• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penglihatan metafisis terhadap dunia dan realitas mendasar yang digambarkan dalam Islām berbeda dari yang diproyeksikan oleh pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern.185 Kita mempertahankan bahwa semua pengetahuan tentang realitas dan kebenaran, dan proyeksi penglihatan yang benar akan sifat-dasar mendasar dari hal-hal itu secara asli diturunkan melalui perantara intuisi.186 Intuisi yang kita maksud tidak dapat secara sederhana direduksi kepada yang hanya beroperasi di tingkatan fisik dari rasio diskursif berdasarkan pada pengalaman indera, karena kita mengafirmasi pada manusia akan kepemilikan kekuatan dan fakultas fisik maupun kekuatan kecerdasan atau spiritual yang menunjuk kembali kepada entitas spiritual, yang kadang-kadang disebut intelek, atau hati, atau jiwa, atau diri, maka eksistensi rasional, imajinal dan empiris manusia harus terlibat baik di tingkatan fisik dan spiritual.187

Dalam pandangan terhadap manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, di tingkatan biasa dari rasio dan pengalaman inderawi, dunia ini nampak baginya terdiri atas banyak bentuk anekaragam dan anekawarna, yang masing-masing dipisahkan dari yang lain karena bentuk individu, ukuran, warna, karakter, batasnya sendiri dan determinasi sedemikian, sehingga masing-masing nampak bagi manusia sebagai sebuah objek independen dan swa-berada, atau entitas yang memiliki realitas atau esensi individual. Dalam pandangan terhadap realitas pada tingkatan pengalaman ini, dunia fenomena, dimana juga termasuk manusia, menghadirkan dirinya sendiri sebagai dunia akan keanekaragaman dan multiplisitas, dimana semua proses kognitif dan keinginan muncul dalam kerangka-kerja yang memerlukan dikotomi subjek-objek. Pengalaman yang beroperasi pada tingkatan ini pasti melibatkan keterpisahan dimana-mana dan pada semua hal; dan untuk alasan ini manusia dengan pengalaman spiritual dan penglihatan spiritual menyebut kondisi ini sebagai ‘perpisahan’ (farq) — pastinya, sebagai ‘perpisahan pertama’ (al-farq al-awwal).

Menyebut kondisi keterpisahan ini pada tingkatan pengalaman ini sebagai ‘perpisahan pertama’ berarti terdapat sebuah kemungkinan bagi manusia — tergantung kepada perkembangan intelektualnya, kondisi urusan keagamaan dan spiritualnya, dan kemurahhatian Tuhan — untuk melampaui dan kembali padanya, sehingga baginya pengalaman akan dunia fenomena setelah dia kembali padanya akan menjadi kondisi ‘perpisahan kedua’ (al-farq al-thānī). Tentu saja, untuk orang seperti itu, dan meskipun dunia yang sama akan multiplisitas dalam kondisi keterpisahan menghadang dia lagi, tetapi dunia tidak lagi terlihat sama seperti yang dia tahu sebelumnya, yakni pada tahap ‘perpisahan pertama’ yang umum bagi semua orang; karena selama pelampauannya itu dia mengalami verifikasi tentang sifat-dasar sejatinya, dia telah meraih pengetahuan tertentu tentang sifat-dasar sejatinya sedemikian rupa sehingga kini, pada tahap ‘perpisahan kedua’, lalu melihatnya secara keseluruhan dalam sinar yang berbeda. Kondisi pelampauan ‘perpisahan pertama’ ini melibatkan perubahan dalam manusia, yang tanpanya dia akan terus terikat pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa dalam keberadaannya.

