• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata ‘eksistensi’ secara umum dipahami untuk menunjuk sebuah konsep dasar dan universal yang padanya tidak ada realitas yang berhubungan yang disebut ‘eksistensi’ ditemukan di dunia eksternal. Apa yang ditemukan dalam dunia eksternal yang dikatakan ‘ada’ merupakan hal-hal yang secara pokok dapat direduksi pada ‘kuiditas’ atau ‘esensi’ individual mereka yang diterima pikiran sebagai realitas independen pada dirinya sendiri, dan padanya hal tersebut dilekatkan sebagai bagian mereka dimana entitas konseptual disebut ‘eksistensi’. Pikiran, ketika menerima hal-hal dunia eksternal, mempertimbangkan hal-hal pada dirinya sendiri seolah-olah mereka ‘sedang-disana’ (i.q. thamma) itu berkaitan dengan sifat-dasar intrinsik mereka, yakni, ‘kuiditas’ atau ‘esensi’ mereka. Pikiran mampu mengabstraksi apa yang dianggap sebagai entitas konseptual, yakni ‘eksistensi’, dari hal-hal dan bertindak terhadapnya dan menampilkan pembagian dan pembatasan mental ke dalam ikatan spesifik, yang membagi secara adil masing-masing konfigurasi dari entitas konseptual yang disebut ‘eksistensi’ ini untuk berhubungan dengan hal-hal individual dari dunia eksternal sedemikian sehingga masing-masing dan setiap mereka dapat dikatakan ‘ada’. ‘Eksistensi’ dalam pemahaman umum istilah tersebut merupakan sebuah entitas konseptual yang ‘ada’ hanya dalam pikiran’; ‘eksistensi’ merupakan konsep abstrak dan umum yang secara rasional dibagi menjadi bagian yang berhubungan dengan hal-hal dan secara alamiah adalah statis atau pasif; ‘eksistensi’ merupakan sebuah intelijibel sekunder.

Tetapi ‘eksistensi’ dapat juga dipahami bukan hanya menunjuk kepada sebuah entitas konseptual yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal, tetapi kepada sebuah realitas ontologis yang ada di dunia eksternal yang independen dari pikiran, dan sehingga karena hal tersebut ‘menjadi-maujud’ secara eksternal hal tersebut menciptakan pengaruh dalam pikiran yang menghasilkan konsep ‘eksistensi’ dengan mana pikiran mengualifikasikan hal-hal yang diterima di dunia eksternal. Kita menunjuk kepada pemahaman kedua terhadap istilah ‘eksistensi’ ini, yang tidak dapat dikonseptualisasikan sebab hal tersebut bukan sebuah universal, sebagai realitas eksistensi untuk membedakannya dari konsep eksistensi. Tidak seperti rekan pendamping konseptualnya, realitas eksistensi itu aktif; realitas eksistensi merupakan entitas yang sadar, dinamis, dan kreatif, yang mengartikulasikan dari dalam dirinya sendiri pengungkapan diri dengan kemungkinan yang tak terhingga dalam gradasi analogis pada tingkatan ontologis yang berbeda dalam modus partikular dan individual yang nampak sebagai hal-hal terpisah dalam dunia yang terlihat maupun dunia yang tak terlihat. Makna sejati dari kata ‘eksistensi’ sebagai sebuah realitas objektif menyentuh pada pemahaman kedua terhadapnya ini, dan berlaku kepada Tuhan hanya dalam pengertian ini.291 Dalam penjelasan kita tentang derajat-derajat eksistensi dalam halaman-halaman selanjutnya, kita akan berkonsentrasi kepada pengertian kedua dari ‘eksistensi’ ini yakni, eksistensi sebagai sebuah entitas nyata dan maujud yang pengaruhnya menjadi termanifestasi kepada rasio dan pengalaman kita.

