• Tidak ada hasil yang ditemukan

Irfan Mei 1, 2000

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 126-133)

Posted by anick in All Posts, Buku, Identitas, Islam, Kisah, Sastra.

trackback

ANAK muda itu, yang diberi nama Irfan—tokoh dalam novel Mehmet Efe, Mizraksis Ilmihal— bercerita tentang sebuah gairah yang menghidupkan pelbagai hal besar dan mematikan beberapa hal kecil. Ia adalah mahasiswa Fakultas Sejarah Universitas Istanbul.

Tapi ia datang dari sebuah kota agak di udik. Ia datang dari keluarga lapisan bawah kelas menengah. Ia orang pertama dalam keluarganya yang masuk ke universitas, anjungan pertama untuk naik jenjang sosial di Turki. Dan di Kota Istanbul yang hiruk, beragam, membingungkan, mempesona, dan sekaligus melelahkan itu, ia menemukan sebuah komunitas: sebuah jemaah, juga sebuah cita-cita yang agung.

Inilah definisi dirinya yang ia nyatakan sendiri: “Seorang muslim, soleh, Islamis, pejuang revolusi yang radikal, fundamentalis, pro-Iran, sufi, dsb.… seseorang yang ada di antara semua itu.” Ia ikut dalam pertemuan-pertemuan agama, dalam demonstrasi anti-Israel dan anti-Amerika, mendengarkan diskusi panel, mendatangi toko buku Islam, dan di koridor universitasnya menyatakan, “Kamilah pelaku, pahlawan dari citra yang tumbuh dalam mimpi kami, yang dibangkitkan oleh revolusi Iran.”

Anak muda itu, yang diberi nama Irfan (yang saya ketahui dari tulisan Nilüfer Göle dalam jurnal Dædalus nomor musim dingin tahun 2000), agaknya bukan orang yang sangat asing bagi kita. Mungkin ia—seperti layaknya tokoh novel gagal yang cuma menarik untuk jadi sebuah tesis—adalah sebuah contoh soal. Nilüfer Göle, guru besar sosiologi di Universitas Bogazici di Istanbul, memang tidak sedang membahas sebuah karya sastra. Dan tampaknya Mizraksis Ilmihal juga lebih sesuai untuk jadi sarana bagi sebuah risalah: bagaimana politik “Islamis” hidup di tepian modernitas.

Dalam novel Mehmet Efe ini, Irfan semula hanya memautkan diri dengan hal-hal besar: pembebasan, perubahan masyarakat secara revolusioner, keselamatan dunia dan akhirat, cita-cita tentang dunia yang ideal. Baginya, gairah untuk itu begitu penting, hingga kenikmatan-kenikmatan diri terasa mengganggu. Dirinya sendiri dalam ruang privat harus ditiadakan. Hubungan yang dekat jadi soal yang kecil. Mungkin mengacau. Tapi novel menjadi novel karena sesuatu berubah. Irfan ketemu seorang gadis.

Sudah bisa diduga: Irfan akan tertarik dan ia akan terganggu. Bukankah baginya “seorang muslim tidak jatuh cinta kepada seorang perempuan, melainkan kepada Allah”?

Tapi ada yang penting dalam Mizraksis Ilmihal: mahasiswa yang baru datang itu, juga seorang muslimah, bukan saja menggugat Irfan karena soal lelaki dan perempuan, tapi juga menjadi soal antara cita-cita besar dan diri yang “kecil”. Ia datang ke kampus buat mendaftar. Hari itu para aktivis “Islamis” sedang memprotes larangan atas jilbab. Irfan mengajaknya untuk ikut dalam aksi boikot. Tapi gadis itu menolak. “Pernahkah kalian sebelumnya tanya pendapatku? Kalian laki-laki yang berpidato, dan kami cuma dekor, he?”

Kemudian kita tahu lebih banyak tentang gadis itu, dari catatan hariannya. Ia melihat para aktivis itu berlalu-lalang di koridor seakan-akan revolusi akan terjadi besok. Ada yang menyesalkan bahwa “laki-laki muslim terlalu pasif.” Tiap orang dengan segera siap melakukan “penjantanan” atau maskulinisasi (erkekselesiyor). Mereka pun memberinya buku-buku—yang menyerukan agar ia jadi idealis, pejuang, gerilyawan, untuk mengubah segala hal dari dasar. Dan tiba-tiba ia seperti dituding: “Saya kecil. Saya lemah. Saya cewek. Saya cewek…. CEWEK.”

