• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prolegomena to the Metaphysics of Islam, yang diterbitkan oleh International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) pada 1995, kini diterbitkan kembali tanpa perubahan. Beberapa bagian buku ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa sejak publikasi pertama. Bagian Pengenalan buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Persia; bab I ke dalam bahasa Arab, Persia, Turki, Bosnia, Urdu, Malaya, Jepang, Korea, Indonesia; bab II ke dalam bahasa Arab, Turki, Jerman, Itali, Bosnia, dan Melayu; bab V, VI, dan VII ke dalam bahasa Persia. Seluruh buku ini sekarang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia, di bawah pengawasan Institute of Islamic Civilization, Moskow, yang berkolaborasi dengan anggota Russian Academy of Science, sebuah Institusi Filsafat yang telah mengundang saya berbicara pada sebuah Presentasi Khusus tentang gagasan saya yang diungkapkan dalam buku tersebut, dan ditemani Deputi saya Profesor Dr. Wan Mohd. Nor, ke Akademi Moskow pada Mei 2001.

Saya mengucapkan terima kasih kepada International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) karena menerbitkan kembali buku ini dalam bentuk yang sekarang ini, dan memperbaharui rasa terima kasih saya kepada Profesor Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, Deputi Direktur Institut, dan asisten Profesor Dr. Muhammad Zainy Uthman, Pustakawan akademis Institut untuk dukungan terus-menerus akan pekerjaan saya. Pada cetakan kedua buku ini, saya juga mengucapkan terima kasih kepada anggota baru staf akademik, asisten Profesor Dr. Mohamed Ajmal Abdul Razak, Editor Umum Publikasi Institut, yang membaca salinan buku ini lewat percetakannya.

Syed Muhammad Naquib al-Attas 5 September, 2001/ 17 Jumad al-Akhir 1422 Kuala Lumpur

PENGENALAN

Dari perspektif Islām, ‘pandangan-dunia’ bukan hanya pandangan kesadaran tentang dunia fisik dan keterlibatan manusia secara historis, sosial, politis dan kultural di dalamnya seperti direfleksikan, sebagai contoh, dalam ungkapan bahasa Arab saat ini tentang gagasan yang dirumuskan dalam frase nazrat al-islām li al-kawn. Tidaklah tepat menunjuk pandangan-dunia Islām sebagai nazrat al-islām li al-kawn. Hal ini karena, tidak seperti apa yang dikandung nazrat, pandangan-dunia Islām tidaklah berdasarkan spekulasi filosofis yang sebagian besar dirumuskan dari observasi data pengalaman inderawi, dari apa yang terlihat pada mata; maupun dibatasi pada kawn, yang merupakan dunia pengalaman inderawi, dunia hal-hal ciptaan. Jika ungkapan demikian kini digunakan dalam bahasa Arab pada pemikiran muslim kontemporer, hal itu hanya menunjukkan bahwa kita sudah terlalu dipengaruhi konsepsi saintifik Barat sekular tentang dunia yang dibatasi pada dunia indera dan pengalaman inderawi. Islām tidak mengakui dikotomi sakral dan profan; pandangan-dunia Islām meliputi al-dunyā dan al-ākhirah, dimana aspek-dunyā harus terhubung secara mendalam dan tak terpisahkan dengan ākhirah, dan dimana aspek-ākhirah memiliki nilai mendasar (ultimate) dan penghabisan (final). Aspek-dunyā itu dilihat sebagai persiapan untuk ākhirah. Segala hal dalam Islām secara mendasar terfokus kepada aspek-ākhirah tanpa kemudian mengakibatkan perilaku lalai atau tidak peduli terhadap aspek dunyā. Realitas bukan apa yang sering ‘didefinisikan’ dalam kamus-kamus bahasa Arab sebagai wāqi’iyah, yang penggunaannya itu, secara partikular dalam bentuk gramatikal wāqi’iy, sekarang sedang populer. Realitas adalah haqīqah, yang secara berarti kini jarang digunakan berkaitan pada keasyikan dengan wāqi’iyah yang hanya menunjuk kepada penampakan faktual. Penampakan faktual hanya merupakan satu aspek dari sekian banyak haqīqah, yang cakupannya meliputi seluruh realitas. Lebih lanjut, penampakan faktual dapat merupakan aktualisasi sesuatu yang palsu (cth. bāţil); sedangkan realitas selalu merupakan aktualisasi sesuatu yang benar (cth. haqq). Maka, apa yang dimaksud dengan ‘pandangan-dunia’, menurut perspektif Islām, adalah visi akan realitas dan kebenaran yang muncul di hadapan mata kesadaran yang mengungkapkan segala hal tentang eksistensi; karena pandangan-dunia merupakan dunia eksistensi dalam totalitasnya yang diproyeksikan Islām. Jadi, dengan ‘pandangan-dunia’ kita harus mengartikannya sebagai ru’yat al-islām li al-wujūd.

