• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam epistemologi Islam kita mengafirmasi kemungkinan pengetahuan dan realitas hal-hal, dan menegaskan persepsi dan observasi inderawi, rasio, berita yang benar berdasarkan otoritas, dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan.231 Pada hal dengan problem yang berhubungan dengan sifat-dasar eksistensi dan hubungannya dengan realitas sebagaimana diketahui dengan analisis rasional dan demonstrasi, kita mempertahankan bahwa, menurut tingkatan pengetahuan berdasarkan persepsi inderawi dan rasio — yang kita pertimbangkan sebagai kriteria absah untuk verifikasi kebenaran, dan yang kita digunakan dalam investigasi kita — eksistensi merupakan sebuah konsep tunggal, umum, dan abstrak yang umum bagi semua eksistensi. Konsep tunggal, umum, dan abstrak ini yang umum bagi semua eksistensi menjadi majemuk, kita katakan,232 berkaitan dengan pembagian rasional menjadi ‘bagian-bagian’ yang berhubungan dengan hal-hal dalam jalur kondisinya yang dilekatkan kepada kuiditas-kuiditas. Makna ‘realitas’, dalam pengertian bahwa terdapat being di dunia eksternal dimana sesuatu yang aktual yang berhubungan dengannya, hanya menyentuh baik kepada eksistensi atau kuiditas dari suatu hal,233 salah satu dari mereka sebagai intelijibel sekunder, yakni, sebuah entitas konseptual murni yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal. Eksistensi dalam pengertian ini, dan hanya dalam pengertian ini, merupakan entitas mental yang tidak memiliki realitas yang berhubungan di dunia eksternal.234

Tapi kita juga mengafirmasi, dalam tambahan kepada eksistensi yang dipahami dalam pengertian di atas, dan sebagaimana berdasarkan pada berita yang benar dan institusi yang dibangun atas otoritas dari Qur’ān Suci dan Tradisi sebagaimana juga di atas rasio dan pengalaman, bahwa terdapat entitas lain yang berhubungan dengan gagasan murni konseptual tentang eksistensi yang bukan bersifat mental tetapi nyata. Entitas yang lain ini adalah realitas eksistensi, yang menghasilkan dalam pikiran gagasan tentang eksistensi sebagai konsep murni, sebagaimana gagasan ‘hal-hal’ dan ‘kuiditas-kuiditas’ mereka dimana bagian eksistensi sebagai entitas konseptual secara berhubungan dilekatkan. Kita telah memberi inti sari hal ini,235 dan mengidentifikasi realitas eksistensi ini, yang juga merupakan Eksistensi Absolut, dengan Aspek Tuhan yang ditunjuk dalam Qur’ān Suci Yang meliputi segala hal secara menyeluruh dan yang tertinggal setelah kebinasaan hal-hal ciptaan.

Gagasan kita tentang suatu hal sebagaimana secara segera diterima — dalam kasus ini seorang manusia, untuk contoh — secara sederhana merupakan maujud (mawjūd) yang nyata dan konkret yang memiliki individualitas partikular yang padanya sebuah kata — contoh, ‘manusia’ — digunakan untuk menunjuknya, dan kata yang ketika disebutkan akan membawa kepada pikiran objek yang ditunjuknya. Hal ini, secara ringkas menggambarkan gagasan utama kita tentang suatu hal, sebuah objek fisik dari indera. Pikiran, ketika merenungkan hal tersebut yang menuntut definisinya, dan dalam jawaban terhadap pertanyaan dalamannya tentang hal tersebut: “Apa itu?”, memproses untuk menganalisanya; untuk memutuskan, mendiskriminasi, mengualifikasi dan menglasifikasinya hingga tiba pada sebuah definisi hal tersebut, yakni, ‘hewan

231 Lihat komentar al-Taftāzānī pada karya al-Nasafī ‘Aqā’id, Kairo, 1335A.H., hlm. 24, fol. al-Nasafīlah yang menulis pernyataan pertama dalam bentuk yang singkat dan frase yang dirajut-baik dari kredo Islām yang muncul di antara muslim.

