• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makna agama dalam Islām, seperti telah kita analisa dalam bab pertama, yang diungkapkan dengan istilah dīn, bukan hanya konsep, tetapi merupakan sesuatu yang diterjemahkan ke dalam realitas secara intim dan mendalam dihidupi pada pengalaman manusia. Sumber mendasar makna yang diturunkan darinya adalah wahyu Qur’ān akan perjanjian (al-mithāq) dimana jiwa manusia sebelum wujud telah membuatnya dengan Tuhan.101 Nama agama: Islām, kenyataannya adalah definisi agama: ketundukan kepada Tuhan. Sudah tersirat pada inti gagasan ketundukan, perasaan, kepercayaan, dan tindakan; tetapi unsur mendasar tindakan manusia tunduk kepada Tuhan adalah perasaan keberhutangannya kepada Tuhan untuk pemberian-Nya atas eksistensi, jadi rasa keberhutangan ini — yang melibatkan pengenalan dan pengakuan akan Tuhan sebagai pemberi eksistensi — adalah kondisi yang mendahului ketundukan sejati (islām).102 Tujuan pokok agama adalah agar manusia kembali pada kondisi dimana dia sebelumnya ada, dan ini melibatkan pencarian identitas dan tujuan transenden melalui perilaku yang benar. ‘Pengembalian’ ini ialah segalanya tentang kehidupan, dan melibatkan pengejaran pengetahuan sejati,103 pemahaman akan tanda dan simbol Tuhan dalam halaman buku alam semesta dengan sinar petunjuk kata-kata-Nya dan dinterpretasikan dalam diri yang suci dari utusan-Nya. Hal tersebut juga melibatkan penggunaan akal sehat pada pengalaman akan realitas, dan penggunaan pertimbangan sehat untuk penangkapan kebenaran.104

Agama (islām) dan kepercayaan-lemah (belief/īmān) tidaklah identik, tetapi keduanya saling tidak terpisahkan dan sangat dibutuhkan. Kepercayaan-lemah dalam pengertian yang kita maksudkan adalah memiliki kepercayaan-kuat, tidak seperti pengertian yang dipahami dalam bahasa Inggris, tetapi dalam pengertian bahwa hal itu termasuk menjadikan benar terhadap kepercayaan (trust) dimana Tuhan telah menceritakan rahasia-Nya pada seseorang, bukan dengan pengakuan kepercayaan-lemah dengan lidah, tanpa persetujuan hati dan tindakan tubuh dalam kesesuaian dengannya; dan hal ini lebih dari pengetahuan, yang mendahului kepercayaan-kuat, sehingga juga merupakan verifikasi dengan perbuatan berdasarkan apa yang diketahui sebagai kebenaran.105 Kepercayaan-kuat merupakan pengenalan dan pengakuan kebenaran yang meniscayakan aktualisasinya dalam diri seseorang. Pengenalan akan kebenaran dalam kasus ini hadir hanya karena jelas dalam dirinya sebagaimana ditangkap fakultas intuitif yang kita sebut hati, yakni, dengan petunjuk (hudā) dan bukan hanya dengan proposisi rasional dan demonstrasi logis. Kebenaran itu sekaligus objektif dan subjektif; dan yang objektif dan subjektif, seperti agama dan kepercayaan-lemah, adalah aspek-aspek tak terpisahkan dari satu realitas. Agama sejati bukanlah sesuatu yang dapat mati terhadap kebingungan yang muncul dari dikotomi

101 Lihat Al-A’rāf (7): 172.

102 Dengan ‘ketundukan sejati’ (islām, huruf pertama dalam huruf kecil) kita maksud ketundukan sadar dan sukarela untuk keseluruhan kehidupan etis seseorang dengan cara yang ditampakkan dan ditunjukkan oleh Nabi dan nabi-nabi yang dikirim sebelumnya.

103 Dengan ‘pengetahuan sejati’ kita memahaminya bermakna pengetahuan yang mengenali batas kebenaran di setiap objeknya. Lihat lebih lanjut di bawah, hlm. 134-135.

