• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manusia memiliki sifat-dasar ganda, dia itu baik tubuh dan jiwa, makhluk fisik dan ruhani sekaligus.108 Tuhan mengajarkannya nama-nama (al-asmā’) segala hal.109 Dengan ‘nama-nama’ kita menyimpulkan bahwa hal itu bermakna pengetahuan (al-‘ilm) akan segala hal (al-ashyā’). Pengetahuan ini tidak meliputi pengetahuan sifat-dasar spesifik tentang esensi (al-dhāt) atau yang dasar paling dalam (al-sirr) dari suatu hal (shay’) seperti, contohnya, ruh (al-rūh); pengetahuan tersebut menunjuk pada pengetahuan akan aksiden-aksiden (tung. ‘arad) dan sifat-sifat (tung. sifah) yang menyentuh pada esensi hal-hal inderawi dan intelijibel (mahsūsāt dan ma’qūlāt) supaya diketahui hubungan dan perbedaan yang ada di antara mereka, dan memperjelas sifat-dasar mereka di dalam wilayah tersebut dengan maksud melihat dan memahami makna mereka, yakni, sebab, kegunaan, dan tujuan individual mereka yang spesifik. Namun manusia, juga diberikan pengetahuan terbatas tentang ruh,110 tentang diri atau jiwanya yang sejati dan benar,111 dan dengan pengetahuan ini dia mampu tiba kepada pengetahuan tentang Tuhan (al-ma’rifah) dan keesaan absolut-Nya; bahwa Tuhan adalah Rabb rabb) sejati dan objek penyembahannya (al-ilāh).112 Tempat bersemayam pengetahuan dalam manusia merupakan substansi spiritual yang secara beragam ditunjuk dalam Qur’ān Suci kadang-kadang sebagai hati (al-qalb), atau jiwa atau diri (al-nafs), atau ruh (al-rūh), atau inteleknya (al-’aql). Dengan sebab akan kebenaran bahwa manusia mengetahui Tuhan dalam keabsolutan-Nya sebagai Rabbnya,113 pengetahuan sedemikian, dan kenyataan dari situasi yang serta merta menyertainya, telah mengikat manusia dalam sebuah perjanjian (al-mīthāq; al-‘ahd) yang menentukan tujuan, perilaku, dan tindakannya dalam hal dirinya dan hubungannya dengan Tuhan.114 Ikatan dan penentuan ini terhadap manusia pada sebuah perjanjian dengan Tuhan dan pada sifat-dasar yang tepat dalam memandang tujuan, tindakan, dan perilakunya, merupakan ikatan dan penentuan dalam agama (al-dīn) yang menyertakan ketundukan sejati (al-islām).115 Dengan demikian pengetahuan dan agama berhubungan secara alamiah dalam sifat-dasar manusia, yakni, sifat-dasar asli dimana Tuhan telah menciptakannya (al-fitrah). Oleh karena itu tujuan manusia adalah untuk mengetahui dan menyembah Tuhan (‘ibādah)116 dan kewajibannya merupakan kepatuhan (tā’ah) kepada Tuhan, yang mengonfirmasikan sifat-dasar esensial yang diciptakan Tuhan untuknya.117

Tetapi manusia juga “tersusun dari kelupaan (nisyān)” — sebagaimana tradisi Kenabian mengatakan,118 dan dia disebut insān secara mendasar dan tepat karena, dia telah bersaksi kepada

108 Al-Hijr (15): 26-29; Al-Mu’minūn (23): 12.

109 Al-Baqarah (2): 31.

110 Banī Isrā’īl (17): 85.

111 Hā Mīm (41): 53.

112 Āli ‘Imrān (3): 81; Al-A’rāf (7): 172.