Eksistensi sebagai realitas, dan bukan sebagai konsep, merupakan inti esensi Realitas Tertinggi. Realitas tertinggi ini adalah Allāh. Dipertimbangkan dalam inti Esensi-Nya Dia diketahui hanya pada diri-Nya sendiri, karena dipertimbangkan sebagaimana Dia dalam diri-Nya sendiri Dia itu transenden secara tidak dikondisikan. Dengan ‘transenden secara tidak dikondisikan’ kita ingin mengandung makna bahwa Dia ada dalam derajat isolasi sepenuhnya

291 Lihat Nūr al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Jāmī, dalam karyanya Lawā’ih, dalam Majmū’ah Mullā Jāmī, Istanbul, 1309H., hlm 14; juga Lawā’ih, diterjemahkan oleh E.H. Whinfield dan Mirza Muhammad Kazvini, Royal Asiatic Societ, v, 1928, hlm. 13: XIV. Dielaborasikan lebih lanjut dalam karyanya Al-Durrah al-Fākhirah, (dalam edisi dari N. Heer dan

sedemikian rupa yang tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (bi shart lā shay’), maupun dikondisikan dengan indeterminasi dalam pengertian tidak dibatasi oleh ketidakberhubungan dengan apapun tetapi bebas untuk menautkan dengan hal-hal individual (lā bi shart shay’).292 Kita hanya dapat mengatakan bahwa Realitas Tertinggi tersebut dipertimbangkan dalam inti Esensi-Nya tidaklah dikondisikan oleh kondisi apapun (lā bi shart).293 Hal ini berarti bahwa realitas eksistensi pada tingkatan Realitas Tertinggi bahkan tidak dapat dipertimbangkan sebagai absolut (mutlāq), karena eksistensi pada tingkatan tersebut ada di atas kualifikasi keabsolutan (ītlāq)294 dengan sebab fakta bahwa kualifikasi sedemikian sudah sebuah kondisi yang menkhususkan eksistensi pada kecenderungan tertentu, dan merupakan seperti jenis pembatasan, sebuah keterbatasan (taqyīd) di antara kondisi dibatasi yang dipostulasikan secara mental dalam pelbagai derajat dari eksistensi intelijibel dan inderawi. Dalam pandangan hal ini sifat-dasar Realitas Tertinggi sebagai tidak dikondisikan oleh kondisi apapun itu, berbicara secara ketat, tidak dikondisikan bahkan oleh transendensi, dan tidak pernah dapat dicapai oleh pengetahuan dan kognisi kita, dan tetap secara abadi tidak diketahui dan tidak dapat diketahui kecuali pada diri-Nya sendiri. Kita menunjuk pada derajat pertama dan tertinggi dari eksistensi ini sebagai aspek swa-penyembunyian Realitas Tertinggi, sebagai Diri terdalam-Nya dan inti Esensi (al-dhāt) yang disebut dalam tradisi suci sebagai ‘Kabut Gelap’ (al-’amā’) dan ‘Harta Tersembunyi’ (kanz makhfiyy).295

Tapi realitas eksistensi, dengan sebab sebagai apa hal tersebut adanya, yakni, sebagai dirinya yang termanifestasi dan membawa segala hal yang lain ke dalam manifestasi, harus dipostulasikan memiliki derajat-derajat (marātib) swa-manifestasi; jika tidak demikian tidak ada yang akan terwujud sebagai diadakan dan, lebih lanjut, derajat swa-persembunyiannya juga tidak pernah akan diketahui sebagai yang tidak dapat diketahui. Dengan demikian kendati akan persembunyian penuh darinya, terdapat aspek darinya yang cenderung menuju swa-manifestasi. Ketika kita katakan, menyebut kepada tradisi suci: “Aku adalah Harta Tersembunyi dan Aku cinta dikenali, maka Aku ciptakan Makhluk sehingga Aku mungkin dikenali,” ‘Harta Tersembunyi’ menunjuk pada aspek swa-persembunyian dari Realitas Tertinggi, ‘yang cinta dikenali’ sudah menyiratkan sebuah kecenderungan yang menunjuk terhadap aspek swa-pengungkapan-Nya. Dalam aspek ini Dia sudah dikuasai, seperti sebelumnya, oleh cinta (hubb), yang merupakan prinsip pergerakan ontologis yang termanifestasi dalam ciptaan. Ciptaan, sebagai pengujian dari apa yang sekaligus benar dan nyata, merupakan tindakan eksistensiasi

