• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syed Muhammad Naquib Al-Attas - Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Transl. English-Indonesian)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Syed Muhammad Naquib Al-Attas - Prolegomena to the Metaphysics of Islam (Transl. English-Indonesian)"

Copied!
215
0
0

Teks penuh

(1)

PROLEGOMENA

TO THE METAPHYSICS OF ISLAM:

AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE

WORLDVIEW OF ISLAM

karya:

(2)

RESUME

PROLEGOMENA

TO THE METAPHYSICS OF ISLAM:

AN EXPOSITION OF THE FUNDAMENTAL ELEMENTS OF THE WORLDVIEW OF ISLAM

Profil Buku dan Pengarang

Prolegomena To The Metaphysics Of Islam, merupakan sebuah buku yang ditulis oleh seorang filsuf Islam yang bernama Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Buku ini, sebagaimana dikatakan pada bagian pengantar cetakan pertama pada tahun 1995, merupakan Bab-bab yang pada aslinya diterbitkan sebagai monografi terpisah dalam jumlah terbatas atas permintaan staf akademik ISTAC dan pihak lain. Mereka meminta saya untuk mengelaborasi komentar tiap monografi, dalam bentuk sebuah kuliah di ISTAC yang kemudian dikenal sebagai Kuliah Sabtu Malam[1].

Dengan pengecualian akan bab I, yang telah ditulis dua puluh tahun lalu pada bulan Ramadan, keenam bab lain telah ditulis dan dilengkapi selama bulan pada tahun 1989 (III; 1990 (IV, V dan VI); 1993 (II); dan 1994 (VII). Bab II, merupakan komentar atas penjelasan teori Al-Attas tentang makna dan asal tragedi. Keseluruhan buku ini, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian Penutup, akhirnya menunjuk kepada interpretasi makna yang tersembunyi dari bagian Qur’an tentang Penciptaan dalam Enam Hari.

Sekilas tentang Al-Attas, dia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tahun 1931, dan menjalani pendidikan dasar di Sukabumi dan Johor Baru. Lalu, menempuh pendidikan di The Royal Military Academy, Sandhurst, England, lalu ke University of Malaya, Singapura. Gelar master diraihnya di McGill University, Montreal, Canada, dan PhD di University of London, London, Inggris, dengan konsentrasi bidang ‘Islamic philosophy’, ‘theology’ dan ‘metaphysics’. Di McGill inilah kemudian ia berkenalan dengan beberapa orang sarjana yang terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazlur Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Kualitas keilmuan yang dimilikinya tersebut sampai membuat Fazlur Rahman menyatakan bahwa Al-Attas merupakan seorang pemikir ‘jenius’ yang dimiliki dunia Islam.

Berbagai jabatan penting dalam dunia pendidikan yang dialaminya, antara lain: ketua Department of Malay Language and Literature, Dekan the Faculty of Arts, dan pemegang pertama ‘the Chair of Malay Language and Literature’, dan Direktur pertama The Institute of Malay Language, Literature and Culture, yang ia dirikan tahun 1973. Ia juga mengetuai The Division of Literature di Department of Malay Studies, University of Malaya, Kuala Lumpur. Juga, ia pernah memegang posisi UNESCO expert on Islamics; Visiting Scholar and Professor of Islamics at Temple University and Ohio University, distinguished Professor of Islamic Studies and the first holder of the Tun Abdul Razak Distinguished Chair of Southeast Asian Studies at the American University, Washington, Ibn Khaldun Chair of Islamic Studies (1986), dan Life Holder Distinguished Al-Ghazali Chair of Islamic Thought, International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), 1993.

(3)

Professor al-Attas telah memberikan kuliah di berbagai belahan dunia dan menulis lebih dari 30 buku dan berbagai artikel tentang Islam, menyangkut masalah filsafat Islam, teologi, metafisika, sejarah, sastra, agama, dan peradaban. Beberapa bukunya yang ditulis dalam bahasa Melayu dan Inggris telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Urdu, Jerman, Italia, Rusia, Bosnia, Albania, Jepang, Korea, India, dan Indonesia. Atas jasanya yang besar dalam pengembangan bidang comparative philosophy, ‘The Empress of Iran’ mengangkatnya sebagai Fellow di Imperial Iranian Academy of Philosophy tahun 1975. Presiden Pakistan memberikan penghargaan ‘Iqbal Medal’ tahun 1979. Sejak tahun 1974, Marquis Who's Who in the World telah memasukkan Al-Attas ke dalam daftar nama orang-orang yang menunjukkan prestasi istimewa dalam bidangnya.

Al-Attas dikenal sebagai pelopor konseptualisasi Universitas Islam, yang ia formulasikan pertama kalinya pada saat acara ‘First World Conference on Muslim Education’, di Makkah (1977). Tahun 1987, ia mewujudkan gagasannya dengan mendirikan The International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC). Ia merancang dan membuat arsitektur sendiri bangunan ISTAC, merancang kurikulum, dan membangun perpustakaan ISTAC yang kini tercatat salah satu perpustakaan terbaik di dunia dalam Islamic Studies. Raja Hussein mengangkatnya sebagai ‘Member of the Royal Academy of Jordan (1994). The University of Khartoum menganugerahinya ‘Degree of Honorary Doctorate of Arts (D.Litt.), 1995. The Organization of Islamic Conference (OIC), atas nama dunia Islam, melalui ‘The Research Centre for Islamic History, Art and Culture (IRCICA) menganugerahi Al-Attas ‘The IRCICA Award’ atas kontribusi besarnya terhadap peradaban Islam (2000); The Russian Academy of Science memberikan kehormatan kepada al-Attas untuk memberikan ‘Special Presentation’ kepada para akademisi di Moskow (2001). Pemerintah Iran, melalui lembaganya, ‘Society for the Appreciation of Cultural Works and Dignitaries’, memberikan penghargaan kepada al-Attas ‘a special Award of Recognition’ (2002).

Disamping itu, Prof. al-Attas juga anggota ‘The Advisory Board of Al-Hikma Islamic Translation Series, Institute of Global Cultural Studies, Binghamton University, SUNY, Brigham Young University; anggota ‘The Advisory Board of the Royal Academy for Islamic Civilization Research, Encyclopaedia of Arab Islamic Civilization, Amman, Jordan; dan anggota ‘The Assembly of the Parliament of Cultures, International Cultures Foundation’, Turki.

Al-Attas telah menulis lebih dari 400 makalah ilmiah di negara-negara Eropa, Amerika, Jepang, Timur Jauh, dan pelbagai negara Islam lainnya. Dia juga telah menulis 26 buku dan monograf, baik dalam bahasa Inggris maupun Melayu dan banyak yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa lain, seperti bahasa Arab, Persia,Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Rusia, Bosnia, Jepang, India, Korea, dan Albania.[2]

Al-Attas juga menjadi seorang yang penting karena pandangannya tentang elemen-elemen pandangan-dunia (worldview) Islam dan Barat, serta analisanya tentang kemunduran umat Islam. Bagaimana respon Barat sendiri terhadap pandangannya begitu bervariasi seperti dapat dilihat, misalnya, juga disampaikan saat Konferensi Internasional para Filosof pada Januari 2000, di University of Hawai. Konferensi ini diikuti oleh sekitar 160 cendekiawan dari 30 negara dan berlangsung selama dua minggu. Tema yang dibahas ialah “Technology and Cultural Values on the Edge of the Third Millennium”. Dalam editorialnya terhadap buku kompilasi hasil konferensi itu, tiga ilmuwan terkenal, yaitu Pater D. Hershock, Marietta Stepaniants, dan Roger T. Ames, mencatat bahwa paparan al-Attas yang menyorot kesesuaian dan ketidaksesuaian antara tradisi

(4)

Barat dalam sains dan teknologi dengan sistem epistemologi dan metafisika Islam, merupakan paparan yang artikulatif, cermat, dan sistematis, tentang basis revisi Islami terhadap tujuan dan premis-premis moral dalam sains dan teknologi.

Kandungan Buku Prolegomena

Penjelasan kandungan buku tersebut, akan penulis uraikan dari sebuah pertanyaan: apa signifikansi dari buku Prolegomena To The Metaphysics Of Islam? dan kemudian mengelaborasi unsur-unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang disajikan di dalamnya.