Tiba-tiba pula ia menemukan kembali identitasnya. Cewek, lemah, kenapa tidak? Dari sini, ia pun menampik peran kolektif yang disiapkan di pundaknya. Secara ironis, ketika ia kembali menemukan “kelemahannya”, ia menemukan dirinya, dan juga sebuah daya. Dari sini ia mampu mengecam ambisi “Islamis” untuk mengubah dunia secara radikal.

Irfan juga berubah. Cinta dan soal-soal kecil bukan lagi mengacaunya. Justru sebaliknya: membebaskan. “Aku akan hidup bukan dengan permusuhanku, tapi dengan persahabatanku…. Aku akan puas dengan hal-hal kecil. Aku tak sanggup menanggungkan hal-hal universal lagi.”

Dengan itu, dunia tak hendak diubahnya lagi dengan akar yang dicabut. Persoalan yang belum dikemukakan Irfan adalah bagaimana dengan teman-temannya dulu, yang militan itu. Ketika Islam hidup di sebuah ruang yang plural, orang-orang “sekuler” memang sering mencemooh, seperti ketika mereka mencibir jilbab. Tapi haruskah Islam menampik dunia yang “sekuler” itu, yang plural itu, dengan mempertahankan batas yang gagah dan total? Bukankah hidup tak bisa mengelakkan hal-hal kecil, yang wajar tapi juga sering tak diduga— dan sebab itu batas yang total hanya garis imajiner yang datang karena ketakutan?

Di akhir novel, Irfan punya imajinasi lain: ia membelikan saputangan sutra buat si pacar, ia menikahinya, memasak bersama dengannya, membaca bersama…. Yang dibangunnya akhirnya sebuah hidup yang bersahaja tapi berarti, bukan sebuah kanal besar untuk ke kesempurnaan, seperti Kanal Laut Putih yang dibangun Stalin, sebuah saluran untuk membuktikan bahwa alam bisa dikalahkan oleh ide—dan untuk itu ratusan ribu orang bisa dikorbankan.

~Majalah Tempo, Edisi. 09/XXIX/01 – 7 Mei 2000~

Isa Agustus 28, 2006

Posted by anick in Agama, All Posts, Islam, Kekerasan, Pancasila, Politik, Sejarah, Tokoh.

trackback

ADA yang menyebutnya ”Napoleon”. Ia memang pendek, bulat, berkibar-kibar dalam tiap konfrontasi, tangkas, dan agresif. Kini tak banyak orang yang masih mengingat sosok dan namanya, tapi pada tahun 1950-an, Kiai Haji Isa Anshary, tokoh Partai Masyumi dari Jawa Barat itu, merupakan tonggak tersendiri di Indonesia: orang mengaguminya atau memandangnya dengan cemas. Terutama waku itu, ketika gagasan untuk mendirikan ”negara Islam” dipergulatkan dalam perdebatan politik dan persaingan yang terbuka. Pada tahun 1955, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum pertama secara nasional. Para sejarawan mencatatnya sebagai ikhtiar besar pertama kita yang berhasil dalam kehidupan demokrasi, sebab tak tercatat kecurangan dan praktis tak terjadi kekerasan selama kompetisi politik itu berlangsung.

api tak berarti api tak mulai merayap dalam sekam kehidupan masyarakat. Retorika bisa begitu berkobar dan percikannya bukannya lekas padam di ruang hampa. Dalam hal ini, ucapan-ucapan Isa Anshary punya efek bakar yang agaknya jauh—yang mungkin kelak ikut membuat suasana eksplosif di Indonesia setelah 1959.

Dari pemilihan 1955, ia dipilih jadi anggota Konstituante, dewan perwakilan yang bertugas merumuskan konstitusi. Ketika pada November 1956 sampai Juni 1959 perdebatan berlangsung—untuk menentukan manakah yang akan jadi dasar negara, Pancasila atau Islam—pelbagai argumen dikemukakan oleh masing-masing pendukungnya.