Visi Islāmi akan realitas dan kebenaran, yang merupakan investigasi metafisis dari apa yang nampak maupun yang tidak nampak termasuk perspektif akan kehidupan sebagai keseluruhan, bukanlah pandangan-dunia yang dibentuk hanya dengan mengumpulkan bersama-sama pelbagai objek, nilai, dan fenomena kultural ke dalam koherensi artifisial.[i] Bukan pula sesuatu yang dibentuk secara bertahap melalui proses historis dan perkembangan spekulasi filosofis dan penemuan saintifik, yang pasti perlu dibiarkan samar dan terbuka-tanpa-akhir (open-ended) untuk perubahan di masa depan dan pergantian yang sejalan dengan paradigma yang berubah dalam korespondensi dengan keadaan yang berubah. Visi Islām akan realitas dan kebenaran bukanlah pandangan-dunia yang mengalami proses transformasi dialektik yang berulang-ulang sepanjang zaman, dari tesis kepada antitesis kemudian sintesis, dengan unsur-unsur masing-masing tahapan tersebut dalam proses sedang terserap menjadi yang lain, seperti sebuah pandangan-dunia berdasarkan sistem pemikiran yang asalnya berpusat pada tuhan, kemudian secara bertahap menjadi berpusat pada tuhan-dunia, dan kini menjadi berpusat pada dunia dan mungkin bergeser lagi membentuk tesis baru dalam proses dialektik. Pandangan-dunia demikian berubah sejalan dengan ideologi zaman yang dikarakteristikkan oleh banyaknya