‘Perpisahan’ yang kita diskusikan pada kenyataannya mengandung dua konotasi. Konotasi pertama menunjuk pada ‘perpisahan’ Tuhan atau Yang Absolut dari dunia ciptaan dalam cara sebagaimana dipahami manusia. Kita katakan ‘dalam cara sebagaimana dipahami manusia’ sebab pada kenyataannya tidak ada ‘perpisahan’ semacam itu. Dengan demikian

185 Lihat di atas, bab III.

186 Bahkan pengetahuan akan kebenaran intelijibel secara mendasar diturunkan dari prinsip intuitif. Lihat karya ibn Sinā, Kitāb al-Najāt, (op. Cit.), hlm. 206.

kondisi ‘perpisahan’ merupakan kondisi yang dibuat perlu oleh rasio dan pengalaman manusia pada tingkatan biasa, dimana kondisi fakultas kognisi dan kemauannya menampilkan fungsi normal mereka. Fakta bahwa kondisi ini disebut ‘perpisahan pertama’ — terlepas dari menyiratkan kemungkinan kondisi lebih lanjut yang diketahui sebagai ‘perpisahan kedua’ seperti telah kita angkat — juga menyiratkan kondisi yang terdahulu darinya, dimana tidak ada perpisahan tersebut. Istilah ‘pertama’ dan ‘kedua’ dilekatkan pada ‘perpisahan’ menunjuk kepada kondisi manusia pada tingkatan pengalaman yang berbeda. Dengan cara yang sama, istilah ‘terdahulu’ dilekatkan kepada ‘perpisahan’ juga menunjuk pada manusia meski tidak, pastinya, pada kondisi manusia. Hal tersebut menunjuk kepada manusia dalam kondisi spiritual, yakni pada pra-eksistensi jiwa sebelum dia menjadi manusia sebagai makhluk hidup. Kondisi ‘pra-perpisahan’ disebut dalam Qur’ān Suci:

‘Ketika Rabbmu mengambil dari anak Adam — dari kesiapan mereka – keturunan mereka, dan membuat mereka bersaksi atas diri mereka (berkata): “Bukankah Aku Rabbmu?” — mereka berkata: “Ya kami bersaksi!”188

Al-Junayd, dalam penjelasan terhadap bagian ini, mengatakan:

Dalam ayat ini Tuhan memberitahukanmu bahwa Dia berbicara kepada mereka pada waktu mereka tidak ada, kecuali sejauh mereka ada bagi-Nya. Eksistensi ini tidak dalam jenis eksistensi yang sama yang biasanya dilekatkan kepada ciptaan Tuhan, hal itu merupakan jenis eksistensi dimana hanya Tuhan yang tahu dan hanya Dia yang sadar akan mereka. Tuhan mengetahui eksistensi mereka, merangkul, mereka pada awal ketika mereka merupakan non-maujud dan tak sadar terhadap eksistensi masa depan mereka di dunia ini...189 Dalam eksistensi mereka yang nir-waktu di hadapan-Nya dan dalam kondisi kesatuan dengan-Nya Dialah yang menanggung keberadaan mereka. Ketika Dia memanggil mereka dan mereka menjawab dengan cepat, jawaban mereka merupakan pemberian yang ramah dan murah hati dari-Nya... Dia memberi mereka pengetahuan akan-Nya ketika mereka hanya konsep yang Dia telah pahami....190

Di sini jiwa manusia dibuat ‘bersaksi’ (ashhada) kepada diri mereka sendiri aktualitas akan Ke-Rabb-an Tuhan dalam pengertian bahwa mereka sungguh tahu dengan pengalaman dan penglihatan langsung (shuhūd) terhadap Realitas dan Kebenaran yang diungkapkan kepada mereka. Dengan demikian dan dengan pengakuan mereka sendiri mereka telah menyegel Perjanjian dengan Tuhan untuk mengenali dan mengakui-Nya sebagai Rabb (rabb) mereka, yakni, Empunya Absolut, Pemilik, Pencipta, Pengatur, Pemerintah, Tuan, Pengasih, Pemelihara. Pengenalan dan pengakuan sedemikian, yang merupakan basis mendasar agama dalam Islām,191 menyertakan kesadaran keterpilahan antara Rabb dan diri mereka sendiri. Namun, kesadaran pemilahan antara Rabb dan pelayan (‘abd), muncul di dalam konteks spiritual akan ‘penyatuan’, dan bukan konteks manusia akan ‘perpisahan’. Kita akan kembali nanti untuk mengelaborasikan hal ini dalam pembahasan yang berkaitan. Konotasi kedua menunjuk kepada ‘perpisahan’ dalam kesadaran dan pengalaman keterpisahan dimanapun dan pada semua hal yang menyusun dunia fenomena, seperti telah kita jelaskan.