292 Lihat bab VI; hlm. 221-224, dan referensi pada catatan kaki di dalamnya.

293 Lihat karya ‘Abd al-Razzāq al-Qāshānī, Sharh ‘alā Fusūs al-Hikam, Cairo 1966, hlm. 4. Apa yang dimaksud dengan

lā bi shart di sini adalah bahwa yang bahkan ada di atas sebagai dikondisikan oleh ketidakkondisian; hal itu adalah

yang secara absolut tidak dikondisikan. Lihat juga karya ‘Abd al-Rahmān al-Jāmī, Naqd al-Nusūs Tehran, 1977, hlm. 20, terjemahan 4.

294 Cth. kami maksud dengan sebagai absolut dan memiliki keabsolutan dalam pengertian sebagaimana digunakan kepada alam universal. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 272-273 dan catatan 298 dan 299.

295 Tradisi tersebut cukup dikenal. Tradisi al-‘amā’ dilaporkan oleh al-Tirmidhī menunjuk pada komentar pada sūrah 11: 1, dalam Al-Jāmī al-Sahīh, Cairo, 1938, vol. IV, 44, no: 5109; oleh ibn Majah dalam karyanya Sunan, Cairo, 1952, vol. I, Muqaddimah, 13, no: 182; oleh ibn Hanbal dalam karyanya Musnad, Cairo, 1313H., vol. IV, hlm. 11 dan 12. Al-Jurjānī dalam karyanya Ta’rīfāt mengatakan bahwa al-‘ama’ menunjuk pada derajat Keesaan (ahadiyyah). Referensi ini dari edisi Flugel, Beirut, 1969, hlm. 163. Al-Jili dalam karyanya Al-Insān al-Kāmil, Cairo, 1956, vol. I, hlm. 50, mengatakan bahwa ini berhubungan dengan Keesaan. Tradisi al-kanz al-makhfiyy dilaporkan oleh al-Baghawī sebagaimana disampaikan oleh Mujāhid. Hal itu berputar di sekitar komentar terhadap ayah 56 dari sūrah 51. Transmisi oleh Mujāhid dalam sebuah komentar pada Qur’ān dari Abū al-Su’ūd al-‘Imādī ditemukan dalam pinggiran dari karya al-Rāzī Tafsīr al-Kabīr, vol. VII dalam edisi Beirut dari 1342H., hlm. 777. Al-Rāzī dalam Tafsīr al-Kabīr juga menyebutkannya dalam lima pertanyaan dalam jalur komentar atas ayat yang sama (hlm. 660). Tradisi ini dilaporkan oleh hampir semua orang suci dan orang bijaksana yang terkenal. Al-Jurjānī (op.cit) mengatakan bahwa

al-kanz al-makhfiyy menunjuk pada Diri terdalam, ke-dalam-an absolut dan persembunyian sepenuhnya akan Tuhan

dari aspek swa-manifestasi Realitas Tertinggi, dan dalam aspek kreatif ini Dia disebut dengan nama yang menandakan baik Kebenaran dan Nyata (al-haqq).296