pengaruh sistem pemikiran partikular dan berlawanan yang mendukung perbedaan interpretasi akan pandangan-dunia dan sistem nilai seperti yang telah dan akan terus muncul dalam sejarah tradisi kultural, keagamaan, dan intelektual Barat. Tidak pernah ada dalam sejarah tradisi kultural, keagamaan, dan intelektual Islām keterpilahan zaman yang dikarakteristikkan dengan banyaknya sistem pemikiran berdasarkan materialisme dan idealisme, yang didukung posisi dan pendekatan bantuan metodologis seperti empirisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, pragmatisme, positivisme, positivisme logis, kritisisme, yang bergerak dari satu posisi ke posisi lain di antara abad, yang muncul bergantian langsung pada masa kita. Perwakilan pemikiran Islām — teolog, filosof, metafisikawan — secara keseluruhan dan individual telah menerapkan pelbagai metode dalam investigasi mereka tanpa mementingkan satu metode partikular. Mereka memadukan dalam investigasi mereka, dan secara bersamaan dalam pribadi mereka, yang empiris dan rasional, metode deduktif dan induktif dan mengakui tidak ada dikotomi antara yang subjektif dan objektif,[ii] sehingga mereka semua terpengaruh dengan apa yang saya sebut sebagai metode tawhīd akan pengetahuan. Bukan pula pernah terdapat dalam Islām periode sejarah yang dapat dikarakteristikkan sebagai ‘klasik’, lalu ‘pertengahan’, lalu ‘modern’ dan kini nampak bergeser lagi ke ‘pos-modern’; maupun masa kritis antara pertengahan dan modern dialami sebagai ‘renaisans’ dan ‘pencerahan’. Pendukung pergeseran dalam sistem pemikiran yang melibatkan perubahan dalam unsur-unsur mendasar pandangan-dunia dan sistem nilai, mungkin mengatakan bahwa semua bentuk kebudayaan harus mengalami pergeseran sedemikian, jika tidak dalam proses interaksi dengan keadaan yang berubah mereka akan melelahkan diri mereka, menjadi tidak kreatif, dan membatu. Namun, hal ini hanya benar dalam pengalaman dan kesadaran peradaban yang sistem pemikiran dan nilainya telah diturunkan dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu sains pada masa mereka. Islām bukanlah sebuah bentuk kebudayaan, dan sistem pemikirannya yang memproyeksikan visi akan realitas dan kebenaran dan sistem nilai yang diturunkan darinya tidak hanya diturunkan dari unsur kultural dan filosofis yang dibantu sains, tetapi sesuatu yang sumber asalnya adalah Wahyu, yang dikonfirmasi agama, diafirmasi prinsip intelektual dan intuitif. Islām melekatkan kepada dirinya akan kebenaran sebagai sungguh-sungguh agama wahyu, yang sempurna sejak dari awal, tidak membutuhkan penjelasan historis dan penilaian dalam pengertian tempat yang disinggahi dan peran yang dimainkan dalam proses perkembangan. Semua yang penting dalam agama: nama, kepercayaan-kuat (faith) dan prakteknya, ritual, kredo dan sistem kepercayaan (belief) telah diberikan Wahyu, diinterpretasikan, dan didemonstrasikan Nabi dalam ucapan dan contoh tindakan, bukan dari tradisi kultural yang pasti perlu mengalir dalam arus historisisme. Agama Islām telah sadar identitas dirinya sejak saat diwahyukan. Ketika Islām muncul dalam tahapan sejarah dunia, Islām sudah ‘dewasa’, dan tidak membutuhkan proses ‘pertumbuhan’ menuju kedewasaan. Agama Wahyu hanya dapat sebagai sesuatu yang mengetahui dirinya sejak sangat awal; dan swa-pengetahuan ini datang dari Wahyu itu sendiri, bukan dari sejarah. Maka, sesuatu yang disebut ‘perkembangan’ dalam tradisi keagamaan manusia tidak dapat diterapkan pada Islām, karena apa yang diasumsikan sebagai proses perkembangan tersebut dalam kasus Islām hanya sebuah proses interpretasi dan elaborasi yang pasti perlu muncul dalam generasi mukmin berturut-turut dari bangsa yang berbeda, dan yang merujuk kepada Sumber yang tidak berubah.[iii] Pandangan-dunia Islām tersebut dikarakteristikkan dengan otentisitas dan finalitas yang menunjuk pada apa yang mendasar, dan pandangan-dunia Islām memproyeksikan pandangan akan realitas dan kebenaran yang meliputi eksistensi dan kehidupan secara keseluruhan dalam perspektif utuh dimana unsur-unsur mendasarnya didirikan secara permanen. Unsur-unsur tersebut adalah, untuk menyebutkan yang paling penting, sifat-dasar Tuhan; tentang Wahyu (cth. Qur’ān); tentang makhluk-Nya; tentang manusia dan psikologi jiwa manusia; tentang pengetahuan; tentang

agama; tentang kebebasan; tentang nilai dan kebajikan (ihsān, penerj.); tentang kebahagiaan — semua yang, bersama dengan istilah dan konsep kunci yang dibentangkan, memiliki ketegasan mendalam pada gagasan kita akan perubahan, perkembangan, dan kemajuan. Saya mengajukan di sini, di Pengenalan ini, untuk memberikan intisari beberapa unsur mendasar pandangan-dunia Islām. Pernyataan menyeluruh tentang sifat-dasar mereka telah dibuat di dalam bab-bab buku ini. Unsur-unsur mendasar pandangan-dunia inilah yang kita pertahankan supaya tegak secara permanen yang kini sedang ditantang modernitas, dimana dijumpai bahwa pergeseran sistem pemikiran yang telah melahirkan modernitas dari rahim sejarah telah dihasilkan oleh kekuatan sekularisasi sebagai ideologi filosofis. Namun, sebenarnya modernitas atau posmodernitas tidak memiliki visi koheren untuk menawarkan sesuatu yang dapat disebut sebagai pandangan-dunia. Jika kita dapat menarik bahkan sebuah persamaan superfisial antara pandangan-dunia dan gambar yang dilukiskan dalam teka-teki potongan gambar (jigsaw), maka potongan gambar modernitas itu bukan hanya jauh dari melukiskan gambar koheren apapun, tetapi juga bagian-bagian inti untuk membentuk gambar sedemikian itu tidak cocok. Hal ini tidak termasuk menyebutkan posmodernitas, yang telah menggagalkan semua bagian. Tidak ada pandangan-dunia yang benar yang dapat fokus ketika sistem ontologis skala-besar untuk memproyeksikannya itu ditolak, dan ketika terdapat pemisahan antara kebenaran dan realitas, antara kebenaran dan nilai. Unsur-unsur mendasar tersebut berperan sebagai prinsip penyatu yang meletakkan semua sistem makna, standar kehidupan, dan nilai kita dalam tatanan koheren sebagai sistem yang disatukan membentuk pandangan-dunia; dan prinsip tertinggi dari realitas sejati yang diartikulasikan unsur-unsur mendasar tersebut difokuskan pada pengetahuan akan sifat-dasar Tuhan sebagaimana diwahyukan dalam Qur’ān.