Buku tersebut memiliki signifikansi terhadap umat Islam dan masyarakat Barat. Khusus bagi umat Islam, signifikansi tersebut terletak pada persoalan kemunduran umat Islam dewasa ini. Kemunduran tersebut, menurut Al-Attas, terletak pada persoalan ilmu, bukan hukum maupun politik. Kemunduran yang terjadi pada umat Islam, menurutnya, disebabkan oleh korupsi atau kerusakan ilmu. Kerusakan ilmu yang dimaksud bahwa ilmu yang kini beredar di seluruh dunia sebenarnya tidak netral dan dirasuki oleh karakteristik peradaban Barat yang bermasalah. Hal ini diungkapkan di dalam beberapa bagian buku tersebut, seperti bagian Pengenalan, bab 1: Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, bab 2: Kebahagiaan, dan bab 3: Islam dan Filsafat Sains. Sorotan yang sedemikian tajam diberikan terhadap persoalan ini, sebab ilmu yang telah dimuati karakteristik Barat telah membuat umat Islam – yang secara internal juga memiliki masalah pemahaman keislaman – tertipu oleh slogan objektifitas dan ilmiah yang membuat mereka tidak kritis dalam menerima apa yang datang dari Barat – secara umum dari luar. Hal ini diperoleh saat Al-Attas berusaha mengenali Barat secara tepat. Ia kemudian mendefinisikan Barat sebagai :

Dengan ‘peradaban Barat’ saya bermaksud peradaban yang telah berevolusi dari leburan historis, filsafat, nilai dan cita-cita dari Yunani Kuno dan Romawi; peleburan mereka dengan Yudaisme dan Kristianitas, dan pengembangan mereka lebih lanjut dan pembentukan oleh orang-orang Latin, Jerman, Celtic dan Nordik. Dari Yunani kuno diturunkan unsur filosofis dan epistemologis dan fondasi pendidikan dan etika dan estetika; dari Romawi unsur hukum dan keahlian berpolitik dan pemerintahan; dari Yudaisme dan Kristianitas unsur keyakinan keagamaan; dan dari orang-orang Latin, Jerman, Celtic, dan Nordik semangat independensi dan jiwa kebangsaan dan nilai tradisional mereka, dan pengembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan alam dan fisik dan teknologi dimana mereka, bersama dengan orang-orang Slavia, telah mendorong hingga kekuatan puncak. Islām juga telah membuat kontribuasi yang sangat penting pada peradaban Barat dalam nuansa pengetahuan dan menanamkan jiwa rasional dan saintifik, tetapi

pengetahuan dan jiwa rasional dan saintifik telah dituang kembali dan dicetak ulang untuk menyesuaikan tempat kebudayaan Barat sehingga mereka telah menjadi menyatu dan lebur dengan semua unsur lain yang membentuk karakter dan personalitas peradaban Barat. Tetapi fusi dan peleburan ini dengan demikan berevolusi menghasilkan karakter dualisme dalam pandangan-dunia dan nilai dari peradaban dan

kebudayaan Barat; sebuah dualisme yang tidak dapat diselesaikan ke dalam kesatuan yang harmonis, karena itu dibentuk dari gagasan, nilai, kebudayaan, kepercayaan-lemah, filsafat, dogma, doktrin dan teologi yang bertentangan dan semuanya merefleksikan sebuah visi dualistik tentang realitas dan kebenaran yang menembus semua yang terkunci dalam perang yang putus asa. Dualisme terdapat di semua aspek kehidupan dan filsafat Barat: yang spekulatif, sosial, politis, kebudayaan – seperti itu meliputi dengan ketidaktawaran (inexorableness) yang setara agama Barat.[3]

(5)

Definisi tersebut ternyata kemudian dinyatakan sebagai sesuatu yang paling menohok dalam mengungkapkan kelemahan peradaban Barat, terbukti dengan diapresiasinya dan digunakannya definisi tersebut dalam studi tentang Barat. Inilah hal yang menjadikan buku ini juga memiliki signifikansi terhadap peradaban Barat. Mengungkapkan Barat secara tepat merupakan sesuatu yang sebenarnya dilakukan untuk mengidenfitikasi entitas, yang secara mendalam bertentangan secara permanen (permanent confrontation).[4]

Al-Attas lebih lanjut menegaskan bahwa umat Islam juga memiliki persoalan internal yang terjadi disebabkan pembatasan makna kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam. Penyempitan dan perluasan tidak berdasarkan sistem akar kata merupakan salah satu penyebab. Al-Attas menyatakan pada bagian Pengenalan bahwa:

kata-kata yang mengandung makna yang fokus di atas kebenaran mendasar yang khas bagi Islām, contohnya di antara yang lain, ‘pengetahuan’ (‘ilm), ‘keadilan’ (‘adl), tindakan yang betul (adab),

‘pendidikan’ (ta’dīb), telah dirusakkan, sehingga ‘pengetahuan’ menjadi terbatas pada jurisprudensi, atau yang hanya berdasarkan pada bentuk terbatas dari rasio dan pengalaman inderawi; ‘keadilan’ bermakna persamaan yang tidak memenuhi syarat, atau hanya prosedur; ‘tindakan yang betul’ bermakna etiket yang hipokrit; dan ‘pendidikan’ bermakna jenis pelatihan yang memimpin kepada akhir yang diturunkan dari rasionalisme filosofis dan sekular.[5]

Oleh karena itu, menurutnya, menjadi kewajiban pada cendekiawan muslim dalam mengawasi penggunaan kosa kata kunci tersebut sehingga umat Islam tetap terpelihara dari kebingungan yang tidak perlu, khususnya dalam persentuhan dengan peradaban lain. Pandangan yang sedemikian ketat, disebabkan pandangan Al-Attas bahwa bahasa mencerminkan ontologi. Bahasa memuat pandangan-dunia suatu peradaban. Islamisasi, menurutnya, dimulai dari bahasa. Oleh karena itu ia kemudian memperkenalkan pula apa yang disebutnya sebagai bahasa Islami. Sebab bahasa dapat dikategorikan sebagai Islām ada dengan kebajikan dari keumuman kosakata dasar Islām yang melekat dalam setiap bahasa tersebut, istilah dan konsep kunci dari setiap bahasa sebaiknya memang mengandung makna yang sama, karena mereka semua terlibat dalam jaringan konseptual dan semantik yang sama.[6]

Dalam persoalan bahasa tersebut ia juga mengatakan bahwa jika Islamisasi bermula dari pikiran yang terwujud kepada bahasa, maka begitu pula sekularisasi. Oleh sebab itu ia mengatakan bahwa kebingungan yang tidak perlu mengenai kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam, secara utama disebabkan oleh penerjemahan sekularisasi dan sekularisme ke dalam bahasa Arab Kristen dan kemudian dibiarkan digunakan dalam pemikiran Islam kontemporer dengan kata ‘almāniy. Padahal tidak ada padanan antara sekularisme dengan apa yang ada pada Islam. Penerjemahan ini diperparah dengan tidak sadarnya para penerjemah tersebut dengan perubahan makna sekularisme dalam kesadaran dan pengalaman peradaban Barat. Makna yang diterjemahkan oleh para penerjemah Arab Kristen tersebut sebenarnya merupakan makna yang ada pada masa Gereja Latin Awal. Sedangkan makna yang sekarang ada adalah apa yang disampaikan oleh pendukung utamanya yaitu Van Peurseun. [7] Pada akhirnya sekularisme ataupun sekularisasionisme merupakan sesuatu yang bertentangan dengan Islam. Sebab, sekularisme menghapuskan hubungan alam dengan Tuhan, menghapuskan legitimasi ilahi terhadap persoalan siyasah, dan meletakkan semua nilai-nilai dalam wilayah yang relatif dengan asumsi bahwa semua nilai-nilai tersebut merupakan buatan manusia.

(6)

Mulailah kiranya dapat dilihat bahwa Prolegomena menjadi buku yang sangat penting sebab buku tersebut menyoroti unsur-unsur mendasar pandangan-dunia Islam yang memiliki ikatan yang erat dengan gagasan umat Islam tentang tajdid. Al-Attas mengungkapkan bahwa unsur-unsur mendasar tersebut dan konsep kunci bersangkutan memiliki kegamblangan yang mendalam, di atas gagasan kita tentang perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Menurut Al-Attas, secara singkat:

Konsep ‘perubahan’, ‘perkembangan’, dan ‘kemajuan’ mengandaikan situasi dimana kita menemukan diri kita dibingungkan oleh campuran kebenaran dan kepalsuan, akan kenyataan dan ilusi, dan menjadi tawanan dalam wilayah yang ambigu. Dalam situasi yang bertentangan, tindakan kita yang positif dalam pertunjukkan kebebasan untuk memilih yang lebih baik, untuk menerima apa yang baik dan relevan dengan kebutuhan kita, untuk secara sungguh hati-hati dalam keputusan kita akan kebutuhan, sementara itu tetap mempertahankan usaha kita untuk kembali kepada jalan lurus dan mengarahkan langkah kita dalam kesepakatan dengannya – usaha semacam itu, yang menyertakan perubahan, adalah perkembangan; dan kondisi kembali seperti itu, yang terkandung dalam perkembangan, adalah kemajuan.[8]

Unsur-unsur mendasar tersebut terdiri dari, untuk menyebutkan yang paling penting dari unsur-unsur mendasar pandangan-dunia, yakni, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān); tentang ciptaan-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān); tentang kebahagiaan.

Kini penulis akan mengelaborasi secara ringkas tapi cukup mendalam tentang unsur-unsur mendasar tersebut, berdasarkan bab-bab yang ada dalam Prolegomena, meski tidak berurutan. Pada Bab 1: Islam, Konsep Agama dan Fondasi Moralitas, Al-Attas menawarkan sebuah definisi agama berdasarkan pada penanda dīn. Definisi ini merupakan suatu yang asli baru pertama kali dibuat olehnya. Disebabkan penanda atau kosa kata kunci dalam pandangan-dunia Islam berputar dalam jaringan semantik yang berdasarkan akar kata, definisi tersebut memang merupakan aplikasi Al-Attas terhadap prinsip tersebut. Definisi tersebut diberikan juga dengan pertimbangan bahwa definisi agama dari peradaban Barat – yakni, religion – tidak sama dengan apa yang ada dalam Islam.