Banyak yang cemerlang, banyak yang membosankan, tapi sedikit yang segalak pidato Isa Anshary dalam majelis yang bersidang di Bandung itu:

”Kalau saudara-saudara mengaku Islam, sembahyang secara Islam, puasa secara Islam, kawin secara Islam, mau mati secara Islam, saudara-saudara terimalah Islam sebagai Dasar Negara. [Tapi] kalau saudara-saudara menganggap bahwa Pancasila itu lebih baik dari Islam, lebih sempurna dari Islam, lebih universal dari Islam, kalau saudara-saudara berpendapat ajaran dan hukum Islam itu tidak dan tidak patut untuk dijadikan Dasar Negara… orang demikian itu murtadlah dia dari Agama, kembalilah menjadi kafir, haram je-nazahnya dikuburkan secara Islam, tidak halal baginya istri yang sudah dikawininya secara Islam….

Pidato itu, dicatat dalam salah satu dari 17 jilid Risalah Perundingan Tahun 1957, yang diterbitkan Sekretariat Konstituante—dan dikutip dalam buku Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia—sebenarnya tak menunjukkan perkembangan baru dalam sikap Isa Anshary. Sudah pada tahun 1951, dalam majalah Hikmah, ia menyatakan, ”Hanya orang yang sudah bejat moral, iman dan Islamnya, yang tidak menyetujui berdirinya Negara Islam Indonesia.”

Tentu harus dicatat bahwa Isa Anshary, ”Napoleon” itu, tak memilih jalan perjuangan bersenjata untuk itu; ia dan partainya, Masyumi, membedakan diri dari cara Darul Islam yang pada masa itu bergerilya hendak merobohkan Republik dari hutan-hutan Jawa Barat. Namun mungkinkah sikap yang demikian mutlak—yang mengutuk siapa saja yang tak sependirian dengan kata ”murtad”, ”kafir”, atau setidaknya ”bejat moral”—pada akhirnya bisa menghindar dari kehendak menampik dan menyingkirkan secara mutlak pula?

Jarak antara kekerasan dan sikap yang tak mengizinkan perbedaan hanya terbentang beberapa senti—seperti terbukti dalam sejarah ketika dalil yang absolut dipergunakan dalam bertikai. Kita tahu, riwayat agama-agama tak bersih dari darah dan kebengisan. Tentu saja tak hanya agama: yang brutal terjadi tiap kali doktrin tergoda jadi totaliter, ketika ajaran dijejalkan ke segala pojok hidup dan lubuk jiwa, ketika para ahli agama—sebagaimana kaum ideolog— merasa diri jadi penyambung lidah Yang Maha Sempurna.

Yang sering diabaikan ialah bahwa tiap godaan totaliter, yang bermula dari bayangan tentang kesempurnaan, selalu berakhir sia-sia. Bayangan tentang ”yang sempurna” ini—yang oleh para psikoanalis akan disebut sebagai fantasi—pada hakikatnya lahir dan tumbuh dari rasa risau tentang dunia yang apa boleh buat cacat. Ketika yang cacat tak kunjung dapat dihilangkan, doktrin pun membentuk diri dengan menciptakan apa saja yang harus dikutuk dan akhirnya dibinasakan: si ”bejat moral”, si ”fasik”, si ”murtad”, si ”kontrarevolusioner”, si ”revisionis”, ”si komunis”, ”si teroris”….

Tapi kita tahu, daftar itu tak akan habis. Masyarakat yang total tak akan pernah tercapai. ”Negara Islam” telah dicoba dalam sejarah, tapi jawaban selalu hanya sebuah iktikad baik yang mencoba-coba.

Sebenarnya Isa Anshary tahu, dunia tak akan bisa dibereskan sekali pukul dan buat selama-lamanya. Ia menganggap ”haram” pandangan Bung Karno yang melihat gotong-royong sebagai hakikat Pancasila. Sebab di sini, menurut dia, ”Tuhan yang Maha Esa” dilebur dalam kata ”gotong-royong”.

Dengan kata lain, Tuhan yang Maha Sempurna tak sepatutnya dipertautkan dengan ikhtiar bersama manusia yang masing-masing terbatas dan daif dan cacat. Tapi jika demikian, bagaimana mungkin Tuhan diturunkan dari takhta kegaiban dan kesucian untuk mengurus kehidupan politik yang mau tak mau harus dikerjakan oleh tangan-tangan yang terbatas, terkadang cela?