113 Al-A’rāf (7): 172.

114 Ibid.

115 Lihat bab I, di atas.

116 Al-Dhāriyāt (51): 66.

117 Al-Rūm (30): 30.

118 Kashf al-Khafa, 2 vols. 4th pr, Bayrut, 1985, vol. 2, hlm.419, no 2806. Al-Thabrani, al-Tirmizi, ibn Abi Syahbah, dari ibn ‘Abbas.

dirinya sendiri tentang kebenaran perjanjian yang dibuatnya dengan Tuhan, yang menyertakan kepatuhan akan perintah dan larangan-Nya, kemudian dia lupa (nasiya) untuk memenuhi tugas dan tujuannya. Karenanya berdasarkan ibn ‘Abbās dengan referensi pada bagian dalam Qur’ān Suci,119 istilah insān diturunkan dari nasiya ketika dia mengatakan bahwa manusia disebut insān karena, setelah berjanji dengan Tuhan, lalu dia lupa (nasiya).120 Kelupaan merupakan sebab ketidakpatuhan manusia, dan sifat-dasar yang patut disalahkan ini menghendakinya menuju ketidakadilan (zulm) dan keabaian (jahl).121 Tetapi Tuhan telah melengkapinya dengan kekuatan dan fakultas penglihatan dan pengertian yang benar, perasaan sejati terhadap kebenaran, akan ucapan dan komunikasi yang benar; dan Dia telah menunjukkan kepadanya yang benar dan salah dalam hal jalur tindakan yang seharusnya dia ambil sehingga dia mungkin berusaha mencapai takdirnya yang cerah.122 Pilihan untuk yang lebih baik (ikhtiyār)123 ditinggalkan untuknya. Lebih lanjut, Tuhan telah melengkapinya dengan kecerdasan untuk mengetahui dan membedakan realitas dari non-realitas, kebenaran dari kebohongan, dan kejujuran dari kesalahan; dan meskipun kecerdasannya — atau melainkan fakultas imajinatif dan estimatifnya — mungkin membingungkannya,124 dan jika dia itu tulus dan benar pada sifat-dasarnya yang mulia, Tuhan, dari balasan, ampunan, dan keagungan-Nya, akan membantu dan membimbingnya mencapai kebenaran dan perilaku yang betul. Contoh tertinggi dalam kasus ini adalah Nabi Ibrahim, padanya kedamaian.125 Dengan demikian manusia dilengkapi dan dibentengi untuk menjadi wakil (khalīfah) Tuhan di bumi,126 dan sedemikianlah beban berat kepercayaan (amānah) diletakkan padanya — kepercayaan dan tanggung jawab untuk mengatur berdasarkan kehendak Tuhan, tujuan dan ridho-Nya.127 Kepercayaan menyiratkan tanggungjawab mengatur dengan adil, dan ‘mengatur’ tidak hanya bermakna mengatur dalam pengertian sosio-politis, maupun mengontrol alam dalam pengertian saintifik, tetapi lebih mendasar dalam kemenyeluruhan dari makna sifat-dasar (al-tabī’ah), mengatur bermakna pengaturan, pemerintahan, pengontrolan, dan pemeliharaan manusia oleh dirinya atau jiwa rasionalnya.

Istilah hati (qalb), jiwa atau diri (nafs), ruh (rūh), dan intelek (‘aql) digunakan dalam hubungan kepada jiwa masing-masing mengandung dua makna; yang satu menunjuk pada aspek material atau fisik dari manusia, atau pada tubuh; dan yang lain pada aspek non-material, imajinal dan intelejensial atau spiritual, atau pada jiwa manusia.128 Secara umum, dan dari sudut pandang etis, makna pertama menunjuk kepada aspek yang darinya diasalkan kualitas yang patut disalahkan dalam manusia, dan mereka merupakan kekuatan hewani yang kendati keberadaan mereka yang bermanfaat bagi manusia dalam beberapa hal, ada dalam konflik dengan kekuatan intelektual. Tambahan kebersalahan kepada kekuatan hewani yang inheren dalam aspek fisik manusia tidak seharusnya dibingungkan dengan gagasan perendahan tubuh manusia, yang tentunya berlawanan dengan ajaran Islām. Manusia diciptakan “dalam cetakan yang terbaik”, tetapi tanpa kepercayaan-kuat sejati dan kerja yang baik dia itu lebih buruk dari