Ia mengatakan bahwa:

Kata dīn yang diturunkan dari akar bahasa Arab DYN memiliki banyak penanda dasar yang meskipun terlihat berlawanan satu sama lain, namun secara konseptual saling berhubungan, sehingga makna pokok yang diturunkan semuanya menampilkan diri sebagai kesatuan yang jelas akan keseluruhan. Dengan ‘keseluruhan’ saya memaksudkan apa yang digambarkan sebagai Agama Islām, yang terkandung di dalam dirinya semua makna mungkin yang relevan dan inheren dalam konsep dīn. Karena kita berurusan dengan konsep Islām yang diterjemahkan ke dalam realitas aktual secara intim dan mendalam dihidupi dalam pengalaman manusia, kemunculan pertentangan pada makna dasarnya tentu saja tidak terkait dengan kekaburan; melainkan berkaitan dengan pertentangan yang inheren dalam sifat-dasar manusia itu sendiri, yang direfleksikan secara setia. Dan kekuatan mereka untuk merefleksikan sifat-dasar manusia secara setia adalah demonstrasi yang jelas itu sendiri akan kejernihan, ketelitian, dan otentisitas dalam mengandung kebenaran.[9]

(7)

lebih lanjut mengatakan bahwa kata kerja dana yang diturunkan dari dīn mengandung makna sedang berhutang, termasuk pelbagai makna lain yang berhubungan dengan hutang, beberapa dari mereka berlawanan. Dalam kondisi dimana seseorang menemukan dirinya sedang berhutang, itu untuk mengatakan, seorang da’in menyertainya bahwa seseorang memerintah dirinya sendiri, dalam pengertian hasil dan mematuhi, pada hukum dan peraturan pengaturan hutang, dan juga, dengan cara, kepada kreditor, yang juga sama ditunjuk sebagai da’in[10]. Ada juga yang terkandung dalam situasi yang digambarkan tersebut fakta bahwa seseorang yang berhutang ada di bawah kewajiban, atau dayn. Ada dalam hutang dan di bawah kewajiban secara alamiah melibatkan pengadilan: daynunnah, dan kesaksian: idanah, sebagaimana kasus tersebut. Semua penanda di atas termasuk lawan mereka yang inheren dalam dana hanya mungkin dipraktekkan dalam masyarakat terorganisir yang terlibat dalam kehidupan niaga di kota dan kota besar, yang ditunjuk dengan mudun atau mada’in. Sebuah kota atau kota besar, madīnah, memiliki hakim, pengatur, atau pengelola, seorang dayyan. Jadi sudah ada di sini dalam pelbagai penggunaan hanya dari kata kerja dana, kita melihat hadir di depan mata pikiran kita sebuah gambar kehidupan yang beradab; akan kehidupan sosial akan hukum, tatanan, keadilan, dan otoritas[11]. Hal tersebut, secara konseptual setidaknya, terhubung secara intim dengan kata kerja lain maddana[12] yang berarti: membangun atau mendirikan kota: beradab, memperbaiki dan memanusiakan; darinya diturunkan istilah lain: tamadun, bermakna peradaban dan perbaikan kebudayaan sosial. Dengan demikian kita menurunkan dari penanda dasar pada kondisi berhutang penanda lain yang berhubungan, yang lain seperti: menghina diri sendiri; melayani (seorang tuan), menjadi diperbudak; dan dari penanda seperti hakim, pengatur, pemerintah terdapat tanda yang diturunkan makna yang menandakan menjadi perkasa, berkuasa dan kuat; seorang tuan, seseorang diangkat dalam tingkatan, dan jaya; masih lebih lanjut, makna: keputusan, perhitungan atau imbalan (pada beberapa waktu yang dijanjikan). Kini inti gagasan tentang hukum, keteraturan, keadilan, otoritas, dan perbaikan sosial kultural yang inheren dalam semua penanda yang diturunkan dari konsep dīn tentu harus mengandaikan keberadaan sebuah modus atau cara bertindak yang konsisten dengan apa yang direfleksikan dalam hukum, keteraturan, keadilan, otoritas dan perbaikan sosial kultural, sebuah modus atau cara bertindak, atau kondisi sesuatu yang dianggap sebagai normal dalam hubungan dengan mereka; sehingga kondisi sesuatu ini adalah sebuah kondisi yang biasa atau terbiasa. Dari sini, kemudian, kita dapat lihat logika dibalik turunan dari penanda dasar lain dari konsep dīn sebagai adat, kebiasaan, karakter atau kecenderungan alamiah. Pada tahap partikular ini semakin bertambah jelas bahwa konsep dīn dalam bentuk paling dasar sungguh merefleksikan kesaksian yang benar akan kecenderungan alamiah manusia untuk membentuk masyarakat, mematuhi hukum, dan mencari pemerintah yang adil. Gagasan sebuah kerajaan, sebuah kosmopolis, yang inheren dalam konsep dīn yang muncul di hadapan pandangan kita adalah yang paling penting dalam membantu kita mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentangnya.

Dalam bab 1, Al-Attas kemudian juga mengelaborasi tentang bagaimana seseorang secara alamiah akhirnya menyadari bahwa ia sedang berhutang kepada Tuhan. Hutang tersebut termasuk juga dirinya atau eksistensinya. Hutang tersebut dikembalikan kepada Tuhan dengan dirinya sebagai alat bayar hutang itu sendiri. Manusia yang membayar hutang tersebut akan menjadikan dirinya sebagai pelayan Tuhan. Terdapat dua penanda yang menunjuk kepada makna pelayan Tuhan yaitu khadim dan ‘abid. Penanda pertama menunjuk kepada makna bahwa pelayanan seseorang kepada Tuhan merupakan suatu hal yang beranjak dari keinginan dirinya sendiri. Khadim merupakan pihak yang tidak terikat dengan pihak yang dilayani. Dari sini kita langsung menuju penanda kedua yaitu, ‘abid yang bermakna bahwa seseorang yang menjadi

(8)

pelayan bersifat terikat dengan yang dilayani. Sehingga seorang pelayan melayani dengan bentuk yang sesuai dengan permintaan yang dilayani. Meskipun dua penanda tersebut nampak berlawanan, sebenarnya tidak demikian. Kedua penanda tersebut sebenarnya menunjuk kepada aspek bahwa manusia memiliki pilihan (ikhtiyār) untuk melayani Tuhan dan saat dia sudah memilih maka ia melayani Tuhan sesuai dengan apa yang disampaikan Tuhan. Dari sini juga, Al-Attas mengatakan bahwa ‘abid lebih tepat dalam menunjuk pelayan Tuhan, yang pelayanannya disebut ‘ibadāt.

Saat manusia melayani Tuhan, maka pelayanannya tersebut berbuah kebaikan, seperti bumi yang mati kemudian ditimpa hujan yang berulang-ulang dan menumbuhkan pelbagai tumbuhan di atasnya. Pengembalian hutang atau pelayanannya pun kemudian dibalas dengan berlipat ganda. Dalam pelayanannya, sebenarnya manusia – yang ditunjuk sebagai ‘abid – juga sedang memenuhi tujuan penciptaannya, sebagaimana disampaikan dalam Qur’an:

‘Aku hanya menciptakan jin dan manusia supaya mereka menyembah-Ku’ (ya’buduni).[13]

Maka menjadi masuk akal jika pelayanan yang dilakukan oleh manusia dirasakan oleh manusia sendiri sebagai sesuatu yang alamiah. Kealamiahan ini akhirnya beririsan dengan apa yang dikenal sebagai fţtrah. Bahkan dīn juga bermakna fitrah[14]. Fitrah adalah pola yang berdasarkannya Tuhan telah menciptakan segala sesuatu. Hal tersebut adalah cara penciptaan oleh Tuhan, sunnat Allah, dan segalanya cocok satu sama lain ke dalam pola yang diciptakan untuknya dan diletakkan dalam tempatnya yang tepat. Itu adalah hukum Tuhan. Ketundukan kepadanya membawa kondisi harmonis, karena itu bermakna perwujudan apa yang inheren dalam sifat-dasar sejati seseorang; berlawanan dengannya membawa ketidakharmonisan, karena itu bermakna sebagai perwujudan apa yang ditambahkan terhadap sifat-dasar seseorang yang benar. Fiţrah adalah cosmos sebagaimana dilawankan dengan chaos; keadilan sebagaimana dilawankan dengan ketidakadilan. Ketika Tuhan berkata: “Bukankah Aku Rabbmu?”, dan diri sejati manusia, bersaksi pada dirinya, menjawab: “Ya!” dalam pengakuan kebenaran akan kekuasaan Tuhan, telah menyegel sebuah perjanjian dengan Tuhan. Jadi ketika manusia diwujudkan sebagai manusia dalam kehidupan dunia ini dia akan, jika dibimbing dengan benar, mengingat perjanjiannya dan bertindak sesuai seperti apa yang disampaikan di atas, sehingga penyembahannya tersebut, tindakan kesalehan, hidup dan matinya dihidupi hanya karena Tuhan. Satu makna dari fiţrah sebagai dīn menunjuk kepada realisasi perjanjian oleh manusia[15]. Ketundukan dalam pengertian yang digambarkan di atas bermakna ketundukan sukarela dan sadar, dan ketundukan ini tidak menyertakan kehilangan ‘kebebasan’ untuknya, karena kebebasan dalam faktanya bermakna bertindak sebagaimana tuntutan sifat-dasar sejatinya. Manusia yang tunduk pada Tuhan dalam jalan ini adalah menghidupi dīn ini.