188 Al-A’rāf (7): 172.

189 Kitāb al-Fanā’, dalam karya Ali Hassan Abdel-Kader The Life, Personality, and Writings of al-Junayd, London, 1976, hlm. 32 dari teks bahasa Arab Rasa’il. Terjemahan bahasa Inggris dalam hlm. 153.

190 Ibid, Kitāb al-Mithāq, hlm. 40-41/160-161.

Pandangan manusia pada tingkatan fisik, atau keseharian, pada tingkatan rasio dan pengalaman inderawi biasa, dimana hal-hal yang menyusun dunia multiplisitas mengambil bentuk dan identitas konkret dan terpisah, merupakan pandangan umum (‘awāmm) orang-orang. Mereka hanya melihat realitas multiplisitas di hadapan mereka, dan tidak di balik itu. Namun, di antara pergumulan orang-orang dengan pandangan umum terhadap realitas ini terdapat juga mereka yang mencapai derajat lebih tinggi dari persepsi terhadap kebenaran. Mereka mengenali bahwa apa yang nampak di hadapan mereka bukan realitas satu-satunya, dan bahwa terdapat realitas yang lain, yang berbeda sepenuhnya di baliknya, yang mereka pahami secara teologis sebagai Tuhan, Yang terpisah dari dunia dan hubungan-Nya padanya merupakan Pencipta tanpa ada ‘hubungan dalaman (inner)’ antara Dia dan ciptaan-Nya. Perluasan lebih lanjut dari pandangan dualistik terhadap realitas ini adalah pandangan di antara para filsuf, teolog dan saintis bahwa hal-hal eksternal dari dunia yang menyusun dunia bersama dengan semua bagiannya memiliki inti swa-berada, realitas-realitas atau kuiditas-kuiditas substansial yang menjadi subjek atau pengetahuan kita karena mereka dikualifikasikan oleh bagian yang inheren pada mereka dari eksistensi. Eksistensi sebuah objek dilihat sebagai kualitas atau bagian dari kuiditasnya, seolah-olah kuiditasnya dapat berada dengan dirinya sendiri lebih dahulu dari eksistensinya. Dalam pandangan ini, perbedaan nyata telah dibuat antara kuiditas, yang mereka tunjuk sebagai ‘esensi’, dan eksistensi; yang terdahulu diterima secara ontologis sebagai substansi sejati, yang kemudian hanya sebagai aksiden dari substansi sejati. Kontoversi filosofis yang menyentuh pada problem esensi dan eksistensi, yang telah dibawa di hadapan Barat dalam masa kontemporer oleh pendiri esensialisme dan eksistensialisme berturut-turut, menurunkan asalnya dari pandangan umum mendasar ini terhadap sifat-dasar realitas.

