• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEGRADASI LAHAN DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH

Dalam dokumen PROSIDING MKTI 2013 lengkap final (Halaman 136-138)

Kondisi sumber daya alam dan lingkungan di Indonesia saat ini termasuk wilayah Sumatra Selatan dalam keadaan yang memprihatinkan. Erosi tanah mengakibatkan pencemaran dan pendangkalan sungai, waduk serta perairan terjadi di seluruh wilayah Indonesia sehingga tidak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Bila melihat laju degradasi hutan di Indonesia sepuluh tahun terakhir, sangat memprihatinkan mencapai hingga 1,6 hutan Ha/tahun. Seperti yang kita ketahui, salah satu fungsi hutan adalah menjaga keseimbangan hidro-orologis. Hutan berperan menaikkan laju resapan air ke dalam tanah sehingga mengurangi konsentrasi aliran air dan risiko banjir dapat diminimalisasi, walaupun terjadi banjir tidak terjadi banjir bandang. Kenaikan laju infiltrasi menyebabkan peningkatan cadangan air tanah di sekitar hutan, yang nantinya dikeluarkan pada musim kemarau sebagai mata air. Jadi secara umum, hutan berfungsi untuk stabilisasi dan optimalisasi aliran air, bukan menambah air (Soemarwoto, 1992).

Menurut kajian BPDAS Musi (2011), sebaran luasan potensi lahan kritis di wilayah Sumsel adalah sebagai berikut: 1) lahan agak kritis (± 3.154.962,400 Ha atau 39,74%); 2) lahan kritis (± 910.295,730 Ha atau 11,56%); 3) lahan potensial kritis (± 1.738.408,870 Ha atau 21,02%), lahan sangat kritis (± 240.172,648 Ha atau 2,47%); dan lahan tidak kritis (± 2.061.116,969 Ha atau 25,21%), kondisi tersebut tentunya disebabkan oleh karena sudah meluasnya tingkat kerusakan lahan (degradasi) yang terjadi di wilayah Sumatera Selatan. Tanda-tanda terjadinya degradasi lahan sangat kentara. Tanda-tanda adanya degradasi, adalah dengan makin menyusutnya sumber air di permukaan tanah dan sumber air di bawah tanah, baik secara kuantitas mau pun kualitas.

Perubahan fungsi lahan dari kawasan resapan air menjadi kawasan pertambangan, industri, perkebunan, dan permukiman, juga memberi dampak yang sangat luas, yang akhirnya menimbulkan bencana bagi masyarakat setempat. Dengan kondisi seperti itu, tidak ada jalan lain selain mengerahkan segala daya untuk segera bertindak nyata mencegah dan memulihkan kerusakan lingkungan hidup di bumi ini. Bahkan pasca krisis moneter didaerah-daerah pinggiran hutan terdorong untuk melakukan perluasan lahan-lahan perkebunan. Sehingga seringkali terjadi perambahan hutan oleh masyarakat sekitarnya.

Hal di atas diiringi semakin tidak terkendalinya pemerintah, baik pusat, provinsi maupun kabupaten-kota, dalam mengelola tata lingkungannya. Bila menilik masalah lingkungan yang terjadi di Sumatera Selatan merupakan akibat dari perencanaan dan pengelolaan tata ruang dan lahan yang tidak tepat, kondisinya memberikan gambaran yang negatif dan terus mengalami degradasi di berbagai sektor. Hal tersebut karena tidak adanya lagi otoritas Gubernur untuk ikut mengendalikan tata ruang secara tegas, masing-masing walikota atau bupati punya otoritas baru. Sehingga

pemerintah daerah lebih leluasa memberikan perizinan kepada para pengembang, penambang, industri, dll tanpa pernah mengindahkan dampak ekologi yang akan timbul dari pemberian ijin. Semua terjadi dengan dan atas nama Pendapatan Asli Daerah (PAD), dan atas nama pertumbuhan ekonomi di daerah, banyak sekali ruang terbuka hijau yang sebenarnya ruang publik dan hak masyarakat, dirampas dan direduksi menjadi fungsi-fungsi ekonomi. Bahkan kebijakan ini semakin diperkuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.2 tahun 2008, tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan. Sehingga kemungkinan hutan semakin dieksploitasi semakin terbuka lebar. Ada apa ini? Apakah hasil dari eksploitasi hutan yang akan diterima sebanding dengan resiko bencana ekologi yang akan terjadi ?

Padahal sudah jelas, dampak dari kerusakan hutan dan lahan menyebabkan terjadinya banjir dimusim hujan. Berbagai kerugian dialami seperti rusaknya areal pertanian dan sarana prasarana berupa jalan, jembatan serta perumahan penduduk yang nilainya miliaran rupiah. Bencana banjir dan

Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) .... tanah longsor juga menimbulkan korban jiwa dan dampak lain yaitu menyebarnya berbagai penyakit. Dimusim kemarau, rakyat mengalami kekeringan yang mengakibatkan penderitaan masyarakat. Kekurangan sumber air dimana-mana, sehingga pertanian tidak berjalan dengan semestinya. Kawasan dengan fungsi lindung, dibangun dan diolah tanpa mengikuti kaidah sistem pengolahan lahan yang tepat. Kalau keadaan ini berlanjut terus setiap tahun, dapat dibayangkan betapa akan merosotnya kondisi lingkungan kita saat ini. Kerugian yang besar akan dialami oleh pemerintah daerah, bangsa dan negara.