~Majalah Tempo Edisi. 27/XXXV/28 Agustus – 03 September 2006~

Isis Juni 11, 2007

Posted by anick in All Posts, Indonesia, Kisah.

trackback

Hutan tipis yang cuma sisa, burung penghabisan yang bersarang di tebing kering, dan manusia terakhir yang terdesak di sebuah bumi yang kian panasimajinasi ini memang muram, menakutkan. Tapi imajinasi ini juga bisa memudarkan ilusi: hidup ternyata bukan seperti yang dibayangkan George W. Bush. Dengan mesin perang yang besar dan tiap kali menghancurkan, dengan emisi karbon dioksida yang menghambur dari jutaan knalpot tak henti-hentinya, dunia tak selamanya secerah, seramah, dan setenang gambar-gambar Norman Rockwell atau iklan rokok Marlboro.

Tapi sebenarnya bukan hanya hari ini dipersoalkan apa yang terjadi.

Semenjak para ksatria dalam cerita wayang mbabat alas wanamerta membuka hutan dan memperluas wilayah kekuasaan merekadan dengan ekspansi itu mempersempit daerah yang dihuni para pertapa untuk bersemadi, telah muncul sebuah tema perseteruan dua sisi, atau dua impuls, dalam sejarah.

Di satu sisi dorongan untuk merapatkan diri dengan gunung dan rimba, seperti ketika Arjuna bertapa dalam lakon Begawan Mintaraga. Di sisi lain dorongan menang dan menaklukkan, seperti ketika Arjuna mencari senjata terdahsyat untuk perang memperebutkan kerajaan. Di satu sisi muncul kemampuan berempati kepada makhluk yang lain di tengah alam, seperti ketika Rama bersahabat dengan Kera Sugriwa. Di sisi lain menonjol keampuhan destruktif tanpa perasaan benci, seperti ketika Rama membunuh Kera Subali yang tak bersalah apa pun kepadanya.

Di khazanah lain, dalam perumpamaan yang datang dari sejarah pemikiran Yunani, kedua dorongan itu jadi keyakinan sejak orang membaca kalimat Heraklaitos di abad ke-5 sebelum Masehi: phusis kruptesthai philei.

Dalam The Veil of Isis versi Inggris dari buku Pierre Hadot yang memaparkan sejarah perkembangan pengertian ”alam” dalam sejarah pemikiran Barat, diuraikan bahwa kalimat termasyhur itu sebenarnya punya beberapa arti. Heraklaitos konon bermaksud berkata, ”Alam suka menyembunyikan diri.” Tapi ia juga bisa bermaksud mengatakan, ”Apa yang dilahirkan, ia akan menghilang.” Dalam tafsir Hadot, ketidakpastian makna itu khas pemikiran Heraklaitos, yang keseluruhannya menunjukkan ”ketakjuban di depan misteriusnya metamorfosis” dalam alam, juga ketakjuban dalam menemukan hidup dan kematian. Alam yang tak sepenuhnya dapat ditebak dan dipahami menyebabkan kita terkesima dan merunduk takzim. Alam yang bisa berubah-ubah, bahkan punah, dan menunjukkan betapa fananya dia,

menyebabkan kita merasa bisa menguasainya atau, kalau tidak, merasa perlu membekukannya agar abadi.

Ada dalam diri manusia sesuatu yang bisa dilambangkan dalam sosok akan Prometheus. Tokoh mitologi setengah dewa ini sering dikisahkan sebagai makhluk yang mencuri api yang disembunyikan Mahadewa Zeus agar tak terjangkau oleh pengetahuan insani. Prometheus membangkang dan memberikan rahasia itu kepada manusia. Dalam interpretasi Hadot, tokoh inilah model semangat untuk meraih dan mengetahui apa yang paling dalam dan jauh, sekaligus lambang kekuatan yang menyelidiki, menginterogasi, dan bahkan menyiksa. Di sini kita temukan kutipan dari sepucuk surat Francis Bacon: ”Saya sebenar-benarnya mendatangkan Alam dan anak-anaknya kepadamu, agar ia diikat untuk melayanimu dan membuatnya jadi budakmu.”

Dari kebrutalan itulah ilmu dan teknologi lahir dan tumbuh. Air gerimis dihentikan alirnya dan diurai jadi H2SO4. Sugriwa abad ke-20 dimasukkan ke dalam kandang laboratorium untuk jadi bahan eksperimen kimia, dengan nasib yang tak berbeda dari Subali yang dibantai di hutan-hutan.

