• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSERVASI DAN PENGELOLAAN LAHAN KERING UNTUK MENINGKATKAN PRODUKTIVITASNYA 1)

Dalam dokumen PROSIDING MKTI 2013 lengkap final (Halaman 150-153)

NP. Sri Ratmini2)

Abstrak: Pengembangan lahan kering sebagai lahan pertanian merupakan salah satu sumberdaya lahan yang mempunyai potensi besar baik tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, maupun peternakan. Pengembangan pertanian di lahan kering perlu berbagai inovasi teknologi untuk meningkatkan produksi pertanian maupun untuk menjaga produktivitas lahan. Luas lahan kering yang digunakan sebagai lahan pertanian di Indonesi 55.619.030 ha yang tersebar di seluruh pulau di Indonesi. Permasalahan dalam pengelolaan lahan kering secara umum sangat bervariasi antara wilayah satu dengan wilayah lainnya, yaitu meliputi permasalahan teknis maupun sosial-ekonomis. Permasalahan tersebut antara lain: (a) miskin kadar hara dan bahan organik, (b) tingkat pH rendah, (c) lahan berlereng, sehingga rentan proses erosi, (d) kekurangan air, dan (e) lahan garapan sempit. Upaya peningkatan produktivitas lahan kering dapat dilakukan melalui berbagai cara, antara lain melalui: (1) pengendalian erosi dapat dilakukan dengan cara mekanik, vegetatif dan pengaturan pola tanam, (2) perbaikan sifat fisik, kimia dan biologi tanah dilakukan dengan cara penggunaan mulsa, penggunaan bahan organik, pengolahan tanah konservasi pengapuran, pemupukan dan pengelolaan bahan organik.

Kata Kunci: konservasi, lahan kering, pengelolaan dan produktivitas

1) Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional VII MKTI, di Palembang, 6-7 Nopember 2013

2) Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan

PENDAHULUAN

ebutuhan pangan Nasional terus meningkat dengan laju peingkatan 1-2% pertahun seiring degan bertambahnya jumlah penduduk, dengan demikian dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional harus diikuti dengan laju peningkatan produksi bahan pangan terutama beras sehingga mampu mengimbangi laju peningkatan kebutuhan pangan penduduk Indonesia yang terus meningkat.

Indonesia pernah mencapai swasembada beras pada tahun 1984 melalui penerapan program yang dikenal dengan program Revolusi Hijau, ditandai dengan pemakaian input-input yang tinggi terutapa pupuk dan pestisida serta penggunaan varietas unggul. Namun demikian sejak tahun 1998, produksi pertanian termasuk padi turun drastis. Penciutan lahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produksi, selain itu juga karena terjadi pelandaian produktivitas (levelling off) lahan sawah di Jawa yang disebabkan terutama oleh karena kemunduran kesuburan tanah (Sri Adiningsih, 1992), sehingga untuk memenuhi kebutuhan beraas nasional Pemerintah Indonesia mengimpor beras dari negaara lain hingga saat ini.

Peningkatan produksi pangan dapat dicapai dengan berbagai cara, salah satu peluang adalah pembangan/pendayagunaan lahan kering. Lahan kering di Indonesia yang dapat dimanfaatkan sebagai lahan pangan cukup luas dan potensinya cukup besar untuk menghasilkan berbagai bahan pangan. Kendala yang sering dihadapai dalam pengembangan pertanian lahan kering adalah produktivitasnya rendah yang disebabkan oleh sifat fisik tanahnya umumnya kurang baik, kimia tanah (kejenuhan basa rendah, kemasaman dan kandungan alumunium tinggi), kandungan hara dan bahan organik rendah serta ketersediaan air kurang, disamping itu curah hujan yang tinggi dan mempunyai topografi berlereng sehingga tanah peka erosi. Produktivitas tanah sangat rendah yang dicerminkan oleh indeks pertanaman (IP) palawija sekitar 0,27-0,83 dengan hasil atau produksi yang sangat rendah pula. Peningkatan produksi berarti menambah pengangkutan unsur hara termasuk unsur-unsur yang tidak pernah ditambahkan ke dalam tanah, keadaan tersebut akan dapat menurunkan produktivitas lahan (Amien, 1999; Utomo, 1990).