Pandangan realitas berdasarkan pada tingkatan rasio dan pengalaman inderawi biasa, dan perkembangan filosofis dan saintifik yang berkembang darinya, tanpa ragu telah mengarah kepada spekulasi filosofis dan saintifik pada keasyikan dengan hal-hal dan ‘esensi-esensi’ mereka dengan mengorbankan eksistensi itu sendiri. Dilihat dari perspektif metafisika dan filsafat Islāmi sebagaimana berdasarkan kebijaksanaan Qur’ān atau hikmah, posisi kita adalah bahwa kita tidak membuat perbedaan nyata antara esensi dan eksistensi, ini untuk mengatakan, bahwa kita mempostulasikan posisi tersebut hanya dalam pikiran, dan bukan dalam realitas ekstra-mental itu sendiri. Dalam realitas ekstra-mental itu sendiri, apa yang dilihat sebagai kualifikasi dari begitu banyak anekaragam dan warna ‘esensi-esensi’ dengan eksistensi dalam pandangan kita merupakan determinasi dan pembatasan multiplisitas menjadi bentuk partikular dari yang memeluk-semua dan meliputi yaitu Eksistensi Itu sendiri, sehingga yang dengannya hal-hal adalah apa mereka sesungguhnya, atau diri dan realitas hal-hal yang merupakan inti eksistensi mereka, tidak lain merupakan realitas Eksistensi yang meliputi-semua yang mengaktualisasikan modus multiplisitas dan keanekaragamanNya dalam tindakan ekspansi dan kontraksi yang berkelanjutan dalam gradasi dari tingkatan keabsolutan-Nya kepada determinasi majemuk hingga mencapai alam indera dan hal-hal inderawi. ‘Suatu hal’ pada dirinya sendiri — yakni, dianggap secara independen dari Realitas yang dengannya hal tersebut adalah hal itu adanya — bukanlah sesuatu yang dalam kondisi be-ing, sebagaimana hal tersebut merupakan suatu hal yang binasa; apa yang menjadi ‘ada’ (be) adalah aktualisasi dari salah satu modus Realitas dalam samaran hal tersebut, seperti yang kita pegang dan anggap sebagai hal tersebut merupakan modus tersebut yang sedang diaktualisasikan. Dengan demikian berdasarkan perspektif kita Eksistensilah (wujūd) yang merupakan ‘esensi-esensi’ sejati dari hal-hal; dan apa yang secara mental atau konseptual dipostulatkan sebagai ‘esensi-esensi’ atau kuiditas-kuiditas (māhiyyat) pada kenyataannya merupakan aksiden-aksiden (a’rād) dari eksistensi.192

Sebagaimana didemonstrasikan oleh pengalaman tertinggi Nabi Suci dan dengan apa yang dia bawa, semua pengetahuan itu datang dari Tuhan, dan diinterpretasikan jiwa melalui fakultas-fakultas fisik dan spiritual. Kita telah katakan di lain tempat bahwa pengetahuan secara epistemologis, dengan referensi pada Tuhan sebagai sumber asalnya, adalah tibanya dalam jiwa akan makna suatu hal atau sebuah objek pengetahuan; dan dengan referensi pada jiwa sebagai penafsirnya, pengetahuan adalah tibanya jiwa pada makna suatu hal atau sebuah objek pengetahuan. Dengan demikian, pada tingkatan rasional dan empiris dari pengalaman biasa, dimana dikotomi subjek-objek menutup dan mengesankan kondisinya terhadap kognisi dan kemauan; dimana kesadaran-ego subjek serta merta berhadapan dengan multiplisitas objek eksternal dari rasio dan pengalaman inderawi, pengetahuan menunjuk kepada intussuspection jiwa akan makna objek tersebut dan bukan objek itu sendiri, melihat bahwa objek-objek tersebut aksidental dalam sifat-dasar mereka dan, oleh karena itu tidak bertahan selama dua durasi. Terdapat, seperti telah kita katakan, tingkatan lain dari pengalaman; dan bahkan pada tingkatan spiritual yang lebih tinggi ini, rasio dan pengalaman tetap sebagai saluran absah yang dengannya pengetahuan dicapai, hanya mereka ada dalam tatanan transendental. Pada tingkatan ini yang rasional bergabung dengan yang intelektual, dan yang empiris dengan apa yang menyentuh pada pengalaman spiritual yang otentik seperti ‘kesaksian dalaman’ (shuhūd), ‘merasakan’ (dhawq), ‘kehadiran’ (hudūr) dan kondisi saling-terhubung dari kesadaran trans-empiris (ahwāl). Pada tingkatan ini pengetahuan berarti ‘penyatuan’ (tawhīd) jiwa dengan inti Kebenaran yang mendasari semua makna. Di sini jiwa tidak hanya mengerti, tetapi mengetahui realitas dan kebenaran dengan pengalaman nyata dan langsung. Pengalaman nyata dan langsung yang terkandung dalam ‘penyatuan’ dari yang mengetahui dan yang diketahui.193

