangat yang kencang tapi halus. Paras dengan raut yang tanpa cela.…

Bung Karno telah merias kediaman resmi itu dengan seleranya, selama ia tinggal di sana sebagai presiden pertama sekitar 10 tahun. Para penggantinya dengan satu dan lain cara masih menghormatinya. Pajangan koleksi itu tak dihancurkan. Bahkan tampak dirawat. Tapi Bung Karno telah pergi lebih dari 40 tahun yang lalu. Zaman berubah, pemimpin berganti. Di masa yang kian konservatif kini, orang tetap menghormati tinggalan itu, tapi agaknya tak mudah menerimanya. Oktober 2009 saya mengunjungi Istana itu dengan beberapa sastrawan dalam dan luar negeri; para tamu tertawa geli. Mereka lihat tiap patung itu ditutupi selembar kain yang dibelitkan. Sensor atau bukan, efeknya justru membuat karya-karya tiga dimensi itu—yang semula bertaut dengan ruang—seakan-akan melepaskan diri dari latar belakang. Mereka lebih hadir. Ketelanjangan itu justru menarik perhatian: penutup itu mengalahkan dirinya sendiri.

Tapi juga keindahan bisa mengalahkan dirinya sendiri—jika keindahan diartikan seperti yang tampak di deretan patung di Istana Bogor itu. Bentuk-bentuk itu dimaksudkan sebagai karya artistik. Tapi ketika yang artistik hanya berarti cantik, yang ”indah” pun jadi sesuatu yang tunggal. Kecantikan, kerapian, dan keapikan akan menguasai total bentuk-bentuk, dan apa yang tak cantik, tak rapi, dan tak apik adalah sesuatu yang ”lain”—yang harus dilenyapkan. Agaknya itu sebabnya selalu ada pemberontakan terhadap keindahan yang seperti itu. Pernah ada masa ketika seni rupa Indonesia didominasi oleh kanvas-kanvas yang menyajikan gunung yang biru, sawah yang menguning, sungai yang tenang, petani-petani yang tenteram.

Awalnya bisa ditarik ke masa kolonial, ke awal abad ke-19. Dalam Cultivated Tastes: Colonial Art, Nature and Landscape in the Netherlands Indies (sebuah disertasi yang layak dibaca para penelaah sejarah seni rupa Indonesia), Susie Protschky menyebut nama seorang pelukis amatir, Abraham Salm (1801-1876), yang hidup makmur dari perkebunan tembakau di Malang. Dialah yang praktis mengedepankan lukisan panorama. Suku kata ”pan” dalam kata itu (”pan” + ”horama”, kombinasi dua kata Yunani yang berarti pandangan yang menangkap semua) menunjukkan kehendak untuk mencapai satu totalitas dalam satu kanvas. Ada hasrat penguasaan terhadap apa yang tampak di luar sana. Dan dalam hal panorama Salm, penguasaan itu dikukuhkan oleh gambar lanskap yang elok, damai, tertib, sejahtera. Bagi sang pelukis, yang juga pemilik perkebunan, keindahan hanya punya tempat bagi rust (ketertiban), dan tidak bagi onrust (kekacauan).

Kecenderungan panorama ini tak terbatas pada Salm. Dalam kanvas, keindahan praktis diwakili karya Willem Bleckmann (1853-1952), Leo Eland (1884-1952), Ernest Dezentjé (1885-1972), Abdullah Suriosubroto (1878-1941), Mas Pirngadie (1865-1936), dan Wakidi (1889-1980). Di sebuah masyarakat yang pasaran seni bergerak terbatas di antara pejabat kolonial dan pengusaha yang ingin ketenteraman, karya para pelukis itulah yang dikenal di dinding dan di penerbitan masa itu.

Begitu dominan kecenderungan itu hingga ia tak berhenti di masa silam. Bung Karno menggemari Dezentjé, sebagaimana ia menggemari patung perempuan yang bertubuh harmonis, berwajah siap pasrah, tak menunjukkan pembangkangan—apalagi kekacauan. Juga sebagaimana ia menggemari karya Basuki Abdullah.