Fauck (1977) mengatakan bahwa penurunan produktivitas tanah sering terjadi pada pertanian lahan kering, terutama pada lahan miring. Proses terjadinya penurunan produktivitas tanah dapat

K

Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP. berlangsung dalam waktu yang lama maupun dalam waktu relatif pendek, akibat dari proses pembentukan tanah (pedogenesis), adanya musim kemarau atau musim hujan dan cara pengelolaan tanah yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi. Peristiwa tersebut secara tidak langsung mengganggu kandungan bahan organik tanah, nitrogen tanah, pH tanah dan sebagainya.

Makalah ini membahas beberapa upaya pengelolaan lahan kering yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas lahan serta menjaga kelestariannya dengan penerapan teknologi yang mempertimbangkan kendala biofisik tanah tersebut.

Potensi Pengembangan Lahan Kering dan Arahan Pemanfaatannya

Lahan kering berdasarkan ketinggian dapat dibedakan menjadi lahan kering dataran tinggi dan dataran rendah. Hidayat dan Mulyani, (2002), total luas lahan kering di Indonesia adalah 144 juta ha yang teridiri dari dataran rendah seluas 87 juta ha dan dataran tinggi seluas 57 juta ha tersebar di Kalimantan, Sumatera, Maluku + Irja, Jawa, Sulawesi dan Bali + NTT. Lahan kering dataran rendah sebagian besar bentuk wilayahnya berbukit, datar berombak, dan berombak- bergelombang, sedangkan dataran tinggi sebagian besar bentuk lahannya bergunung (Tabel 1). Juarsah et al. (2010) menyatakan bahwa lahan kering yang sesuai untuk budidaya pertanian hanya sekitar 76,2 juta ha, sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,7 juta ha), dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan yang datar-bergelombang (lereng <15%) tergolong sesuai untuk pertanian tanaman pangan, dan luasnya sekitar 23,3 juta ha. Pada lereng antara 15-30%, lahan kering tersebut lebih baik diarahkan untuk tanaman tahunan (47,5 juta ha), agar bahaya erosi dapat dihindari. Di dataran tinggi yang elevasinya > 700 m, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,1 juta ha, sedangkan yang lainnya sesuai untuk tanaman tahunan dengan luas sekitar 5,5 juta ha. Ditinjau dari aspek pemanfaatan dan penggunaan lahan, wilayah dengan relief datar (lereng 0-3%) dan datar berombak (lereng 1-8%) berpotensi untuk pengembangan tanaman pangan. Sedangkan wilayah dengan lereng lebih besar, berombak sampai bergelombang (lereng 8-15%), tanaman pangan masih dipebolehkan, namun harus dikombinasikan dengan tanaman tahunan, disertai dengan tindakan-tindakan konservasi tanah yang disesuaikan dengan kondisi fisik dan social ekonomi setempat (Subagyo et al., 2004).

Tabel 1. Luas dan penyebaran lahan kering di dataran rendah dan tinggi (ha)

Pulau Sumatera Jawa Bali+NTT Kalimantan Sulawesi Maluku+Irja Indonesia

Dataran rendah --- (ha) ---

Datar berombak 6.610.000 1.024.400 588.000 15.893.700 315.700 4.640.100 29.071.900

Berombak-

bergelombang 9.774.500 3.005.600 713.600 6.426.300 943.000 2.790.700 23.777.600

Berbukit 6.737.800 3.814.600 1.960.300 7.464.600 4.641.900 8.969.900 34.444.200

Dataran tinggi --- (ha) ---

Datar berombak 1.000 409.600 269.000 6.300 72.300 1.647.900 2.406.100 Berombak- bergelombang 499.500 11.400 400 700 30.000 300 512.400 Berbukit 20.200 1.424.400 700 237.400 77.100 533.100 2.426.800 Bergunung 9.682.000 1.057.000 3.206.000 11.852.000 7.453.000 16.293.000 51.306.000 Jumlah 3.329.000 10.747.000 6.738.000 6.738.000 13.533.000 34.875.000 143.945.000

Sumber: Hidayat dan Mulyani (2002).