119 Tā Hā (20): 115.

120 LA, vol. 6, hlm.11, kol.1.

121 Al-Ahzāb (33): 72.

122 Al-Balad (90): 8-10; Al-Ahqāf (46): 26; Al-Nahl (16): 78; Al-Sajdah (32): 9; Al-Mulk (67): 23; Al-Mu’minūn (23): 78.

123 Lihat Pengenalan di atas, hlm. 33-34.

124 Al-Ghazāli, Mishkāt al-Anwār, Kairo, 1964, hlm. 47.

125 Al-An’ām (6): 74-82.

126 Al-Baqarah (2): 30.

binatang terendah.129 Terhadap aspek non-bermanfaat dari kekuatan hewani inilah Nabi Suci meminta kita ketika dia menyebut perjuangan terbesar (jihād) dari manusia, karena mereka merupakan musuh yang ada di dalam.130 Makna kedua menunjuk pada realitas manusia dan esensinya. Makna ini menunjuk pada tradisi Kenabian yang cukup dikenal: “Siapapun yang mengenali dirinya mengenali Rabbnya.”

Esensi sejati manusia berasal dari dunia kekuasaan (al-malakūt) dan perintah (al-amr).131 Ketika hal tersebut menghendaki dirinya sendiri menuju arah yang benar, maka kedamaian ilahiyah (al-sakīnah) akan turun kepadanya,132 dan pancaran (effusion) ilahiyah akan kerelaan hati secara bergantian akan dimasukkan di dalamnya hingga ia mencapai ketenangan dalam pengingatan Tuhan dan hidup dalam pengetahuan akan keilahiyahan-Nya, dan membumbung tinggi menuju tingkatan tertinggi dari horizon malaikat. Qur’ān Suci menyebut kondisi jiwa ini, jiwa yang tenang (al-nafs al-mutma’innah).133 Fakultas atau kekuatan jiwa adalah bagaikan tentara yang disatukan dalam pertempuran terus menerus akan keberhasilan yang bergantian. Kadang-kadang jiwa tersebut menarik kekuatan intelektual dan menemui yang intelijibel dengan mana kebenaran abadi mereka menyebabkannya mengakui kesetiaan kepada Tuhan; dan kadang-kadang kekuatan hewaninya menarik turun pada kaki gunung terbawah dari sifat-dasar binatang. Kebimbangan dalam kondisi jiwa ini merupakan kondisi jiwa yang mencela diri sendiri (nafs al-lawwāmah);134 hal tersebut merupakan perjuangan yang sungguh-sungguh dengan kekuatan hewaninya. Dengan pengetahuan, moral yang baik, dan kerja yang baik mungkinlah bagi manusia untuk mencapai sifat-dasar malaikat, dan ketika dia telah sampai, dia tidak lagi memiliki kesamaan dengan sesamanya dalam sifat-dasar hewani di dalam dirinya kecuali pada bentuk ke-luar (outward) dan kebiasaan. Tetapi jika dia jatuh ke dalam kedalaman menurun dari sifat-dasar binatang dan tetap ditawan dalam kondisi tersebut, maka dia terpisah dari sifat-dasar yang umum pada kemanusiaan dan muncul sebagai manusia hanya dalam bentuk dan konstruksi. Kondisi ini merupakan kondisi jiwa yang menghasut kepada kejahatan (al-nafs al-ammārah bi ‘l-sū’).135

Dalam pengertian yang spesifik, dan ketika menunjuk pada hati, makna pertama tersebut menunjukkan gumpalan bentuk-kerucut otot daging yang terletak di sisi kiri dada. Hal itu merupakan sirkulator darah kepada setiap bagian tubuh dan sumber-kepala dari uap subtil yang merupakan wahana jiwa fisik hewani. Melalui wahana ini jiwa hewani muncul dari sumber-kepalanya dalam jantung (heart) ke otak melalui urat nadi ke seluruh bagian tubuh. Jiwa ini merupakan pengandung kehidupan hewani dan umum bagi semua hewan. Ketika hal tersebut hilang maka menyebabkan kematian indera eksternal yang melibatkan tubuh sebagai keseluruhan. Dalam hal intelek, makna pertama tersebut menunjukkan abstraksi objek dunia eksternal dan perenungan realitas hal-hal, dan fungsinya ditempatkan di pelbagai wilayah otak. Jiwa atau diri kadang-kadang menunjuk eksistensi konkret dan individual dari suatu hal atau seseorang.136

Dengan referensi pada makna dari empat istilah yang digunakan dalam hubungan dengan jiwa ketika mereka menyentuh jiwa manusia, mereka semua menunjukkan entitas tak terbagi dan

129 Al-Tīn (95): 4-5.

130 Bayhaqi, Zuhd, dari Jābir. Ibn Hajar mengatakan hadits ini cukup dikenal. Kashf al-Khafā’, vol. 1, hlm. 511, no. 1362.