Kita telah mengangkat dalam kasus seseorang yang melampaui tahap ‘perpisahan pertama’, bahwa seseorang itu pasti pertama kali mengalami perubahan. Perubahan tersebut menyentuh pada kesadaran-ego subjek. Pengetahuan sebagai ‘penyatuan’ yang mengetahui dan yang diketahui hanya dapat terjadi ketika kesadaran-ego yang mengetahui, atau kesadaran subjektif, telah ‘hilang’ (fanā’). Harus dicatat bahwa bahkan pada tingkatan fenomenal eksistensi empiris seseorang mengetahui bahwa ketika seseorang mengikatkan dirinya dalam meditasi atau perenungan mendalam dalam beberapa urusan yang menuntut perhatian penuh seseorang, seseorang itu pada saat yang bersamaan tidak sadar dengan bagian tubuhnya. Dalam pengertian terbatas kesadaran subjektif seseorang, selama kehilangan kesadaran terhadap bagian tubuhnya yang merupakan unsur utama dari diri subjektif, dilunakkan sebab jiwa mengarahkan konsentrasinya di tempat lain. Dengan demikian bahkan ketika pada tingkatan eksistensi dalam dunia indera dan pengalaman inderawi kita dapat mengakui pengalaman tersebut mengungkapkan beberapa penglihatan-mendalam ke dalam sifat-dasar kekuatan jiwa dan aktifitasnya dalam kehadirannya pada makna, maka tidak ada alasan untuk menduga bahwa

193 Pada tingkatan rasio dan pengalaman biasa, ‘yang diketahui’ menunjuk kepada makna hal-hal, dan bukan hal-hal itu sendiri; dan ‘penyatuan’ — jika kita menggunakan istilah itu pada tingkatan tersebut tidak berarti penyatuan dengan objek material dari persepsi inderawi, tetapi dengan bentuk-bentuk intelijibel mereka yang telah diabstraksikan oleh intelek dari semua karakter materialitas mereka. Unsur-unsur makna yang diturunkan intelek dari objek persepsi inderawi tidak ditemukan dalam objek itu sendiri, tetapi merupakan konstruksi intelek atau jiwa sebagaimana diterima dari iluminasi Kecerdasan Aktif. Objek material dalam dunia indera dan pengalaman inderawi pada diri mereka sendiri merupakan hal partikular yang diubah intelek menjadi universal; dan pada diri mereka sendiri mereka hanya menyediakan pijakan untuk penampakan khusus yang memunculkan pada proyeksi jiwa akan bentuk-bentuk inderawi dalam dirinya sendiri. Pada tingkatan yang lebih tinggi, ‘kesatuan’ yang mengetahui dan yang diketahui berarti identitas akan pemikiran dan being atau eksistensi. Eksistensi memiliki derajat-derajat yang berbeda, dan Eksistensi atau Kebenaran Absolut memiliki sebuah derajat unik pada diri-Nya sendiri, dan sebuah derajat dalam hubungan dengan yang lain selain diri-Nya. ‘Kesatuan’ menunjuk pada aspek yang kemudian dari Kebenaran. Oleh karena itu ‘kesatuan’ dengan Kebenaran berarti kesatuan bukan dengan Kebenaran sebagaimana Dia ada dalam diri-Nya sendiri, tetapi sebagaimana Dia mewujudkan diri-Nya dalam bentuk salah satu Nama-Nama dan Sifat-Sifat-Nya.

kekuatan dan aktifitas tersebut berakhir di sini dan tidak dapat melampaui tingkatan ini untuk beroperasi pada tingkatan eksistensi yang lebih tinggi dan congener yang kita diskusikan.