Berdasarkan kondisi iklim, lahan kering di Indonesia secara umum dapat dibedakan ke dalam iklim basah dan iklim kering. Iklim basah umumnya memiliki curah hujan tinggi (> 1.500 mm/th) dengan masa hujan relatif panjang, sedangkan iklim kering mempunyai curah hujan relatif rendah (< 1.500 mm/th) dengan masa hujan relatif pendek, 3-5 bulan (Irianto et al., 1998). Tim Puslittanak (1996) menambahkan bahwa wilayah beriklim basah memiliki tipe hujan A, B, dan C, sedangkan wilayah beriklim kering memiliki tipe hujan D, E, dan F (Schmidt dan Ferguson, 1951). Menurut Hidayat dan Mulyani (2002) lahan kering di Indonesia yang termasuk beriklim basah (setara regim kelembaban udik) sekitar 78,1 juta ha dan beriklim kering sekitar 9,2 juta ha.

Produksi jagung yang relatif tinggi dijumpai di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi, masing-masing sebesar 2,77, 2,59, dan 2,50 ton/ha, sedangkan di tempat lainnya (Bali, NTT, Kalimantan, Maluku, dan Irian Jaya) sangat rendah berkisar antara 1,40 – 2,09 ton/ha. Produksi kacang tanah dan kedelai

Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP.

2010, luas panen beberapa tanaman pangan Indonesia seperti: padi 13.118.120 ha, jagung 4.133.785 ha, kedelai 672.242 ha, kacang tanah 626.264, kacang hijau 284.564 ha, ubi kayu 1.203.143 ha dan ubi jalar 181.234 ha, dengan produksi masing masing komoditas berturut turut: padi 65.9809.670 ton, jagung 17.844.676 ton, kedelai 905.015 ton, kacang tanah 779.677 ton, kacang hijau 323.518 ton, ubi kayu 23.093.522 ton dan ubi jalar 2.060.272 ton, namun produksi ini belum dapat memenuhi kebutuhan pangan Nasional (BPS, 2010).

Kendala Pengembangan Lahan Kering

Pengembangan pertanian di lahan kering seringkali menghadapi berbagai kendala, antara lain kendala biofisik tanah, sosial ekonomi petani, kelembagaan, ketersediaan sarana dan prasarana, serta kendala lainnya yang menghambat kelancaran pembangunan pertanian. Kendala biofisik tanah biasanya berkaitan erat dengan kondisi tanah yang kurang menguntungkan bagi pertumbuhan tanaman dan hal tersebut merupakan indicator penyebab rendahnya produktivitas tanah. Kendala tersebut diantaranya adalah : (1) ketersediaan air yang rendah, (2) lahan peka erosi, dan (3) buruknya sifat sisik, kimia dan biologi tanah. Makalah ini hanya membahas kendala biofosik nomor (2) dan (3).

Peka Erosi

Tanah-tanah di lahan kering memiliki topografi datar-berombak, berombak bergelombang, berbukit, dan bergunung masing-masing seluas 31,5 juta, 24,2 juta, 35,9 juta, dan 49,5 juta ha. Tanah-tanah yang terletak di topografi berombak hingga bergunung sangat peka terhadap erosi terutama di daerah iklim basah yang memiliki curah hujan tinggi. Dengan demikian maka hanya sekitar 22,31% saja tanah-tanah di lahan kering relatif aman dari ancaman erosi sedangkan sisanya (sekitar 77,69%) mempunyai potensi erosi yang tinggi atau tanah memiliki kepekaan terhadap erosi yang tinggi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa erosi yang terjadi di lahan ini umumnya tinggi, berkisar antara 51-252 t/ha/th (Tabel 2). Angka tersebut jauh lebih tinggi daripada kehilangan tanah yang masih dapat ditoleransi (tolerable soil lost). Menurut Arsyad (1989) nilai erosi yang masih ditoleransikan di Indonesia sekitar 25 mm/th atau setara dengan 30 ton/ha/th (asumsi berat volume tanah 1,2 g/cc). Dengan demikian maka lahan ini memerlukan upaya peningkatan kesuburan dan konservasi tanah dalam pengelolaannya.

Erosi dapat menimbulkan kerusakan pada tanah tempat erosi terjadi danpada tempat tujuan akhir tanah yang terangkut tersebut diendapkan. Kerusakan yang dialami pada tanah tempat erosi terjadi berupa kemunduran sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Memburuknya sifat-sifat fisik tanah tercermin antara lain pada menurunnya kapasitas infiltrasi dan kemampuan tanah menahan air, meningkatnya kepadatan dan ketahanan penetrasi tanah, dan berkurangnya kemantapan struktur tanah.