Dari sini pula, Al-Attas menegaskan pandangannya bahwa hanya ada satu agama, sedangkan yang lainnya hanya merupakan keagamaan. Sebab, hanya Islamlah yang dilekatkan dengan dīn secara sejati sedangkan ketika dīn digunakan untuk agama lain, sebenarnya hanya dilekatkan secara metaforis.

Hal ini secara gamblang dikatakannya bahwa ketundukan menunjuk kepada kesadaran dan ketundukan sukarela, karena tanpa kesadaran dan keinginan maka ketundukan tidak dapat bermakna ketundukan sejati. Konsep ketundukan mungkin umum pada semua agama, seperti kepercayaan-kuat (faith) atau kepercayaan-lemah (belief) adalah inti semua agama, tetapi kita

(9)

ketundukan jika bermakna jenis yang sesaat atau tak menentu, karena ketundukan sejati adalah tindakan berkelanjutan yang dihidupi sepanjang masa kehidupan etis seseorang; maupun jenis yang hanya beroperasi di alam hati tanpa diwujudkan secara lahiriah dalam tindakan tubuh sebagaimana perbuatan ditampilkan dalam kepatuhan pada hukum Tuhan. Ketundukan pada keinginan Tuhan bermakna juga kepatuhan pada hukum-Nya. Kata yang menandakan pengertian ketundukan ini adalah aslama, sebagai bukti dalam Qur’an Suci ketika Tuhan berkata:

‘Siapa yang dapat lebih baik dalam agama (dīn) daripada seseorang yang menundukkan (aslama) wajahnya (cth. seluruh dirinya) pada Tuhan...?’[16]

Dīn yang ditunjuk tidak lain adalah Islām. Terdapat, tidak diragukan, bentuk-bentuk lain dari dīn, tetapi salah satu yang menetapkan ketundukan (istislām) total hanya pada Tuhan adalah yang terbaik, dan yang satu ini merupakan satu-satunya dīn yang diterima Tuhan, sebagaimana Dia berkata dalam Qur’an Suci:

‘Jika siapapun menghendaki sebuah agama (dīn) yang lain dari Islām (al-Islām), tidak pernah akan diterima darinya...”[17]

dan lagi:

‘Sesungguhnya Agama (al-dīn) di sisi Tuhan adalah Islām (al-Islām)’[18]

Menurut Qur’an Suci, manusia tidak dapat kabur dari kondisi menghidupi dīn karena segalanya tunduk (aslama) pada kehendak Tuhan. Karenanya istilah dīn juga digunakan, sekalipun hanya secara metaforis, untuk menunjuk agama-agama selain Islām. Namun, apa yang membuat Islām berbeda dengan agama lain adalah bahwa ketundukan menurut Islām adalah ketundukan yang tulus dan total pada kehendak Tuhan, dan ini ditetapkan secara sukarela sebagai kepatuhan absolut pada hukum yang diwahyukan-Nya. Gagasan ini secara tersirat diungkapkan dalam Qur’an Suci, sebagai contoh, dalam bagian berikut:

‘Apakah mereka mencari yang lain daripada agama (dīn) Tuhan? Padahal semua makhluk di langit dan bumi telah, secara sukarela atau terpaksa, tunduk (aslama) pada kehendak-Nya, dan kepada-Nyalah mereka semua dikembalikan.’[19]

Bentuk dimana ketundukan ditetapkan atau diungkapkan adalah bentuk dīn, dan di sinilah keanekaragaman muncul antara satu dīn dengan yang lain[20]. Bentuk ini, yang merupakan cara institusi kepercayaan-kuat dan kepercayaan-lemah, cara ungkapan hukum, cara sikap dan perilaku keagamaan, etis, dan moral – cara yang dengannya ketundukan pada Tuhan ditetapkan dalam hidup kita, diungkapkan dengan konsep millah. Islām mengikuti millah Nabi Ibrahim (Abraham), yang juga merupakan millah Nabi-Nabi lain setelahnya (semoga kedamaian atasnya!). Millah mereka secara keseluruhan dipertimbangkan sebagai bentuk agama yang benar dīn al-qayyim, sebab dari semua milal yang lain, hanya millah mereka yang cenderung secara sempurna, hanifan, menuju Agama yang benar (al-Islām). Jadi mereka mendahului Islām dalam kepercayaan-kuat, kepercayaan-lemah, hukum, dan praktek keagamaan dan karenanya juga disebut muslim, meskipun Agama Islām seperti sekarang ini mencapai kristalisasi sempurna hanya dalam bentuk yang dieksternalisasikan oleh Nabi Suci. Agama lain mengembangkan sistem atau bentuk ketundukan berdasarkan tradisi kultural mereka yang tidak serta merta diturunkan dari millah Nabi Ibrahim dan namun beberapa yang lain, seperti agama ahlu’l-kitab – Orang-Orang Berbuku

(10)

(People of the Book) – yang telah mengembangkan campuran tradisi kultural mereka sendiri dengan tradisi yang berdasarkan Wahyu. Adalah untuk pelbagai sistem atau bentuk ketundukan ini yang, untuk kondisi pada tulisan yang baru dikutip, ditunjuk sebagai jenis ketundukan yang ”terpaksa”[21].

Kembali pada pelayanan yang dilakukan oleh manusia, maka jiwa pelayan yang telah memenuhi perjanjian dengan Rabbnya dengan pengakuan yang berkelanjutan, dan karena tidak ada yang kenal lebih baik tentang Rabbnya daripada pelayan-Nya yang sejati dan setia, yang dengan pelayanan seperti itu mendapatkan keintiman dengan Rabb dan Pemiliknya, maka ‘ibādah bermakna, pada akhirnya, pada tahap lanjut, sebagai pengetahuan: ma’rifah[22].

Pandangannya tentang agama sebenarnya juga berputar atau berpusat pada Perjanjian Manusia di alam arwah, yang terungkap dalam Qur’an surat Al-‘Araf ayat 172. Pada bab ini juga Al-Attas mengemukakan pandangannya tentang pengetahuan. Ia mengatakan bahwa pengetahuan, sebagaimana kita pahami, ada dua jenis: yang diberikan oleh Tuhan pada manusia; dan yang dicapai manusia dari usahanya sendiri atau penelusuran rasional berdasarkan pengalaman dan observasi. Jenis pertama hanya dapat diterima manusia melalui tindakan penyembahan dan ketaatan, tindakan dalam pelayanan pada Tuhan (‘ibadat) yang, tergantung pada rahmat Tuhan dan kekuatan dan kapasitas laten spiritualnya yang diciptakan Tuhan untuk menerimanya, manusia tersebut menerima dengan pandangan langsung atau perasaan spiritual (dhawq) dan terbukanya selubung pada visi spiritualnya (kashf). Pengetahuan (ma’rifah) ini menyentuh pada diri atau jiwanya, dan pengetahuan tersebut – seperti sudah kita sentuh pada penjelasan kita tentang hubungan analogis yang diperoleh antara makrokosmos dan mikrokosmos – memberikan pandangan mendalam pada pengenalan akan Tuhan, dan karena alasan tersebut, adalah pengetahuan tertinggi. Karena pengetahuan tersebut secara pokok tergantung rahmat Tuhan dan membutuhkan perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sebagai persyaratan akan kemungkinan pencapaiannya, itu menyertakan bahwa pengetahuan tentang prasyarat menjadi diperlukan, dan ini termasuk pengetahuan yang esensial dari Islām (arkan al-islām dan arkan-al-iman), makna, tujuan mereka, pemahaman yang benar, dan implementasi dalam kehidupan sehari-hari: setiap muslim harus memiliki pengetahuan tentang prasyarat tersebut, harus memahami dasar esensial dari Islām dan Keesaan Tuhan (tawhid), dan mempraktekkan pengetahuan (al-’ilm) dalam perbuatan dan kerja pelayanan pada Tuhan sehingga setiap manusia Islām sudah siap pada tahap awal pengetahuan pertama tersebut; dia siap pada Jalan Lurus (sirat al-mustaqin) menuju Tuhan. Kemajuan lebih lanjutnya pada jalan peziarah tergantung pada perbuatan dan ketulusan tujuannya, sehingga ada beberapa melayani Tuhan seperti mereka melihat-Nya; dan kemajuan perjalanan pada cara yang terdahulu dari yang kemudian adalah apa yang membentuk kebajikan tertinggi (ihsan). Pengetahuan (‘ilm) jenis kedua dicapai melalui rasio, pengalaman dan observasi; pengetahuan itu bersifat diskursif dan deduktif dan menunjuk pada nilai pragmatis dari objek. Sebagai sebuah ilustrasi dari pemilahan antara dua jenis pengetahuan itu kita dapat mengandaikan seorang manusia dan tetangganya yang baru pindah ke lingkungannya. Pada awalnya dia mengetahui tetangganya yang baru hanya dengan perkenalan; dia mungkin tahu tampilan umum yang lain dan mampu mengenalinya ketika bertemu di jalan; dia mungkin mengetahui namanya, status perkawinan, jumlah anaknya dan banyak rincian informasi lain yang dia dapat dengan observasi. Kemudian dia mungkin, melalui penelusuran dari orang lain yang dia tahu dan investigasi pribadi, mengetahui pekerjaan tetangganya dan tempat kerja dan pertemuannya, dan dia bahkan mungkin mengetahui, melalui investigasi yang hati-hati lebih lanjut, berapa penghasilannya. Dia mungkin terus melanjutkan investigasi dengan