232 Lihat Bab III, di atas, hlm. 126-127.

233 Alasan untuk kondisi baik ini /atau ini (either/or) dijelaskan di bawah, hlm. 232-233.

234 Hal ini disetujui oleh filsuf muslim, teolog, dan metafisikawan Sūfī yang menampilkan tradisi intelektual dan keagamaan Islāmi.

rasional’ dalam kasus ‘manusia’. Dalam proses pembentukan-konsep ini pikiran tersebut mampu mengabstraksi ‘ke-apa-an’ (whatness) hal tersebut dari eksistensinya, dimana eksistensi di sini dianggap sebagai sesuatu yang dilekatkan kepada hal itu sendiri, seolah-olah eksistensi merupakan sebuah bagian dari hal tersebut yang ditambahkan kepadanya. ‘Ke-apa-an’ ini adalah kuiditas (māhiyyah).236 Dengan jalan ini pembagian dan pemilahan mental dibuat antara kuiditas dan eksistensi, dimana kuiditas dianggap sebagai realitas suatu hal sedangkan eksistensi adalah apa yang mengualifikasikannya.

Dari sini kita membedakan dua tahap pemahaman. Tahap pemahaman primer menunjuk kepada objek fisik, kepada hal-hal konkret, sebagaimana ditunjukkan dengan kata ‘hewan’ dalam hal ‘manusia’, yang padanya diberlakukan sepuluh kategori Aristotelian tentang substansi, atau bahan dari mana hal fisik terbuat, kuantitas, kualitas, relasi, tempat, waktu, postur, kepemilikan, aksi, dan pasifitas atau penindaklanjutan.237 Hal-hal sedemikian merupakan bahan asali dari mana diturunkan gagasan primer yang ditangkap oleh intelek yang disebut intelijibel primer (al-ma’qūlat al-ūlā). Mereka (hal-hal tersebut) merupakan objek maujud konkret dari dunia eksternal yang berhubungan dengan konsep tersebut yang diturunkan dari mereka yang kita sebut intelijibel primer. Namun, tahap pemahaman sekunder, menunjuk bukan pada objek fisik, tetapi lebih kepada logika. Hal tersebut menyentuh pada proses mental abstrak yang tinggi; sebuah elaborasi rasional terhadap konsep yang tiba dan dibangun berdasarkan aturan logika dan pembagian logis akan genus spesies, dan diferensia. Dengan demikian pada tahap ini pikiran merefleksikan dirinya sendiri, pada isinya sendiri, sebagaimana dikatakan, dan caranya memahami gagasan yang dirumuskannya. Gagasan atau konsep tersebut tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal, karena mereka bukanlah konsep yang diturunkan dari objek konkret, tetapi merupakan konsep dari konsep seperti konsep ‘hewan rasional’ sebagaimana diturunkan dari konsep lain dari ‘manusia’. Konsep sedemikian disebut intelijibel sekunder (al-ma’qūlāt al-thānīyah). Sudah jelas dari penjelasan di depan bahwa realitas suatu hal, sebagaimana dipahami berdasarkan aturan logika dan pembagian logis akan genus, spesies, dan diferensia, menunjuk pada kuiditas sebagaimana dilawankan dengan eksistensi, dalam pengertian bahwa kuiditas dipandang sebagai realitas yang berbeda dari, dan dikualifikasikan secara konseptual dengan eksistensi; hubungan antara kuiditas dan eksistensi secara berturut-turut seperti subjek dan predikat. Perspektif ini melibatkan pemahaman terhadap sifat-dasar eksistensi sebagai intelijibel sekunder yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal.

Tapi terdapat pengertian lain dimana kuiditas dipahami. Berbeda dengan kuiditas sebagaimana dipahami secara logis sebagai apa yang didefinisikan dalam jawaban kepada pertanyaan: “apa itu?” – yakni, ‘hewan rasional’ dengan referensi pada ‘manusia’, kuiditas dapat