Terhadap keindahan yang menampik onrust itulah sejak 1930-an perupa S. Sudjojono berontak. Ia mencemooh panorama ala Dezentjé sebagai lukisan ”Mooie Indie”, Hindia Molek. Dalam buku yang baru saja terbit, Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar & Pemikiran S. Sudjojono oleh Aminudin T.H. Siregar, disebutkan bagaimana pelukis itu memandang kanvas Basuki Abdullah. Lukisan Basuki, kata Sudjojono, cenderung mengutamakan ”artistieke plekken”, lokasi dan tempat yang memang sudah bagus. Yang demikian bukanlah ”Indonesia”. Sebab Indonesia, menurut Sudjojono, berarti ”bersatu, bangun, bekerja, jatuh, berkorban, dan berjuang terus-menerus”.

Sudjojono, tentu saja, bukan seorang penyusun teori yang siap. Cetusan pikirannya tak sistematis, sering tanpa argumen yang kukuh. Tapi agaknya bisa diduga, ia menghendaki sebuah kanvas yang tak cuma berisi panorama dan paras yang elok karena terkendali. Kata-kata ”bangun, bekerja, jatuh, berkorban, berjuang” mengarah ke pengertian sesuatu yang dinamis, terkadang sakit dan tak menyenangkan, dan tak seluruhnya dapat dipastikan, karena selamanya ada perubahan, ada perbedaan.

Kreativitas, yang menciptakan sesuatu yang esthetis, dengan demikian mengandung sesuatu yang lebih dalam ketimbang hanya ”indah”, jika makna ”indah” cuma berarti picturesque. Dalam sesuatu yang esthetis selamanya tersirat sesuatu yang-tak menyenangkan, yang lain, yang beda, dan sebab itu bisa mengejutkan. Dalam apa yang esthetis bisa terdapat apa yang grotesque, mungkin mengerikan, rusuh, ganjil, bahkan menjijikkan: dan itulah sebabnya karya Picasso atau Frida Kahlo, karya Bacon atau Bosch, karya Affandi atau Masriadi, karya Edi Hara atau Heri Dono—untuk menyebut beberapa saja di ruang sempit ini—tidak saja memukau, tapi juga mengandung sesuatu yang ethis: kesediaan menampung apa yang tak lazim, yang diabaikan, bahkan ditolak.

Itu sebabnya saya tak begitu berminat menikmati patung-patung molek di Istana Bogor. Diberi baju atau tidak.

~Majalah Tempo, Edisi Senin, 01 November 2010~

Karnivalesk Maret 30, 2009

Seorang pengamen, dengan rambut gondrong dan gigi gingsul, dengan jaket yang penuh ditempeli kancing bergambar, memainkan gitarnya di sebuah tepi jalan di Tangerang. Namanya Herdy Aswarudi. Dia calon legislator dari Partai Bulan Bintang. Menurut harian The Jakarta Post, ia bukan sedang cari duit derma; ia, seorang pangamen, sedang berkampanye.

Di kota lain: satu sosok dengan kedua tangan siap bersarung tinju, dengan mata mengintai ke depan. Ia terpampang pada sebuah poster di tepi jalan di sebuah kota di sekitar Yogya. Sosok itu memang tak meyakinkan sebagai petarung: dada yang terbuka itu tampak empuk seperti bakpao, dan wajah itu tak ganas benar. Ia bukan pelawak. Ia seorang calon legislator, meskipun saya lupa dari partai apa. Ia menyatakan diri akan melawan korupsi.

Ada sosok lain: berdiri tegak di samping sederet semboyan dengan kostum superhero yang terkenal. It is not a bird. It is not a plane. It is not Superman. It is…well, dia calon wakil rakyat, pembuat undang-undang. Sama dengan ambisi yang di tempat lain memperkenalkan diri dengan huruf-huruf besar sebagai “papinya si X” (nama penyanyi terkenal). Atau berpotret di sebelah potret besar Obama. Atau memasang wajah di samping gambar Beckman, pemain bola tersohor itu…

Lalu apa yang harus kita katakan tentang Pemilihan Umum 2009? Mungkin satu hal: inilah sebuah pemilu tanpa tujuan.

Ada ratusan partai politik yang tak pernah jelas apa bedanya dengan partai lain, tak pernah jelas apa program dan ideologinya, bahkan tak pernah jelas (saking ruwetnya) tanda gambarnya. Pembuat logo itu pasti bukan pendesain yang berpengalaman dalam komunikasi massa; ia pasti seorang calon politikus yang terlalu banyak maunya.