(11)

cara ini tanpa kontak langsung dengan tetangganya dan menambah data lain tentangnya, namun pengetahuan akannya akan tetap pada tingkatan pengenalan dan bukan keintiman; karena tidak masalah berapa banyak rincian yang mungkin dia tambahkan akan pengetahuan tentang tetangganya yang sedemikian diperoleh, akan ada lebih banyak rincian pribadi yang penting yang dia tidak akan pernah dapat tahu, seperti tentang cinta, takut, harapan, kepercayaan, pemikirannya tentang hidup dan mati, pemikiran dan perasaan rahasianya, kualitas-kualitas baik dan rincian lain seperti disebutkan. Kini mari kita andaikan bahwa dia memutuskan untuk mengenali orang tersebut secara langsung dan memperkenalkan diri padanya; dia sering mengunjungi, makan dan minum dan berolahraga dengannya. Kemudian setelah sekian tahun persahabatan yang terpercaya, pertemanan yang tulus, dan kesetiaan dia mungkin menerima secara kebetulan penyampaian secara langsung dari temannya banyak rincian personal, pemikiran dan perasaan rahasia yang kini dalam kilatan yang disampaikan dengan cara yang mungkin tidak akan dapat dicapai seumur hidup dari investigasi, observasi, dan penelitian. Bahkan pengetahuan ini, yang diberikan sebagai hasil dari keintiman tidak pernah lengkap, karena kita tahu bahwa tidak masalah seberapa dekat hubungan yang intim antara seseorang dan temannya – atau teman, atau istri dan anak, atau orang tua, atau kekasih – akan selalu ada baginya penutup atau misteri yang membungkus seseorang yang ingin kita ketahui seperti rangkaian ukiran bola gadīng Cina di dalam ukiran, yang hanya dapat terbuka baginya dengan penyampaian secara langsung dari orang lain. Dan orang lain akan tahu dengan merenungkan diri dan sifat-dasar tidak terbatas akan dirinya yang selalu berkelit dari pencarian kognitifnya, sehingga bahkan dia sendiri tidak mampu menyampaikan kecuali hanya yang dia ketahui. Setiap orang seperti pulau yang diletakkan dalam lautan yang tak terduga dengan kegelapan, dan kesepian yang dia tahu begitu absolut sebab bahkan dia sendiri tidak tahu dirinya secara lengkap. Dari ilustrasi ini kita dapat menurunkan kondisi dasar yang pasti secara analogis dengan pengetahuan jenis pertama. Pertama, hasrat seseorang yang memberikan pengetahuan tentang dirinya untuk diketahui. Kedua, pemberian pengetahuan seperti itu menyentuh pada tingkatan yang sama dalam wujud, dan ini adalah sebab komunikasi gagasan dan perasaan menjadi mungkin dan dapat dipahami. Ketiga, izin untuk mendekat dan mengetahuinya, seseorang yang mencari tahu harus tinggal dengan aturan kepantasan dan kode perilaku dan sikap yang diterima oleh seseorang yang berhasrat untuk diketahui. Keempat, pemberian pengetahuan tentang dirinya berdasarkan kepercayaan setelah periode yang dipertimbangkan sebagai ujian ketulusan, kesetiaan, ketaatan orang lain, dan kapasitas untuk menerima – sebuah periode yang membentuk ikatan yang pasti dari keintiman antara berdua.

Dari uraian di atas, kemudian Al-Attas mengaitkan pandangan tersebut dalam hubungannya dengan Tuhan. Dalam perhatian pada kondisi pertama, Dia katakan dalam Qur’an Suci bahwa Dia telah ciptakan manusia hanya untuk melayani-Nya, dan pelayanan dalam pengertian yang mendalam secara utama bermakna pengetahuan (ma’rifah), sehingga tujuan-Nya menciptakan adalah agar makhluk mengenali-Nya, sebagaimana Dia katakan dalam Tradisi Suci (Hadits Qudsiyy):

”Aku adalah Harta Yang Tersembunyi, dan Aku berhasrat untuk diketahui, maka Aku ciptakan makhluk sehingga Aku mungkin dikenali.”

Jadi Tuhan mengungkapkan diri-Nya pada jiwa rasional manusia, yang menguasai organ komunikasi dan kognisi spiritual seperti hati (al-qalb), yang mengenali-Nya; ruh (al-ruh), yang mencintai-Nya; dan jiwa yang tersembunyi dan paling dasar (al-sirr), yang merenungkan-Nya.

(12)

Meskipun jiwa rasional tidak pada tingkatan yang sama dengan Tuhan, namun terdapat percikan asal Ilahiyah yang membuatnya mungkin untuk menerima komunikasi di atas dan memiliki pengertian atas apa yang diterima; dan dari di sini kita menurunkan analogi atas kondisi kedua. Dalam hal kondisi ketiga, kita katakan bahwa manusia mendekati Tuhan dengan ketundukan tulus pada kehendak-Nya dan kepatuhan absolut pada hukum-Nya; dengan perwujudan yang sadar dalam diri pada perintah, larangan, dan peraturan-Nya, dan dengan penunjukkan ketaatan dan ibadah nawafil yang diterima-Nya dan berkenan untuk-Nya, sampai orang seperti itu memperoleh tempat perhubungan dimana kepercayaan dan pertemanan-Nya mungkin dirundīngkan atasnya dengan pengetahuan yang diberikan sebagai rahmat untuknya dimana Dia telah ciptakan kapasitas untuk menerima pengetahuan yang diberikan. Seperti itulah kata-kata-Nya dalam Tradisi Suci:

“Pelayan-Ku tidak berhenti untuk dekat dengan-Ku dengan ibadah nawafil sehingga Aku mencintainya; dan ketika Aku mencintainya Aku adalah pendengarannya, sehingga dia mendengar dengan-Ku, dan penglihatannya, sehingga dia melihat dengan-Ku, dan lidahnya, sehingga dia berbicara dengan-Ku, dan tangannya, sehingga dia mengambil dengan-Ku.”

Sebagaimana pada kondisi keempat tentang kepercayaan, bagian itu dengan sendirinya sudah jelas. Kita lihat kemudian bahwa pengetahuan demikian itu, dengan kebajikan sifat-dasarnya, memberi kebenaran dan kepastian dalam tatanan yang lebih tinggi daripada yang diperoleh dari pengetahuan jenis kedua; dan karena ini, dan fakta bahwa hal itu menyentuh pada jiwa atau diri manusia dan pemenuhan perjanjiannya yang dibuat dengan Tuhan, pengetahuan akan prasyaratannya, yang sesungguhnya berdasarkan pada pengetahuan yang diberikan ini, tidak mungkin terpisah dari ikatan dengan etika dan moralitas Islām. Dengan pengetahuan dan praktek yang mengikutinya kita membimbing dan memerintah diri kita dalam perilaku sehari-hari dan meletakkan nilai kita dalam kehidupan dan diri kita dengan benar. Pengetahuan pertama menyibak misteri Wujud dan Eksistensi dan mengungkapkan hubungan sejati antara diri manusia dan Rabbnya, dan karena bagi manusia pengetahuan tersebut menyentuh tujuan utama dari mengetahui, pengetahuan tentang persyaratan tersebut menjadi fondasi mendasar dan esensial untuk pengetahuan jenis yang kedua, karena hanya dengan pengetahuan yang kemudian, tanpa bimbingan dari yang sebelumnya, tidak dapat sungguh-sungguh membimbing manusia dalam kehidupannya, tetapi hanya membimbing pada kebingungan, mengacaukan, dan menjeratnya dalam labirin pencarian tak berujung dan tak bertujuan. Kita juga menerima bahwa ada batas bagi manusia bahkan pada pengetahuan pertama dan tertinggi; sedangkan tidak adanya batas pada jenis yang kedua, sehingga kemungkinan pengembaraan terus menerus yang dihimbau oleh penipuan intelektual dan khayalan-diri dalam keraguan yang konstan dan kecurigaan adalah selalu nyata. Manusia individu tidak memiliki waktu untuk menghabiskan persinggahan sementara di bumi, dan seseorang yang dibimbing secara benar tahu bahwa pencarian individualnya untuk pengetahuan jenis kedua harus membutuhkan batas untuk kebutuhan praktisnya dan sesuai dengan sifat-dasar dan kapasitasnya, sehingga ia dapat meletakkan pengetahuan dan dirinya di tempatnya yang tepat dalam hubungan dengan diri sejati dan dengan demikian mempertahankan kondisi adil. Karena alasan ini dan dengan maksud mencapai keadilan sebagai akhirnya, Islām membedakan pencarian untuk dua jenis pengetahuan, membuat perolehan pengetahuan tentang persyaratan akan yang pertama menjadi kewajiban bagi semua muslim (fard ’ayn), dan yang lain kewajiban hanya pada beberapa muslim (fard kifayah), dan kewajiban yang kemudian tentu saja dapat berpindah pada kategori yang sebelumnya dalam kasus mereka yang menganggap dirinya terikat tugas untuk mencarinya untuk pembuktian diri

(13)

mereka sendiri. Pembagian dalam pencarian pengetahuan berdasarkan kewajiban dalam dua kategori itu sendiri adalah prosedur bertindak adil pada pengetahuan dan manusia yang mencarinya, karena semua pengetahuan prasyarat dari pengetahuan jenis pertama adalah baik bagi semua manusia, sedangkan tidak semua pengetahuan dalam jenis kedua yang baik untuknya; untuk manusia yang mencari pengetahuan yang kemudian, yang akan membawa pengaruh yang harus dipertimbangkan dalam menentukan peran sekular dan posisi sebagai warga negara, tidak serta merta menjadikannya manusia yang baik. Manusia baik yang dimaksud secara utama menjadi Nabi Muhammad Saw. sebagai modelnya. Pengakuan seluruh dunia, bahkan pengakuan Allah Swt. tentang pribadi Rasulullah Saw. merupakan salah satu bukti yang menegaskan betapa pribadi Rasul merupakan teladan bagi seluruh manusia dan jin. Sehingga tidap pernah ada dalam sejarah peradaban Islam keterpisahan hubungan antara kelompok pemuda, usia-pertengahan, dan kelompok tua. Termasuk juga tidak ada persoalan gender, sebab Rasul juga merupakan teladan bagi para perempuan. Sosoknya, yang kemudian ditegaskan sebagai insan kamil, merupakan sosok ideal yang juga real, yang dapat ditiru oleh manusia dan jin.

