• Tidak ada hasil yang ditemukan

57Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator

Dalam dokumen demokrasi dan konflik yang mengakar (Halaman 73-75)

S t u d i K a s u s : A f r i k a S e l a t a n

terus berjalan, terutama di Kwazu-Natal dan Rand T imur. Jika Persetujuan gagal menghetikan kekerasan, minimal ia menguranginya, dan yang pasti melalui mekanisme penyelesaian konflik di daerah-daerah, ia telah menyelamatkan banyak nyawa. Ia memberi

kontribusi pada pembangunan struktur perdamaian akar rumput (grass root), membawa

harapan dan partisipasi di dalam proses transisi bagi banyak orang yang mungkin pada kesempatan lain terkucilkan dari perubahan politik, dan memadamkan banyak konfrontasi politik yang bisa jadi fatal dan meledak-ledak yang mungkin terjadi. Biar bagaimanapun yang paling penting adalah ia mewakili komitmen bersama oleh seluruh pihak yang berkepentingan terhadap nilai-nilai dan standar yang sangat sulit untuk ditinggalkan begitu saja atau untuk ditolak secara terbuka.

Proses Negosiasi Politik

Permulaan CODESA juga tidak mulus. Pemimpin Ikatha Freedom Party (IFP) Kepala

Suku Buthelezi secara pribadi memboikot keseluruhan proses. De Klerk dan Mandela membuka dengan pertukaran yang menghangat, saling menuduh satu sama lain sebagai pembawa sial. Dan demikianlah proses itu diteruskan. ANC menginginkan sebuah “fase satu” yang pendek menuju pemilihan umum dan pemerintahan demokratis. NP, menyadari bahwa pengaruhnya yang besar berada di garis depan, dan bukan di garis belakang negosiasi, dan menginginkan proses yang lebih detil dan lambat. Semakin lama, kelompok oposisi menuduh NP menjalankan taktik menghambat dan kegelisahan berkembang pada saat prosesnya mencapai tahap tak bisa dibalikkan kembali. De Klerk meminta diadakannya referendum di kalangan orang-orang kulit putih pada Maret 1992, dan mendapatkan dukungan kuat dari dua pertiga mayoritas untuk melanjutkan negosiasi. Akan tetapi ketika ia kembali ke meja perundingan, ia datang dengan garis yang lebih keras, dan bukan lebih lunak.

Negosiasi disempitkan hingga kepada isu-isu atau permasalahan yang merupakan “prinsip-prinsip dasar” untuk diagungkan sebagai pembatasan-pembatasan pada konstitusi akhir. NP akhirnya menginginkan lebih banyak kesepakatan yang mengikat sebagai kemungkinan terdepan. ANC menginginkan kebebasan seluas mungkin untuk proses setelah pemilihan umum yang lebih “legitimate” nantinya. Kebuntuan yang terbesar adalah pada pembahasan mengenai% tase yang diperlukan untuk mengubah konstitusi. ANC menuntut dua pertiga seperti norma internasional; NP menginginkan 75%. Kebuntuan berlanjut, dan pada Juni 1992, di kota Boipatong, pendukung IPF yang bersenjata membantai 38 orang di rumahnya. Banyak tuduhan serius tentang keterlibatan pasukan keamanan dalam membantu pembantaian tersebut, dan ada tanda-tanda polisi menutup- nutupi. Kunjungan De Klerk ke kota tersebut untuk menghormati penduduk memburuk menjadi kekerasan, semakin membuat penduduk marah dan mendorong ANC kepada posisi publik yang lebih militan. CODESA runtuh dengan pengunduran diri ANC dari proses tersebut.

Menyusul kehancuran CO D ESA, ANC, menanggapi peningkatan militansi akar rumput, tiba pada kampanye aksi massa. Ketegangan antara IPF dan ANC memercikkan kekerasan yang masif di Kwazulu-Natal dan Rand Timur. Polisi dan pasukan keamanan

58

Studi Kasus: Afrika Selatan

adanya “kekuatan ketiga” disuarakan, mencerminkan pandangan yang kuat bahwa ada usaha-usaha yang disengaja untuk menyabotase proses negosiasi dan mobilisasi kampanye ANC.

ANC membalas dengan kampanye “menggelindingkan aksi massa” yang diformalkan seperti pemogokan, pengucilan dan boikot. Mereka mengalihkan perhatian mereka kepada kampung halaman dan pada 7 Maret mengorganisir demonstrasi di Bisho, ibukota Ciskei. Pasukan Ciskei melepaskan tembakan, membunuh 28 orang.

Tragisnya saat itu ada peningkatan kematian politis, dan memuncak pada pembunuhan Bisho, yang menghambarkan hubungan, dan memfasilitasi kembalinya pengikut garis lunak dan dimulai kembalinya pembicaraan. Hal ini membutuhkan adanya kepemimpinan semua pihak untuk menghadapi realitas kegagalan untuk mencapai persetujuan politis. Mandela dan de Klerk mengurangi prakondisi bagi dimulainya kembali pembicaraan, dan pembicaraan dimulai kembali.

Kekerasan politik berlanjut hingga menjelang periode pemilihan umum, dengan orang-orang kulit putih memegang peranan yang makin besar ketika mereka merasa bahwa pembicaraan sudah hampir berakhir. Ancaman aksi sayap kanan selalu hadir di dalam proses, karena adanya pertanyaan yang tak terjawab mengenai siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas negara pada saat itu – pemerintahan ada akan tetapi D ewan

Eksekutif Transisional (Transitional Executive Council/T EC) telah membangun mekanisme

untuk menjamin bahwa mereka memerintah dengan persetujuan selama menjelang pemilihan umum.

Proses perdamaian dibangun dalam dua fase – konstitusi sementara yang mengarah kepada pemilihan umum, dan setelahnya konstitusi terakhir baru akan dinegosiasikan. Konstitusi sementara menyediakan fondasi bagi demokrasi konstitusional, menjamin hak pilih universal dan hak-hak demokratis dasar untuk dilindungi oleh pengadilan konstitusional. Konstitusi terakhir harus disetujui oleh Sidang Konstitusional (sidang nasional dan senat), dan diperiksa oleh pengadilan konstitusional jika ada yang berlawanan dengan prinsip-prinsip konstitusional sebelum diterima.

Konstitusi sementara menyediakan perlindungan hak asasi manusia dan hak sipil yang luas cakupannya. Ia memenuhi kebutuhan parlemen yang tergabung dalam suatu Sidang Nasional, dengan 400 anggota yang dipilih berdasarkan perwakilan proporsional; suatu Senat yang terdiri atas 10 senator untuk masing-masing propinsi yang ada sembilan, juga dipilih berdasarkan perwakilan proporsional, dan suatu Eksekutif Nasional yang dikepalai oleh presiden yang dipilih oleh mayoritas sidang nasional. Presiden bisa menunjuk dua deputi dan sebuah kabinet. Semua pihak mencapai lebih dari lima% suara punya hak untuk duduk di dalam kabinet, dan pos dala m kabinet dialokasikan berdasarkan proporsi kursi di sidang nasional.

Pemerintahan propinsi akan memiliki lembaga legislatif mereka sendiri yang dipilih berdasarkan perwakilan proporsional, dan mengambil keputusan dengan jalan suara mayoritas sederhana. Mereka bisa mensahkan undang-undang untuk propinsinya, tapi mereka tidak bisa melampaui kekuasaan yang diberikan oleh konstitusi. Jika hukum

59

Dalam dokumen demokrasi dan konflik yang mengakar (Halaman 73-75)