104 Pada makna agama atau dīn dalam Islām, lihat bab I di atas.

105 ‘Kebenaran’ di sini bermakna apa yang datang dengan wahyu kepada Nabi tentang sifat-dasar dan realitas akan Tuhan, tentang ciptaan-Nya, tentang tujuan manusia, tentang hubungan antara manusia dan Tuhan dan tanggung jawab dan kebebasan individu manusia.

objektif-subjektif dari tradisi filsafat Yunani; maupun agama sejati merupakan ‘agama humanitas’ yang personal, individual, privat, dan internal yang muncul dari proses pensekularan yang berusaha menghilangkan pelembagaan kepercayaan-lemah agama.

Agama dalam pengertian yang kita maksudkan tidaklah dilawankan dengan desakralisasi alam jika hal itu berarti pengenyahan dari pemahaman kita akan konsepsi magis atau mistis tentang alam; karena alam tetap dapat dipandang sebagai perwujudan bentuk yang suci tanpa mitos atau sihir jika memahaminya sebagai perkembangan realitas ideal dalam kesadaran Ilahi yang akibatnya menjadi termanifestasi dalam alam indera dan pengalaman inderawi. Alam dalam dirinya sendiri bukan entitas ilahiyah, tetapi sebuah bentuk simbolis yang memanifestasikan yang Ilahi. Tentu saja, dalam pengertian yang telah kita bawa, semua alam, dan bukan hanya pohon atau batu, menyatakan kesucian kepada mereka yang melihat realitas di balik penampakan. Agama hanya dilawankan dengan desakralisasi jika hal itu berarti pemusnahan semua makna spirtual dalam pemahaman kita tentang alam, dan pembatasan cara mengetahui kita pada metode saintifik sebagaimana didukung filsafat sekular dan sains.106

Tuhan bukan mitos, citra, simbol, yang terus berubah seiring waktu. Dia merupakan Realitas itu sendiri. Kepercayaan-lemah memiliki isi kognitif; dan salah satu titik utama perbedaan antara agama sejati dan filsafat sekular dan sains adalah cara dimana sumber dan metode pengetahuan dipahami.

Filsafat modern telah menjadi penafsir sains, dan mengatur hasil dari sains alam dan sosial ke dalam sebuah pandangan dunia. Interpretasi tersebut pada gilirannya menentukan arah yang akan diambil sains dalam studinya tentang alam. Interpretasi inilah tentang pernyataan dan kesimpulan umum sains dan arah sains sejauh yang ditawarkan oleh interpretasi tersebut yang harus diletakkan pada evaluasi kritis, sebagaimana mereka tawarkan pada kita hari ini problem paling mendalam yang telah dihadapkan pada kita secara umum dalam urusan agama dan sejarah intelektual kita. Evaluasi kita harus termasuk pengujian kritis akan metode sains modern; konsep, presuposisi, dan simbolnya; aspek empiris dan rasionalnya, dan yang menyangkut nilai dan etika; interpretasinya tentang asal-usul; teori pengetahuannya; presuposisinya tentang eksistensi dunia eksternal, tentang keseragaman alam, dan rasionalitas proses alamiah; teori tentang alam semesta; klasifikasi tentang sains; batasannya dan saling-hubung satu sama lain dari sains, dan hubungan sosialnya.

Sebuah inti sari asumsi dasar mereka ialah bahwa sains itu satu-satunya pengetahuan otentik; bahwa pengetahuan ini hanya menyentuh fenomena; bahwa pengetahuan ini, termasuk pernyataan dasar dan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas untuk zaman tertentu dan dapat berubah pada zaman lain; bahwa pernyataan saintifik harus mengakui hanya apa yang telah di observasi dan dibuktikan oleh saintis; bahwa apa yang seharusnya diterima hanyalah teori yang dapat direduksi kepada unsur inderawi, bahkan meskipun teori tersebut mungkin melibatkan gagasan yang menyentuh wilayah yang melampaui lingkungan empiris dari pengalaman; bahwa universalitas seharusnya tidak dilekatkan dengan rumusan saintifik, maupun seharusnya objek yang didefinisikan dengan universalitas digambarkan sebagai realitas yang melampaui apa yang di observasi; bahwa isi pengetahuan itu adalah kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme; bahwa tiga aspek kognisi tersebut bersama-sama menampilkan fondasi filsafat sains; bahwa pengertian merupakan suatu yang subjektif, arbitrer, dan konvensional, dan bahwa dalam hubungan antara struktur logis pengetahuan dan isi empiris dari pengetahuan, keunggulan logikalah yang diafirmasi; bahwa teori matematis bukan sebuah sains deskriptif yang membuat pernyataan tentang struktur dan proses alam, dan bahwa pada kenyataannya merupakan sebuah teori logika; sehingga karena