Kemunduran sifat kimia dan biologi tanah ditandai antara lain oleh : hilangnya bahan organik dan berbagai unsur hara yang diperlukan tanaman dan menurunnya aktivitas mikroba tanah (Arsyad, 1989).

Tabel 2. Erosi tanah pada lahan kering di beberapa tempat di Indonesia

Lokasi Jenis tanah Lereng (%) Komoditas Erosi (t/ha/th)

Pacet, Cianjur1) Hapludands 9-22 Buncis-kubis 252

Sukaresmi, Cianjur2) Dystropepts 9-15 Cabai-kc. merah 65 Pangalengan, Bandung3) Dystrandepts 30 Kentang-kubis 218 Karmeo, Batanghari4) Kanhapludults 8-12 Tanpa tanaman 51

Sumber : 1) Suganda et al., 1997; 2)Suganda et al., 1999; 3)Sinukaban et al., 1994; dan 4)Erfandi, 2001

Kemunduran sifat fisik, kimia, dan biologi tanah menyebabkan terjadinya proses degradasi lahan, yaitu produktivitas lahan menjadi lebih rendah, baik sementara maupun tetap, sehingga pada akhirnya lahan tersebut menjadi kritis. Di Indonesia, degradasi lahan merupakan masalah yang sangat serius terutama pada areal pertanian lahan kering. Indonesia memiliki lahan kritis yang sangat luas (sekitar 10,9 juta ha) yang tersebar di berbagai propinsi (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, (1997). Penyebab utama kemunduran produktivitas tanah tersebut adalah erosi karena kurang cepatnya pengelolaan lahan dan curah hujan yang tinggi.

Sri Ratmini/Konservasi dan Pengelolaan Lahan Kering untuk Meningkatkan Produktivitasnya NP. Penyebab kerusakan tanah tersebut selain karena erosi juga proses-proses lain seperti penggurunan (desertification), pemasaman (acidification), penggaraman (salinisation), polusi (pollution), pemadatan (compaction), genangan (waterlogging), penurunan permukaan tanah organik (subsidence) dan penurunan tinggi muka air (Kurnia et al., 2002).

Berdasarkan tingkat kemasaman tanah, lahan kering dapat dibedakan menjadi lahan kering masam yang dicirikan oleh pH < 5,0 dan kejenuhan basa < 50% dengan total luasan sekitar 99.6 juta (69.17%), serta lahan kering tidak masam dicirikan dengan pH > 5,0 dan kejenuhan basa > 50% sekitar 44,4 juta ha (30,8%) (Hidayat dan Mulyani, 2002). Tanah-tanah yang termasuk kelompok masam di lahan kering beriklim basah (udik) antara lain : Entisol, Inceptisol, Ultisol, dan Oxisol. Sedangkan lahan kering yang tidak masam umumnya terdiri dari Inceptisol, Vertisol, Mollisol, dan Alfisol dan berada di wilayah iklim kering (ustik).

Kemasaman tanah dapat menyebabkan terganggunya pertumbuhan tanaman karena ketersediaan hara makro (N, P, K, Ca, dan Mg) di tanah masam sangat rendah, sebaliknya ketersediaan hara mikro (Fe, Cu, Mn, dan Zn) tinggi. Pada tanah-tanah masam P dapat difiksasi oleh kation Al dan Fe membentuk Al-P dab Fe-P yang tidak tersedia bagi tanman. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tanah-tanah yang berkembang dari bahan endapan masam umumnya miskin hara terutama hara N, P, K, Ca, dan Mg, kejenuhan basa rendah, tetapi kandungan aluminium tinggi. Kadar bahan organik tanah juga rendah sehingga kapasitas tukar kation (KTK) tanah juga rendah. Tingkat pelapukan bahan organik di daerah tropika basah sangat intensif, sementara itu tingkat pencucian juga tinggi sehingga kadar bahan organik tanah menjadi rendah. Selanjutnya tanah-tanah di daerah tropika (Ultisol dan Oxisol) banyak mengandung sumber muatan variable charge yang dalam kondisi tanah masam dapat bermuatan positif sehingga menghasilkan KTK yang rendah (Nursyamsi et al., 1996; Haryati et al., 1995; Hafif et al., 1992; Nursyamsi, 2003).

Dalam dokumen PROSIDING MKTI 2013 lengkap final (Halaman 150-153)