131 Yā Sīn (36): 83; Al-Mu’minūn (23): 88.

132 Al-Baqarah (2): 248; Al-Tawbah (9): 26;40; Al-Fath (48): 4.

133 Al-Fajr (89): 27.

134 Al-Qiyāmah (75): 2.

135 Yūsuf (12): 53.

identik, yakni sebuah substansi spiritual yang merupakan realitas atau inti esensi manusia. Dalam pengertian ini mereka menunjuk pada prinsip pemersatu yang ditunjuk sebagai kamāl atau kesempurnaan makhluk, pada modus eksistensi yang mengubah sesuatu yang potensial menjadi aktual.137 Entitas ini, yang merupakan kehalusan spiritual (al-latīfah al-rūhāniyyah), merupakan suatu hal yang diciptakan, tetapi tidak binasa; entitas tersebut tidak diukur dalam pengertian keluasan ruang dan waktu, atau kuantitas; entitas tersebut sadar dirinya sendiri dan merupakan lokus dari pengertian; dan cara mengetahuinya hanya melalui intelek dan dengan observasi terhadap aktifitas-aktifitas yang berasal di dalamnya. Entitas tersebut memiliki banyak nama sebab modus dan kondisi aksidentalnya (ahwāl). Jadi ketika entitas tersebut terlibat dalam inteleksi dan pengertian entitas itu disebut ‘intelek’; ketika mengatur tubuh entitas itu disebut ‘jiwa’; ketika bertaut dalam menerima iluminasi intuitif entitas itu disebut hati; dan ketika kembali pada dunianya sendiri dari entitas abstrak entitas itu disebut ‘ruh’. Tentu saja, entitas tesebut pada kenyataannya selalu bertaut mewujudkan dirinya sendiri dalam semua kondisinya.

Jiwa memiliki fakultas-fakultas atau kekuatan-kekuatan (quwā) yang menjadi termanifestasi dalam hubungannya dengan tubuh. Pada tumbuhan mereka itu merupakan kekuatan nutrisi ghādhiyyah), pertumbuhan nāmiyyah), dan keturunan atau reproduksi (al-muwallidah). Kekuatan tersebut, dalam pengertian umum dan bukan pengertian spesifik, terdapat juga pada binatang; dan pada manusia, dimana tubuhnya berada pada spesies hewan, terdapat kekuatan kemauan atau tindakan seketika (al-muharrikah), dan persepsi (al-mudrikah) dalam tambahan pada nutrisi, pertumbuhan, dan reproduksi. Semua kekuatan tersebut milik jiwa, dan dalam pandangan akan keumuman kesatuan mereka secara umum dalam tubuh yang berbeda maupun keterpisahan kesatuan secara spesifik berdasarkan sifat-dasar dari spesies yang berbeda, jiwa tersebut sedikit banyak seperti sebuah genus yang dibagi menjadi tiga jiwa yang berbeda secara berturut-turut: jiwa vegetatif nabātiyyah), hewani hayawāniyyah), dan insan (al-insāniyyah) atau rasional (al-nātiqah).

Kekuatan yang khas pada jiwa hewani adalah penggerak (motive) dan perseptif, dimana masing-masing memiliki dua jenis. Kekuatan penggerak beroperasi sebagai pembangkit (arouser) tindakan (al-bā’ithah ‘alā ‘l-fi’l) pada satu sisi, dan sebagai dirinya sendiri pengaktif (fā’ilah) atau aktuator di pihak lain. Sebagai pembangkit tindakan, hal tersebut mengarahkan gerakan yang ditarik oleh apa yang dianggap bermanfaat atau berbahaya. Ketika tertarik dengan apa yang dibayangkan sebagai sesuatu yang bermanfaat, hasratnya terhadap hal itu membangkitkan kekuatan aktif untuk mencapainya. Ketika ditarik oleh apa yang dianggap berbahaya, keengganan terhadapnya itu membangkitkan kekuatan aktif untuk menghindari atau menanggulanginya. Daya tersebut adalah keinginan yang kuat (appetitive/nuzū’iyyah), dan aktifitasnya diarahkan oleh dua sub-fakultas: fakultas hasrat (al-shahwāniyyah), dan fakultas amarah (al-ghadabiyyah). Sebagai aktuator, daya tersebut memulai dan mengomunikasikan awal pergerakan yang memulai operasi dari saraf, otot, tendon, dan ligamen menuju pemenuhan tujuannya berdasarkan dengan apa yang dihasrati atau dilawannya.138