Namun ada juga sifat manusia yang seperti Orfeus, yang dengan nyanyi dan puisi merayakan pohon hijau, bulan yang jernih, dan sungai deras di kaki bukit. Di sinilah kaum Romantik dan para penyair seperti Goethe berdiri. Hadot pun mengutip sastrawan Jerman itu: ”Misterius bahkan di terang siang, Alam tak membiarkan cadarnya ditanggalkan, dan apa yang tak diinginkannya untuk terbentang di pikiranmu, tak dapat kau paksa….”

Di kalangan para penyair ini alam dilambangkan sebagai Isis, dewi yang bertetek banyak, yang bercadar. Sungguh menarik untuk mengetahui, dari penuturan The Veil of Isis, bahwa Goethe meskipun ia menggemari eksperimen ilmu membenci Newton yang menyiksa cahaya dengan membelah-belahnya jadi satuan-satuan warna. Cadar Isis telah dicoba direnggutkan, sang Dewi hendak ditelanjangi.

Tentu saja tema pertentangan antara tauladan Prometheus dan Orfeus ini bukan sesuatu yang baru dan dalam hal ini The Veil of Isis tak menyajikan wawasan yang segar. Bahkan agak terbatas. Risalah sejarah pemikiran ini kurang mengemukakan pilihan-pilihan sulit yang dihadapi manusia di benua di mana kelangkaan sesuatu yang lebih mendasar ketimbang kemiskinan bukan saja membentuk ekonomi, tapi juga perilaku dan kebudayaan.

Kelangkaan pangan dan tempat hidup mendorong manusia membuat sawah dan rumah. Tapi seakan-akan hendak menebus apa yang direnggutkan oleh cangkul, bajak, gergaji, dan parang, manusia mencoba mengembalikan bayang-bayang keindahan pada teras sawah Bali, jejak keabadian pada padi yang disebut sebagai Dewi Sri, gema suara alam pada bunyi merdu yang ditiup dari bangsi. Rumah pun dibangun, tapi akhirnya tak hanya atap, dinding, dan pintu. Ada arsitektur, cat merah daun jendela, dan kembang leli di dalam bokor. Yang terluka hendak dipupus.

Tapi memang ada suatu dinamika lain yang datang, yang membuat kelangkaan seakan-akan sisi yang tragis dari keserakahan. Itu agaknya yang menyebabkan Indonesia sebuah republik yang bukan bagian dunia yang kaya jadi negeri No. 3 di dunia dalam menyumbang besarnya emisi kotor yang mengganggu udara. Mereka yang pernah punya pengalaman traumatik dalam kelangkaan, telah dengan cemas meraih, meraih, meraih…. Dan hutan-hutan terbakar, dan kota-kota cemar.

~Majalah Tempo, Edisi. 16/XXXIIIIII/11 – 17 Juni 2007~

Jakarta Februari 10, 2002

Posted by anick in All Posts, Bencana.

trackback

JIKA kota ini runtuh, pelan-pelan, dan air bah yang mengepungnya selama berhari-hari ini datang sebagai perusak terakhir yang dingin dan diam, kota ini akan jadi sebuah cerita tentang negeri yang dihabisi oleh kekuatan jahat yang tak tampak tapi ganas.

Jika hujan tak punya lagi bukit dan hutan, jika curah air tak punya tempat yang menyerap dan menyimpannya, pasti ada kekuatan keji yang bekerja. Bidang bumi yang vital itu telah direbut oleh para pembangun perumahan, dan segala aturan yang dibuat untuk mencegah perebutan itu dilanggar dengan jelas setiap hari, dengan terang, seperti ayam putih terbang siang. Maka jika kota ini runtuh, ia adalah sebuah kisah tentang para pejabat penjaga peraturan yang telah tidur selama bertahun-tahun, gubernur-gubernur yang tak bergerak karena kekenyangan suap, pejabat yang bodoh atau abai, tak melakukan apa-apa.