Pada bab 2: Makna Kebahagiaan, Al-Attas mengemukakan bahwa kebahagiaan dalam Islam berbeda dengan pandangan Barat. Ia mengatakan bahwa tradisi pemikiran Barat menerima posisi bahwa terdapat dua konsepsi kebahagiaan: yang kuno adalah Aristoteles; dan yang modern secara bertahap muncul dalam sejarah di Barat sebagai hasil dari sekularisasi. Konsepsi Aristotelian mempertahankan bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini; bahwa itu adalah akhir pada dirinya sendiri (end of itself); dan bahwa itu adalah kondisi yang melewati perubahan dan beragam dalam derajat dari waktu ke waktu; atau itu adalah sesuatu yang tidak dapat dialami secara sadar dari masa ke masa dan dapat dinilai telah dicapai ketika kehidupan duniawi seseorang, jika secara baik dihidupi dan dibantu oleh nasib baik, telah mencapai sebuah akhir. Konsepsi modern setuju dengan konsep Aristotelian bahwa kebahagiaan hanya berhubungan dengan dunia ini dan adalah akhir pada dirinya sendiri, tetapi sementara yang terdahulu dianggap dalam pengertian standar perilaku yang tepat, yang kemudian menganggapnya sebagai kondisi psikologis sambungan yang tidak memiliki hubungan dengan kode moral. Hal itu adalah konsepsi kebahagiaan modern yang kini diakui lazim di Barat. Kita tidak setuju dengan posisi Aristotelian bahwa kebajikan dan kebahagiaan hanya terkait dengan dunia ini, dan akibatnya kebahagiaan sebagai kondisi permanen yang dialami secara sadar dalam urusan kehidupan duniawi menjadi tidak terjangkau. Kita tidak membatasi pemahaman kita tentang kebahagiaan hanya dalam wilayah temporal, kehidupan sekular, karena berdasarkan pandangan-dunia kita, kita mengakui bahwa hubungan kebahagiaan dengan alam akhirat memiliki ketegasan intim dan mendalam pada hubungannya dengan kehidupan duniawi, dan karena bahwa dalam kasus terdahulu kebahagiaan adalah kondisi spiritual dan permanen terdapat, bahkan dalam keterlibatan temporal dan sekular, sebuah unsur kebahagiaan yang kita alami dan sadari yang ketika sekali dicapai bersifat permanen. Karena konsepsi kebahagiaan modern, tidak banyak berbeda dalam esensi dari yang diketahui dan dipraktekkan orang-orang di masa lalu oleh masyarakat pagan.

Dari pandangan demikian kemudian ia mengajukan pandangan kebahagiaan dalam Islam, yang berkaitan dengan kebahagiaan (cth. yang kita maksud sa’ādah) sebagaimana diketahui dalam pengalaman dan kesadaran mereka yang sungguh-sungguh tunduk pada Tuhan dan mengikuti petunjuk-Nya adalah bukan akhir pada dirinya sendiri sebab kebajikan tertinggi dalam kehidupan ini adalah cinta Tuhan. Kebahagiaan yang terus berlangsung dalam kehidupan menunjuk bukan pada entitas fisik manusia, bukan pada jiwa hewani dan tubuh manusia;

(14)

maupun kondisi pikiran, atau perasaan yang melewati kondisi perhubungan, maupun kenikmatan maupun hiburan. Kebahagiaan ada urusannya dengan kepastian (yaqīn) akan Kebenaran akhir dan pemenuhan tindakan dalam kesesuaian dengan kepastian tersebut. Dan kepastian adalah kondisi permanen kesadaran yang alamiah terhadap apa yang permanen dalam manusia dan diterima oleh organ kognitif spiritual yang merupakan hati (qalb). Kebahagiaan adalah kedamaian dan keamanan dan ketenangan hati (tuma’nīnah); itu adalah pengenalan (ma’rifah) dan pengenalan (knowledge) adalah kepercayaan-kuat (īmān) yang benar. Adalah pengenalan tentang Tuhan sebagaimana Dia gambarkan diri-Nya dalam Wahyu yang asli, adalah juga mengetahui tempat yang benar dan tepat dalam alam ciptaan dan hubungan yang tepat dengan Pencipta ditemani dengan tindakan yang diwajibkan (‘ibādah) sesuai dengan pengetahuan tersebut kondisi yang dihasilkannya adalah keadilan (‘adl). Hanya dengan pengetahuan macam itu cinta Tuhan dapat diraih di kehidupan bumi.

Dari interpretasi makna dan pengalaman kebahagiaan dalam Islām kita menurunkan kesimpulan bahwa kebahagiaan dalam kehidupan bukan akhir pada dirinya sendiri; bahwa akhir dari kebahagiaan adalah cinta Tuhan; bahwa dalam kehidupan duniawi terdapat dua tingkatan kebahagiaan yang dapat dilihat. Tingkatan pertama adalah psikologis, sementara, dan kondisi perhubungan yang dapat digambarkan sebagai perasaan atau emosi, dan yang diraih ketika keinginan dan kebutuhan telah dicapai dengan perilaku yang benar berdasarkan pada kebajikan. Tingkatan kedua adalah pengalaman spiritual, permanen, yang secara sadar dialami, menjadi lapisan dasar dari kehidupan duniawi yang diakui sebagai percobaan, pengujian aktifitas perilaku dan aktifitas kebajikan oleh nasib baik atau sakit. Tingkatan kedua ini, ketika dicapai, muncul secara bersamaan dengan yang pertama kecuali bahwa keinginan hilang dan kebutuhan dipuaskan. Tingkatan kebahagiaan kedua ini adalah sebuah persiapan untuk tingkatan ketiga di alam akhirat yang merupakan kondisi tertinggi adalah melihat Tuhan. Tidak ada perubahan makna dan pengalaman kebahagiaan ini dalam kesadaran mukmin sejati sepanjang zaman.

Untuk menguatkan pandangannya tentang kebahagiaan, Al-Attas juga mengungkapkan antonim dari kebahagiaan (sa’adah) yakni, penderitaan (shaqawah). Leksikon bahasa Arab pada waktu terdahulu dan kembali pada penggunaan Qur’an menggambarkan shaqawah sebagai mengandung padanan terdekat dalam bahasa Inggris ‘great misfortune’, ‘misery’, ‘straitness of circumstance’, ‘distress’, ‘disquietude’, ‘despair’, ‘adversity’, ‘suffering’. Masing-masing kondisi tersebut jelasnya melibatkan aktifitas internal dan eksternal yang serius. Tentu saja shaqawah adalah istilah umum yang meliputi semua bentuk penderitaan, sehingga istilah lain yang mengungkapkan kondisi yang sama tapi lebih khusus dalam aplikasi kontekstual mereka hanya unsur penyusun dari shaqawah. Ini termasuk, di antara yang lain contoh, khawf (takut, tak diketahui, kesendirian penuh dan tidak dapat dikomunikasikan, kematian dan apa yang ada dibaliknya, ramalan ketakutan, angst); huzn (dukacita, penderitaan, kesedihan, jiwa yang kasar); dank (kesempitan, kekakuan, menderita dalam jiwa dan intelek memandang ketidakmampuan untuk memahami sesuatu yang menyebabkan keraguan dalam hati); hasrat (dukacita yang dalam dan menyesali sesuatu yang telah hulang dan tidak akan dialami lagi, seperti – ketika menunjuk pada akhirat – melewati dukacita dan penyesalan yang tajam dari manusia yang berpaling dari Tuhan dan menghabiskan hidupnya dalam kesia-sian ketika dia menemukan setelah kematian bagaimana dia telah kehilangan jiwanya dan meratap dīngin akan kemustahilan kembali ke kehidupan duniawi untuk membuat perubahan). Istilah tersebut digunakan secara khusus untuk mereka yang berpaling dari Tuhan dan menolak petunjuk-Nya, dan berlaku pada kondisi dunia ini dan akhirat. Istilah lain yang mengungkapkan penderitaan satu jenis dan yang lain dan berlaku semuanya

(15)

dalam kehidupan ini adalah, contoh, diq (kesukaran, hati dan pikiran, mendesak); hamm (kegelisahan, kecemasan, menyedihkan dari hati dan pikiran berkaitan dengan ketakutan bencana yang akan datang atau kesakitan); ghamm (sama seperti hamm, hanya kesakitan yang ditakuti yang akan datang telah datang, sehingga menjadi sangat menderita; ‘usr (kondisi keras, sulit dan tidak menyenangkan).