Dari penjelasan singkat di atas, dan sebagaimana dikonfirmasi oleh Wahyu suci hal tersebut sebagai bukti bahwa Realitas Tertinggi memiliki dua aspek: yang ke-dalam (inward), interior, aspek swa-persembunyian (al-bātin), dimana bahkan tidak ada jejak penggerak awal dari artikulasi internal manapun yang terlihat dari sudut pandang kognisi manusia meskipun hal itu merupakan inti pijakan dari Being; dan yang bagian ke-luar (outward), eksterior, aspek swa-manifestasi (al-zāhir), dimana kecenderungan menuju swa-swa-manifestasi diawali oleh kesadaran akan hasrat atau cinta untuk dikenali. Kedua aspek tersebut adalah diharmonisasi di dalam Realitas Tertinggi, yang ke-dalam-annya (inwardness) itu identik dengan ke-luar-annya (outwardness).297 Eksistensi di sini, seperti telah kita katakan, merupakan eksistensi pada derajat pertama, yang memiliki dua aspek yang berhubungan dengan sisi interior dan swa-persembunyian ‘Kabut Gelap’ dari tradisi suci, yang kadang-kadang juga ditunjuk sebagai inti Esensi itu sendiri dari Realitas Tertinggi (al-dhāt) yang dikarakteristikkan dengan sebuah Keesaan absolut sepenuhnya (ahadiyyah mutlāqah); dan sisi eksterior dan swa-manifestasi ‘Harta Tersembunyi’ dari tradisi yang sama, yang cenderung menuju swa-manifestasi dalam alam Yang Tak Terlihat (al-ghayb) dan yang, meskipun hal itu tetap dipertimbangkan sebagai dalam Keesaan abstrak dari ahadiyyah, adalah tidak cukup sama sebagai Keesaan absolut sepenuhnya yang telah disebutkan sebelumnya sebagai ahadiyyah mutlāqah. Hal ini karena pada aspek kedua inilah sudah terkandung kemungkinan tak terhingga akan determinasi dalam pelbagai bentuk tak terbatas. Kini aspek yang kemudian ini pada dirinya sendiri dikarakteristikkan dengan interioritas dan eksterioritas yang serupa dengan aspek sebelumnya. Ketika kita memandang Keesaan abstrak yang kemudian ini dalam aspek eksterior dan swa-manifestasi, hal itu disebut Eksistensi Absolut (al-wujūd al-mutlāq). Modusnya dalam aspek eksterior ini tetaplah tidak dikondisikan oleh apapun itu (lā bi shart), dalam pengertian bahwa hal itu tidak terlibat dalam determinasi apapun, tetapi siap untuk memanifestasikan dirinya dalam determinasi. Aspek eksterior derajat pertama eksistensi ini merupakan pusat kemungkinan tak terhingga akan determinasi; hal tersebut merupakan sumber aktifitas penciptaan dan prinsip keanekaragaman. Istilah ‘absolut’, dalam pengertian yang kita maksud di sini, menunjuk kepada sebuah modus abstraksi murni, yang entah apa seperti aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, yang kadang-kadang disebut ‘alam semesta’ (kullī tabī’ī);298 kecuali bahwa di sini kita menunjuk kepada eksistensi, bukan kuiditas, dan kepada eksistensi yang bukan hal konseptual atau mental tetapi nyata, yang tidak statis atau pasif karena dinamis atau aktif. Jadi ketika kita menyamakan derajat Eksistensi Absolut ini kepada aspek pertama kuiditas dalam skema ibn Sinā, kita tidak dengan demikian memaksudkan bahwa Eksistensi Absolut, dengan sebab keabsolutannya, adalah identik dengan alam semesta. Hal ini karena sifat-dasar alam semesta, sebagaimana dipahami teolog dan filsuf secara umum, dan apakah itu diberlakukan pada kuiditas atau eksistensi, adalah dipahami sebagai hal mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal (teolog), atau hal itu merupakan hal yang baik mental dan juga nyata dan memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal (filsuf), dalam pengertian bahwa kata ‘nyata’ dan ‘realitas’ di sini ditunjukkan secara esensial kepada kuiditas-kuiditas yang dipertimbangkan sebagai realitas yang berbeda, dan bukan kepada eksistensi.299 Kita tidak mengakui bahwa Eksistensi Absolut, dengan

296 Terdapat banyak referensi dalam Qur’ān yang menyentuh pada tindakan penciptaan oleh Tuhan dimana tindakan penciptaan diselesaikan ‘oleh kebenaran’ (bi al-haqq). Lihat untuk contoh Al-An’ām (6): 73; dan Ibrāhīm (14): 19.