Sifat-dasar Tuhan sebagaimana di-Wahyukan dalam Islām diturunkan dari Wahyu. Kami tidak memaksudkan Wahyu sebagai visi mendadak para pujangga besar dan seniman yang diklaim untuk diri mereka; maupun inspirasi apostolik para penulis naskah suci; maupun intuisi iluminatif dan orang-orang bijaksana dan orang-orang berpandangan tajam. Kami memaksudkan Wahyu sebagai ucapan Tuhan tentang diri-Nya sendiri, ciptaan-Nya, hubungan antara keduanya, dan jalan keselamatan yang dikomunikasikan kepada Nabi dan Utusan pilihan-Nya, tidak dengan suara atau huruf, namun sudah berisikan semuanya Dia telah merepresentasikannya dalam kata-kata, kemudian dibawa oleh Nabi kepada manusia dalam bentuk linguistik yang baru di dalam alam namun menyeluruh, tanpa kebingungan dengan subjektifitas dan imajinasi kognitif Nabi. Wahyu ini final, dan bukan hanya mengonfirmasikan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam bentuk asli, tetapi juga termasuk substansinya, yang memisahkan kebenaran dari kreasi kultural dan penemuan etnik.

Karena kita mengafirmasi Qur’ān sebagai ungkapan Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk baru bahasa Arab, oleh karena itu deskripsi sifat-dasar-Nya di dalam Qur’ān merupakan deskripsi diri-Nya oleh diri-Nya dalam kata-kata-Nya sendiri berdasarkan bentuk linguistik tersebut. Hal ini berarti bahasa Arab Qur’ān, interpretasi tentangnya dalam Tradisi (sunnah, pen.), dan penggunaan otentik dan otoritatifnya sepanjang zaman telah membentuk keabsahan bahasa tersebut ke derajat unggul dalam bertugas menggambarkan realitas dan kebenaran.[iv] Dalam pengertian ini dan tidak seperti situasi yang berlaku umum pada pemikiran modernis dan posmodernis, kita mempertahankan bahwa bukanlah perhatian Islām untuk terlalu terlibat dalam urusan semantik dari bahasa secara umum dimana kondisi filsuf bahasa menemukan penuh masalah pada kemampuan mereka untuk mendekati atau menghubungkan dengan realitas yang benar. Konsepsi sifat-dasar Tuhan yang diturunkan dengan Wahyu juga dibangun di atas fondasi

rasio dan intuisi, dan dalam beberapa kasus dengan intuisi empiris, sebagai sebuah hasil pengalaman dan kesadaran manusia akan-Nya dan ciptaan-Nya.

Sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidaklah sama seperti konsepsi Tuhan yang dipahami dalam pelbagai tradisi keagamaan di dunia; maupun sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami di dalam tradisi filsafat Yunani dan yang Helenistik; maupun konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filosofis dan saintifik Barat; maupun tradisi mistik Barat dan Timur. Penampakan kesamaan yang mungkin ditemukan di antara pelbagai konsepsi mereka tentang Tuhan dengan sifat-dasar Tuhan yang dipahami dalam Islām tidak dapat diinterpretasikan sebagai bukti identitas Tuhan Universal yang Esa dalam pelbagai konsepsi mereka akan sifat-dasar Tuhan; karena setiap dari mereka bertugas dan berada pada sistem konseptual yang berbeda, yang secara serta merta menyumbangkan konsepsi tersebut sebagai keseluruhan atau super-sistem (super-system) sehingga menjadi tidak sama satu sama lain. Maupun terdapat ‘kesatuan transenden agama-agama’, jika ‘kesatuan’ (unity) bermakna ‘keesaan’ (oneness) atau ‘kesamaan’ (sameness); dan jika ‘kesatuan’ tidak bermakna ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ maka terdapat pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama bahkan pada tingkatan transenden. Jika diakui bahwa terdapat pluralitas atau ketidaksamaan pada tingkatan tersebut, dan ‘kesatuan’ bermakna ‘kesalinghubungan bagian-bagian yang menciptakan keseluruhan’, maka kesatuan merupakan saling-hubung pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian yang menyusun keseluruhan, maka hal itu berarti bahwa pada tingkatan kehidupan sehari-hari, dimana manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, agama apapun tidak utuh pada dirinya dan tidak mampu mewujudkan tujuannya, dan hanya mampu mewujudkan tujuannya, yang merupakan ketundukan kepada Tuhan Universal yang Esa tanpa menyamakan Dia dengan segala rekan, lawan, atau semacamnya, pada tingkatan transenden. Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan tepatnya pada tingkatan eksistensi ketika manusia terpengaruh keterbatasan kemanusiaan dan material alam semesta, dan bukan ketika manusia tidak dipengaruhi keterbatasan tersebut sebagaimana terkandung dalam istilah ‘transenden’. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi ontologis yang tidak termasuk salah satu dari sepuluh kategori, Tuhan adalah, berbicara secara ketat, bukan Tuhan agama (cth. ilāh) dalam pengertian bahwa dapat ada sesuatu yang disebut ‘kesatuan’ agama-agama pada tingkatan tersebut. Pada tingkatan tersebut Tuhan dikenali sebagai rabb, bukan sebagai ilāh; dan mengenali Tuhan sebagai rabb tidak serta merta menyiratkan keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang pantas akan kebenaran yang dikenali, karena Iblīs juga mengakui Tuhan sebagai rabb namun tidak mengakui Dia secara pantas. Tentu saja, seluruh keturunan Adam telah mengakui Dia sebagai rabb pada tingkatan tersebut. Namun pengenalan manusia sedemikian akan-Nya tidaklah benar kecuali diikuti pengakuan yang pantas pada tingkatan dimana Dia diketahui sebagai ilāh. Dan pengakuan yang pantas pada tingkatan ini dimana Dia diketahui sebagai ilāh terdiri atas tidak menyamakan Dia dengan segala sekutu, lawan, atau semisalnya, dan berserah kepada-Nya dalam cara dan bentuk yang diterima-Nya dan ditunjukkan oleh Nabi yang diutus-Nya. Jika ‘transenden’ bermakna menunjuk kepada kondisi psikologis pada tingkatan pengalaman dan kesadaran yang ‘melampaui’ atau ‘melewati’ kebanyakan di antara manusia, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan disadari pada tingkatan transenden itu bukanlah agama, tetapi pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya dapat dicapai secara relatif oleh beberapa individu di antara manusia. Namun, agama dimaksudkan untuk mewujudkan tujuannya bagi keseluruhan manusia dan manusia secara keseluruhan tidak pernah dapat sampai pada tingkatan transenden dimana terdapat kesatuan agama-agama pada tingkatan tersebut. Maka jika ditolak bahwa kesatuan pada tingkatan transenden merupakan saling-hubung pluralitas atau