Menurutnya, salah satu hal penting yang membuat manusia bahagia atau menderita adalah berkaitan dengan petunjuk Tuhan. Maksudnya, ketika seseorang tidak mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya, maka sebenarnya dalam tataran mendasar ia sedang menderita meskipun secara aksidental ia nampaknya bahagia. Begitu pula sebaliknya, jika manusia mengambil petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya maka lapisan dasar kehidupannya merupakan kebahagiaan walaupun secara lahir ia terlihat menderita. Penderitaan tersebut pada orang yang mengambil petunjuk hanya akan bermakna bala yaitu ujian terhadap diri orang tersebut, bukan shaqawah.

Al-Attas berpandangan secara tegas bahwa peradaban Barat yang kini ada merupakan peradaban yang telah membuang petunjuk Tuhan dalam menjalani kehidupannya. Meskipun secara lahiriah peradaban Barat nampak menguasai teknologi, sains, memiliki harta dan hal-hal lain, sebenarnya pada lapisan-dasar kehidupan mereka adalah penderitaan. Penderitaan yang erat kaitannya, dikatakan oleh Al-Attas, sebagai tragedi. Tragedi tersebut bukan hanya berada pada tataran seni, melainkan sudah berada pada tataran kehidupan. Bahkan, tragedi yang ada sebenarnya ditiru (mimesis) oleh manusia Barat untuk melihat kehidupannya dan akhirnya mencapai katharsis. Kisah-kisah tragedi yang ada pada karya-karya sastra Yunani yang kemudian juga dikaji lagi pada masa renaisans, menguak sebuah kenyataan bahwa manusia telah ditinggalkan di dunia tanpa tahu dari mana, di mana, dan hendak ke mana. Ia dipikulkan tanggung jawab sedemikian besar untuk menjalani kehidupan yang kemudian tidak lagi melihat apa yang dituju, namun hanya menikmati penderitaan yang dialaminya. Peradaban Barat seperti seorang Sisipus, yang menggelindingkan batu ke atas bukit untuk menggelindikannya lagi ke bawahdan begitu seterusnya. Kondisi yang mirip dengan permainan tersebut berubah menjadi permainan yang serius dan tidak menyenangkan.

Qur’an menghubungkan bagaimana Adam digoda Setan, tidak patuh pada Tuhan, dan membiarkan dirinya digoda Setan. Namun, Adam dan istrinya sadar akan kesalahan mereka dan tidak seperti Setan, mengakui dosa mereka, diisi dengan penyesalan mendalam pada ketidakadilan mereka pada diri mereka sendiri, dan meminta rahmat dan ampunan Tuhan. Mereka berdua dimaafkan, tetapi diturunkan bersama Setan ke dunia ini untuk menghidupi kehidupan percobaan dan kesengsaraan. Tuhan meyakinkan Adam dan keturunannya bahwa petunjuk-Nya akan datang dan siapapun yang mengikuti petunjuk-Nya tidak akan tersesat maupun jatuh pada penderitaan; tetapi siapapun yang berpaling dari pengingatan akan Dia tentu akan menghidupi kehidupan yang merana diserang oleh keraguan dan tegangan-dalaman (inner-tension) ditinggikan oleh kebutaan pada kebenaran dan realitas keadaan sulit mereka[23].

Pada Bab 3: Islam dan Filsafat Sains, Al-Attas menyatakan bahwa bahwa sains menurut Islām secara pokok merupakan sebuah jenis ta’wil atau interpretasi alegoris dari benda-benda empiris yang menyusun dunia alam. Sains semacam itu harus mendasarkan dirinya secara tetap pada tafsir atau interpretasi dari penampakan atau makna yang jelas dari benda-benda dalam alam. Penampakan dan makna mereka yang jelas berurusan dengan tempat mereka di dalam

(16)

sistem hubungan; dan tempat mereka menjadi nampak pada pemahaman kita ketika batas kebenaran dari arti mereka dikenali. Ta’wil secara dasar bermakna mendapatkan makna pokok dan primordial dari sesuatu melalui proses inteleksi. Tetapi dalam kasus ini, terdapat hal-hal yang makna pokoknya tidak dapat dipegang dengan intelek; dan yang secara mendalam berakar dalam pengetahuan yang menerima mereka sebagaimana adanya melalui kepercayaan-kuat yang benar yang kita sebut iman. Ini adalah posisi kebenaran: bahwa terdapat batas makna dari sesuatu, dan tempat mereka secara mendalam terikat dengan batas arti mereka.

Diungkapkan pada bagian bab awal, filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengorganisir hasil sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi itu pada gilirannya menentukan arah yang diambil sains dalam studi alam. Adalah interpretasi tentang pernyataan ini dan kesimpulan umum sains dan arah sains sepanjang garis yang ditawarkan oleh interpretasi yang harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita.

Sebuah inti sari dari asumsi dasar mereka adalah bahwa sains adalah satu-satunya pengetahuan otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh pada fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman partikular dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan oleh saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima adalah hanya teori yang dapat direduksi pada unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh pada wilayah yang melampaui lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas seharusnya tidak dihubungkan pada rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas melampaui apa yang di observasi; bahwa isi pengetahuan adalah kombinasi dari realisme, idealisme, dan pragmatisme; bahwa tiga aspek tersebut dari kognisi bersama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa pengertian adalah subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logika yang diakui; bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur dan proses alam, dan bahwa pada faktanya adalah sebuah teori logika; bahwa karena logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur dan proses alam adalah yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan adalah bagian dari kepercayaan-lemah (cth. kepercayaan-kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar atau membuat pernyataan apapun atau proposisi) yang tergantung pada hubungan kepercayaan-lemah pada fakta; bahwa fakta adalah netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan – mereka hanya ada seperti itu.

Dalam sistem pengetahuan ini adalah absah hanya jika menyentuh pada tatanan alamiah akan peristiwa dan hubungan mereka; dan tujuan penelusuran adalah untuk menggambarkan dan mensistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan datar secara naturalistik dan pengertian rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, mereduksi asal-usulnya dan realitas satu-satunya pada kekuatan alamiah.

(17)

Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan bahwa mereka menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi bahwa mereka mereduksi otoritas dan intuisi pada rasio dan pengalaman. Adalah benar bahwa pada contoh asal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu ada seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi ini serta merta bahwa karena ini, otoritas dan intuisi seharusnya direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui bahwa ada tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan normal, kesadaran manusia yang batasannya dikenali, tidak ada alasan untuk menduga bahwa tidak ada tingkatan yang lebih tinggi akan pengalaman dan kesadaran manusia melampaui batas rasio dan pengalaman normal dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang batasnya hanya diketahui Tuhan.

Sejauh pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah mereduksi intuisi pada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan oleh pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan emosi yang dibangun yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi ini adalah dugaan pada bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian itu datang dari pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka tentang fakultas intuitif seperti hati, yang tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, adalah juga dugaan.[24] Intuisi yang dikenalkan Al-Attas dalam buku ini berpusat pada penjelasan tentang tahapan-tahapan kasyaf yang dialami mulai dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi. Bahasan, yang dilakukan pada Bab 5: Intuisi Akan Eksistensi ini, juga berusaha menunjukkan bahwa panteisme atau inkarnasi – khususnya dalam tasawuf – merupakan sesuatu yang disebabkan oleh ketidaksempurnaan spiritual dan proses penyibakan yang belum selesai. Jika ketidaksempurnaan tersebut tidak diakui, yang juga berarti tidak mengakui kesempurnaan spiritual yang lain, hanya akan memperosokkan kepada hal tersebut (baca: panteisme).

Al-Attas juga menegaskan bahwa sifat-dasar manusia itu merupakan sesuatu yang lebih karena rasionalitasnya daripada karena fisiknya. Pandangannya tentang manusia ini – seperti juga yang ada pada bab 4: Sifat-Dasar Manusia dan Psikologi Jiwa Manusia – dinyatakan seperti berikut:

“Kita mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’ dimana istilah ‘rasional’ ditandai oleh istilah natiq, yang menunjuk pada fakultas bawaan pengetahuan yang menangkap makna semesta dan merumuskan makna. Perumusan makna ini, yang melibatkan putusan, diskriminasi, dan klarifikasi, adalah apa yang menyusun rasionalitasnya. Istilah ‘rasional’ (natiq) dan ‘memiliki kekuatan untuk merumuskan makna’ (dhu nutq) diturunkan dari akar sama yang mengandung makna dasar ‘berbicara’, dalam pengertian ucapan manusia, keduanya menandakan kekuatan tertentu dan kapasitas bawaan manusia untuk mengartikulasikan kata-kata atau bentuk simbolis dalam pola yang bermakna. Dari akar yang sama (nutq) juga diturunkan nama dari sains diskursus yang diketahui sebagai al-mantiq (cth. logika), yang mengembangkan bangunan argumentasi, rumusan metode bantahan, penemuan kesalahan teori klasifikasi dan definisi, gagasan dasar dari silogisme, konsepsi bukti dan demonstrasi, garis besar dari sebuah metode intelektual dalam pengejaran kebenaran. Manusia adalah, sebagaimana adanya, ‘hewan yang berbahasa’ atau ‘hewan yang berbicara’ (al-hayawan al-natiq); dan artikulasi simbol linguistik ke dalam pola bermakna tidak lain dari ungkapan bagian keluar (outward), terlihat, dan terdengar dari realitas bagian kedalam (inward) dan tidak terlihat yang kita sebut intelek (al-’aql). Istilah ‘aql sendiri secara dasar