297 Al-Hadīd (57): 3.

298 Lihat bab VI, hlm. 237, catatan 266.

sebab keabsolutannya, adalah identik dengan alam semesta dalam pengertian yang disebutkan di atas. Hal ini karena kita di sini tidak berbicara tentang eksistensi sebagai entitas konseptual, yang karakteristiknya diatur oleh pertimbangan mental yang menyentuh pada universal. Karena kita berbicara tentang eksistensi sebagai sebuah realitas objektif dan aktif yang independen dari pikiran, apa yang dimaksudkan dengan ‘keabsolutan’ Eksistensi Absolut adalah bahwa hal itu tidak memiliki determinasi (ta’ayyun) atau individuasi (tashakhkhus) yang tidak konsisten dengan determinasi atau individuasi dimana hal itu terlibat dalam samaran dari esensi-esensi yang muncul dalam pelbagai tingkatan dan derajat ontologis. Hal ini berarti bahwa hal tersebut tidak memiliki sebuah individuasi berdasarkan dengan karakteristik esensi individual manapun yang menghalanginya secara simultan juga diindividuasikan berdasarkan dengan karakteristik esensi-esensi individual lain tanpa multiplisitas atau perubahan apapun muncul dalam esensi-esensinya sendiri. Keabsolutan sedemikian, yang mustahil dalam kasus alam semesta dipertimbangkan sebagai entitas mental, tidak membuat mustahil bagi Eksistensi Absolut untuk diindividuasikan dalam dirinya sendiri, dalam sebuah cara individuasi yang bebas dari gagasan universalitas, seperti individuasinya sebagai Tuhan, untuk contohnya.300

Kini Eksistensi Absolut dalam aspek eksteriornya pada gilirannya merupakan aspek interior dari tahap perkembangan ontologis yang secara segera mengikuti, yakni determinasi umum (ta’ayyun jāmi’), yang kadang-kadang juga disebut ‘eksistensi umum’ (wujūd ‘āmm),301 yang terkandung di dalam dirinya sendiri semua manifestasi aktif, niscaya, dan makhlukiah. Tahap perkembangan ontologis ini diakibatkan oleh pancaran paling suci dari eksistensi (al-fayd al-aqdas), yang merupakan ekspansi tunggal eksistensi dalam cara umum yang mengandung di dalam dirinya manifestasi dari pasangan yang berlawanan dari semua maujud yang mungkin dalam dunia yang tidak terlihat maupun pada dunia yang terlihat, seperti manifestasi aktif, niscaya, ilahiyah maupun manifestasi pasif, kontingen dan maklukiah. Hal ini merupakan derajat kedua eksistensi dan merupakan manifestasi pertama dari realitas eksistensi, sehingga disebut tahap determinasi pertama dari eksistensi (ta’ayyun awwal).302 Kita dapat menskematisasi penjelasan di depan dengan diagram berikut:

300 Jawaban Jāmī pada argumen dari teolog dinyatakan pada catatan 299 di atas ditemukan, untuk contoh, dalam pernyataan pendek yang berjudul Risalāh fi al-Wujūd, yang telah diedit oleh N. Heer dalam Islāmic Philosophical

Theology, ed. Parvis Morewedge, SUNY, Albany, 1979, hlm. 223-256. Untuk teks bahasa Arab, lihat hlm. 248-256.

Dengan referensi pada apa yang telah kita nyatakan di atas, lihat hlm. 250 (14). Lihat juga referensi dalam catatan 291, di atas.

301 Lihat Jāmī, Naqd al-Nusūs, hlm. 35, terjemahan 27.

302 Kata ‘ayn bermakna ‘entitas’. Ta’ayyun adalah berbicara secara ketat sebuah ‘entifikasi’, karenanya itu merupakan sebuah determinasi sebagai sebuah entitas. Pasangan dari yang berlawanan tersusun dalam Nama-Nama Ilahiyah dan Sifat dalam aspek mereka tentang perbedaan dari-Nya. Mereka ada dalam operasi sinambung dan tidak mungkin berhenti dalam di antara mereka semua. Untuk makna ‘ayn, lihat lebih lanjut bab VI, hlm. 242, catatan 268.