236 Istilah Latin quidditas menunjuk pada sifat-dasar yang terpilah atau khas dari suatu hal. Hal tersebut merupakan sebuah terjemahan langsung bahasa Latin dari teks bahasa Arab: māhiyyah’, yang dalam bahasa Arab itu diturunkan dari kombinasi dua kata: mā huwa atau mā hiya, berarti ‘apa itu?’ Māhiyyah adalah yang menjawab pertanyaan ‘mā hiya?’ Sama halnya dalam bahasa Latin quidditas dibentuk dari pertanyaan ‘quid est?’ Dalam hal istilah bahasa Arab māhiyyah’, para filsuf muslim awallah yang telah membuatnya. Dalam pandangan saya, hal tersebut mungkin

diinsipirasikan oleh sebuah hadīth Nabi Suci: Allāhumma arinā al-ashyā’ ka mā hiya: “Wahai Tuhan! Tunjukkan saya hal-hal sebagaimana mereka ada dalam dirinya sendiri”, cth. sebagai hal-hal yang ada dalam ‘ke-apa-an’ individualnya. Hadīth ini dilaporkan dalam komentar Fakhr al-Dīn al-Rāzī pada Qur’ān Suci (lihat catatan 250 di bawah), vol. 21, hlm. 37; 39-40. Pada istilah bahasa Latin quidditas sebagai terjemahan langsung dari bahasa Arab, lihat lebih lanjut A.M. Goichon: La Philosophie D’Avicenne et son Influence en Europe Médiévale, Paris, 1951, hlm. 101.

237 Referensi di sini kepada Sepuluh Kategori (al-ma’qūlat al-‘asharah): substansi (ousīa: jawhar); kuantitas (posōn:

kammiyah); kualitas (poiōn: kayfiyyah); relasi (prosti: idāfah); tempat (pou: ayna); waktu (pote: matā); postur

(keīsthai: wad’); kepemilikan (ēchein: milk); aksi (poiēn: an yaf’al, fi’il); hasrat/penindaklanjutan (paschein: an

yanfā’il, infi’al), lihat karya Jurjānī, Ta’rīfāt, hlm. 243; karya Tahānāwi, Kashshāf. V, 1211. Lihat lebih lanjut, karya

juga dipahami secara ontologis sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ (by which a thing is what it is). Permilahan antara dua makna kuiditas tersebut adalah bahwa dalam kasus terdahulu kuiditas hanya menunjuk pada genus dalam hubungan dengan spesies, karena ‘hewan rasional’ merupakan genus dimana spesies ‘manusia’ didefinisikan; sedangkan dalam kasus kemudian kuiditas menunjuk selalu pada maujud partikular, seperti pada hal individual yang padanya berlaku sepuluh kategori, seperti kepada manusia partikular.

Ketika kita pertimbangkan kuiditas dari suatu hal, kita memahaminya baik dalam hal itu sendiri sebagaimana ada dalam dunia eksternal, atau sebagaimana ada dalam pikiran. Sifat-dasar kuiditas sebagaimana dipahami intelek memiliki tiga aspek:238

1.

sebagai abstraksi murni (mujarradah), yang tidak berhubungan dengan apapun atau dengan pikiran manapun.239 Kuiditas dalam aspek ini sepenuhnya independen dalam dirinya sendiri dan tidak dapat dihubungkan dengan konsep manapun. Konsep ‘hewan’ sebagaimana ada dalam dirinya sendiri, contoh, tidak lain hanya merupakan ‘hewan’ murni dan tidak dapat dipredikasikan terhadap konsep ‘manusia’ sebab ‘manusia’ menandakan sesuatu yang lebih dari ‘hewan’ murni. Dalam kondisi sedemikian dari abstraksi murni, tidak ada konsep lain yang dapat dikombinasikan dengannya untuk membentuk kesatuan yang bermakna. Jika konsep ‘rasional’ ditambahkan kepada ‘hewan’ dalam kasus ini, hal tersebut tidak akan menghasilkan sebuah kombinasi koheren, karena ‘hewan’ sebagai ‘hewan’ murni tidak dapat dikualifikasi dengan rasionalitas.

2.

sebagai indeterminasi absolut (mutlaqah), tidak dibatasi oleh ketidakberhubungan dengan apapun dan bebas untuk menautkan dirinya kepada hal-hal individual. Konsep ‘hewan’, dalam kasus kuditas dalam aspek ini, tidak lagi dibatasi pada dirinya sendiri sebagai ‘hewan’ murni, tetapi tidak ditentukan dan memiliki potensialitas untuk dipredikasikan dengan konsep-konsep lain dalam sebuah kombinasi koheren. Ketika konsep ‘rasional’ dipredikasikan akan ‘hewan’ di sini, hal tersebut menghasilkan campuran dalam bentuk konsep ‘manusia’. ‘Hewan’ dalam kasus ini dapat dipredikasikan ‘manusia’, karena animalitas (hewan) dan rasionalitas merupakan unsur bagian-bagian penyusun manusia;