Jika kota ini runtuh, saya tak tahu bagaimana orang akan bertindak setelah ini. Mungkin mereka akan kembali mengais-ngais nafkah dari apa saja yang tersisa dari kerusakan ini, dan bekerja, makan, beribadah, nonton TV, mendengarkan radio, bersetubuh, jalan kaki, tanpa menyalahkan siapa pun. Lalu lupa. Mungkin akan ada orang yang marah, tahu bahwa banjir ini adalah anak haram birokrasi yang busuk dan bisnis yang tamak, tapi mereka marah bersendiri. Mereka akan memaki-maki di gagang telepon atau di pinggir gang yang becek dengan sejumlah kenalan dan, setelah itu, merasa tak berdaya dan terdiam.

Jika kota ini runtuh, mungkin karena orang-orang tak mengharap bahwa polisi, jaksa, dan hakim akan menghukum sejumlah penjahat yang mendapat uang berlebihan seraya menghancurkan Jakarta. Tak ada yang melihat ada jalan yang bisa ditempuh yang menyelamatkan. Semua tahu bahwa untuk menghentikan persekutuan jahat itu akhirnya harus ada sebuah alat: kekuasaan. Tapi sudah bertahun-tahun kita hidup dengan asumsi bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang jauh dan ajaib, bukan sesuatu yang bisa diproduksi oleh proses politik.

Maka di bawah mistifikasi kekuasaan, orang pun mencari jalan lain dengan mistifikasi ketidakkuasaan. Terkadang dalam bentuk doa, terkadang dalam petuah budi pekerti. Seakan-akan banjir di hari ini adalah sesuatu yang tak bisa diterangkan—yakni ia bukan sebuah problem, melainkan sebuah misteri. Seakan-akan penyelewengan dan korupsi tak bisa ditelaah sebab dan strukturnya, tapi diduga bersembunyi, sebagai akhlak yang bernoda, di lubuk hati. Seakan-akan untuk lepas dari rawa-rawa sekarang kita hanya bisa dibisiki dan diangkat oleh Yang Gaib.

Jika kota ini runtuh, pelan-pelan, kehancuran itu mungkin ditandai dengan hadirnya kembali rasa tak berdaya di depan Yang Gaib: kita ketakutan mendengar petir dan memandang mendung, seolah-olah itu adalah isyarat buruk dari kahyangan. Sebab setiap kali hujan turun baru, kita tahu apa yang akan terjadi: jalan jadi sungai kembali, mungkin lebih luas dan deras. Rumah, toko, bengkel, tempat kerja, akan musnah. Listrik mungkin akan mati. Telepon akan rusak. Bandara akan tak terjangkau. Bus dan truk antarkota tak akan datang. Tak akan ada

konsumen, tak ada buruh, tak ada pedagang. Yang ada para pengungsi dan, di sana-sini, pencoleng kecil di jalan di mana ribuan mobil merayap, dikepung air.

Air, ketakutan, kelumpuhan…. Bayangkan: sebuah ibu kota republik, sebuah kota metropolitan, sebuah ruang hidup dengan gedung-gedung pemerintah yang megah, dengan bank-bank yang rajin, dengan Pasar Modal dan World Trade Center, dengan perguruan tinggi yang bangga, dengan rumah sakit yang beperkakas piawai, dengan ratusan ribu lulusan universitas, dengan para teknokrat yang pintar, dengan komputer yang tak kenal lelah— dengan kata lain: sebuah kota pada abad ke-21—ternyata sebuah kota yang rentan dan ketakutan di bawah hujan. Dusun-dusun yang primitif memang layak gentar kepada alam yang masih agung dan misterius. Tapi Jakarta: ia lumpuh bukan di hadapan gempa tektonik yang besar, bukan puting beliung yang bengis, bukan tsunami.

Dengan kata lain, ini adalah sebuah kota yang telah dibuat tak berdaya. Jakarta adalah sebuah kota di mana korupsi bukan sekadar mencolong. Di kota ini, korupsi bukanlah sekadar perbuatan jahat para gubernur atau para birokrat yang “membangun” wilayah dengan menyulap biaya sampai melambung. Bukan sekadar pembuatan proyek fiktif atau tanpa guna untuk mendapatkan anggaran. Bukan sekadar perilaku rutin para petugas izin bangunan yang minta sogok dan dengan itu membiarkan lingkungan hancur. Bukan sekadar polisi dan jaksa dan hakim yang buncit oleh bayaran mereka yang seharusnya dihukum karena penghancuran

Dalam dokumen catatan pinggir (Halaman 126-133)