(18)

menandakan jenis ‘ikatan’ atau ‘pegangan’, jadi dalam hal ini ‘aql menandakan entitas aktif dan sadar yang mengikat dan memegang objek pengetahuan dengan kata-kata atau bentuk simbolis; dan ‘aql menunjukkan realitas yang sama yang ditunjuk oleh istilah ‘hati’ (qalb), ‘ruh’ (ruh), dan ‘diri’ (nafs). Entitas atau realitas aktif dan sadar ini memiliki banyak nama seperti yang diidentifikasi oleh empat istilah di atas karena memiliki banyak modus dalam hubungannya dengan pelbagai tingkatan eksistensi. Intelek adalah substansi spiritual yang dengannya jiwa rasional mengenali kebenaran dan membedakan kebenaran dari kepalsuan. Intelek adalah realitas yang mendasari definisi manusia, dan itu ditunjukkan oleh setiap orang ketika dia berkata “aku”.

Dalam mendefinisikan manusia sebagai ‘hewan rasional’, dimana kita maksudkan dengan rasional sebagai kapasitas kecerdasan menangkap makna universal, kekuatan ungkapan linguistik, kekuatan yang bertanggungjawab untuk perumusan makna – yang melibatkan tindakan putusan, diskriminasi, pemilahan dan klarifikasi, dan artikulasi akan bentuk simbol dalam pola bermakna – makna akan ‘makna’ (ma’na) adalah pengenalan akan tempat segala sesuatu dalam sistem. Pengenalan muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami. Hubungan itu menggambarkan tatanan tertentu dalam istilah prioritas dan posterioritas sebagaimana juga dalam istilah ruang dan posisi. Makna adalah sebuah bentuk intelijibel (intelligible) berkenaan pada sebuah kata, sebuah ungkapan, atau simbol digunakan untuk menunjuknya. Ketika kata, ungkapan, atau simbol itu menjadi gagasan dalam pikiran (‘aql: nutq) maka disebut pemahaman (mafhum). Sebagai sebuah bentuk intelijibel yang dibentuk dalam jawaban dari pertanyaan “apakah itu?” makna disebut ‘esensi’ (mahiyyah). Dipertimbangkan sebagai sesuatu yang berada di luar pikiran, atau secara objektif, makna disebut ‘realitas’ (haqiqah). Dilihat sebagai realitas khusus yang berbeda dari yang lain, makna disebut ‘individualitas’ atau ‘eksistensi individual’ (huwiyah). Dengan demikian apa yang menyusun makna, atau definisi dari makna, adalah pengenalan tempat segala sesuatu dalam sistem, yang muncul ketika hubungan sesuatu dengan yang lain dalam sistem menjadi jelas dan dipahami[25].

Dalam pandangannya tentang filsafat sains, Al-Attas juga menyatakan bahwa keraguan yang diangkat sebagai metode dan dipandang sebagai jalan menuju kebenaran, sebenarnya bermasalah. Menurutnya:

“...tidak ada bukti bahwa adalah keraguan dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada kebenaran. Hadir pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan. Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa mengunggulkan salah satunya; itu adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, itu adalah dugaan; jika hati menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain adalah sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuan. Ini adalah petunjuk. Keraguan, apakah itu jelas atau sementara, memimpin pada dugaan atau pada posisi lain akan ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran” (Qur’an 10: 36).”[26]

Beranjak dari hal tersebut, Al-Attas menyatakan bahwa meskipun banyak persamaan antara filsafat sains Barat dan Islam, hal tersebut tidak menutup kenyataan bahwa banyak pula perbedaan di antaranya. Salah satu perbedaannya adalah pandangan tentang rasio. Menurut Al-Attas, rasio tidak sesederhana dalam pengertian yang dibatasi pada unsur inderawi; pada fakultas

(19)

mental yang mensistematisasi dan menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian dan kepengaturannya pada penerimaan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah operasi memberi-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat menjadi terpahami. Tentu saja, pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa ini adalah salah satu aspek intelek dan fungsinya dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan dengannya; dan intelek adalah substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi.

Oleh sebab itu, penyamaan antara rasio dan akal (‘aql) merupakan suatu kesalahan. Sebab, rasio merupakan satu bagian dari akal, dan tidak ada keterpisahan antara keduanya. Permasalahan yang muncul karena penekanan yang sangat terhadap rasio, telah nyata-nyata membuat Barat tidak melihat alam sebagai sebuah tanda (āyāt) Tuhan. Meskipun pernah terdapat di masa lalui filsuf Barat yang menekankan penggunaan intelectus untuk melihat alam sebagai sebuah Kitab Suci Besar yaitu, St. Bonaventura, tetapi hal itu tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam peradaban Barat. Barat menjadi menganggap bahwa alam memiliki suatu substansi yang pernah disebut sebagai ‘atom’. Manusia Barat terus mecoba mengetahui apa unsur mendasar yang menyusun dunia ini. Namun, asumsi bahwa alam bukan merupakan tanda inilah yang menjadi Barat terpaku pada alam dan tidak dapat melihat apa yang disimbolkan oleh alam. Pandangan Al-Attas tentang alam sebagai tanda kemudian dituangkannya dalam bentuk cerita sebagai berikut:

“Andaikan kita berjalan-jalan dengan mobil dalam kegelapan malam berbadai menuju tempat yang telah kita dengar tapi kita belum pernah ke sana. Kemudian kita tiba di persimpangan utama dengan banyak jalan menuju tempat yang berbeda. Di tengah persimpangan terdapat penunjuk arah dan lengannya dibuat sederhana dan di cat putih, dan di sepanjang papan penunjuk yang berfungsi sebagai lengan digoreskan huruf tebal, huruf hitam nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik itu. Ketika mobil kita dapat mendekati dan lampunya menyinari penunjuk arah dan lengannya yang banyak, kita segera sadar akan salah satu lengan yang menegaskan nama tempat tujuan kita. Apa yang kita lakukan kemudian, jika kita hendak mengejar tujuan kita, tentunya kita akan berpaling dari penunjuk arah tanpa ragu, dan mengikuti jalan menuju apa yang tanda tersebut tuju. Kita melakukan ini karena tandanya jelas. Tetapi kini andaikan penunjuk arahnya dibuat dengan keramik yang secara baik ditulis, dan lengan yang menunjuk dipahat menjadi bentuk yang menawan dan indah, nama tempat dan jarak relatif mereka dari titik yang dipahat menjadi huruf dari emas murni dan dihiasi permata tulen yang jarang ditemui – akankah kita kemudian mampu untuk pergi, tanpa banyak ragu dan berlambat-lambat, mengkuti lengan yang menunjuk yang menunjukkan kita jalan tujuan kita; dan akankah kita kemudian mudah berpaling dari penunjuk arah untuk mengikuti arah yang diarahkan? Tentu saja, apa yang paling mungkin terjadi dalam kasus ini adalah kita akan memberhentikan mobil dan bahkan keluar dalam hujan dengan senter untuk melihat lebih dekat pandangan yang indah di hadapan kita. Dan kita mungkin akan menghabiskan malam di mobil menunggu siang untuk penglihatan yang lebih memuaskan. Tandanya dalam kasus ini tidak jelas; ambigu, dan menunjuk dirinya daripada menunjuk pada objek yang eksistensinya bergantung padanya.”[27]

Referensi

Dokumen terkait

pemikiran Syed Muhammad Al-Naquib Al-attas tentang konsep pendidikan Islam. Karena sebelumnya tidak ditemukan penelitian tentang konsep pendidikan

(menengah) pra-universitas dan juga tingkat universitas. Ruang lingkup dan kandungan pada tingkat universitas harus lebih dahulu dirumuskan sebelum bisa

Namun Syed Muhammad Naquib al-Attas juga mengatakan bahwa Islam pun bisa menerima ide pembentukan warga negara yang baik sebagai tujuan pendidikan (yang

Wan Mohd Nor menekankan bahawa sumbangan al-Attas bukan sahaja telah berjaya memperjelaskan konsep-konsep besar kehidupan seperti Islam sebagai satu cara hidup, konsep sejarah

Tidak ada satu cabang ilmu pun yang boleh dituntut secara tidak terbatas terlepas dari yang lain, karena hal itu akan mengakibatkan ketidakserasian yang akan

Lebih lanjut al-Attas mengatakan bahwa pengislaman konsep dasar adab sebagai suatu undangan perjamuan bersama seluruh konsep yang terkandung di dalamnya termasuk juga

Rumusan al-Attas tersebut merupakan dasar filosofis bagi tujuan dan sasaran pendidikan serta penyusunan suatu kerangka pengetahuan inti yang terpadu dalam sistem

Abstract: This study aims to reveal: 1) Describe and analyze the concept of Adab education according to Syed Muhammad Naquib Al-Attas, 2) Describe and analyze