• Tidak ada hasil yang ditemukan

129Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan untuk Negosiator

Dalam dokumen demokrasi dan konflik yang mengakar (Halaman 145-147)

S t u d i K a s u s : I r l a n d i a U t a r a

1985, yang merupakan gabungan aspirasi kedua pemerintahan menuju penyelesaian damai masalah Utara. Persetujuan ini menetapkan beberapa faktor kunci secara formal: komitmen kedua pemerintah untuk bekerjasama mencapai perdamaian, sebuah konferensi antarpemerintahan yang di dalamnya para menteri Irlandia dapat bertanya dan berkomentar secara teratur mengenai kebijakan Inggris di Utara, dan pendirian sekretariat pejabat Irlandia di Belfast.

Perjanjian internasional antara dua negara berdaulat ini memiliki dua akibat penting. Pertama, ia menjadikan Republik Irlandia sebagai mitra Inggris dalam proses ini, berlawanan dengan sejarah permusuhan mereka mengenai Irlandia Utara. Inisiatif politik tidak akan hanya dimunculkan dari Inggris saja, namun oleh kedua pemerintahan yang bekerjasama. “D imensi Irlandia” semakin dekat menuju kenyataan. Akibat kedua, berlawanan dengan pelibatan Hume secara tidak resmi dalam perencanaan persetujuan, kelompok Unionis tidak diminta pendapatnya mengenai negosiasi ini. Mereka bereaksi dengan kemarahan terhadap persetujuan yang mengabaikan pandangan mereka dalam pembuatannya dan, dalam pandangan mereka, melemahkan hubungan mereka dengan Inggris dengan mengizinkan pemerintahan “asing” ikut campur dalam urusan mereka. Merasa teralienasi, politisi Unionis memutuskan hubungan dengan Pemerintahan Inggris. Pada tahun 1989, perlawanan Unionis gagal mencegah persetujuan ini menjadi kenyataan. Pemerintah Irlandia menjadi mitra Inggris dalam proses politik, dan kemarahan Unionis, yang pada awalnya dimobilisasi dengan slogan “Ulster Berkata T idak!” berubah menjadi rasa frustrasi. M enyadari bahwa ketidakmauan bekerjasama hanya akan menjadikan masalah menjadi lebih buruk, mereka akhirnya setuju untuk mengikuti diskusi dengan Inggris mengenai kemungkinan struktur politik, dan kemudian pada tahun 1991, UUP dan DUP mengikuti negosiasi yang difasilitasi Inggris dengan SDLP dan Partai Aliansi, sebuah partai kecil lintas-komunitas. Pembicaraan-pembicaraan tersebut gagal mencapai kemajuan berarti, macet pada awalnya mengenai isu-isu prosedural. Namun, mereka menetapkan dan menjelaskan agenda untuk pembicaraan lebih lanjut menjadi tiga bidang -- susunan pembagian kekuasaan untuk pemerintahan internal Irlandia Utara di bawah kekuasaan Inggris selama mayoritas penduduk Irlandia Utara mendukung persatuan; bentuk nyata institusi Utara-Selatan untuk memperkuat dimensi Irlandia; dan sebuah perjanjian Irlandia-Inggris yang lebih matang untuk menyempurnakan kesepakatan sebelumnya.

Dengan kesepakatan semua pihak yang terlibat, kelompok paramiliter politik dari kedua kelompok masih tetap tidak dilibatkan, hingga saat mereka meninggalkan penggunaan kekerasan.