logika harus ada pada sains, peranan bahasa dan sistem logika dalam menggambarkan struktur dan proses alam merupakan yang terpenting; bahwa kebenaran dan kepalsuan merupakan bagian dari kepercayaan-lemah (cth. kepercayaan-lemah dalam pengertian penerimaan intelektual sebagai benar atau nyata terhadap pernyataan atau proposisi apapun) yang tergantung pada hubungan kepercayaan-lemah dengan fakta; bahwa fakta itu netral sejauh kebenaran dan kepalsuan yang dipedulikan — mereka hanya ada.

Sains kontemporer telah berevolusi dan berkembang dari sebuah filsafat yang sejak periode awalnya mengafirmasi kedatangan menjadi being dari hal-hal satu sama lain. Segala maujud merupakan sebuah kemajuan, pengembangan atau evolusi dari apa yang terbentang dalam kondisi laten dalam materi abadi. Dunia yang terlihat dari perspektif ini merupakan semesta independen dan abadi; sebuah sistem swa-berada yang berkembang berdasarkan hukumnya sendiri. Penolakan realitas dan eksistensi Tuhan sudah tersirat dalam filsafat ini. Metodenya secara utama adalah rasionalisme filosofis, yang cenderung bergantung sendiri pada rasio tanpa bantuan persepsi atau pengalaman inderawi; rasionalisme sekular, yang sementara menerima rasio cenderung menyandarkan diri lebih pada pengalaman inderawi, dan menolak otoritas dan intuisi dan menolak Wahyu dan agama sebagai sumber pengetahuan sejati; dan empirisme filosofis atau empirisme logis yang mendasarkan semua pengetahuan pada fakta yang terobservasi, konstruksi logis, dan analisa linguistik. Visi realitas tersebut sebagaimana terlihat menurut perspektif baik bentuk rasionalisme dan empirisme itu berdasarkan atas pembatasan realitas dunia alamiah yang dianggap sebagai satu-satunya tingkatan realitas. Pembatasan demikian akibat reduksi kekuatan operasional dan kapasitas fakultas kognitif dan inderawi pada lingkungan realitas fisik. Dalam sistem ini pengetahuan itu absah hanya jika menyentuh tatanan alamiah dari peristiwa dan hubungannya; dan tujuan penelusuran tersebut adalah menggambarkan dan menyistematisasi apa yang terjadi di alam, yang bermakna totalitas objek dan peristiwa dalam ruang dan waktu. Dunia alamiah digambarkan dalam pengertian datar secara naturalistik dan rasional yang melepaskan arti spiritual atau interpretasi simbolik, yang mereduksi asal dan realitasnya hanya pada kekuatan alamiah.

Rasionalisme, baik jenis yang filosofis dan sekular, dan empirisme cenderung menolak otoritas dan intuisi sebagai sumber dan metode pengetahuan yang absah. Bukan berarti mereka menolak keberadaan otoritas dan intuisi, tetapi mereka mereduksi otoritas dan intuisi kepada rasio dan pengalaman. Benarlah bahwa dalam contoh awal dalam kasus baik otoritas dan intuisi, selalu terdapat seseorang yang mengalami dan yang menalar; tetapi hal tersebut tidak serta merta bahwa karena ini, otoritas dan intuisi harus direduksi pada rasio dan pengalaman. Jika diakui bahwa terdapat tingkatan rasio dan pengalaman pada tingkatan kesadaran manusia normal yang batasannya dikenali, tidak ada alasan menduga bahwa tidak ada tingkatan pengalaman dan kesadaran manusia yang lebih tinggi yang melampaui batas rasio dan pengalaman normal dimana terdapat tingkatan kognisi intelektual dan spiritual dan pengalaman transendental yang batasnya hanya diketahui Tuhan.

Pada intuisi, kebanyakan rasionalis, sekularis dan pemikir empirisis dan psikolog telah mereduksi intuisi kepada observasi sensoris dan penyimpulan logis yang telah lama dipikirkan pikiran, yang maknanya menjadi tiba-tiba tertangkap, atau pada indera laten dan bangunan emosional yang terlepas tiba-tiba dalam ledakan pengertian. Tetapi hal ini merupakan dugaan pada bagian mereka, karena tidak ada bukti bahwa kilatan tiba-tiba pengertian tersebut datang dari pengalaman inderawi; lebih lanjut, penolakan mereka terhadap fakultas intuitif seperti hati, yang tersirat dalam pendirian mereka dalam memandang intuisi, juga merupakan dugaan.