3.

sama seperti pada (2) di atas, dan hadir dalam pikiran240 dimana hal tersebut menerima pelbagai aksiden seperti predikasi, universalitas, partikularitas, dan yang semisal dimana aspek kuiditas di sini itu dicampur (makhlūtah), seperti ketika konsep ‘hewan’ menunjuk pada apa yang sudah teraktualisasikan dalam dunia eksternal sebagai sesuatu yang dispesifikasikan sebagai ‘rasional’. Dengan demikian ‘hewan’ dispesifikasikan menunjuk pada sebuah objek dunia eksternal, kepada seorang manusia partikular.

Kuiditas yang sama sebagaimana dipertimbangkan intelek di bawah samaran dari tiga aspek itu disebut, dalam kasus pertama, ‘dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun’ (bi shart lā shay’); dalam kasus kedua, ‘tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun’ (lā bi shart shay’); dan dalam kasus ketiga, ‘dikondisikan oleh sesuatu’ (bi shart shay’).241

238 Sifat-dasar kuiditas sebagaimana dipahami rasio pertama kali secara sistematis dianalisa dan dirumuskan ibn Sinā. Lihat karyanya al-Shifā, al-Mantiq, al-Madhkal, eds. G. Qanawati, Mahmud al-Khudayri, dan Fu’ad al-Ahwani, Cairo, 1953, hlm. 15, 34; juga hlm. 65-72. Sebuah elaborasi hubungan antara kuiditas dan unsur-unsur penyusunnya

sebagaimana dibuat ibn Sinā, yang menerimanya sebagai memiliki tiga aspek, di sini diberikan dalam garis besar. Lihat juga karya Sabzawārī Sharh Ghurar al-Farā’id, eds. M. Mohaghegh dan T. Izutsu, Teheran, 1969, hlm. 131 fol.; dan

The Metaphysics of Sabzawari, trs M. Mohaghegh dan T. Izutsu, New Tork, 1977, XXXI, hlm. 144-146.

239 ‘Tidak berhubungan pada pikiran manapun’ di sini berarti bahwa tidak ada objek khusus dalam pikiran — pikiran di sini tidak memperhatikan kepada objek partikular manapun.

240 ‘Hadir dalam pikiran’ berarti bahwa pikiran di sini secara aktual memperhatikan sebuah objek partikular.

241 Lihat karya ibn Sinā Al-Ishārat wa al-Tanbihāt dengan komentar oleh Nasīr al-Dīn al-Tūsī (ed. Oleh Sulayman Dunya, 2nd ed., Dār al-Ma’ārif bi Misr, Cairo, 1971, 4V.), vol. I, hlm. 184-185. lihat juga Al-Mawāqif fi ‘ilm al-Kalām dari ‘Adud al-Dīn ‘Abd al-Rahmān Ibn Ahmad al-Ijī (dipublikasikan oleh ‘Ālam al-Kutub, Bayrut [n.d.];

Yang pertama ditunjuk pada kuiditas dalam hubungan dengan materi dasar (māddah); yang kedua pada genus (jins); dan yang ketiga pada spesies (naw’).242

Kombinasi dua pengertian dari makna kuiditas tersebut (cth. yang logis dan ontologis) dalam kuiditas khusus (al-māhiyyah’ al-naw’iyyah)243 adalah tidak lain inti hal itu sendiri (nafs al-shay’).244 Kombinasi makna dari dua pengertian tentang māhiyyah’ inilah yang dimaksud ketika dikatakan bahwa realitas suatu hal adalah hal itu sendiri. Kita pada faktanya setuju dengan al-Taftāzānī ketika dia mengatakan bahwa:

Realitas suatu hal (haqīqat al-shay’) dan kuiditasnya (māhiyyah’) adalah yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya (ma bihi al-shay’ huwa huwa), seperti ‘hewan rasional’ dalam referensi kepada ‘manusia’ dalam pertentangan dengan ‘hewan yang tertawa’ dan ‘hewan yang menulis’, dan karena mungkinlah memahami ‘manusia’ tanpa referensi kepada mereka (cth. tertawa dan menulis) sejauh mereka ada di antara (kategori) aksiden-aksiden (al-’awārid). Dan dapat dikatakan lebih lanjut bahwa, yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya, ketika dipertimbangkan (bi i’tibar) diwujudkan secara eksternal (tahaqqaqa), merupakan sebuah realitas (haqīqah); sebagai yang telah diinvidividualisasikan (tashakhkhus), adalah sebuah kediaan/ipseity (huwiyyah); dan ketika dipertimbangkan secara independen tanpa mempertimbangkan mereka (cth. sebagaimana diwujudkan dan diindividualisasikan), hal tersebut adalah kuiditas. Suatu ‘hal’ (al-shay’) menurut kita, adalah maujud (al-mawjūd); dan berada (al-thubūt); perwujudan (al-tahaqquq); eksistensi (al-wujūd); dan datang-menjadi-being (al-kawn) merupakan istilah-istilah yang sinonim, dan makna mereka itu membuktikannya sendiri.245

Pada bagian di atas nampak pada awal komentar terhadap karya Nasafī ‘Aqā’id, al-Taftāzānī mengombinasikan realitas (haqīqah) dan kuiditas (māhiyyah’) bersama menyusun yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya. Karena kuiditas dalam pengertian partikular dan logis hanya sebuah entitas mental yang berada pada kelas intelijibel sekunder yang tidak berhubungan dengan apapun di dunia eksternal; sedangkan para teolog memperhatikan secara primer bukan dengan entitas-entitas mental, tetapi dengan realitas ekstramental sedemikian secara segera diterima sebagai pada tahap gagasan dasar dari suatu hal. Dengan demikian mereka mendefinisikan realitas (haqīqah) sebagai sesuatu yang diwujudkan secara eksternal (tahaqqaqa), dan kombinasi realitas dan kuiditas dalam pengertian logis dan partikular menjadi padanan dari kuiditas dalam pengertian umum dan ontologis yang menunjuk pada esensi sejati sebagaimana yang memiliki referensi atau hubungan dengan sebuah objek konkret dan eksternal, sebuah didistribusikan oleh Maktabah al-Mutanabbi, Cairo, dan Maktabah Sa’d al-Dīn, Damascus) al-marsad al-thānī mengandung dua belas maqāsid, hlm. 59-68. Pada kuiditas sebagaimana memiliki tiga aspek seperti diuraikan di atas, lihat al-maqsid al-thānī, hlm. 60. Informasi yang sama tentang subjek tersebut sebagaimana ditemukan dalam Mawāqif juga ditemukan dalam Kashshāf, V, hlm. 1314.

242 Al-Ishārāt wa al-Tanbīhāt, vol. I, hlm. 184. Istilah māddah menunjuk pada materi dasar maupun ditandakan oleh istilah lain: hayūlā dari bahasa Yunani: hylê. Tapi māddah cenderung lebih menunjuk pada materi mendasar yang menerima penciptaan dan pembinasaan.

243 Seperti dalam kasus aspek ketiga kuiditas yang dijelaskan di atas, yang dikombinasikan dengan aspek yang kedua; karenanya hal tersebut itu ‘dicampur’ (makhlūtah).

244 Dalam māhiyyah’ dari logikawan, hal tersebut menunjuk pada māhiyyah’ dalam pengertian partikular dan logis, dan sama seperti kuiditas yang dipostulasikan secara mental (al-māhiyyah’ al-i’tibariyyah). Kuiditas spesifik tersebut memiliki bentuk tunggal yang sepadan, padanya apa yang niscaya untuk sebuah bentuk tunggal adalah sama seperti yang niscaya bagi yang lain; seperti ‘manusia, contoh, meniscayakan kepada Zayd apa yang niscaya pada ‘Amr, dalam pertentangan dengan kuiditas umum (al-māhiyyah’ al-jinsiyyah) yang bentuk tunggalnya tidak sepadan, karena ‘hewan’ sebagaimana niscaya dalam manusia diasosiasikan dengan ‘rasional’ dan tidak niscaya dalam cara ini pada hewan yang lain. Lihat al-Ta’rīfāt, hlm. 205-206; Kashshāf; V, hlm. 1313.

maujud (mawjūd), suatu hal (shay’). Oleh karena itu maksud mereka dengan kombinasi ini, untuk menunjukkan sebuah konsep yang secara langsung menunjuk sebuah realitas ekstramental, dan yang berada pada kelas intelijibel primer.