ketidaksamaan agama-agama sebagai bagian-bagian yang menyusun keseluruhan, melainkan bahwa setiap agama pada tingkatan kehidupan sehari-hari bukan merupakan bagian dari keseluruhan, tetapi merupakan keseluruhan dalam dirinya sendiri – maka ‘kesatuan’ bermakna ‘keesaan’ atau ‘kesamaan’ tidak sungguh-sungguh akan agama-agama, tetapi akan Tuhan agama-agama pada tingkatan transenden (cth. esoterik), yang menyiratkan dengan demikian pada tingkatan kehidupan sehari-hari (cth. eksoterik), dan kendati akan pluralitas dan keanekaragaman agama-agama, masing-masing agama itu memadai dan absah dalam jalannya yang terbatas, dimana masing-masing otentik dan mengandung kebenaran yang sama meskipun terbatas. Gagasan pluralitas kebenaran absah yang sama dalam pluralitas dan keanekaragaman agama-agama mungkin diluruskan dengan pernyataan dan kesimpulan umum filsafat dan sains modern yang muncul dari penemuan pluralitas dan keanekaragaman hukum yang mengatur alam dan memiliki keabsahan yang sama dalam sistem kosmologis masing-masing. Kecenderungan meluruskan penemuan saintifik modern terhadap sistem alam semesta dengan pernyataan yang berhubungan dengan masyarakat, tradisi kultural, dan nilai merupakan salah satu karakteristik corak modernitas. Posisi mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama itu berdasarkan dengan asumsi bahwa semua agama, atau agama-agama besar umat manusia, adalah agama wahyu. Mereka berasumsi bahwa universalitas dan transendensi esoterisme mengesahkan teori mereka, yang mereka ‘temukan’ setelah berkenalan dengan metafisika Islām. Dalam pemahaman mereka akan metafisika kesatuan transenden eksistensi (the trancendent unity of existence), mereka lebih lanjut berasumsi bahwa kesatuan transenden agama-agama sudah tersirat. Terdapat kesalahan yang serius dalam semua asumsi mereka, dan frase ‘kesatuan transenden agama-agama’ itu menyesatkan dan mungkin dimaksudkan demikian karena dorongan selain kebenaran. Klaim mereka untuk mempercayai kesatuan transenden agama-agama adalah sesuatu yang dianjurkan kepada mereka secara induktif oleh imajinasi dan diturunkan dari spekulasi intelektual dan bukan dari pengalaman aktual. Jika ini ditolak, dan klaim mereka diturunkan dari pengalaman orang lain, maka kembali kita katakan bahwa pengertian ‘kesatuan’ yang dialami bukanlah agama, tetapi pelbagai derajat atas pengalaman keagamaan individual yang tidak serta merta membimbing pada asumsi bahwa agama diri individu yang mengalami ‘kesatuan’ tersebut, memiliki kebenaran absah yang sepadan sebagaimana agama wahyu pada tingkatan kehidupan sehari-hari. Lebih lanjut, seperti sudah diungkapkan, Tuhan dari pengalaman tersebut dikenali sebagai rabb, bukan ilāh agama wahyu. Dan mengenali-Nya sebagai rabb tidak serta merta bermakna mengakui-Nya dalam ketundukan sejati yang diikuti dari pengenalan tersebut, karena pembangkangan, kesombongan, dan kesalahan juga berasal dari alam transenden. Terdapat hanya satu agama wahyu. Agama tersebut merupakan agama yang dibawa Nabi-Nabi terdahulu, yang telah dikirim untuk menyampaikan pesan wahyu kepada kaum mereka sendiri sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan rencana Ilāhi untuk mempersiapkan orang-orang di dunia menerima agama dalam bentuk terakhir dan sempurna sebagai Agama Universal di tangan Nabi terakhir, yang telah dikirim untuk membawa pesan wahyu bukan hanya untuk kaumnya sendiri, tetapi untuk manusia secara keseluruhan. Pesan penting wahyu selalu sama: mengenali, mengakui, dan menyembah Tuhan (ilāh) Yang Benar dan Nyata yang Esa, tanpa menyamakan Dia dengan segala sekutu, lawan, atau semisalnya, ataupun menyifatkan sebuah keserupaan kepada-Nya; dan untuk mengonfirmasikan kebenaran yang disampaikan Nabi-Nabi terdahulu sebagaimana halnya mengonfirmasikan kebenaran final yang dibawa Nabi terakhir sebagaimana telah dikonfirmasikan semua Nabi-Nabi terdahulu sebelumnya. Dengan pengecualian atas orang-orang pada masa Nabi terakhir ini, yang dengannya agama Wahyu mencapai kondisi paling sempurna dan asalnya yang murni dipelihara hingga saat ini, kebanyakan orang-orang pada masa Nabi-Nabi terdahulu diutus dengan sengaja meninggalkan petunjuk dan sebagai gantinya lebih

menyukai kreasi kultural dan penemuan etnik milik mereka, lalu mengakui hal tersebut sebagai ‘agama’ dalam imitasi terhadap agama Wahyu. Terdapat hanya satu agama Wahyu yang sejati, dan nama yang diberikan adalah Islām, dan orang-orang yang mengikuti agama ini didoakan Tuhan sebagai yang terbaik di antara manusia. Bagi beberapa orang yang lebih menyukai mengikuti bentuk dan praktek kepercayaan mereka yang anekaragam yang digambarkan sebagai ‘agama’, kesadaran mereka akan Kebenaran merupakan penemuan ulang, dengan bimbingan dan ketulusan hati, dari apa yang sudah jelas ada dalam Islām bahkan pada tingkatan kehidupan sehari-hari. Hanya Islām yang mengakui dan mengafirmasikan Keesaan Tuhan secara absolut