Karena manusialah yang merasa dan memahami dunia objek-objek dan peristiwa yang eksternal baginya, maka studi akan alam termasuklah diri manusia sendiri. Tetapi studi akan

manusia, akan pikiran, dan diri juga dibatasi dengan metode sains baru seperti psikologi, biologi, dan antropologi, yang memandang manusia hanya sebagai pengembangan lebih lanjut dari spesies hewan, dan yang tidak lain dari perluasan metodologis akan pembatasan rasio dan pengalaman pada tingkatan realitas fisik. Lebih lanjut, untuk menguji hipotesa dan teori sains, menurut mereka, dibutuhkan korespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan namun karena hipotesis dan teori yang berlawanan satu sama lain dapat berkorespondensi dengan fakta yang terobservasi, dan karena preferensi bagi seseorang terhadap yang lain dari mereka tidak didikte kriteria apapun dari kebenaran objektif — sebab kebenaran itu sendiri dibuat untuk menyesuaikan dengan fakta — maka preferensi tersebut didikte hanya oleh pertimbangan subjektif dan abitrer tergantung konvensi. Ketergantungan atas konvensi ini telah menciptakan kecenderungan untuk membuat masyarakat, daripada manusia individu, sebagai sesuatu yang mendasar, sejati, dan otoritatif. Konvensionalisme mereduksi semua bentuk institusional sebagai ciptaan oleh yang disebut ‘pikiran kolektif’ dari masyarakat. Pengetahuan itu sendiri, dan bahkan bahasa manusia, tidak lain dari ungkapan dan alat pikiran kolektif dewa yang tidak dapat berbicara ini yang disebut Masyarakat.

Akhirnya, keraguan diangkat sebagai sebuah metode epistemologis yang dengannya rasionalis dan sekularis percaya bahwa kebenaran dapat hadir. Tetapi tidak ada bukti bahwa keraguanlah dan bukan sesuatu yang lain dari keraguan yang membuat seseorang tiba pada kebenaran. kehadiran pada kebenaran kenyataannya merupakan hasil petunjuk, bukan keraguan. Keraguan adalah kondisi goncang antara dua yang berlawanan tanpa condong pada salah satunya; keraguan adalah sebuah kondisi seimbang di antara dua yang berlawanan tanpa hati cenderung menuju yang satu atau yang lain. Jika hati cenderung pada salah satu dan tidak menuju yang lain sementara masih belum menolak yang lain, hal tersebut merupakan dugaan; jika hati menolak yang lain, maka kemudian hati telah memasuki stasiun kepastian. Penolakan hati terhadap yang lain merupakan sebuah tanda bahwa bukan keraguan yang membawa pada kebenaran, tetapi pengenalan positif akan kesalahan atau kepalsuannya. Hal ini merupakan petunjuk. Keraguan, apakah itu pasti atau sementara, mengarah kepada dugaan atau pada posisi lain akan ketidakpastian, tidak pernah pada kebenaran – “dan dugaan tidak berfaedah terhadap kebenaran” (Qur’ān 10: 36).

Berdasarkan atas posisi yang dibangun oleh tradisi filosofis dan saintifik sebagaimana terintegrasi ke dalam sistem metafisika yang koheren, kita memertahankan bahwa banyak kesamaan penting yang ditemukan antara posisi kita dan filsafat modern dan sains kontemporer dalam memandang sumber dan metode pengetahuan; kesatuan cara mengetahui yang rasional dan empiris; kombinasi realisme, idealisme, dan pragmatisme sebagai fondasi kognitif sebuah filsafat sains; filsafat dan sains akan proses. Tetapi kesamaan tersebut hanya nampak dan menyentuh aspek ektsernal, dan tidak menegasikan perbedaan mendalam yang muncul dari pandangan-dunia dan kepercayaan-lemah kita yang berlainan tentang sifat-dasar mendasar Realitas. Afirmasi kita terhadap Wahyu sebagai sumber pengetahuan akan realitas pokok dan kebenaran menyentuh baik pada hal-hal ciptaan maupun kepada Pencipta mereka yang menyediakan kita fondasi karangka-metafisis untuk mengelaborasi filsafat sains kita sebagai sistem integratif yang mendeskripsikan realitas dan kebenaran dalam cara yang tidak terbuka pada metode rasionalisme filsafat sekular dan empirisme filosofis filsafat dan sains modern.