Pada aspek ketiga kuiditas menurut skema ibn Sinālah yang ditunjuk al-Taftāzānī dalam komentarnya kepada pernyataan al-Nasafī bahwa realitas hal-hal itu dibangun, yakni, secara berada (haqā’iq al-ashya’ thābiţhah).246 Apa yang dimaksudnya ketika dia katakan bahwa realitas suatu hal dan kuiditasnya adalah ’yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ menunjuk, dalam konteks logika, pada yang dengannya suatu hal dilokalisasikan dalam genus atau spesiesnya. ‘Hewan’ sendiri bukan ‘manusia’; itu adalah, melainkan, sifat-dasar sebuah makhluk tanpa determinasi dari bentuk khususnya.247 Sama halnya, ‘rasional’ sendiri bukan ‘manusia’; hal tersebut demikian, ketika dipredikasikan akan ‘hewan’, bentuk khususnya yang merupakan prinsip perbedaan yang dengannya spesies ‘manusia’ didefinisikan. Kombinasi ‘rasional’ ditambah ‘hewan’ mendefinisikan ‘manusia’, tetapi ‘manusia’ dalam kuiditasnya bukan kombinasi itu. Manusia adalah manusia.248 Kemanusiaan atau menjadi-manusia (insāniyyah) ketika dipertimbangkan dalam dirinya bukan jenis entitas yang umum bagi, dan dapat diterima oleh, penerima eksistensi seperti manusia. Menjadi-manusia dalam dirinya sendiri adalah sesuatu yang negatif ( atau sesuatu yang dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun: bi shart lā shay’); hanya ketika hal tersebut ditunjuk sebagai sesuatu dari Zayd, dalam cara yang sama hal itu dapat ditunjuk pada sesuatu dari ‘Amr, yang menunjuk pada maujud tunggal, konkret dan individual. Dalam dirinya sendiri, menjadi-manusia atau kemanusiaan bukanlah apa yang ada pada Zayd, maupun apa yang tidak di dalamnya, karena kemanusiaan pada Zayd dan yang tidak ada dalam Zayd adalah dipostulasikan secara mental, yang menentukan entitas-entitas yang ditambahkan kepada Zayd di satu pihak, dan tidak ditambahkan kepadanya di pihak lain, hanya setelah Zayd dihubungkan kepada hal tersebut dalam kedua kasus lain.249 Dalam konteks realitas, yakni, dari sudut pandang apa yang sudah teraktualisasi, dimana hal-hal tanpa terkecuali yang partikular dan individual, kuiditas manusia adalah yang dengannya manusia tersebut adalah manusia partikular tersebut, dengan demikian menunjukkan realitas sebuah entitas yang, ketika dipertimbangkan bersama dengan manusia tersebut, adalah yang dengannya manusia tersebut menjadi menjadi manusia itu. Kini, tidak ada yang membangun identitas seorang manusia — tidak bagiannya (al-juz’), seperti ‘rasional’, sebagai contoh, maupun apa yang merupakan aksiden (‘ārid) baginya, seperti ‘tertawa’, contoh — kecuali inti dirinya sendiri (nafs). Entitas ini ketika dipertimbangkan bersama dengan manusia darimana hal tersebut adalah identitas manusia itu atau inti dirinya, adalah yang lain dari manusia tersebut. Ketika kita katakan, contoh, bahwa manusia terdiri dari jiwa (nafs) dan tubuh (badan) kita mengatakan bahwa manusia bukan jiwa maupun tubuh, tetapi yang dihasilkan dari keduanya itu disusun entitas ketiga. Untuk ini menunjuk pada interpretasi dari Fakhr al-Dīn al-Rāzī ketika dia berkaitan bahwa pengetahuan primer (al’ilm al-darūrī) itu hadir karena eksistensi sesuatu yang ditunjukkan setiap manusia ketika dia mengatakan ‘Aku’. Sesuatu ini adalah tubuh (jism), atau sebuah aksiden (‘arad), atau kombinasi keduanya, atau sesuatu yang berbeda dari keduanya; atau itu adalah sebuah campuran (murakkab) yang dibentuk dari mereka sebagai dua hal darimana disusun entitas ketiga.250 Jelaslah

246 ‘Aqā’id, hlm. 16.