Juga mungkin terlalu banyak pesaingnya. Ada ratusan nama aspiran anggota parlemen yang gambarnya dipasang jor-joran di sepanjang jalan – dengan hasil yang sama sekali tak memikat. Ada calon-calon presiden yang tak bakal punya kans tapi nekad, atau yang rapor masa-lalunya mengerikan tapi bicara sebagai bapak bangsa, atau seorang yang tak jelas kenapa gerangan ia maju: karena merasa diri mampu atau karena merasa diri keren?

Di tengah hiruk-pikuk itu, pejabat penyelenggara pemilihan bekerja seperti orang kebingungan. Dan di tengah kebingungan itu, birokrasi mendaftar nama pemilih dengan kebiasannya yang malas dan serampangan.

Jangan-jangan, inilah sebuah pemilu yang diam-diam dianggap tak begitu perlu tapi ajaib. Saya katakan “tak begitu perlu” karena tampaknya orang tak antusias lagi ikut ramai-ramai berkampanye. Dugaan kuat: yang ikut pawai di jalan-jalan itu hanya tenaga bayaran. Dugaan kuat pula: mereka yang tak hendak memilih, “golongan putih” itu, akan lebih banyak ketimbang jumlah suara sang pemenang nanti.

Walhasil, kalau para pesaing sendiri tak begitu jelas kenapa ikut bersaing, bukankah sebenarnya lebih baik mereka memilih kesibukan lain – misalnya mendanai (dan ikut main) satu tim bola kasti, atau lomba andong, atau kompetisi jaipongan?

Tapi “ajaib”. Meskipun tak jelas benar tujuannya, toh bermilyar-milyar rupiah dibelanjakan untuk itu. Para peserta itu tak peduli bila hasilnya cuma sekedar masuk hitungan dalam daftar yang umurnya tak lebih tiga bulan.

Tapi kata “ajaib” mungkin tak sepenuhnya tepat. Kata yang lebih tepat mungkin “lucu”. Pemilihan Umum 2009 tampaknya jadi sebuah parodi atas diri sendiri: orang-orang membuat sebuah tiruan yang menggelikan atas sebuah proses demokrasi yang tengah mereka tempuh tapi diam-diam mereka cemooh. Demokrasi yang pernah diejek Sokrates di zaman Yunani Kuno sedang diejek para pesertanya sendiri.

Tapi mungkin lebih baik kita berhenti masgul dan mencibir. Ada satu sifat dalam pemilu 2009 ini yang agaknya bisa menghibur para pemerhati politik yang prihatin: bagi sang pengamen, sang “petinju”, sang “superman” dan lain-lain yang tak meyakinkan kita, ini sebuah karnaval, Bung!

Keramaian yang “karnivalesk” (istilah ini saya pinjam dari Bakhtin, tentu) mengandung sesuatu yang kurang ajar, meriah, kacau, berlebihan, tapi bisa kreatif, menghibur, sama rata sama rasa, melibatkan semua orang, tak ada garis pemisah antara pemain dan penonton, dan sama sekali tak ingin produktif.

Sebuah bentuk baru kehidupan sosial terbangun dalam karnaval: mereka yang datang dan ikut serta (kecuali para pengikut pawai bayaran) tak menganggap benda dan manusia sebagai komoditi. Ruang dan waktu tak dihitung untuk dipertukarkan, melainkan dikomunikasikan. Dalam saatnya yang paling menggugah, sebuah karnaval adalah saling merangkul pada pertemuan yang saling menghibur. Ia melawan monolog kebersungguh-sungguhan – termasuk kebersungguhan para analis politik.

Humor sangat penting di sana. Dengan humor, sebuah parodi bisa terhindar dari sikap benci. Saya kira sebenarnya itulah yang tercapai oleh poster-poster yang ganjil itu: sebuah ekspresi menertawakan diri sendiri. Lihat, kami gila-gilaan, berjudi dengan nasib, menarik perhatian bapak dan ibu, dengan merendahkan diri sendiri.

Maka marilah kita jangan terlalu masgul: tak ada jeleknya orang buang uang (yang akan diserap anggota masyarakat lain) untuk secara sengaja atau tak sengaja jadi lucu.

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 155-161)