Bertentangan dengan filsafat modern dan sains dalam memandang sumber dan metode pengetahuan, kita mempertahankan bahwa pengetahuan itu datang dari Tuhan dan diperoleh dari saluran akan berita yang benar berdasarkan otoritas, rasio sehat, dan intuisi. Makna yang mendasari ungkapan ‘rasio sehat’ (sound senses) menunjuk pada persepsi dan observasi, dan hal tersebut tersusun dari panca indera internal dari peraba, penciuman, pengecap, penglihatan dan

pendengaran yang menampilkan fungsi persepsi dari hal-hal partikular dalam dunia eksternal. Berhubungan dengan hal tersebut terdapat lima panca indera internal yang menerima secara internal akan citra inderawi dan makna mereka, mengombinasi atau memisahkan mereka, memahami gagasan mereka, menjaga pemahaman yang telah dipahami, dan menampilkan inteleksi (intellection) terhadap mereka. Panca indera internal tersebut adalah indera umum, representasi, estimasi, retensi dan rekoleksi, dan imajinasi. Dalam tindakan memersepsi, penerima menerima bentuk objek eksternal, cth. sebuah representasi realitas ektsernal, dan bukan realitas itu sendiri. Apa yang diterima indera bukanlah realitas eksternal seperti yang ada pada dirinya sendiri, tetapi yang serupa dengannya sebagaimana direpresentasikan dalam indera. Realitas eksternal merupakan sumber dimana indera mengabstraksi bentuknya. Sama halnya dalam hal makna dan pengertian merupakan representasi realitas yang tercetak pada jiwa, sebab intelek sudah mengabstraksi mereka dari tambahan aksidental yang asing pada sifat-dasar mereka, seperti kuantitas, kualitas, ruang dan posisi. Perbedaan antara bentuk dan makna dari objek inderawi adalah bahwa bentuk merupakan apa yang diterima pertama kali oleh indera eksternal, dan kemudian oleh indera internal; makna adalah apa yang indera internal terima dari objek inderawi tanpa sebelumnya diterima oleh indera eksternal.

Dalam hal ‘rasio sehat’ (sound reason), kita memahami rasio tidak hanya dalam pengertian yang dibatasi kepada unsur inderawi; pada fakultas mental yang menyistematisasi dan menginterpretasi fakta pengalaman inderawi dalam tatanan logis, atau yang membuat pengertian dan mampu diatur bagi pemahaman akan data pengalaman inderawi, atau yang menampilkan abstraksi fakta dan data terindera dan hubungan mereka, dan mengatur mereka dalam sebuah operasi pemberian-hukum (law-giving) yang membuat dunia alam dapat terpahami. Tentu saja, pastinya, rasio adalah semua ini, tetapi kita menjaga lebih lanjut bahwa hal tersebut merupakan salah satu aspek intelek dan berfungsi dalam kesesuaian dengannya, bukan berlawanan dengannya; dan intelek merupakan substansi spiritual yang inheren dalam organ spiritual dari kognisi yang kita sebut hati, yang merupakan kedudukan intuisi. Dengan jalan ini dan lewat perantara intelek kita telah menghubungkan rasio dengan intuisi.