247 Cth. sebagaimana dalam kasus dari aspek kedua dimana sebuah kuiditas dapat diterima: tidak dikondisikan oleh ketidakberhubungan dengan apapun (lā bi shart shay’).

248 Lihat superkomentar al-Isfarā’inī pada komentar al-Taftāzānī pada ‘Aqā’id, hlm. 16-17. Ini juga diturunkan dari ibn Sinā.

249 Lihat Mawāqif; 2nd, marsad, 1st maqsid, hlm. 59-60.

250 Lihat komentarnya tentang Surah Banī Isrā’īl (17), ayat, 85, dalam komentar besarnya tentang Qur’ān Suci, Tafsīr

al-Kabīr, Cairo, 1934, 32V., vol. 21, hlm. 39-40. Pernyataan al-Rāzī tentang identitas manusia secara pokok diturunkan

dari sini bahwa kuiditas sebuah campuran bukanlah campuran itu sendiri, meskipun kuiditas itu sendiri adalah sebuah campuran, seperti diilustrasikan dengan diagram dibawah.251

Ilustrasi di atas hanya dimaksudkan untuk memudahkan secara visual apa yang kita maksud. Jika lingkaran 1 menampilkan genus (jins) ‘hewan’ dan lingkaran 2 menampilkan diferensia (fasl) ‘rasional’, maka 3 akan menampilkan spesies (naw’) ‘manusia’. Sama halnya, jika lingkaran 1 menampilkan materi (māddah) lapisan-dasar dan lingkaran 2 menampilkan bentuk (sūrah) substansial, maka 3 akan menampilkan substansi ‘tubuh’ (jism). Kemudian lagi, dan sebagaimana berhubungan dengan manusia — baik secara logis sebagaimana dalam kasus terdahulu, dan secara ontologis sebagaimana dalam kasus kemudian — jika lingkaran 1 menampilkan tubuh (jism) campuran yang diindividuasikan dalam bentuk (badan) manusia,252 dan lingkaran 2 menampilkan jiwa (nafs) sensitif dan rasional, maka 3 akan menampilkan makhluk manusia. Realitas makhluk manusia adalah inti dirinya sendiri, bukan tubuh maupun jiwa; maupun materi maupun bentuk; maupun hewan maupun rasional.

Kini dalam definisi terhadap realitas sebagai ‘yang dengannya suatu hal adalah hal tersebut apa adanya’ (mā bihi al-shay’ huwa huwa), yang juga dapat dirumuskan sebagai mā bihi huwa huwa: ‘ yang dengannya hal itu adalah hal itu’, apa yang ditandakan oleh huruf bā’ dari bihi (cth. kata dengan dalam definisi tersebut) adalah kausalitas (sababiyah), yang bagi suatu hal tersebut mendasarkan being terdalamnya. Makna ini menunjuk pada sesuatu sebagai sebab (sabab atau ‘illah) yang dengannya suatu hal adalah suatu hal tersebut, seperti sebab efisien (al’illah al-fā’iliyyah) dan agennya (al-fā’il). Tapi dalam keberatan kepada pandangan ini, dapat dikatakan bahwa agen tersebut itu pada kenyataannya yang dengannya suatu hal adalah maujud, bukan yang dengannya hal tersebut adalah hal tersebut; karena yang dengannya hal tersebut adalah hal partikular itu adalah apa yang membuat hal itu menjadi berbeda dari yang lainnya, bukan apa yang membuatnya menjadi maujud, yang umum bagi segala sesuatu.253 Dengan demikian karena sifat-dasar yang ambigu dari realitas itu sendiri, penyebab suatu hal (‘illah al-shay’), dengan maksud agar dia menjadi realitas suatu hal (haqīqah al-shay’), harus termasuk baik penyebab akan eksistensi (‘illah al-wujūd) dan penyebab akan kuiditas (‘illah al-māhiyyah); dan hal ini menjadi istilah jism, dan murakkab dalam konteks interpretasi kita yang ditunjukkan di atas ditemukan dalam Kashshāf, I, hlm. 75-78, di bawah judul al-insān. Pada entitas ketiga ini sebagai kuiditas suatu hal, lihat lebih lanjut Al-Mawāqif; hlm.