Esensi dari Realitas Tertinggi Yang merupakan Eksistensi

Aspek Interior Keesaan Absolut

Al-‘amā’

Derajat ke-1 Aspek Eksterior

Tidak dikondisikan

Aspek Interior Non Manifestasi

Keesaan Abstrak

Kanz makhfiyy Aspek Eksterior

Pancaran Paling Suci

Dalam bahasa metafora kita katakan bahwa ketika Realitas Tertinggi berhasrat untuk melihat Keindahan gemerlapan diri-Nya (jamāl), Dia mengungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya dalam Esensi-Nya (cth. tajallī dhāti) dan melihat di dalamnya seperti dalam cermin ajaib tentang Kesempurnaan esensial-Nya (kamalāt dhātiyyah) dalam keindahan abadi dan terus berlangsung. Cermin pertama ini, dengan mana Dia memandang diri-Nya dalam perenungan yang merefleksikan Nama-Nama-Nya Yang Paling Indah asmā’ al-husnā) dan Sifat-Sifat Sublim (al-sifāt al-‘ulyā). Swa-manifestasi dan swa-perenungan pertama dari Realitas Tertinggi ini menunjuk kepada derajat pertama dan kedua dari Eksistensi Absolut, yang kedua darinya itu ada pada tingkatan ontologis dari determinasi pertama.

Tingkatan ini, yang muncul sebagai hasil pancaran paling suci yang mengandung bentuk-bentuk pasangan yang berlawanan yang menyusun semua manifestasi aktif, niscaya, ilahiyah, maupun, semua manifestasi pasif, kontingen, dan makhlukiah, menandai ‘penurunan’ (tanazzul) Realitas Tertinggi dari derajat Keesaan (wahdah), dimana di dalamnya tidak ada yang lain yang dimanifestasikan meskipun hal itu menandakan langkah pertama menuju manifestasi, kepada derajat Kesatuan (Wahidiyyah), dimana di dalamnya artikulasi dalaman yang menyusun dalam Kesatuan tersebut itu terlihat pada-Nya sebagai bentuk-bentuk dari multiplisitas potensial. Dalam derajat Keesaan yang lebih dahulu daripada Kesatuan, bentuk-bentuk partikular yang pasti sudah tertinggal di dalamnya dalam sebuah kondisi ontologis huru hara namun dinegasikan oleh Keesaan, seperti ‘cahaya dari banyaknya bintang hilang dalam kehadiran cahaya yang dipancarkan matahari”.303 Keesaan tersebut yang tetap di sini lalu berpaling menuju aspek interiornya, yang menegasi semua manifestasi dan selalu tinggal dalam Keesaan absolut dari Esensi. Hanya ketika Keesaan tersebut berpaling menuju aspek eksterior ia membuat dirinya menjadi pasangan yang berlawanan satu sama lain, seperti aktif dan pasif, niscaya dan kontingen, ilahiyah dan makhlukiah, dengan maksud untuk disatukan kembali dalam determinasi yang membawa partikularisasi (takhassus) pada tahap lebih lanjut. Tahap lebih lanjut ini adalah Kesatuan, dan hal tersebut berhubungan dengan modus eksistensi sebagaimana dikondisikan dengan indeterminasi, dalam pengertian tidak dikondisikan oleh partikularisasi atau individuasi apapun, tetapi bebas menautkan dirinya dalam partikularisasi dan individuasi (lā bi shart shay’). Kemudian dalam perkembangan lebih lanjut-Nya pada tingkatan determinasi kedua dan ketiga lalu Realitas Tertinggi, dalam aspek-Nya sebagai Eksistensi Absolut, memunculkan di dalam

kesadaran-Nya manifestasi aktif, efisien dan ilahiyah yang berhubungan dengan derajat Ilahiyah (Ilāhiyyah). Hanya pada tahap inilah Eksistensi Absolut dapat dicapai kognisi manusia sebagai ‘Tuhan’ (ilāh), dan digambarkan dalam cara sebagaimana Dia telah mengungkapkan diri-Nya dengan Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya akan keilahiyahan. ‘Penurunan’ Eksistensi Absolut pada determinasi ketiga dan keempat, yang berhubungan dengan derajat ketiga dan keempat eksistensi, menampilkan aspek ke-luar dari Realitas Tertinggi yang juga disebut Eksistensi Niscaya (al-wājib al-wujūd), karena keniscayaan adalah kondisi yang tidak berubah-ubah.304