Karena bentuk yang banyak sekali dan beranekawarna, yang secara jelas didefinisikan sebagai banyaknya objek independen yang menyusun dunia multiplisitas, dilihat sedemikian rupa oleh subjek yang mengetahui, yang ‘kehilangan’, terhadap kesadaran subjektifnya serta merta juga melibatkan ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas fenomena menjadi objek terpisah dari kognisi dan kemauan. Tapi pada waktu yang bersamaan, kehilangan terhadap bentuk-bentuk itu secara keseluruhan bukan sebuah perkara subjektif; karena multiplisitas maujud yang ditampilkan banyak sekali bentuk pada diri mereka sendiri itu tidak sinambung dalam keberadaan mereka, sehingga bentuk-bentuknya binasa secara berkelanjutan. Dengan demikian fanā’, ketika muncul, muncul baik secara subjektif dan objektif; fanā’ melibatkan baik kondisi psikologis dan ontologis dari eksistensi; fanā’ merupakan kebetulan antara kehilangan kesadaran subjektif yang juga menyertakan kehilangan objek dari kesadaran tersebut, dan ketidaknampakan aktual dari objek itu sendiri. ‘Kehilangan’ kesadaran subjektif tidak secara serta merta menyertakan — setidaknya pada tahap awal — pembatalan kesadaran dalam subjek akan keterpilahan antara dirinya sebagai pelihat (seer) dan objek sebagaimana dilihat; subjek di sini tetap sadar terhadap dirinya dalam kemampuan membedakan subjek yang melihat dan objek yang dilihat.194 Sehingga hubungan subjek-objek tetap bertahan pada tahap awal fanā’ ini, meskipun perubahan yang dia alami, baik dalam dirinya sendiri dan dalam multipisitas objek, akan secara niscaya memandangnya tidak sebagai kondisi yang cukup sama akan dikotomi subjek-objek pada tahap ‘perpisahan-pertama’, dimana di dalamnya semua hal terlibat dalam kondisi pengaruh pada tingkatan pengalaman sehari-hari. Jika kesadaran subjek tidak berlanjut terhadap dirinya pada tahap awal fanā’ ini, maka pengalaman tersebut tidak akan menghasilkan pencapaian pengetahuan tertentu (ma’rifah) akan sifat-dasar sejati hal-hal sebagaimana direfleksikannya dan direnungkan atasnya kemudian, ketika dia kembali pada ketenangan hati dari kesadaran normal dan fenomenalnya.

Maka pada tahap awal ‘kehilangan’ akan kesadaran subjektifnya, yang mengetahui mampu ‘menyaksikan’ ‘kehilangan’ bentuk-bentuk yang mendefinisikan multiplisitas dari fenomena menjadi objek-objek yang terpisah. Apa yang mengetahui (knower) lihat sebagai pelihat adalah ‘pengumpulan bersama’ (jam’) bentuk yang banyak sekali dari dunia fenomena menjadi Realitas tunggal yang disatukan. ‘Penyaksian dalaman’ ini adalah melihat dan mengalami Multiplisitas (kathrah) yang dikumpulkan bersama ke dalam Kesatuan (wahdah). Guncangan dalaman yang terjadi menemani penglihatan yang menaklukan ini pada waktu yang bersamaan dipertinggi oleh pengungkapan Tuhan akan sebuah aspek dari diri-Nya (tajallī) kepada diri yang mengetahui dengan salah satu Nama-Nama (asmā’) atau Sifat-Sifat-Nya (sifāt). Tuhan dalam aspek-Nya sebagai Being Absolut dalam semua bentuk-bentuk manifestasinya adalah ‘Kebenaran’ (al-haqq). Hal itu kenyataannya merupakan swa-pengungkapan Tuhan kepada manusia dalam aspek partikular tersebut yang membawa kondisi fanā’, yang membuat dia tidak ada dan menghilangkan kesadaran eksistensi individualnya. Secara mendasar, ketika sinar manusia akan ruh makhluk hilang, tidak akan ada jejak kesadaran yang tertinggal dalam ego dari kehilangannya. Manusia tersebut pada tahap ini telah ‘kehilangan akan kehilangan’ (fanā’ al-fanā’). Sebagai ganti dari apa yang Tuhan telah hilangkan darinya, Tuhan meletakkan dalam diri manusia, tanpa inkarnasi (hulūl), substansi spiritual (latīfah) yang merupakan Esensi-Nya (dhāt) dan tidak terpisah dari-Nya maupun bergabung dengan manusia. Pengungkapan Tuhan akan sebuah aspek diri-Nya adalah dibuat pada substansi spiritual tersebut, yang dinamakan Ruh Suci