Dengan cara yang sama bahwa kita tidak membatasi rasio kepada unsur sensasi, kita juga tidak membatasi intuisi kepada pengertian langsung dan segera, oleh subjek yang mengetahui, terhadap dirinya, terhadap kondisi sadarnya, terhadap orang lain seperti dirinya sendiri, terhadap dunia eksternal, terhadap alam semesta, terhadap nilai atau kebenaran rasional. Kita memahami intuisi juga sebuah pengertian langsung dan segera terhadap kebenaran keagamaan, terhadap realitas dan eksistensi Tuhan, terhadap realitas eksistensi sebagaimana dilawankan dengan esensi — tentu saja, pada tingkatan intusi yang lebih tinggi merupakan intuisi akan eksistensi itu sendiri. Dengan referensi pada intuisi di tingkatan kebenaran yang lebih tinggi, intuisi tidak begitu saja datang kepada setiap orang, tetapi kepada seseorang yang telah menghidupi kehidupan dalam pengalaman kebenaran keagamaan dengan praktek ketaatan yang tulus kepada Tuhan, yang telah dengan pencapaian intelektual memahami sifat-dasar keesaan Tuhan dan apa yang tersirat dari keesaan tersebut dalam sebuah sistem metafisika yang integratif, yang telah secara berkelanjutan merenungkan sifat-dasar realitas ini, dan dia yang kemudian, melalui perenungan mendalam dan dengan kehendak Tuhan, dibuat melewati kesadaran dirinya dan kondisi subjektifnya dan memasuki kondisi kedirian yang lebih tinggi dan berada dalam Tuhan. Ketika dia kembali kepada kondisi subjektif kemanusiaannya, dia kehilangan apa yang telah ditemukan, tetapi pengetahuan tentang itu tetap bersamanya. Hal tersebut ada dalam durasi keberadaan dalam Tuhan, dimana ketika dia memperoleh kedirian yang lebih tinggi, berlangsunglah pengertian langsung dan segera itu. Dia telah diberikan pandangan sekilas sifat-dasar realitas dalam durasi tersebut yang

bersamaan dengan Kebenaran. Dalam kasusnya isi kognitif dari intuisinya akan eksistensi mengungkapkan kepadanya sistem integratif akan realitas sebagai sebuah keseluruhan.

Dalam memandang intuisi, dan pada tingkatan normal kesadaran manusia, tingkatan yang lebih tinggi yang dicapai orang-orang besar dari sains dan para pembelajar, pada saat penemuan yang menentukan akan hukum dan prinsip yang mengatur dunia alam, merupakan tingkatan yang sepadan dengan latihan, disiplin, dan pengembangan kekuatan mereka akan penalaran dan kapasitas eksperensial, dan dengan problem khusus yang menghadang mereka ketika rasio dan pengalaman mereka tidak mampu memberikan makna yang koheren. Tibanya pada makna tersebut adalah melalui intuisi, karena intuisilah yang menyintesis apa yang masing-masing rasio dan pengalaman lihat secara terpisah tanpa mampu mengombinasikannya ke dalam keseluruhan yang koheren. Intuisi datang kepada seorang manusia ketika dia telah siap untuk itu; ketika rasio dan pengalamannya dilatih dan didisiplinkan untuk menerima dan menginterpretasikannya. Tetapi sementara tingkatan intuisi yang padanya metode empiris dan rasional mungkin hanya menunjuk pada aspek khusus sifat-dasar realitas, dan bukan keseluruhan darinya, dimana tingkatan intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi dari kesadaran manusia yang dicapai nabi-nabi dan orang-orang suci memperoleh pandangan-mendalam langsung ke dalam sifat-dasar realitas sebagai sebuah keseluruhan. Nabi dan orang suci juga membutuhkan persiapan untuk menerima dan mampu menginterpretasikannya; dan persiapan mereka tidak hanya terdiri dari latihan, disiplin, dan pengembangan kemampuan menalar dan kapasitas pengalaman inderawi, tetapi juga latihan, disiplin, dan pengembangan diri dalaman (inner) mereka dan fakultas-fakultas diri yang berhubungan dengan pengertian akan kebenaran-realitas (truth-reality).

Pada berita yang benar sebagai saluran yang melaluinya pengetahuan itu diperoleh, terdapat dua jenis: yang dalam rangkaian dan berkelanjutan dibangun oleh ucapan orang-orang yang rasionya tidak dapat menerima bahwa mereka memiliki tujuan bersama dalam kebohongan; dan apa yang dibawa oleh Utusan Tuhan. Otoritas yang diinvestasikan dengan kesepakatan umum dalam jenis pertama dari berita yang benar, yang termasuk di dalamnya para sarjana, saintis, dan orang-orang akan pengetahuan secara umum, dapat dipertanyakan dengan metode rasio dan pengalaman. Tetapi otoritas jenis kedua akan berita yang benar, yang juga diafirmasi oleh penerimaan umum, adalah absolut. Otoritas itu berpijak secara mendasar atas pengalaman intuitif, yang dengannya kita memaksudkan baik dalam tatanan indera dan realitas inderawi, dan dalam tatanan realitas transendental, seperti intuisi pada tingkatan yang lebih tinggi.

Bertentangan dengan posisi sains modern dan filsafat dalam memandang sumber dan