Dalam hal daya perseptif, hal ini terdiri atas panca indera eksternal (al-hawāss) dalam tatanan pengembangan akan sentuhan, bau, rasa, penglihatan, dan pendengaran secara berturut-turut. Hal tersebut menampilkan fungsi persepsi terhadap hal-hal partikular dalam dunia eksternal. Dalam tambahan pada hal tersebut itu terdapat panca indera internal yang menerima secara internal citra inderawi dan makna mereka, mengombinasikan atau memisahkan mereka,

menerima gagasan akan mereka, memelihara konsepsi yang sedemikian diterima, dan menampilkan inteleksi terhadap mereka.139

Kekuatan perseptif dari indera-indera internal dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis: beberapa menerima tetapi tidak menyimpan objek mereka; beberapa menyimpan objek tetapi tidak bertindak terhadap mereka; beberapa menerima objek dan bertindak terhadap mereka. Persepsi itu merupakan baik akan bentuk atau makna (cth. maksud atau penunjuk) dari objek-objek inderawi; dan indera-indera yang menyimpan objek-objek mereka baik menyimpan bentuk atau makna mereka; dan indera-indera yang bertindak terhadap objek-objek mereka bertindak pada bentuk atau makna mereka. Penerima kadang menerima secara langsung dan kadang-kadang secara tidak langsung melalui kekuatan perseptif yang lain. Perbedaan antara bentuk dan makna adalah bahwa bentuk merupakan apa yang pertama kali diterima dengan indera eksternal, dan kemudian oleh indera internal; makna merupakan apa yang indera internal terima dari objek inderawi tanpa sebelumnya menerima dengan indera eksternal. Dalam tindakan persepsi, penerima menerima bentuk dari objek eksternal, yakni, sebuah citra atau representasi dari realitas eksternal, dan bukan realitas itu sendiri. Maka apa yang diterima indera bukanlah realitas eksternal, tetapi sebagai representasi dalam indera-indera. Realitas eksternal adalah yang darinya indera mengabstraksi bentuknya. Secara serupa, dalam hal makna, bentuk intelijibel merupakan representasi realitas yang tercetak kepada jiwa, karena intelek sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing terhadap sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang, dan posisi.140

Eksistensi indera-indera internal ditetapkan dengan jalan intuisi (al-wijdān).141 Yang pertama dari indera-indera internal tersebut menerima informasi yang dibawa indera-indera eksternal, mengombinasi, dan memisahkan citra internal atau representasi dari objek inderawi eksternal. Indera tersebut adalah indera umum (al-hiss al-mushtarak),142 yang juga disebut fantasi (fantāsiā). Indera umum secara langsung menerima data dari panca indera eksternal. Hal yang serta merta adalah bahwa objek-objek inderawi eksternal pertama kali ditampilkan pada indera eksternal sebelum mereka dapat diterima oleh indera umum. Indera umum hanya menerima sensasi individual yang partikular, dan bukan pengertian universal, dan indera tersebut mampu merasakan nikmat dan sakit, baik diterima dalam imajinasi maupun dalam objek inderawi eksternal. Indera umum mengumpulkan bersama bentuk inderawi, mengombinasikan dan memisahkan bentuk-bentuk yang sama dan yang berbeda sehingga memungkinkan persepsi. Persepsi terhadap bentuk ini, yang merupakan citra atau representasi internal dari objek inderawi, disebut fantasi, dan perekamnya adalah indera imajinasi khayāl) atau fakultas representatif (al-khayāliyyah). Indera umum, dapat lebih lanjut dicatatkan, hanya menerima data yang disediakan indera eksternal, yang mengumpulkan bersama yang sama dan yang berbeda, tetapi tidak menyimpan apa yang diterima.