Tingkat dan akselerasi kerusakan lingkungan saat ini telah lebih jauh berubah menjadi masalah sosial yang pelik. Aktifitas pembangunan saat ini telah menimbulkan masalah-masalah sosial seperti mengabaikan hak-hak rakyat atas kekayaan alam, marjinalisasi, dan pemiskinan. Permasalahan lingkungan hidup juga bukan masalah yang berdiri sendiri dan harus dipandang sebagai masalah sosial kolektif (http://satudunia.oneworld.net, 05 Februari 2008).

Kerusakan Hutan yang Memprihatinkan

Prihatin dan miris membaca berita di www.hutanindonesia.com tentang telah gundulnya lebih dari 1 juta hektar hutan di Jambi. Betapa tidak terbayangkan apa yang bakal terjadi akibat penggundulan hutan itu. Kekeringan, tandus dan gersang sudah terbentang sampai 1 juta hektar. Belum lagi efek jangka panjang dengan terkikisnya lapisan subur tanah atau erosi oleh air hujan, bahkan banjir dan longsor bisa terjadi kapan saja. Gundulnya hutan juga berakibat berkurangnya persediaan air tanah yang mulai menyusut karena hilangnya akar-akar pohon sebagai penyimpan dan penahan air bawah tanah. Belum lagi musnahnya flora dan fauna yang habitatnya berada di hutan, pasti juga akan mengalami kemusnahan.

Hutan gundul akibat ulah tangan manusia yang menebangi kayu untuk dijual sebagai bahan baku kertas dan bahan bangunan serta furniture. Penebangan hutan untuk lahan pertanian yang dilakukan masyarakat atau untuk pembangunan pabrik, kantor, atau perumahan rakyat yang kadang tak sadar telah mengurangi hutan di negeri ini.

Bahkan kerusakan tak sengaja seperti kebakaran hutan yang tiap tahun di musim kemarau selalu terjadi kebakaran hutan yang tak bisa terelakan menambah luasnya kerusakan hutan yang entah kapan bisa direboisasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat yang tinggal di sekitar hutan itu.

Hutan Gundul Butuh Waktu Lama Menumbuhkannya

Rasa prihatin dan bersedih atau hanya sekedar bersimpati atas gundulnya hutan-hutan di wilayah sekitar kita akibat pembukaan lahan untuk berbagai kepentingan dalam berbagai sektor: pertanian, pabrik,perumahan atau bahkan pembalakan liar tidak akan serta merta mengembalikan hijaunya dan rimbunnya hutan-hutan yang telah gundul itu.

Perlu usaha keras dan sungguh-sungguh dari semua pihak untuk melakukan reboisasi yaitu penanaman atau penghijauan hutan kembali. Hutan yang lebat dengan pohon-pohon besar yang telah tumbuh dan hidup berpuluh tahun bahkan beratus-ratus tahun yang lalu, ini sedikit demi sedikit telah gundul. Seperti pada berita diatas telah musnah 1 juta hektar, bukan jumlah yang main-main, belum lagi hutan-hutan di seluruh wilayah NKRI yang juga telah mengalami nasib yang sama maka akan bertambah luas lagi hutan yang telah mengalami kegundulan.

Hutan gundul tidak mudah menumbuhkan kembali. Tanah yang telah mengalami kegundulan dan gersang bahkan telah hilang unsur hara dalam tanah, sehingga sulit untuk ditanami kembali. Hutan alami tidak memerlukan perawatan sehingga tidak memerlukan biaya. Sedangkan untuk menanami hutan yang telah gundul diperlukan biaya yang tak sedikit dan memerlukan perawatan dan kesabaran. Kadang pohon yang telah ditanam mati karena tidak dirawat setelah dilakukan penanaman kembali. Bahkan diperlukan waktu yang lama untuk menumbuhkan hanya sebatang pohon saja.

Hal-hal itulah kadang membuat proyek reboisasi sering gagal total dan bahkan sia-sia, telah menghabiskan dana yang banyak tapi tak ada hasilnya. Kadang proyek reboisasi juga hanya akal- akalan saja untuk mendapatkan kucuran dana. Alhasil proyek hanya dijalankan setengah hati dan kegagalan sudahlah pasti karena niatnya hanya ingin memperoleh keuntungan semata. Seharusnya hal

Satria Jaya Priatna/ Problematika Kerusakan Lahan (Penyebab, Masalah, Kendala Dan Dampak) ....

itu tidak perlu terjadi jika Pemerintah dan masyarakat sama-sama sadar akan pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup umat manusia.

Melestarikan Lebih Baik daripada Reboisasi

Seharusnya niat yang tulus dari pemerintah dan masyarakat harus ditanamkan demi kelestarian hutan kita saat ini. Pemerintah dan masyarakat harus betul-betul menyadari bahwa melakukan pencegahan kerusakan hutan atau melakukan pelestarian lebih mudah dibanding dengan melakukan reboisasi.

Reboisasi memang harus tetap dilakukan bagi hutan-hutan yang telah gundul. Tapi pencegahan terhadap kerusakan hutan yang lebih luas lagi harus segera dihentikan. Melakukan pelestarian lebih baik dan hanya diperlukan ketegasan dari pemerintah terhadap pelaku perusakan hutan dan menanamkan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya hutan bagi keseimbangan alam dalam menjaga kelangsungan kehidupan makhluk yang ada di muka bumi ini.

Dalam dokumen PROSIDING MKTI 2013 lengkap final (Halaman 136-138)