(al-rūh al-qudus),195 karena Dia tidak pernah mengungkapkan kecuali pada diri-Nya sendiri. Kita menyebut substansi tersebut ‘seorang manusia’ sebab hal tersebut merupakan pertukaran untuk apa yang telah Tuhan hilangkan dari manusia, lalu mengambil tempat manusia tersebut daripada akan manusia. Pada tahap ini dikotomi subjek-objek tidak lagi ada.196

Jika pengalaman fanā’ berhenti pada tahap ini karena kapasitas dan persiapan spiritual manusia tidak bertahan, dan ketika nanti manusia tersebut, memperoleh kesadaran fenomenalnya, lalu kembali pada tingkatan kondisi manusia dimana dunia multiplisitas menghadangnya kembali dalam bentuknya yang banyak, refleksi dan perenungannya terhadap pengalaman yang telah dialami, dalam absensi petunjuk dan bantuan Tuhan, dapat membawanya kepada kepercayaan-kuat (conviction) yang salah bahwa dunia bersama dengan semua bagiannya tidak lain hanya ilusi belaka. Berkaitan dengan kondisi spiritualnya yang kurang sempurna, dan kepada pengalamannya yang tidak lengkap akan ‘penyibakan’ (kashf), dia kemudian dapat percaya bahwa perpisahan dan hal-hal majemuk hanya khayalan dari imajinasi; bahwa hal-hal partikular-fakta tersebut dalam eksistensi sesungguhnya apa yang disulap pikiran, dan bahwa dalam realitas tidak ada partikularisasi dalam eksistensi. Dia akan percaya bahwa segala hal ada dalam realitas Tuhan dalam pengertian panteistik atau bahkan pengertian monistik. Dia berpikir bahwa Tuhan adalah dunia dan dunia adalah Tuhan, dan dirinya adalah Tuhan dan Tuhan adalah dirinya sendiri. Diguncang oleh penglihatan subjektifnya sendiri, dia menjadi salah seorang yang, sepertinya, terpeleset dari Jalan Benar dan jatuh ke dalam jurang kesalahan dan bid’ah. Di antara orang-orang demikian ada juga mereka yang tidak memiliki pengalaman sejati, tetapi yang menurunkan kemiripan tentang pengetahuan seperti itu dari rasio diskursif, dan kemudian menyalahpahami persoalan itu dalam imajinasi mereka sendiri, tanpa pengalaman sejati apapun dari fanā’ atau kashf.

Tapi tidak semua yang secara sejati mengalami ‘penyibakan’ tidak lengkap menjadi terlibat dalam kesalahan dan bid’ah. Mereka yang dibimbing dan dibantu Tuhan dalam menempuh jalan benar (cth. penerima tawfīq) sadar akan ketidaklengkapan penglihatan mereka terhadap Realitas dan Kebenaran yang mereka saksikan selama kondisi ‘penyibakan’ ini; dan mereka juga sadar bahwa ‘penyibakan’ itu sendiri hanya sebuah awal yang tidak lengkap. Walaupun mereka mudah didorong untuk mengafirmasi hanya aspek kesatuan dari realitas, dalam harmoni dengan realitas dari pengalaman mereka akan kesatuan, meskipun demikian mereka mengonfirmasikan kebenaran agama yang dibawa Nabi Suci, dan menerima pengalaman Yang Benar sebagai pembenar dan memiliki derajat yang lebih tinggi akan pencapaian spiritual dan penglihatan spiritual daripada yang dimiliki mereka. Mereka juga mengonfirmasikan dalam