Fungsi perekaman dan penyimpanan citra atau bentuk objek eksternal yang diterima indera umum berada pada indera internal kedua yang disebut fakultas representatif yang baru saja disebutkan. Fakultas ini menyimpan citra-citra yang merepresentasikan objek eksternal ketika

139 Ma’ārij, hlm. 41; Shif’a, hlm. 33-34; Najāt, hlm. 198.

140 Ma’ārij, hlm. 44-45; Najāt, hlm. 200-201

141 Istilah wijdān digunakan oleh al-Ghazāli dalam Ma’ārij (hlm. 45). Di sini itu dipahami dalam pengertian umum sebagai intuisi berdasarkan introspeksi.

142 Cth. sebuah indera internal yang umum bagi semua panca indera eksternal. Indera tersebut menyatukan sensasi dari semua indera dalam sensasi atau persepsi secara umum. Untuk al-hiss al-mushtarak, lihat

Al-Shifā’, hlm. 145 fol. Terjemahan istilah Latinnya adalah communis sensus, dari mana istilah ‘indera umum

(common sense) diturunkan. Maka, di sini indera umum digunakan sebagai istilah teknis, dan bukan dalam penggunaan umum setiap hari sebagai sesuatu yang cukup bukti atau jelas.

objek tersebut tidak lagi hadir pada indera eksternal, dan dengan demikian merekam informasi yang diterima oleh indera umum dari indera-indera eksternal dan memelihara citra-citra mereka, makna individual dan kolektif mereka, dan representasi itu sudah ada di tempat tersebut untuk kehadiran indera internal yang ketiga, yakni fakultas estimatif (al-wahmiyyah).

Fakultas ini menerima hal-hal inderawi partikular terhadap makna non-inderawi mereka, seperti kebencian dan cinta, dan menampilkan fungsi putusan terhadap yang benar dan salah dan yang baik dan buruk menyentuh pada objeknya seolah-olah mereka itu objek inderawi dunia eksternal. Fakultas estimasi adalah dimana putusan dan pendapat dibentuk, dan kecuali diperintah oleh intelek, kekuatan estimatif dan kekuatan imajinatif yang terhubung dengannya merupakan sumber kesalahan terhadap putusan.143 Dengan fakultas ini, contoh, jiwa menolak substansi intelektual yang tidak terikat maupun dilokasikan; dengannya jiwa mengakui eksistensi kehampaan yang meliputi alam semesta; dan dengannya juga jiwa dibuat menerima keabsahan silogisme berdasarkan premis rumit dan untuk membedakan dalam kedatangan kepada kesimpulan. Fakultas estimatif mengarahkan putusan bukan dalam jalan analitik yang mengarakteristikkan putusan intelektual, tetapi dengan jalan imajinatif yang ditentukan oleh citra memori melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu, atau bukan dengan citra-citra memori, tetapi dengan sebuah interpretasi naluriah akan citra-citra yang diterima oleh jiwa tanpa melalui proses asosiasi dari pengalaman masa lalu.144

Seperti fakultas representatif yang memelihara bentuk yang diterima dari indera umum, indera internal keempat, yang disebut fakultas retentif dan rekolektif (al-hāfizah dan al-dhākirah), menyimpan makna dan memelihara mereka untuk fakultas estimatif yang menerima makna tersebut. Fakultas retentif itu menyimpan makna partikular dan mengingat mereka untuk pemeriksaan yang dekat dan penilaian oleh penerima selama apapun sejauh mereka tetap di dalamnya. Ketika mereka menjadi absen dari retensi dan penerima ini memohon untuk memanggil mereka kembali, maka hal tersebut disebut fakultas rekolektif. Hubungan fakultas retentif dengan makna sama seperti hubungan fakultas representatif dengan hal-hal inderawi yang citranya dibentuk dalam indera umum.