Pada tahun berikutnya, pembicaraan dilanjutkan kembali selama empat bulan, dan mencapai kemajuan dalam ketiga bidang agenda, namun gagal mencapai kesepakatan. Sementara itu, Hume telah memulai dialog dengan Partai Sinn Fein dengan tujuan akhir menjauhkan mereka dari kekerasan dan memasukkan mereka ke dalam proses politik. Sementara berlangsungnya diskusi tersebut, dan bahkan selama komunikasi rahasia antara

130

– terus dilakukan terhadap Angkatan Darat Inggris, polisi Irlandia Utara dan meluas menjadi sejumlah pengeboman di Inggris. Pada saat yang sama, dua kelompok paramiliter loyalis meningkatkan peran militernya dengan semakin aktif terhadap kelompok Republikan dan mengembangkan partai politik baru untuk mewakili pandangannya dan menarik suara dari partai-partai Unionis besar. Asosiasi Pertahanan Ulster (UD A) mengembangkan Partai Demokratik Ulster (UDP), sementara Pasukan Sukarelawan Ul- ster (UVF) memunculkan Partai Unionis Progresif (PUP).

Partai Sinn Fein, UDP dan PUP mulai meningkatkan profil politik mereka, namun semuanya dijauhkan dari negosiasi.

Pada tahun 1994, dialog Hume dengan Partai Sinn Fein telah berkembang menjadi konsensus luas berskala nasional yang melibatkan kedua partai Utara tersebut, pemerintah Irlandia dan kelompok Irlandia di Amerika (yang presiden barunya, Clinton, tidak terlalu pro-Inggris). Tekanan menjadi semakin intensif pada pemimpin Partai Sinn Fein, Gerry Adams, untuk menerima gencatan senjata dan keikutsertaannya dalam proses politik demokratik. Hasilnya adalah penghentian kekerasan oleh IRA pada bulan Agustus 1994, disusul sebulan kemudian oleh para Loyalis.

Namun kemajuan politik berlangsung terlalu lambat untuk memuaskan para Republikan. Didukung oleh Unionis, Inggris menuntut pernyataan IRA bahwa gencatan senjata bersifat tetap – sebuah konsesi yang dianggap sebagai pernyataan menyerah sehingga menyebabkan penolakan – dan kemudian menuntut agar IRA menyerahkan senjata sebelum Partai Sinn Fein bisa diizinkan ikut serta dalam negosiasi. Inggris menuntut penyerahan senjata, baru pembicaraan; sementara paramiliter dari kedua pihak menuntut pembicaraan terlebih dahulu, baru kemudian pelucutan senjata. Semua pembicaraan lain terhenti pada masalah ini. Hingga masalah ini terselesaikan, Inggris dan Unionis menolak masuknya partai paramiliter dalam negosiasi apa pun. Mantan senator AS, George Mitchell, didatangkan untuk mengepalai sebuah komisi mengenai perlucutan senjata paramiliter sebagai bagian proses perdamaian secara luas. Komisi ini menerima bahwa tidak ada kelompok yang bersedia dilucuti sebelum pembicaraan, dan menyarankan dua kompromi. Pertama, pelucutan senjata harus dilakukan selama pembicaraan, seiring dengan kemajuan politik dan sebagai bagian usaha pembangunan kepercayaan. Kedua, enam prinsip non-kekerasan disepakati, dan harus disetujui sebagai prasyarat negosiasi. Ini mencakup komitmen untuk menggunakan cara-cara damai saja, dan penolakan kekerasan sebagai cara untuk mencapai tujuan politik atau untuk melemahkan kesepakatan politik yang tidak memuaskan.

Namun, secara menyeluruh sikap-sikap mengeras sejak gencatan senjata diberlakukan. Semua pihak berusaha untuk menggunakan politik hanya sebagai cara untuk melaksanakan perang dengan cara lain. Delapan belas bulan setelah gencatan senjata IRA, Partai Sinn Fein tetap jauh dari proses negosiasi yang penting, dan pada bulan Februari 1996, IRA membatalkan gencatan senjatanya dan kembali melakukan kegiatan militer terbatas, disasarkan pada militer Inggris dan target ekonomi. Paramiliter loyalis mempertahankan gencatan senjatanya. Pemilihan umum berlanjut untuk mengidentifikasi peserta dalam

Studi Kasus: Irlandia Utara

131

Dalam dokumen demokrasi dan konflik yang mengakar (Halaman 145-147)