Kemudian kembali dalam bahasa metafora kita katakan bahwa Realitas Tertinggi, setelah merenungkan diri-Nya sendiri dalam cermin pertama tersebut dimana di dalamnya direfleksikan kesempurnaan esensial-Nya, dan berhasrat untuk melihat esensi-esensi (al-a’yān) Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya yang tidak terhingga, yang diungkapkan diri-Nya kepada diri-Nya sendiri namun kembali dalam bentuk-bentuk mereka dan melihat, seperti dalam cermin ajaib lain, realitas-realitas (haqā’iq) yang inheren dalam mereka.305 Bentuk dari Nama-Nama dan Sifat-Sifat tersebut merupakan esensi-esensi yang tegak atau arketip permanen (al-a’yān al-thābiţah). Dengan demikian ketika Eksistensi Absolut, dalam swa-pemanifestasian-Nya, dari aspek eksterior Keesaan pada tingkatan ontologis dari determinasi pertama merenungkan diri-Nya sendiri, Dia itu sadar terhadap kesempurnaan diri-Nya sendiri, yang merupakan bentuk esensial dari Nama-Nama Ilahiyah yang dapat dilihat dalam kesadaran Ilahiyah. Mereka itu, sebagaimana dikatakan, ‘gagasan’ atau ‘intelijibel’ dalam pengetahuan Ilahiyah, dan dikualifikasikan sebagai dibangun secara permanen dan tetap (thābitah) karena mereka berada secara permanen (cth. baqā’) dalam kesadaran dan pengetahuan Ilahiyah. Mereka tetap tinggal di dalamnya dan tidak berubah dalam sifat-dasar mereka dan tidak dipindahkan dari kondisi interior dan intelijibel mereka. Lebih lanjut, karena keterpilahan mereka satu sama lain dan kesinambungan (baqā’) mereka sedemikian dalam kesadaran Ilahiyah mereka itu merupakan realitas-realitas, pastinya, realitas-realitas asali dari hal-hal yang kondisi masa depannya diaktualisasikan pada derajat-derajat yang lebih rendah akan tingkatan ontologis.

Kini Eksistensi Absolut dalam derajat tertinggi keabsolutannya tidak membutuhkan apapun, cukup pada diri-Nya sendiri dan tidak membutuhkan yang ‘lain’ apapun itu. Tapi Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya, yang menjadi nampak kepada-Nya pada derajat-derajat lebih rendah akan tingkatan ontologis, membutuhkan realitas-realitas mereka untuk dimanifestasikan dalam bentuk-manifestasi (manifestation-form) mereka (mazāhir, tung. mazhar), apakah bentuk-manifestasi

304 Dengan istilah ‘niscaya’ (wujūb) kita menunjuk pada salah satu dari tiga kategori eksistensi; dua yang lain adalah ‘mustahil’ (imtinā’) dan ‘kemungkinan’ (imkān). Kategori-kategori tersebut dapat dipahami dalam pengertian logis maupun ontologis. Di sini kita tidak hanya memaksudkan ‘niscaya’ dalam pengertian logis (cth. wujūb; istihālah;

jawāz), seolah-olah objeknya yang ditunjuknya hanya sebuah putusan intelektual yang mungkin tidak memiliki realitas

yang berhubungan dalam eksistensi di luar pikiran. Kita maksudkan dengannya juga dalam pengertian ontologis, dan niscaya dalam pengertian yang menyentuh kepada dua jenis realitas, yang satu tergantung kepada yang lain untuk eksistensinya. Dalam kasus yang pertama hal itu menyentuh pada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh dirinya sendiri, seperti Eksistensi Absolut yang diidentifikasi dengan ungkapan Qur’ān sebagai Kebenaran (al-haqq). Hal itu merupakan realitas yang eksistensinya tidak didahului oleh non-eksistensi; hal itu merupakan swa-berada dengan sebab esensinya sendiri (qā’im bi nafsih) dan deskripsi ini menunjuk pada Nama Ilahiyah al-qayyūm. Dalam kasus kedua hal itu menyentuh kepada realitas yang eksistensinya itu niscaya oleh selain dirinya, seperti eksistensi konkret dunia hal-hal empiris, yang eksistensinya didahului oleh non-eksistensi, dan dibuat niscaya oleh eksistensi dari Eksistensi