Indera internal kelima adalah fakultas imajinatif (al-mutakhayyilah). Fakultas imajinatif menerima bentuk, kemudian mengombinasikan dan memisahkan mereka dalam tindakan klasifikasi; menambahkan kepada mereka dan mengambil dari mereka sehingga jiwa dapat menerima makna objek dan menghubungkan mereka dengan bentuk atau citranya. Kecondongan alamiah fakultas inilah untuk menampilkan fungsi penilaian dalam bentuk teratur atau non-teratur, sehingga dengan cara demikian jiwa dapat menggunakannya untuk merumuskan tatanan apapun sekehendaknya. Jiwa menggunakan fakultas ini untuk tujuan klasifikasi dengan mengombinasikan dan memisahkan objek-objeknya, dimana kadang-kadang melalui rasio praktis dan kadang-kadang melalui rasio teoritis. Sifat-dasarnya yang esensial adalah menampilkan fungsi mengombinasikan dan memisahkan, dan bukan persepsi. Ketika jiwa menggunakannya sebagai instrumen intelektual fakultas tersebut bersifat kogitatif; dan ketika digunakan berdasarkan kecondongan alamiahnya fakultas tersebut bersifat imajinatif. Jiwa menerima apa yang fakultas ini kombinasikan dan pisahkan terhadap bentuk-bentuk melalui perantara indera umum maupun melalui perantara fakultas estimatif. Dalam bentuk yang lebih berkembang fakultas ini menangkap gagasan melampaui lingkungan inderawi dan citra inderawi. Fakultas tersebut secara khusus merupakan fakultas manusia yang tidak ditemukan dalam hewan yang lebih rendah. Dengan fakultas ini dibangun prinsip keniscayaan dan aplikasi universal.

Maka, indera internal yang kelima, memiliki fungsi ganda yang berhubungan dengan jiwa hewani dan manusia secara berturut-turut. Dalam pengertian ini, fakultas ini memiliki dua aspek: sebagai aspek pada indera, dan sebuah aspek pada intelek. Dalam kasus sebelumnya indera internal tersebut menerima bentuk inderawi sebagaimana indera menerimanya, yakni baik sebagai realitas atau sebagai sesuatu yang metaforis. Sebagai sebuah realitas indera tersebut menghadirkan bentuk sebagaimana hal tersebut adanya dalam dirinya sendiri; sebagai sebuah metafora indera tersebut menghadirkan bentuk bukan sebagaimana hal tersebut adanya dalam dirinya sendiri, tetapi sebagai bentuk yang dilihat dengannya sebagaimana adanya dalam dirinya sendiri, contoh, sebuah fatamorgana. Dalam kasus yang kemudian indera tersebut menerima bentuk-bentuk intelijibel sebagai fakultas kogitatif yang menangkapnya, yakni, sebagai benar atau palsu. Sebagai sesuatu yang benar hal tersebut merupakan bentuk tersebut sebagaimana ia sungguh-sungguh ada; sebagai sesuatu yang salah hal tersebut merupakan bentuk yang bukan sebagaimana ia sungguh-sungguh ada, tetapi sebagai bentuk yang diterima olehnya seperti ia sesungguhnya ada, contoh, sulap atau sihir, atau putusan salah yang lain terhadap fakta.145 Dalam hubungan dengan jiwa hewani fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi inderawi (al-mutakhayyal) yang menghasilkan kemampuan teknik dan artistik; dalam hubungan dengan jiwa manusia fakultas tersebut merupakan fakultas imajinasi rasional (al-mufakkirah). Dalam hubungan dengan jiwa rasional manusia fakultas ini bersifat kogitatif. Fungsinya itu sebagai pengatur data dari rasio teoritis, mengombinasikan dan mengatur mereka sebagai premis-premis yang darinya ia mendeduksikan pengetahuan diinformasikan.

Kemudian dari pengetahuan ini fakultas tersebut menurunkan kesimpulan, dan dari dua jenis kesimpulan sedemikian fakultas tersebut menurunkan yang lain dan mengombinasikan mereka namun mendapatkan lagi kesimpulan yang baru dan seterusnya.146

Maka, hal-hal tersebut merupakan panca indera internal yang dijelaskan secara ringkas dan umum. Dengan referensi pada klasifikasi mereka ke dalam tiga jenis kini kita dapat